NovelToon NovelToon

Hasrat Terindah Istri Kecilku

1. Pesta Besar

Sebuah pesta megah diadakan di mansion besar untuk merayakan dua acara. Acara tahun baru serta acara ulang tahun dua baby twins Devino dan Devina yang sudah berusia satu tahun. Malam yang sangat istimewa bagi pasangan Devan dan Aradella. Keduanya adalah orang tua Baby Twins yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Ditambah malam yang indah ini melengkapi kebahagiaan mereka.

Hubungan antara mereka berdua sudah berhasil membuat publik di kota heboh, terutama Nyonya Chelsi yang menyatakan Ella adalah putri keduanya yang sudah lama terpisah darinya dan mengatakan sudah menikah hingga memberinya dua malaikat mungil yang menggemaskan.

"Wah lihat, bukankah dia istri Presdir yang lagi viral itu?" Seorang wanita bersama temannya menatap pada Ella yang lagi berdiri sendirian memperhatikan para tamu bersalaman dengan Devan dan Ayah mertuanya.

"Maaf, kalian siapa?" tanya Ella melihat mereka. Tanpa ditanya, Ella sudah tahu maksud kedatangan mereka hanya untuk menertawainya.

"Hei, kau tidak tahu siapa kami?" ujarnya menunjuk teman-temannya yang beranggota empat wanita, istri dari pejabat-pejabat di kota ini.

"Maaf, saya tidak mengenal kalian," ucap Ella ingin pergi tapi berhenti setelah dicibir.

"Ya ampun, tidak sangka Istri Presdir di kota ini tidak mengenal kita, apa dia selalu dikurung di rumah oleh suaminya?" katanya melirik Ella dengan sinis.

"Oh say, jangan heran dulu ... dia kan awalnya seorang pelakor, perebut lelaki kakaknya sendiri. Mungkin memang dikurung agar tidak merayu lelaki lain, ahaha ...." Caci temannya sambil tertawa bersama. Ella semakin menunduk setelah dihina oleh mereka. Ingin rasanya membela diri, tapi takut luka lama itu kembali terbuka.

"Ahaha, lihatlah, dia hanya bisa diam seperti-"

PLAK!

Perkataannya langsung putus setelah menerima tamparan menuntut dari seorang wanita anggun yang hadir malam ini. Ella kaget dan langsung berbalik melihatnya.

"Elisa?" Ella melihat kakaknya berdiri dengan amarah pada kumpulan wanita yang sombong ini.

"Kalianlah yang hina! Harusnya kalian ini tau diri sedikit, sudah punya posisi yang baik dari pada kaum wanita lainnya, tapi tak sangka mulut kalian lebih memalukan. Sangat tak pantas hadir di pesta ini! Enyahlah dari hadapanku!" bentak Elisa menatap mereka tajam hingga mereka tertekan.

"Nona Elisa, harusnya kau tak usah marah. Kami di sini membelamu, kami kasihan padamu melihat adikmu sendiri yang membuatmu seperti ini. Harusnya kamu-"

"Pergi! Kalian pergilah! Aku tak butuh rasa kasihan itu dan pembelaan kalian. Kalian lebih baik diam atau aku robek mulut kalian sekarang juga!" ancam Elisa tak main-main.

Mereka segera pergi tak kuat melihat sorotan mata Elisa yang mengerikan. Sungguh sikap mereka membuat Elisa muak. Lagian semua ini bukan salah Ella.

"Elisa, kamu tenanglah," Ella menenangkan Elisa yang sedang mengatur nafasnya habis marah-marah.

"Haish, kau ini! Lain kali harusnya kau lawan mereka, jangan takut pada mereka. Aku sebagai kakakmu tentu tidak terima kau dihina seperti ini, apalagi malam ini sangat spesial bagimu." Tutur Elisa panjang lebar. Tatapannya sangat serius menasehati adiknya yang begitu lemah dan rapuh.

