"Karena kamu adalah suamiku, dan surga ku ada di kakimu."
Deggh,
Seketika jantung Raul mau lepas ketika mendengar suara yang baru saja dia dengar selama satu tahun menikahi Lea. Karena yang dia tahu dari ayah Lea, istrinya adalah gadis bisu dan tuli.
"Kamu? kamu bisa bicara?" tanya Raul tidak percaya.
Lea mengangguk.
"Kenapa? Kenapa kamu lakukan semua itu? Aku benar benar bodoh, aku minta maaf, aku menyesal. Aku mengira jika selama ini kamu memang benar benar bisu dan tuli." Air mata Raul terurai menyesali segala perbuatannya selama ini kepada sang istri. Telah banyak luka yang dia toreh di hati Lea, namun tak sekalipun Lea berontak.
Ini adalah kisah Raul dan Lea. Mereka menikah karena terikat surat wasiat.
🌹🌹♥️♥️🌹🌹
"Raul duduklah!" Titah seorang laki laki tua berusia tujuh puluh lima tahun ,yang merupakan kakek Raul.
Pria arogan yang suka keluyuran malam dan tidak pernah serius dalam bekerja itu menghempas tubuhnya kasar ke sofa.
"Ada apa?" tanyanya ketus.
Kakek Seno menghela nafas melihat tanggapan cucunya. Mau marah marah pun percuma karena dia akan kewalahan jika berdebat dengan cucu tunggalnya.
"Begini Raul, kamu sudah genap berusia dua puluh lima tahun, jadi sekarang sudah waktunya kakek sampaikan tentang surat wasiat dari papamu.." ucapan kakek Seno!mendadak terpotong karena Raul menyela.
"Cepat katakan pak tua! Jangan kelamaan basa basinya, aku jadi pewaris seluruh kekayaan papa kan?"
Benar benar cucu yang tidak tahu sopan santun. Kakek Seno sedikit mengatur nafas mendengar ucapan cucunya.
"Dengar dulu, kakek akan bacakan isinya. Tapi kamu dengar kan baik baik, jangan memotong pembicaraan!"
Kali ini kakek Seno memberi peringatan sedikit keras pada pria tengil itu.Sementara Raul hanya menyahuti dengan asal asalan.
"Hmmmmmmmm,"
Sang kakek mulai membacakan isi surat wasiat yang telah di tinggalkan oleh mendiang papa Raul. Beliau meninggal ketika Raul masih duduk di bangku SMP. Dan memang di dalam surat wasiat tersebut tercantum waktu kapan Raul boleh mengetahui isinya ketika dia berusia dua puluh lima tahun.
Sebuah angka dewasa untuk usia seseorang, namun sayangnya tidak untuk Raul.
"Apa? aku harus menikah dengan wanita yang tidak aku kenal? No ! Aku tidak mau!" seru Raul kepada kakeknya setelah mendengar isi dari surat wasiat tersebut.
"Kamu tidak bisa semau kamu sendiri Raul ! Ini wasiat dari almarhum papa kamu, apa kamu tidak kasihan jika arwah papamu tidak tenang di sana?" Bentak kakek Seno. Suaranya tak kalah keras dengan cucunya. Beliau sudah sedia alat pernafasan mini di tangannya jika sedang berada dalam posisi seperti ini. Bukan kali pertama, tapi memang akan selalu seperti ini jika mereka bicara empat mata.
Raul berdecak, dia tidak terima dengan isi surat wasiat tersebut. Dengan raut wajah yang kesal dia bertanya,
"Lalu siapa wanita yang harus aku nikahi, kalau muda cantik dan kaya aku mau. Tapi kalau jelek dan miskin , kakek sajalah yang nikah sama dia!"
"Raul, jaga bicaramu!" Geram Kakek Seno. Beliau segera meraih alat pernafasan lalu menyemprotkan ke mulutnya.
Nafasnya menjadi tidak beraturan jika lama lama berbicara dengan Raul.
