Brak !!
Pintu sebuah ruangan di perusahaan yang dikenal dengan nama PT Kondominium Bergigi Tajam, atau yang biasa di singkat PT KBT, di buka paksa seorang wanita paruh baya.
Wanita itu terlihat melangkah masuk menghampiri seorang pria tampan nan menawan, yang sudah fokus menatap laptop di meja kerjanya.
Tolip. Laki laki yang menjadi sekretaris CEO PT Kondominium Bergigi Tajam, langsung menundukkan kepalanya dan hendak bergegas keluar dari ruangan presiden, begitu wanita paruh baya itu sudah sampai di hadapannya. Namun, wanita itu memberikan kode agar dia tetap berada di tempatnya.
"Tio !!." Ketus Wanita paruh baya yang ternyata namanya adalah Kanjeng Mami Nurul Mukmi. Panggil saja Nurmi. Bukan Mumi ya. Jauh..
Sayangnya, pria yang bernama Tio. Lengkap Tionaldo Farenhet. CEO PT Kondominium Bergigi Tajam itu, terlalu fokus pada pekerjaannya sehingga telinganya sedikit konslet dan tidak mendengar namanya dipanggil oleh Kanjeng Mami.
"Woy, anak kecebong!"
"Kuda lumping kejebur kali." (Baca nya dengan kecepatan super yaa)
Nenek peot datang lagi..
"Jangan mengumpat perkedel kentang. Aku ini Ibu kamu, Ibu yang sudah melahirkan kamu. Apa kamu tahu jika Ibu ini sudah mengadu kamu selama 9 bulan. Belum lagi, kamu yang selalu membuat Ibu mual muntah dan kesemutan. Sekarang, jangan seenak dengkulmu."
Tolip hanya bisa menahan tawa, walaupun sejujurnya dia ingin tertawa sambil berguling-guling di lantai.
"Woy Mbokani."
"Eh, kamu itu sebenarnya anaknya siapa? anak Kanjeng Mami Nurul Mukmi atau Mbokani?"
Tio menggaruk-garuk kepalanya, sambil menatap Tolip sebelum akhirnya mereka membuka percakapan melalui telepati pikiran.
Heh Tolip, ini si nenek gayung kenapa datang ke sini?
Tuan muda, tunjukkan sedikit rasa sopan anda. Nyonya Besar itu adalah Ibu anda.
Baiklah, baik. Ada apa Mami datang?
Aku juga tidak tahu Tuan muda.
Hadeh. Tol, Tol. Kamu itu tahu nya apa.
Melihat Tio dan Tolip saling berpandangan serta memasang mimik wajah yang mencurigakan, membuat Kanjeng Mami menjadi emosi.
BRAK !!
"Tuyul botak." Ucap Tolip secara spontan.
"Katak ngocok." Ucap Tio.
"Kalian itu ngapain?" Ketus Nurmi.
"Gak lagi ngapa-ngapain kok." Ucap Tio.
"Njeh Ibu negara. Kami tidak sedang berbuat apa apa. Hanya mengetes kemampuan apakah mata kami bisa mengirimkan sinyal otomatis." Ucap Tolip sambil menundukkan kepalanya.
Pandangan Kanjeng Mami lalu beralih menatap Tio yang kembali fokus pada laptopnya.
Brak !!
Nurmi menutup paksa laptop yang ada di hadapan putranya.
"Mami, ini laptopnya limited edition. Aku belinya di bengkel stamina. Kalau rusak gimana?"
"Tio, Mami ke sini ingin berbicara serius kepada kamu."
"Mode serius di mulai, tok tok pyar..." Lirih Tio.
"Aduh... aduh, aduh..."
Nurmi yang merasa kesal dengan tingkah laku Tio langsung menjawab telinganya.
"Nasib nasib, kalau kayak gini terus aku merasa menjadi anak tiri." Lirih nya lagi.
"Sontoloyo. Mau kamu apa?"
Tio menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum pandangannya menatap Tolip.
"Sontoloyo siapa?" Tanya Tio pada Tolip.
"Aku tidak tahu."