"Maaf, maaf. Mereka memang benar, aku memang seorang-"

"Cukup, Ella. Kamu jangan pikirkan itu. Kamu ini bukan seperti itu, kamu sudah jadi seorang Ibu." Elisa menghapus air mata adiknya. Ella hanya mengangguk sudah mengerti.

"Oh ya selamat ya. Malam ini baby kamu akan berusia satu tahun. Aku sebagai bibinya sangat senang bisa hadir malam ini di acara ultah baby kamu." Elisa mengulurkan tangan dan tersenyum.

Ella meletakkan gelas jusnya di atas meja lalu membalas uluran tangan pada Elisa, kakak kandungnya yang pernah berurusan soal cinta segita di tahun lalu.

"Em, terima kasih, Kak. Aku benar-benar senang kau datang juga, aku pikir kamu tidak akan-"

"Ssst, jangan ungkit masalah itu lagi. Itu sudah berlalu, kebahagiaanmu sekarang sudah cukup bagiku," ucap Elisa tersenyum lalu diam kembali. "Hais, cuma saja," desis Elisa menunduk di dekat Ella.

"Cuma saja apa?" tanya Ella mengambil segelas jus lain. "Nih, minumlah. Kalau ada masalah, cobalah kasih tahu padaku, siapa tau aku juga bisa bantu." Perkataan Ella membuat Elisa gugup.

"Hanya saja tahun ini aku harus segera menikah. Jika tidak aku akan dijodohkan dengan teman Papa. Papa sering mendesakku untuk mencari pengganti Devan. Hatiku jadi resah dan pikiranku akhir-akhir ini kacau,"

"Aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus menerimanya? Sedangkan aku tidak mencintai dan tidak tahu siapa teman Papa. Aku takut, aku akan dinikahi oleh om-om pejabat yang sudah beristri." Jelas Elisa panjang lebar meluapkan kegundahan hatinya selama ini.

Ella perlahan sadar, merasa kalau Elisa belum move on dari suaminya serta mulai kasihan atas desakkan dari Tuan Vian yang membuat Elisa tertekan. Ella tersenyum lalu meraih tangan Elisa.

"Aku akan selalu mendukung keputusanmu. Jika kau menolak usulan Papa Vian, aku akan tetap mendukungmu," ucap Ella serius menatapnya. Elisa menggelengkan kepala merasa Ella mengerti dirinya, ia pun memeluk adiknya.

"Terima kasih, tapi sekarang kau lebih baik fokus merawat dua keponakanku. Biar aku sendiri yang memikirkan ini." Elisa tersenyum lalu perlahan melepaskan genggaman Ella, ia meletakkan jusnya ke meja lalu pergi ke taman belakang. Ella menunduk dan melihat tangannya. Diam sendirian memikirkan keresahan Elisa.

"Dia selama ini pasti lebih menderita gara-gara aku," gumam Ella mengusap segera air matanya yang mulai turun.

"Huft, baiklah. Aku harus cari solusi biar dia tidak kesepian dan Papah tidak memaksanya lagi." Ella menghirup udara dan perlahan merasa lega. Tiba-tiba saja, seseorang memeluknya dari belakang membuatnya sangat terkejut.

"Hei, Sayangku. Kenapa di sini sendirian? Apa kau sedang berpikir ingin kabur dariku?" Seorang pria tampan bertanya pada istrinya yang cantik itu, bernama Devandra, suami Ella yang amat dicintai dan disayangi, sekaligus mantan kekasih Elisa, setahun yang lalu pernah menjalin cinta dengan Elisa. Umur Ella dan Devan hanya terpaut lima tahun dan saling mencintai satu sama lain.

Ella berbalik dan tersenyum pada suaminya. Tapi kesedihannya tak bisa disembunyikan dari Devan. Tentu matanya yang sedikit sembab itu terlihat jelas olehnya.

"Loh, kamu habis nangis?" tanya Devan mengusap lembut pinggir mata Ella. "Em, tidak. Aku senang melihat pesta malam ini, tapi ...." Ella menunduk dan meraih kedua tangan Devan. Menatapnya sedih lalu menggenggamnya.