Bukannya simpati pada sang kakek, Raul justru masih membahas soal warisan.
"Cepat katakan, siapa wanita yang harus aku nikahi? Biar aku segera menjadi pewaris tunggal dan biar kamu nggak perlu ngatur ngatur lagi keuanganku!"
Setelah Papa Raul meninggal, Mamanya sudah menikah lagi dan tinggal bersama keluarga barunya, sehingga di kediaman yang begitu besar tersebut mereka hanya tinggal berdua dengan beberapa orang asisten rumah tangga.
"Namanya Azzalea, putri dari rekan papamu sendiri. Besok kakek antar ke rumahnya" jawab sang kakek setelah berhasil mengatur kembali nafasnya.
"Sekarang saja pak tua, kalau cocok nanti malam langsung nikah aja agar mulai besok pagi semua aset berpindah ke namaku!" Cakap Raul seenak jidat. Dia benar benar seperti orang yang tidak pernah makan bangku sekolahan.
"Cocok atau tidak cocok, kamu harus menikah dengan dia. Paham!" tegas kakek Seno.
"Lihat saja nanti!" jawab Raul sambil berlalu meninggalkan sang kakek tanpa ada rasa bersalah karena telah membuat kakek Seno hampir kehilangan nafas. Susah dan pelan , namun pasti. Itu cara kakek Seno selama ini mengasuh cucunya.
Malam itu pun dia berhasil membawa Raul bertemu calon istrinya yang bernama Azzalea, kerap di sapa Lea.Setelah kedua pihak keluarga berbincang, akhirnya hari pernikahan pun di tetapkan.
Raul tetap stay memasang wajah masam pada saat acara perjodohan itu di lakukan. Apalagi ketika Raul tahu, penampilan calon istrinya yang berhijab dan bercadar. Sama sekali tidak sesuai dengan kriteria yang Raul inginkan. Dan lebih parahnya lagi, calon istri Raul itu nyatakan oleh orang tuanya sebagai gadis yang bisu dan tuli. Padahal, itu hanya sebagai julukan saja yang di berikan kepada Azzalea . Sementara secara fisik dia adalah perempuan yang normal dan berwajah cantik. Namun Raul tidak mengetahuinya karena dia tidak ingin mencari tahu dan tidak ingin tahu apapun tentang Lea.
"Apa? Dia bisu dan tuli? Ckkkk.... Mimpi apa aku dapat jodoh rongsokan orang kayak gitu? Tapi biarlah. Aku nggak peduli, yang penting aku menikah dan secepatnya mendapat hak warisan. Setelah menikah, akan aku pikirkan lagi bagaimana caranya menyingkirkan perempuan itu!" ucap Raul dalam hati dengan senyum masam.
"Nak Lea, apa kamu bersedia menikah dengan cucuku?" tanya Kakek Seno mulai membahas inti dari pertemuan malam itu.
Lea hanya mengangguk dan tersenyum.
Tanpa acara lamaran, tunangan atau pun pacaran keduanya akan segera langsung melakukan akad nikah dalam tiga hari ke depan.
Selain karena semua terjadi karena perjodohan, memang dari keluarga Lea tidak menyukai kegiatan anak muda seperti pacaran.
Tiga hari kemudian,
Sepasang pengantin telah duduk berdampingan di depan penghulu dan sebentar lagi melakukan ijab qobul.
Acara berlangsung begitu khidmat di kediaman mempelai wanita. Hanya dengan pesta sederhana , karena Raul tidak mau menggelar pesta besar.
Seusai mereka resmi bersuami istri, Raul segera memboyong istrinya ke rumahnya.
Semenjak di pertemukan dengan calon istri, Raul belum pernah mendengar kalimat apapun dari bibir Lea karena yang dia tahu dia adalah gadis bisu dan tuli. Tapi menurut Raul mungkin Lea memakai alat bantu dengar di telinganya sehingga untuk merespon suara Lea masih mampu.