"Mami, tidak ada yang namanya sontoloyo di sini." Ketus Tio.
"Ya Tuhan, berikanlah hamba kesabaran menghadapi anak hamba yang seperti kurang stamina ini." Pekik Nurmi.
"Tio, Mama itu bicara sama kamu bukan bicara sama sontoloyo kenapa kamu mencari sontoloyo?"
"Lah, kan tadi Mami sendiri yang bilang sontoloyo."
"Itu maksudnya kamu, kecebong sawah."
"Ada ya kecebong sawah?" Kekeh Tio.
Brak !!
Nurmi sekali lagi menggebrak meja.
"Mami, sebenarnya mau Mami itu apa sih. Datang datang banting pintu, kan kasihan itunya kalau kesakitan. Terus banting laptop. Sekarang meja. Mau mami apa?"
"Yang seharusnya bertanya seperti itu adalah mami. Mau kamu apa?"
"Ngocok." Lirih Tio.
"APA?!!"
"Ngopi Mami, ngopi."
Dasar bos sengong. Suruh siapa betah jadi jomblo, jadi berkarat kan gak pernah di kocok.
Heh Lintah betina. Jangan mengumpat, aku denger.
"Tio."
"Yes mam?"
"Mau kamu apa?"
Lah, kan tadi aku udah bilang kalau aku maunya ngocok. Tanya terus.
"Ehem.." Suara Tolip menyadarkan Tio.
"Mami, bisa diperjelas nggak maksud dari pertanyaan Mami itu apa?"
"Tio. Kamu udah umur berapa?" Tanya Nurmi sambil menghela nafas panjang dan mencoba untuk mengumpulkan segala bentuk artikel kesabaran.
"20 tahun."
"20 batokmu nunung. Heh perjaka tua, kamu itu udah umur 30 tahun. Sudah waktunya kamu itu mengarungi bahtera rumah tangga seperti yang sudah dilakukan oleh kedua kakak mu."
"Mami. Wajar dong kalau kak Mila dan Kak Nina udah menikah. Mereka kan wanita, seorang wanita tidak harus mencari pekerjaan. Karena pada dasarnya seorang wanita harus tetap menjadi anggun dan membiarkan para lelaki yang mencari uang."
"Iya Mami tahu, Tapi kan kamu juga harus memiliki seorang wanita."
"Gampang. Wanita doang kan?"
"Tio."
"Mami, nanti Tio akan bawain Mami wanita. Mami mau yang seperti apa?, bahenol? ginuk ginuk?"
"Astaga Tio. Pokoknya Mami gak mau tahu, kalau dalam waktu 3 bulan kamu tidak membawa calon menantu Mami datang ke rumah. Kamu harus menikah dengan Maemunah."
"Anak temen Mami yang dari ndeso itu?" Ucap Tio terkejut.
"Iya. Kenapa?"
"Yo gak mau aku."
"Kamu gak mau sama wanita?" Tanya Nurmi.
"Pfff..." Tolip berusaha menahan tawanya agar tidak bersuara.
"Maksudnya Tio gak mau sama wanita ndeso Mami."
"Loh, kenapa? walaupun wanita desa tapi kan tetap wanita juga?"
"Ogak. Tio alergi."
"Terus mau kamu apa?"
"Ya, wanita kota. Masak iya, Tio yang gantengnya sampai menembus langit ke-4 ini disandingkan dengan wanita desa. Ya gak cocok Mami."
"Sama aja, justru wanita desa itu cenderung lebih setia dan lebih penyayang kepada suaminya nanti."
"Mami, wanita desa itu pastilah kucel, deki, enggak bisa dandan. Mereka pasti ketinggalan jaman."
"Beda sama Maemunah. Dia anaknya cantik, baik, kulitnya putih, wajahnya Ayu, rambutnya panjang. Pokoknya cocok kalau jadi menantunya mami." Ucap Nurmi sambil tersenyum jika mengingat pertemuan terakhirnya dengan Maemunah.
"Ya kenapa nggak Mami saja yang kawin dengan Maemunah."