"Tapi kenapa, sayang? Kenapa kamu sedih begini?"

"Aku sedih tidak tega pada Elisa, jadi bisakah kau menemaninya malam ini. Temani dia di taman, Honey. Dia kesepian, siapa tau-"

"Sudah Sayang, dia bisa menenangkan dirinya sendiri. Sekarang kita ke baby kita." Tunjuk Devan pada dua baby-Nya yang digendong oleh Mira dan Chelsi.

"Tidak Honey, dia malam ini resah sekali,"

"Loh kenapa dia, sayang?" tanya Devan mulai tertarik.

"Elisa didesak oleh Papa untuk mencari penggantimu secepat ini. Jika Elisa tidak menemukannya, dia akan dinikahi oleh teman Papa. Aku lihat dia tidak senang dengan niat Papa. Jadi pergilah ke taman, hibur dia malam ini." Ella memohon, berharap Devan bisa mengurangi keresahan Elisa. Devan menghela nafas berat lalu dengan terpaksa mengatakannya.

"Baiklah, karena ini permintaanmu maka akan aku turuti. Tapi kamu jangan cemburu,"

"Tidak akan, asalkan kamu juga tidak macam-macam padanya," kata Ella serius menatap suaminya.

"Pfft, tidak akan dong. Aku kan cuma macam-macam sama kamu saja." Devan mencolek nakal pinggang Ella dan pipi Istrinya itu.

"Ish, ya sudah. Pergi sana hibur dia." Ella mendorong Devan sambil tersenyum manis. Devan menoleh sebentar melihatnya lalu mulai berjalan kembali ke arah taman. Sementara Ella kini menghela nafas lalu menaiki tangga ingin melihat Elisa dari balkon di lantai dua.

Tapi ternyata, langkah kaki Devan bukan ke taman melainkan ke arah Sekretaris Hans yang lagi berdiri sendirian mengawasi para tamu. Sekretaris yang masih setia pada Devan.

"Ekhm." Devan mendehem.

Hansel menoleh dan dengan ramahnya mulai bicara.

"Selamat malam, Presdir. Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Em begini, aku ke sini mau kau pergi ke taman,"

"Ke taman? Untuk apa, Presdir?"

"Itu ... untuk memetik beberapa bunga di sana. Aku ingin berikan pada Ella, ingin memberinya sedikit kejutan." Devan terpaksa berbohong. Karena dia tentu tak mau ke taman untuk menghibur Elisa. Sudah jelas jarak mereka sudah jauh, dan tak mau ada jarak untuk mereka lagi.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu."

Baru juga Hansel melangkah, Devan menahannya segera.

"Tunggu dulu!"

2. Anggur Tengah Malam

"Ada apa, Presdir?" tanya Hansel berhenti.

Devan mengambil dua gelas anggur merah di atas meja lalu memberinya pada Hansel.

"Ini kau bawa ke taman,"

"Buat apa, Presdir?" Hansel bingung dengan dua gelas anggur merah di tangannya itu. Devan terdiam mulai susah mencari alasan.

"Ah itu, siapa tau kau temukan bunga yang layu di sana, jadi kau bisa pakai ini untuk menyiramnya. Mungkin saja besok bunganya mekar dan sehat kembali." Jelas Devan sedikit kikuk menjawabnya. Merasa ini alasan yang paling bodoh menyuruh Hansel menyiram bunga di jam 23.30 tengah malam.

Hansel juga heran tapi karena ini sebuah perintah jadi Hansel mengerti saja, padahal dalam hatinya ia ingin tertawa mendengar kemauan Atasannya yang konyol ini.

"Baik, Presdir. Kalau begitu saya permisi." Hansel menunduk sedikit lalu berjalan pergi ke taman.