"Itu kamar mu ,bawa barang barang mu ke dalam!" seru Raul kepada istrinya.
Lea menoleh ke arah kamar itu dan membawa barang bawaannya ke kamar.
"Oh ya, kamu bisa masak kan? tolong habis ini buatkan aku makanan, cari aja bahannya di kulkas!" titah Raul kemudian.
Lagi lagi Lea mengangguk menuruti perintah pertama dari suaminya.
Seusai memasukkan barang bawaan yang hanya dia pindah sendiri tanpa di bantu sang suami, Lea segera menuju ke dapur untuk memasak.
"Ternyata enak ya menikah, ada yang di suruh ini itu, apalagi punya istri yang bisu tuli sama bego juga" Raul berkata sambil tersenyum sendiri.
Tak lama kemudian ponsel berbunyi,
"Halo baby, oke oke ! aku akan datang tiga puluh menit lagi, I Love you."
Dalam hitungan menit Raul menghilang keluar rumah dengan membawa mobilnya.
Tiga puluh menit berlalu, Lea masih setia menunggu kedatangan sang suami di meja makan.
Hingga makanan sudah dingin Raul tak kunjung pulang. Lea tak beranjak dari tempatnya karena mendiang ibunya selalu mengajarkan agar selalu setia menunggu kepulangan suami jika dirinya sudah menikah.
Hari semakin gelap,Lea merasa kantuk. Dia sandarkan kepalanya di meja makan. Namun beberapa menit kemudian terdengar suara berisik.
Braaakkkh...
Lea melangkah untuk melihat apa yang terjadi, dan rupanya dia dapati Raul pulang dalam keadaan mabuk berat.
Lea terkejut karena itu adalah kali pertamanya dia mencium aroma minuman keras.
"Minggir!" bentak Raul sambil mendorong tubuh Lea.
Sebuah luka mulai menggores hati Lea, malam pengantin yang indah hanya ilusi baginya.
Meski begitu Lea masih setia berjalan mengiringi suaminya yang jalannya sempoyongan.
Tiba di depan pintu kamar, Raul hendak terjatuh. Dengan sekuat tenaga Lea membantu menopang tubuh sang suami.
"Lepaskan! Jangan sentuh aku, kamu hanya aku jadikan pembantu di sini karena aku sama sekali nggak sudi punya istri seperti kamu. Kolot!!" bentak Raul dengan suara yang keras.
Air mata mulai terurai deras membasahi cadar yang di kenakan Lea.
"Heh, ngapain masih disitu? pergi ke kamarmu sana ! Oh ya aku lupa, kamu kan tuli mana dengar omonganku..
Pergi sana ! " kali ini suara Raul benar benar memekakkan telinga Lea.
Gadis itu segera berlari sambil menyeka air mata. Luka itu begitu menyayat di hati Lea oleh perlakuan pria yang baru menikahinya.
"Gimana sayang? kamu berhasil membuat dia sakit hati?" tanya seseorang di seberang telpon setelah Raul berada di dalam kamar.
"Tenang aja sayang, aku pastikan dia tidak betah tinggal di sini. Yang penting tak lama lagi seluruh aset kekayaan udah berganti atas namaku, dan kita akan menikah." jawab Raul yang rupanya hanya pura pura mabuk.
Pagi hari.
Lea bangun dengan wajah yang sembab, matanya merah karena menangis semalaman.
Namun dia tetap harus tetap berusaha menjalankan tugas sebagai seorang istri, tepatnya tugas seorang pembantu. Karena tak sekali pun Raul menyentuhnya, atau sekedar menatapnya dengan lembut layaknya pasangan suami istri.
Makanan telah tersaji di meja. Lea hendak mengetuk pintu kamar Raul untuk membangunkannya agar segera sarapan, namun dia urungkan niat tersebut mengingat kejadian tadi malam.
Goresan luka itu masih sangat basah dan terasa begitu perih di malam pengantinnya.
Lea kembali duduk dan memilih menunggu Raul di meja makan.