"Dasar semprol. Tomat makan tomat, ya gak bisa." Ketus Mami.
"Pokoknya mami kasih kamu waktu 3 bulan untuk membawa calon menantu Mami datang ke rumah. Kalau tidak, Mami dan Papi akan menikahkan kamu dengan Maemunah."
"Tunggu, kok Papi juga?"
"Iya dong, karena Papi juga terpesona dengan Maemunah."
Tring ....
Ponsel Kanjeng Mami berdering...
Nurmi membaca pesan itu dan terlihat senyuman menghiasi wajahnya.
"Mami dapat pesan dari siapa?" Tanya Tio kepo dengan wajah maminya yang awalnya memasang muka serius, sekarang menjadi lemah lembut.
"Kepo aja jadi anak."
"Dasar bucin." pekik Tio saat dirinya mengintip ponsel Nurmi.
"Mami sumpahin kamu kena virus bucin akut." Ucap Nurmi sambil tersenyum memandangi ponselnya dan keluar dari ruangan Tio.
"Lah dia balik, datang sendiri, pulang gak pamit. Udah kayak jelangkung." kekeh Tio.
"Tuan muda, apa yang membuat nyonya besar tiba-tiba langsung tersenyum dan berseri seri?" Tanya Tolip yang juga merasa kepo.
"Hmmm, Tio mengucapkan mata dan mencoba untuk mengingat beberapa kata yang berhasil direkam dalam memori ingatannya."
"Mama, ayo ngocok."
Eh..
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Tio yang merasa penasaran, langsung memutuskan untuk pulang dan membuntuti Mami Nurul.
"Bos mau kemana?, kita akan melakukan meeting setelah makan siang nanti." Ucap Tolip.
"Batalkan saja."
"Edalah. Kenapa?" Tanya Tolip lagi.
"Aku harus menjadi detektif untuk menyelidiki sesuatu yang sangat intim." Pekik Tio sambil keluar dari ruangannya setelah dia memakai jas.
Tio segera memasuki lift dan berharap sang Mami masih berada di kawasan kantor, ada dia bisa mengetahui kemana Maminya akan pergi.
Beruntung sekali, saat Tio tiba di lantai dasar. Dia melihat sang Mami baru saja memasuki mobil. Dengan cepat, Tio langsung menuju mobilnya dan mengikuti mobil kami.
"Mami mau ke mana ya?, bukankah ini bukan jalan menuju mansion?" Tanya Tio saat dia mengikuti mobil maminya yang tidak berada di jalan menuju rumah.
Tio terus mengikuti mobil Mami dengan jarak aman, sehingga sang Mami tidak mengetahui jika sebenarnya Tio sedang membuntutinya.
"Mami ngapain ke perkebunan Jeruk?" Pekik Tio saat melihat mobil Mami nya berhenti di perkebunan jeruk milik keluarga.
"Apa Mami dan Papi akan mengocok di sini?" Pekik Tio.
Tanpa pikir panjang lagi dan karena rasa penasaran yang sangat tinggi. Tio ikut memarkirkan mobilnya dan langsung berjalan untuk mengejar Nurul.
Sialnya, saat Tio baru saja memasuki ruangan. Tio kehilangan Mami.
Tio berjalan naik ke lantai atas dan menuju balkon untuk melihat Mami nya dari atas.
Tio tidak menemukan Mami diantara tumbuhan pohon jeruk.
"Mami pergi ke mana ya? cepet banget hilangnya."
Tio akhirnya berjalan dan memutuskan untuk kembali setelah beberapa kali ponselnya berdering. Panggilan dari Tolip.
"Halo?" Tio memutuskan untuk mengangkat panggilan dari Tolip karena merasa bahwa ponselnya cukup mengganggu dengan berdering terus menerus.
Tolip kemudian memperingatkan Tio bahwa dia sudah memundurkan meeting selama 2 jam. Jadi, Tio harus kembali ke kantor dalam waktu 2 jam.
"Baiklah, Aku akan kembali dalam waktu 1 jam." Pekik Tio.