"Huftt, syukurlah aku selamat malam ini. Sekarang aku harus cari Ella. Dia ini kenapa malah menyuruhku ke taman? Dan hibur Elisa hanya berdua saja? Yaialah aku tidak mau, dasar istriku tersayang, kemauannya ada-ada saja." Devan mengatur nafas lalu melihat baby twinsnya yang masih digendong oleh Ibu dan ibu mertuanya yang sibuk memperkenalkan pada tamu pesta malam ini. Langkah kakinya kini mulai menaiki tangga mencari keberadaan Ella. Istri kesayangannya.

Hansel masih berjalan mencari bunga yang pas untuk kemauan atasannya. Dengan dua gelas anggur merah di tangannya itu, Hansel berhenti sebentar.

"Memangnya bunga bisa disiram pakai anggur merah?" pikir Hansel melihat bergantian dua anggur itu.

"Sepertinya Presdir terlalu cinta dengan Nona Ella hingga IQ-Nya bisa turun seperti orang bodoh. Lebih baik aku masuk untuk membawa ini kembali ke dalam."

Hansel berbalik ingin masuk lagi, tapi berhenti setelah mendengar suara percikan air yang dilempar oleh krikil. Hansel penasaran, merasa sudah ada maling yang berhasil menerobos masuk ke mansion. Hansel pun pergi mengeceknya. Perlahan mendekati semak-semak yang sedikit menghalangi pandangannya.

"Siapa di sana?!" teriak Hansel sedikit was-was. Hansel pun berhenti setelah melihat Elisa duduk di bangku taman. Diam seorang diri sambil melempar krikil ke kolam ikan.

Hansel merasa lega dan kembali berpikir.

"Tunggu, kenapa Nona bisa ada di sini?" pikir Hansel perlahan mendekatinya lalu berhenti kembali melihat Elisa menangis diam-diam dan belum menyadari kehadirannya.

"Kenapa ... kenapa aku ke sini sih, harusnya aku masuk saja. Tapi aku malu untuk masuk," keluh Elisa dengan kesalnya dan sedih kembali melempar krikil.

"Kenapa harus malu?" sahut Hansel. Elisa diam membisu tak jadi melempar krikil terakhirnya.

"Sekretaris Hansel?" Elisa menoleh dan segera mengusap air matanya. Hansel tersenyum lalu meletakkan dua gelas itu ke atas bangku taman dan lagi-lagi Hansel memberinya sapu tangan.

"Pakailah ini Nona." Hansel memberinya. Elisa menunduk lalu dengan cepat mengambilnya, memakai dan membuang ingusnya yang meler dari tadi. Hansel cuma tertawa kecil mendengarnya lalu memberinya segelas anggur merah.

"Ambillah, Nona. Ini untukmu malam ini."

Lagi-lagi Hansel berbaik hati memberinya lalu dengan tanpa ragu Elisa mengambilnya lagi.

"Maaf sudah mengganggumu tadi, Sekretaris Hansel." Elisa menunduk dan mulai diam-diam menatap langit menunggu kembang api mekar di atas sana. Mencoba untuk tenang.

"Tidak masalah, anda tidak usah sungkan seperti itu Nona. Saya yang harusnya minta maaf sudah mengganggu di sini." Hansel menunduk ingin pergi.

"Eh tidak kok," tahan Elisa tidak keberatan.

"Kamu tidak usah minta maaf. Ini tidak masalah bagiku." Lanjutnya kembali menunduk lalu meminum anggur merah itu.

"Em, itu apa Nona baik-baik saja?" tanya Hansel memecahkan suasana yang sedikit canggung ini. Apalagi cuma mereka berdua saja di bawah gugusan bintang-bintang yang indah dan berkedip-kedip di atas sana.

"Ya sedikit lumayan. Kalau Sekretaris Hansel sendiri mengapa bisa ada di sini dengan dua anggur merah?" tanya Elisa sedikit curiga pada Hansel. Merasa ada maksud lain kedatangannya ini.