Dan benar saja sesuai dugaan Lea, Raul keluar setelah sepuluh menit kemudian.
Pria itu menghampiri istrinya, bukan peluk cium hangat namun yang ada hanya nada bicara kasar dan sikap acuh.
"Malam ini aku mau ada acara dengan teman temanku di sini, jadi kamu beresin seisi rumah, sapu dan pel semua ruangan ! Dan satu lagi, ganti sprei di kamar tamu dan kamar ku karena mungkin teman temanku akan menginap. Mengerti ?!"
Lea mengangguk dengan pandangan tetap menunduk.
Volume suara Raul tidak merendah, karena dia khawatir jika istrinya yang tuli itu tidak mendengar ucapannya.
Pria itu kemudian duduk dan mulai memegang sendok di tangannya.
Aroma masakan Lea mengundang selera makan, hingga setelah satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut,
Braaaakkh, Praaangggg, Glonthaaaaang
Piring dan seisinya melayang dari meja ke lantai.
"Masakan apa ini beg-o ! Bisa masak apa enggak sih?" wajah Raul benar benar menyeramkan . Dia selalu mencari cara agar Lea tidak betah tinggal bersamanya, walaupun sebenarnya makanan itu sangat lezat.
Raul berdiri dari duduknya, sementara Lea seketika duduk memunguti pecahan piring yang ada di lantai dengan air mata yang sudah berkerumun di pelupuk mata dan siap terurai.
Karena terlalu terkejut dengan teriakan Raul, tangan Lea gemetar dan alhasil pecahan piring tersebut mengenai jemarinya.
Darah segar mengalir dari jari tangan Lea. Raul yang melihat tangan Lea berdarah bukannya simpati namun malah pergi meninggalkannya.
Bahkan ketika melangkah dari meja makan dia sempat menendang tubuh Lea yang duduk di lantai.
"Dasar kerja gitu aja nggak becus !! Beg*o !! Tolo*l !!"
satu kalimat kasar masih menambah lengkapnya derita batin Lea.
Luka tadi malam yang belum sempat kering, kini semakin bertambah perih dengan munculnya luka baru.
Lea menghela nafas panjang sambil menutup mata, berusaha menahan sakit di hatinya hingga dia lupa pada luka di tangannya akibat terkena pecahan piring tersebut.
Malam hari,
Raul datang bersama dengan tiga orang temannya.
Satu pria dan dia wanita.
Salah satu wanita tersebut adalah kekasih Raul, sementara dua lainnya juga memang sepasang kekasih.
Beberapa botol bir telah di persiapkan di meja, dan berbagai macam snack serta makanan ringan yang akan mereka jadikan teman bercengkerama.
"Lea, Lea " teriak Raul memanggil istrinya.
Gadis berkerudung itu berjalan mendekat,
"Ambilkan tissue dan gelas !" bentak Raul.
Lea mengangguk dan segera melakukan perintah suaminya.
"Itu istri kamu?" tanya temannya yang dengar kabar Raul sudah menikah.
"Bukan, dia itu pembantu!" jawab Raul ketus dan keras hingga terdengar di gendang telinga Lea.
Tak mau menghiraukan ucapan Raul yang hanya mengganggu kesabaran, Lea segera mengambil tissue dan gelas sesuai perintah suaminya dan membawanya ke ruang tamu tempat mereka bercengkerama.
Dan deeggghhh,
Jantung Lea hampir copot ketika dia melihat suaminya sedang bercumbu dengan kekasihnya di sofa. Kedua pasang kekasih itu sama sama sedang beradegan panas.
Tubuh Lea mematung, darahnya membeku, dan kakinya berat untuk melangkah.
Apalagi ketika dia di suguhkan pemandangan ketika bibir suaminya sudah mulai menyesap puncak gunung milik sang kekasih yang sudah telanja-ng dada.
Bruuukkkh,
Keempat insan yang tengah beradegan panas itu menoleh ke asal suara,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!