Tio yang hendak melangkah untuk keluar dari sana, tiba-tiba merinding karena mendengar suara yang sangat merdu.
"Pelan pelan, Pa."
"Iya, iya.. Mami bantuin buka dong."
"Ih Papi, Mami kan udah basah. Gak bisa nahan lagi."
"Ya udah, kita berusaha buka bareng aja."
Sesuatu milik Tio tiba-tiba terbangun.
"Gila orang tua zaman sekarang kalau main suaranya nggak bisa dikondisikan." Pekik Tio.
"Lah, elu kenapa juga bangun perkedel tahu." Ucap Tio sambil melihat ke arah bawah.
"Yaelah, gue bangun itu tandanya lu normal. Wajar kan, gue bangun karena mendengar suara yang menggugah selera itu."
"Hais, suara semacam itu tidak akan membangkitkan seleraku." Ucap Tio lagi.
Tio memutuskan untuk keluar dari sana Namun, baru satu langkah Tio melangkahkan kakinya. Dia bergegas lari dan mencari asal suara itu.
Tio menempelkan telinganya pada pintu yang berada tidak jauh dari ruangan dapur.
"Ah, Papi..."
"Apa Mami sayang?"
"Mami udah basah. Kocok sekarang aja."
"Sebentar Mami, tinggal dikit lagi."
"Ah Papi, moncrot ke Mami lo. Papi jorok. Udah di bilang jangan ngocok sendiri."
Deg !!!
Tio menjauhkan diri dari pintu, dan melihat ke bawah. Dimana, si Paijo seperti mendesak ingin keluar dari sangkar.
"Tahan. Udahlah Paijo, kita balik aja. Orang tua gak akan akhlaq."
Seperti sebelumnya, saat dia sudah melangkahkan kaki untuk pergi dari sana. Tio kembali menempelkan telinganya pada pintu.
"Udah ma, Papi masukin ya?"
"Iya Pi, kan dari tadi Mami juga minta dimasukin. Mami udah gak tahan."
"Ya udah, bentar."
"Cepet Papi..."
"Iya iya, eh.. mati mami"
"Apanya mati?"
"Ini..."
"Duh, Papi ini gimana sih. Tadi semangat ngajakin ngocok. Sekarang..."
Diluar sana, Tio tertawa karena mengira yang mati adalah pusaka keramat milik Papi nya.
"Yah, terus gimana dong, Mami?"
"Ya udah, di kocok manual aja."
"Maaf ya."
"Iya, ya udah ayo cepat di kocok."
"Iya..."
Hening...
Tio mulai kebingungan karena dia tidak dapat mendengar suara dari kedua orang tuanya.
"Hmm, enak ya Pi.."
"Ya jelas enak, siapa yang ngocok."
"Lagi papi..."
"Boleh, mau kecepatan super apa luar biasa."
"Luar biasa."
"Okeh..."
"Huh hah..."
"Uh yea..."
"Huh, hah.."
"Uh, yeah..."
Tio tidak tahan lagi, dia merasa telinganya ternodai dengan suara-suara yang dikeluarkan oleh orang tuanya.
Brak !!!
"Tuyul sableng..." Ucap Papi
"Monyet eh monyet.." Ucap Mami.
"Heh anak tuyul." Ketus Nuril. Suami Nurul, yang juga bapak dari Tio.
"Apa bapak Tuyul?"
"Dasar bocah gemblung. ini kamu yang ngatain bapakmu ini sebagai bapak tuyul?"
"Lah, tadi Papi manggil aku anak tuyul. Terus Papi siapa kalau bukan bapak tuyul. Kan Tio anaknya Papi."
"Oh iya ya. Ya wes."
"Bocah perkedel."
"Iya bapak perkedel?"
"Loh, sekarang kau juga nanti jadi bapak perkedel?"
"Lah, tapi tadi menyebut aku sebagai bocah perkedel. Bocah perkedel tidak akan ada, kalau tidak ada bapak perkedel."
"Kalau gitu, bocah...,"
"Halah, anak sama bapak sama-sama gemblung. Tio, kamu ngapain pakai acara dongkrak pintu segala? nggak sopan banget kamu jadi anak." Ketus Mami.