"Itu tadi Presdir menyuruhku untuk memetik bunga buat Nona Ella, tapi entah kenapa malah memberikanku dua gelas ini. Presdir kira siapa tau ada bunga yang layu, jadi aku harus menyiramnya pakai itu." Tunjuk Hansel pada dua anggur di tangan mereka.

Suasana kembali canggung setelah mendengar alasan Hansel.

Namun tiba-tiba Elisa tertawa untuk memecahkan suasana ini. "Pfft, ahahaha ...." Hansel diam tak paham apa yang sudah terjadi padanya.

"Menyiram bunga di jam 23.55 malam?" Tunjuk Elisa pada jam tangannya lalu kembali tertawa. "Ahahaha, apa dia sudah kurang sehat?" lanjutnya tak bisa berhenti tertawa.

"Ya aku rasa mungkin begitu," ucap Hansel tersenyum melihat Elisa tertawa sepuas ini dan lama-lama suasana mulai terasa tenang dan terlihat keduanya duduk bersama. Berbicara satu sama lain, mengobrol dan bercanda gurau.

Melihat keduanya dekat malam ini, Ella yang melihatnya samar-samar dari balkon sedikit tersenyum. Mengira lelaki yang bersama Elisa adalah Devan, tapi dugaannya salah karena Devan diam-diam merangkulnya dari belakang lagi.

"Apa kau senang melihatnya, sayang? Melihat mereka berdua dekat seperti itu?" ucap Devan bertanya. Ella kaget segera berbalik.

"Loh kamu kok bisa di sini?" Tunjuk Ella bingung pada Devan yang senyum-senyum sendiri.

"Bukannya kamu lagi sama Elisa?" lanjutnya menunjuk ke taman.

"Pfft, ahahaha ... apa kau ini mulai rabun sayang?" centil Devan pada hidung Ella.

"Ish jawab! Jangan gini, aku takut kamu ini pocong yang mau culik aku." Ella sedikit mundur dan ketakutan.

"Pfft, ahaha ... kamu ini ada-ada saja. Aku ini tidak kemana-mana selain ke sini, sayangku," ucap Devan menyentuh kedua pipi Istrinya.

"Terus yang di sana siapa?" tanya Ella menunjuk ke taman lagi.

"Yang ada di sana Hansel, aku menyuruhnya untuk menemani Elisa. Coba deh kamu lihat baik-baik." Tunjuk Devan pada keduanya. Ella menyipitkan lalu membulatkan matanya ingin melihat lebih jelas dan ternyata itu memang Hansel.

"Ehehe, sepertinya aku banyak nonton Drama di TV jadi rabun gini," cengir Ella tahu kesalahannya.

"Lain kali tidak boleh terlalu banyak nonton Drama. Nanti kamu lama-lama buta, aku tak mau itu terjadi!" kata Devan serius dan geleng-geleng kepala lalu mendekap tubuh Ella ke pelukannya lagi. Ella menangadah ke atas, melihat wajah suaminya.

Perlahan wajahnya merona segera menunduk tersipu ketahuan diam-diam melirik suaminya sendiri. Keduanya saling berbagi kehangatan dan tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hubungan mereka semakin erat seperti pelukan malam ini. Suasana di sekitar terasa begitu menenangkan dirinya.

Suara dentingan jam akhirnya menunjukkan pukul 00.00 malam, tahun baru akhirnya tiba. Terlihat Elisa diam terpaku melihat kembar api dilepaskan ke langit. Senyum manis terlihat di bibirnya membuat Hansel ikut diam terpana. Bukan karena kembang api tapi senyuman langka dari wanita cantik ini.

"Cantik dan anggun." Hansel bergumam dalam hati lalu melihat kembang api juga. Menikmati moment yang paling indah dan tentram ini berdua saja di taman.

"Sayang, sekarang kita masuk rayakan ultan baby kita," ucap Devan menarik tangan Ella.

"Tunggu dulu,"

"Hm, kenapa sayang?" tanya Devan melihat Ella berhenti.

"Bagaimana kalau kita jodohkan Elisa dengan Hansel. Apa kau setuju?"

Devan sontak diam membisu mendengar keinginan Ella. Devan menoleh ke taman, melihat Elisa dan Hansel tertawa bersama lagi. Ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya.

"Honey, kamu kenapa diam? Kamu tidak suka ya?" tanya Ella merasa Devan belum melupakan Elisa sepenuhnya. Devan tersenyum manis lalu mengangkat Ella.

"Tentu aku setuju dong. Apa yang diinginkan Istriku, pasti aku akan terus dukung sampai Istriku ini senang."

Ella tertawa kecil lalu turun memeluk Devan. "Terima kasih, Honey. Aku senang mendengarnya," ucap Ella dengan senang hati meraih tangan Devan. "Sekarang waktu ultahnya baby Vino dan Vina, kita harus cepat-cepat ke bawah." Kata Ella menarik Devan masuk ke dalam. Devan sedikit menoleh ke belakang melihat ke arah taman. Kali ini dirinya yang gelisah.

"Apa ini yang terbaik untukmu, Sa?"

______

3. Bermanja - manja

Setelah acara kemarin, Devan belum bisa melepasan guling yang dia peluk. Rasa lelahnya yang sudah merayakan ultah baby twinsnya membuat kedua matanya masih setia tertutup. Meski cahaya pagi matahari yang menyilaukan masuk dari celah-celah jendela tetap tak bisa membangunkan Devan.

Tak seperti Ella yang kini keluar dari kamar mandi sudah membasuh wajahnya. Ia berdiri melihat dirinya di cermin rias, terlihat ada sedikit yang berubah. Ia terlihat dewasa tak seperti tahun yang lalu, bahkan rambut poni yang sering dimainkan Devan sudah tak ada lagi sekarang.

"Em, sepertinya aku sudah seperti wanita dewasa, umurku juga sudah tak akan lama lagi masuk 22 tahun dan Devan masih 26 tahun. Hari ultahnya ke 27 juga sudah dekat. Apa yang harus aku berikan untuknya tahun ini?"

Ella duduk di kursi riasnya. Mulai berpikir lagi sambil melirik suaminya yang masih setia tidur di dekat baby Vino dan baby Vina di atas ranjang.

"Hm soal Kak Elisa, apa Devan tidak masalah bila aku jodohkan dengan Kak Hansel?"

Ella kembali merenung.

"Kak Hansel orang yang dikit-dikit pendiam, tapi dia orang yang menyenangkan. Sepertinya memang cocok tapi siapa teman Papa yang mau dijodohkan dengan Kak Elisa?"

Tak mau berpikir keras karena takut ini mempengaruhi kondisinya, Ella pun berdiri mengganti pakaiannya lalu mendekati suami dan dua anaknya. Ella mengusap kepala dua baby-Nya dengan lembut. Mencium kening keduanya yang masih tertidur dengan botol susu di tangan mereka. Ella senyum-senyum sendiri tak sangka dua baby-Nya yang menggemaskan ini lebih mendekati kemiripan Devan dibandingkan dirinya.

"Anak Mama yang manis dan ganteng, jangan berisik ya. Papa kalian masih tidur, biar Mama yang bangunkan." Ella berbicara seakan dua baby-Nya sudah sadar tapi masih terlelap dalam mimpinya. Ella pun berbaring kembali, menghadap ke arah Devan yang memeluk guling. Memperhatikan paras sang suami.

"Sudah hampir dua tahun aku bersamanya dan dia masih tampan dan lucu, tapi sayangnya rambut ini malah dicat warna coklat. Apa dia sengaja?" pikir Ella semakin tertawa kecil melihat perubahan rambut Devan.

Perlahan-lahan gulingnya diambil oleh Ella, takut Devan akan terbangun. Tapi siapa sangka, kedua tangan Devan malah merangkulnya.

"Ya ampun!" celetuk Ella cemberut. Lagi-lagi Ella ingin melepaskan dirinya, tapi sekali lagi malah didekap oleh Devan. Jarak wajah mereka yang dekat membuat pipinya semerah kepiting rebus.