"Ya, ngapain Mami sama papi ngeluarin suara seolah-olah kalian sedang ber ehem-ehem?"
"Ehem ehem apa?" Tanya Mama.
"Ehem ehem, tadi itu kan Mami sama papi ngeluarin suara kayak orang kepedesan. Huh hah, huh hah. Terus tadi apa yang pakai moncrot-moncrot segala?"
Mami dan Papi saling berpandangan. Lalu pandangan Tio fokus pada kedua orang tuanya yang masih berpakaian lengkap.
"Ini kalian kenapa masih lengkap pakaiannya?"
"Hoy anak dugong. Kamu berharap kamu telanjang begitu?"
"Ya, kalian kan lagi senam aerobik. Tadi yang basah-basah itu apa?"
"Jeruk." Ucap Mama.
"Yang moncrot?"
"Jeruk juga?"
"Yang di kocok?"
"Jeruk versus buah naga."
Nuril yang mengerti arah dari pertanyaan yang dilontarkan Tio, langsung berjalan menghampiri Tio dan memukul kepalanya menggunakan tongkat kecil.
Pletak !!!
"Bocah mesum. Kamu pikir kami sedang mengocok apa?" Ketus Nuril.
"Ngocok telur sampai keluar mayonaise." Ucap Tio sambil berlalu pergi.
"Bocah sableng!"
Wing....
Beberapa sandal dan barang-barang lainnya meluncur bersamaan dengan perginya Tio.
"Haduh, punya anak laki laki kok eror nya minta ampun." Pekik Nuril setelah Tio pergi.
"Mami kenapa?" Tanya Nuril saat istrinya terlihat senyum sendiri sambil mengedipkan mata dan berlenggak-lenggok seperti cacing kepanasan.
"Ngomong-ngomong soal ngocok, gimana kalau...." Nuril mengedip-ngedipkan matanya.
"Mami kelilipan?"
"Bukan, tapi mata berkedip ini kode untuk Papi."
"Kode apa?. Mami mau ngocok lagi?"
"Iya, kok Papi tahu sih."
"Ya jelas tahu lah, aku ini kan suami terbaik di dunia."
Nurul terlihat tersenyum dan langsung memejamkan mata sambil memojokkan bibirnya, menunggu sebuah bibir lagi yang akan ditabrakkan pada bibirnya.
Nuril yang baru saja selesai memasukkan jeruk dan buah naga pada alat kocok manual, tentu saja heran melihat istrinya yang memejamkan mata sambil memonyongkan bibirnya.
"Loh, Mami kenapa mulutnya kayak pantaat bebek?"
"Emm... mmmm."
"Katanya mau ngocok?"
"Mmm...mmm.." Ucap Nurul sambil menggerak-gerakan tangannya, gerakan empat jari sebagai kode bahwa apa yang ada di depannya untuk segera dekat dengan dirinya.
"Nih.., selamat menikmati ngocok jusnya. Papi laper, mau ke dapur ambil makanan."
Jeng....
Jeng...
Jeng...
"PAPI !!!"
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
"Astaga, ternyata sebenarnya yang konslet bukan kedua orang tuaku. Tapi otakku." Pekik Tio saat dia dalam perjalanan menuju kantor.
"Ah, ini semua gara-gara pesan yang dikirimkan Papi untuk Mami."
"Seharusnya tapi itu mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa dia mengajak Mami untuk membuat jus. Kenapa coba bahasanya harus mengocok. Kan pikiranku jadi jorok." Ketus Tio
"Halah, bilang aja kalau sebenarnya kamu juga mau dikocok."
"Heh Paijo. lebih baik kamu diam deh nggak usah ikut campur urusan orang dewasa. Kamu itu masih kecil."
"Dih, kecil-kecil seperti ini tapi aku senjata pamungkas kamu lho. Sayang, nggak pernah diasah sehingga tidak bisa merasakan donat dengan taburan meses di atasnya."
"Ya sabar dong, nanti aku carikan donat original."