"Aish, apa dia sudah bangun?" pikir Ella menatap dua mata suaminya yang masih tertutup. Tapi lama-lama dekapan Devan melemah dan perlahan melihat Devan mulai bangun.

"Morning, honey."

"Em, sayang? Kau ... sudah bangun?" lirih Devan masih dalam ngantuknya melihat Ella tersenyum pagi ini.

"Ya dong, dari tadi aku sudah bangun. Sekarang ini sudah pukul 08.32 pagi. Kamu tidak kerja hari ini?"

Devan tak menjawab melainkan memeluk tubuh Istrinya.

"Aku sangat capek, hari ini kantor libur saja. Aku ingin di sampingmu dulu." Dengan lembut mencium kening Istrinya.

"Hais, kamu ini. Aku sekarang sibuk, kamu lanjut tidur saja deh." Ella memberinya guling lalu lepas dari pelukan Devan. Devan cemberut diabaikan oleh istri sendiri. Padahal pagi-pagi ini dirinya ingin bermanja-manja, mumpung dua baby-Nya tidak rewel. Tapi apalah daya, tenaganya seakan habis tak bisa bangun dan kembali menutupi dirinya dengan seprai.

"Huft, dia benar-benar pasti lelah. Lebih baik aku segera siapkan air hangat kukuh untuk Vino dan Vina. Ini waktunya mereka mandi," gumam Ella berdiri melihat dua baby-Nya menggeliat bersamaan.

Ella dengan perlahan masuk ke dalam kamar mandi, menyiapkan kebutuhan dua anaknya nanti. Setelah membuka pintu, Ella sontak dikejutkan dengan anak sulungnya yang terbangun. Ella cepat-cepat mendekati Vino.

"Maaa ... Maaa," lirihnya memanggil Ella.

"Mamapuk," lanjutnya menepuk pampers yang sudah tak karuan dipandang.

"Mama," panggil Vino manja. Ella hanya geleng-geleng kepala melihatnya yang amat menggemaskan. Cara bicara Vino yang cuma bisa bicara satu kata saja semakin membuatnya lucu.

"Vino, kenapa? Pupuk ya sayang?" tanya Ella melihat isi pampers Vino. Ternyata benar, Vino sedang BAB.

"Mamapuk," sekali lagi Vino merengek. Ella tertawa kecil lalu menggendongnya.

"Sini biar Mama yang bantu Vino. Sudah ini, Vino langsung mandi ya sayang." Dengan lembut mengelus kepala Vino lalu masuk ke dalam kamar mandi. Vino begitu riang disemprot air hangat yang menyejukkan dirinya. Tawa mungilnya memenuhi isi kamar mandi.

Sangat beda di luar kamar yang terdengar hening. Tapi keheningan itu langsung sirna setelah baby Vina bangun merengek pada Devan.

"Papa," rengek Vina masuk ke seprai membangunkan Devan.

"Papaaaa," panggil Vina mencolek pipi Devan.

"Aduh, Nana Papa. Kenapa sayang?" tanya Devan akhirnya bangun.

"Papanum," rengek Vina ingin menangis. Devan menghela nafas mencari Ella tapi Istrinya tak terlihat.

"Sayang, kamu di mana?" Devan berteriak sedikit.

"Ini di dalam kamar lagi mandikan Vino. Kenapa, honey?" tanya Ella sedikit teriak juga.

"Ini loh sayang, Vina bangun. Aku tidak tau dia minta apa, kamu keluar gih urus Vina," ucap Devan masih menenangkan Vina yang merengek minta 'Papanum'. Benar-benar dua anaknya lebih susah dipahami daripada Maysha dulu. Keponakannya yang sudah berumur 5 tahun.

"Memang dia minta apa?" tanya Ella masih belum keluar dari kamar mandi. Devan menggendong Vina lalu mendekati pintu kamar mandi.

"Dia bilang, Papanum. Nah itu dia minta apa, sayang?" tanya Devan melihat Vina makin rewel.

"Oh itu, dia minta minum. Papa minum susu, nah itu," kata Ella paham maksud putri kecilnya.

"Ya sudah, kamu cepat-cepat gih mandikan Vino. Aku juga mau mandi nih. Jangan biarkan Vino main air lama-lama." Nasehat Devan pada Istrinya sambil membuatkan susu botol untuk Vina.

"Ya, ini sudah selesai." Ella keluar dari kamar mandi sambil menggendong Vino yang dibalut oleh selimut.

"Nah sekarang aku mau mandi dulu, kamu jagain mereka ya sayang." Devan mencium kening Ella lalu masuk ke kamar mandi dengan handuknya. Ella hanya geleng-geleng kepala melihat putri kecilnya duduk manis di atas kasur sambil menyedot botol susunya.

Sekarang dua baby-Nya sudah siap, begitupun Devan yang sudah siap dengan style-Nya. Namun saat bercermin, Vino mendekati Devan. Kaki kecilnya berhenti di dekat Papanya.

"Papado," panggil Vino menarik baju Devan. Ella sontak diam membisu mendengarnya.

"Hm, Papado? Apa itu, Nak?" tanya Devan berjongkok di depan Vino.

"Papado," peluk Vino ke Devan.

"Sayang, kamu tahu artinya itu apa? Oh atau mungkin ini panggilan sayang dari putraku?" tebak Devan melihat Vino.

"Pfft, ahahaha ...." Tawa Ella yang lagi mengikat rambut baby Vina.

"Loh kok malah ketawa?" Devan menggendong Vino.

"Coba deh kamu tanyakan ke Rafa. Dia yang kemarin selalu bermain dengan Vino. Mungkin Rafa yang mengajarinya."

Devan paham lalu mengelurkan ponsel mengetik sebuah pesan untuk adiknya yang lagi sarapan di bawah bersama anggota keluarga lainnya. Sontak Rafa membola merima pesan itu. Rafa pun tertawa kecil lalu mengirim arti dari kata 'Papado' pada Devan.

Seketika dua mata Devan melebar mengetahui artinya lalu melihat anak sulungnya.

"Papado," ucap Vino sekali lagi. Devan mulai meremas kuat ponselnya, kesal dan marah pada Rafa.

"Nih, ambil Vino dulu. Aku mau turun ke bawah." Devan memberikan Vino ke Ella.

"Loh kamu kenapa?" tanya Ella membuat Devan berhenti jalan. Devan merenung, seperti ada sesuatu yang pernah terjadi. Merasa dirinya dulu waktu kecil sering mengejek Tn. Raka, Ayahnya sendiri.

"Dev, kamu kenapa?" Sekali lagi Ella bertanya.

"Ini loh, Rafa bisa-bisanya ajari Vino yang jelek. Aku kesal!" cetus Devan melihat ponselnya. Ella pun merebut ponsel Devan, ingin tahu apa arti dari panggilan sayang Vino. Ternyata panggilan itu cocok juga untuk Devan.

"Papado? Papa komodo?" ucap Ella menahan tawa. Devan cemberut melihat Istrinya malah ingin tertawa.

"Papado," lagi-lagi Vino memanggil Devan dengan wajah datarnya. Ella tak henti-henti menahan tawa. Tapi seketika diam mematung setelah mendengar Vina memanggilnya sama.

"Mamado," panggil Vina memberikan botol susunya.

"Pfft, ahahaha ... Mamado?" Devan tertawa lepas mendengar panggilan putri kecilnya kepada Ella.

Ella menatap sinis ke Devan, begitupun Devan juga tak kalah. Tapi lama-lama suasana ini membuat keduanya tertawa bersama. Devan menggendong dua baby twins untuk turun sarapan pagi. Ella hanya bisa menunduk malu di belakang Devan. Bisa-bisanya dua anaknya menjahilinya di pagi ini.

______

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!