"Original itu yang kayak apa?"
"Yang gundul, hahaha. Wkakaa. hoho... uhuk.. uhuk..." Tio ketawa hingga dia terbatuk-batuk.
"Hah, kata kocok sudah benar-benar menghancurkan hatiku." pekik Tio.
Tio melihat ke bawah dan memastikan bahwa si Paijo sudah dalam mode tidur. Tio lalu turun dari mobil dan langsung berjalan menuju ruangannya.
Di sana, dia melihat Tolip sedang menikmati makan siangnya. Tanpa bikin panjang lagi Tio langsung merampas makanan itu dan memakannya hingga habis.
Tolip melongo mau melihat itu.
Untung bos, kalau bukan udah aku kuliti.
"Jangan mengumpat, aku mendengarnya." Ucap Tio.
"Si.. apa yang mengumpat." Pekik Tolip.
"Kamu."
"Enggak. Ohya bos, Kalau boleh tahu tadi Bos sedang melakukan misi apa?"
"Misi tentang kocokan yang gagal."
"Ngocok apa bos?"
"Ngocok jamu perkedel kentang."
...----------------...
Keesokan harinya...
"Tolip, bisakah untuk sekali saja kamu tidak mengajak aku blusukan ke desa?"
"Ya, mau bagaimana lagi bos. Perusahaan ini memang harus saling blusukan ke desa agar keuntungan kita terus bertambah."
"Kamu tahu kan, di desa itu pemandangannya sangat berbanding terbalik dengan di kota. Bagaimana bisa aku menemukan jodoh untuk mengasah Paijo jika kamu terus saja mengajak aku untuk blusukan ke desa."
"Bos, memangnya apa hubungannya pemandangan di desa dengan Paijo?"
"Tolip Tolip, udang saja punya otak masa kamu nggak ada otak. Di kota itu, akan mendapatkan penyegaran setiap kita berjalan di trotoar."
"Maksudnya?" Pikiran Tolip setuju pada aktivitas orang yang berlalu lalang.
Sementara yang ada dalam pikiran Tio adalah seorang wanita yang berjalan dengan menggunakan hotpants dan tantop.
"Tolip, di desa itu nggak ada wanita yang berpakaian seksi, rata-rata mereka itu bertumbuh ramping semua. Sungguh tidak bisa dijadikan sebagai penyegaran untuk si Paijo."
"Sudah, bos tenang saja. Desa yang akan kita datangi kali ini itu beda. Cewek nya cantik cantik. Bohay Bohay."
"Hmmm..."
"Sudah percaya sama Tolip. Wong itu kampung halaman Tolip."
"Sak karepmu wes."
Malam harinya, mereka langsung terbang untuk menuju ke salah satu desa di kota L.
Tolip sudah membangun rumahnya menjadi lebih baik, jadi saat Tio akan blusukan ke kampung halamannya. Tio tidak perlu menyewa hotel karena rata-rata hotel yang berada di desa jaraknya cukup jauh.
"Ini rumah saya Tuan bos." Ucap Tolip ketika mereka sudah sampai di rumahnya.
"Hmm, lumayan juga. Baguslah, nggak siap-siap kamu kerja sama aku. Kamu jadi bisa bikin rumah kamu yang reot peot itu jadi bagus kayak gini."
"Bos istirahat saja dulu. Besok tak ajak keliling."
"Hmmm.."
Tio hanya berdehem, kemudian berjalan menuju kamar tempat di mana dia akan beristirahat.
Sungguh, desa adalah tempat yang paling tidak disukai Tio. Karena dia tidak bisa melihat gadis cantik dan juga seksi.
Pagi harinya...
Tolip mencari keberadaan Tio dan dia melihat Tio sedang melakukan olahraga di balkon rumahnya.
"Bos, ayo ikut aku."
"Kemana?"
"Penyegaran fisik."
"Males."
"Udah ayo, tak jamin bos bakal berselera."
Walaupun enggan, Tio akhirnya mengikuti langkah kaki
Tolip untuk keluar dari rumahnya dan sedikit berjalan-jalan.
"Sebenernya tujuan kamu ngajak aku ke sini tuh mau ngapain?" Tanya Tio saat mereka sudah tiba di jalanan utama desa itu.
"Sudah tunggu saja. sebentar lagi penyegaran buat si Paijo lewat. Aku yakin, Paijo akan merasa terlahir kembali setelah melihat ini."
"Melihat apa?"
"Melihat itu..."
Tolip menuju ke arah seorang wanita yang memakai kebaya sambil menggendong jamu, wanita berkulit putih dengan rambut disanggul itu terlihat berjalan sambil tersenyum dan berteriak..
"Jamu nya mas, mbak, mbok..."
"Jamu kocok nya.."
Suaranya yang merdu, membuat siapa saja yang mendengarnya langsung keluar dari rumah. Beberapa di antara mereka langsung meminta wanita itu untuk berhenti dan membeli jamu kocok miliknya.
"Cantik kan bos?" pekik Tolip.
"Sudah aku bilang, bos nggak akan rugi datang ke desa aku."
"Di sini, banyak primadona yang cantik. Kalau cuma mau cari yang bohay-bohai mah, di pinggiran kali banyak."
Maksudnya Tolip kerbau.
"Bos?"
Tolip menoleh ke arah samping dan dia terkejut karena tidak melihat tiup yang sebelumnya berada tepat di sampingnya.
"Loh, bos ku kemana?"
Tolip menepuk dahinya, saat dia melihat Tio sudah berada di dekat wanita penjual jamu kocok itu.
"Mas ini orang baru ya?" Tanya wanita penjual jamu kocok dengan senyuman.
"Iya, kok kamu tahu?"
"Iya, soalnya wanginya beda.."
"Kamu jualan apa?" Tanya Tio.
"Jamu kocok mas.."
"Pilihannya apa aja?"
"Pilihannya banyak, mas tinggal pilih mau jamu apa? terus mau di kocok sendiri apa di kocokin."
"Si kocokin boleh?"
"Ya boleh dong mas."
"Mau kocok di sini apa di rumah?"
"Loh, kamu penjual jamu plus plus ya?"
Pletak !!!
Penjual jamu kocok itu, langsung menyentil dahi Tio.
"Sembarangan. Wes, aku moh melayani kamu. Ini jamu nya. Di kocok sendiri aja."
Wanita itu segera pergi sambil kembali berteriak..
"Jamu kocoknya mas...."
"Yuhu..."
"Hei, mbak kocok. Apa sampean gak pernah pakek sandal?" Teriak Tio saat dia baru menyadari bahwa wanita itu tidak memakai sandal.
"Aku nggak suka pake alas kaki. Buat apa aku pakai alas kaki kalau bukan kamu alasanku melangkah lagi." Ucap wanita itu sambil tersenyum ke arah Tio.
Ahh...
Tio meleleh.
"Bos, bos tidak apa apa?"
"Tolip, bungkus satu yang seperti itu. Dimana kalau beli? aku mau."
Ooh, bos semprol.
Tio dan Tolip sudah ada di rumah, mereka sedang berada di meja makan dan bersiap untuk sarapan.
"Tolip, tadi kamu tahu nggak kalau aku baru saja di pletak oleh wanita penjual jamu kocok itu?"
"Ya itu salah bos sendiri."
"Kok kamu bisa nyalahin aku sih? dia itu nawarin aku jamunya mau dikocok di tempat atau di rumah, spontan saja aku tanya apakah dia penjual jamu plus-plus?"
"Maksudnya itu, kalau di kocok di rumah artinya jamu yang pos beli itu dibungkus."
"Oh, seperti itu." Ucap Tio.
"Iya. Ya sudah, kalau begitu silakan nikmati sarapannya lebih dulu." Ucap Tolip sambil bersiap untuk meninggalkan Tio.
"Iya, setelah itu kamu antar aku menemui penjual jamu itu ya."
"Kenapa?"
"Soalnya aku gak tahu cara ngocok nya." Ucap Tio sambil memperlihatkan satu botol berisi jamu.
Dieng...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!