Roman mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Hiruk pikuk kemacetan kota di pagi itu, tak cukup membuat pikirannya terganggu. Kayuh dan kayuh, sepeda itu melesat dengan cepat hingga Roman tak menyadari ada sebuah mobil yang berusaha mengambil jalannya.
(Brakkk...)
Bocah itu terpelanting cukup jauh hingga membentur tiang listrik. Mobil yang mengambil jalannya pun berhenti. Roman memperhatikan mobil itu dari kejauhan. Seorang pria dengan setelan jas mewah dan memakai kacamata hitam, keluar dari mobil tersebut seraya marah-marah. "Hei kau! Punya mata tidak!" kata pria itu.
Roman tak menghiraukan perkataannya. Ia tetap berusaha bangkit secara perlahan seraya menghampiri sepedanya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya terjatuh. Roman lalu membereskan dan memasukkan buku-bukunya yang berserakan ke dalam tas.
Dasar tak tau diri! Kau yang menabrak, kau juga yang marah! Roman membatin dalam hatinya.
Pria arogan itu memasuki mobilnya lalu tancap gas. Roman kemudian menoleh kearah mobil yang telah menyerempetnya tersebut. Sekilas ia menengok dari balik jendela mobil yang melesat itu, dan melihat seorang gadis yang duduk di bangku belakang mobil. Roman pun sontak tercengang setelah mendapati pakaian gadis itu, seragam dengannya.
Punggungku, sakit sekali, batin Roman.
Kesialan telah menyapanya. Roman tak mampu mengayuh sepedanya lagi, karena punggungnya tak sanggup menahan nyeri akibat benturan itu. Ia menenteng sepedanya, sambil membungkukkan badan menuju sekolah barunya.
Ini cuma sakit biasa! Aku tak boleh patah semangat! batin Roman.
Sesampainya di gerbang sekolah, semua mata pun tertuju padanya. Roman menjadi pusat perhatian seluruh siswa yang turut memasuki sekolah itu. Tidak sedikit pula siswa yang menertawainya.
Mereka merasa aneh dengan sikap Roman yang dengan polosnya menenteng sepeda, seraya membungkkuk. "Hei hei, liat tuh!" seru salah seorang siswi kelas dua kepada temannya sambil menatap Roman dari kejauhan.
"Wow! Kenapa dia jalannya bungkuk? Menenteng sepeda pula," sahut salah seorang siswi lainnya.
"Iya juga sih. Tapi, baru kali ini aku melihat ada murid yang membawa sepeda kesekolah ini," kata salah seorang siswi kelas dua kepada temannya seraya menahan tawa.
"Hmm. Coba lihat sepeda itu! Jelek sekali! Kendaraan macam apa itu? Harganya pun mungkin cuma seperempat dari harga sepatuku," ejek salah seorang siswi kelas dua lainnya dengan penuh kesombongan.
Roman hanya bergeming seraya menenteng sepedanya menuju tempat parkir. Ia tak menyadari, bila kehadirannya pun telah menarik perhatian semua siswa. Rasa sakit di punggung Roman seketika mereda. Ia kemudian bergegas menuju Aula sekolah.
Yang berlalu biarlah berlalu, batin Roman.
Setibanya di depan aula, Ia mengintip di balik jendela dan mendapati ratusan murid telah membentuk barisan. Disela keriuhan para murid itu, Roman memberanikan diri untuk memasuki gedung Aula, walaupun diselimuti rasa gugup.
Seluruh murid yang telah berbaris rapi itu, sontak bertepuk tangan setelah mendapati kehadiran Ibu kepala sekolah. "Terima kasih telah menghadiri acara penyambutan ini. Saya selalu Kepala Sekolah, dengan penuh rasa bahagia, menerima kalian sebagai murid baru di Sekolah Menengah Saint Luxury! Dan, sebagai penjelasan kalian tentang sekolah ini, Mari kita sambut, Ketua OSIS!"
Roman tak dapat mengelak saat dirinya ikut terhanyut dalam riuhnya suasana di Aula itu. Ia pun memberikan tepuk tangan yang paling keras diantara siswa yang lain, karena merasa kagum dengan penyambutan Ibu Kepala Sekolah.
Suara tepuk tangan yang meriah, mengiringi kemunculan seorang gadis yang menaiki panggung aula. Ia membenarkan posisi microphone dan memulai sambutannya sebagai ketua OSIS. "Ehem... Perkenalkan, Saya Frederica Geraldine, yang menjabat sebagai ketua OSIS di sekolah menengah Saint Luxury ini. Dengan penuh sukacita, saya menyambut baik kedatangan kalian. Terima kasih telah memilih sekolah ini sebagai tempat terakhir kalian sebelum menempuh tingkat universitas. Dan di sekolah menengah Saint Luxury ini, terdapat berbagai fasilitas yang diperuntukkan untuk siswa seperti, Perpustakaan, Ruang Lab Biologi ....
Kening mengkerut, alis meninggi, mata membuka lebar. Begitulah reaksi wajah Roman saat memfokuskan pandangannya pada gadis yang tengah berpidato di atas panggung itu. Ia tak dapat menahan rasa kesal setelah mendapati gadis yang telah menabraknya, rupanya seorang ketua OSIS.
"Sekian penjelasan dari saya. Jika ada kekurangan kata-kata, mohon dimaklumi. Selamat belajar dan terima kasih." kata ketua OSIS yang akrab disapa Rika oleh teman-teman sekelasnya. Rika pun menyudahi pidatonya seraya beranjak dari panggung aula.
Kemudian para siswa dengan segera membubarkan barisannya, menuju kelas masing-masing. Namun, meski telah merasakan keheningan, Roman tetap berdiri pada tempatnya. Ia lalu menutup kedua mata seraya menoleh ke arah langit-langit aula.
Sementara Rika yang belum beranjak dari aula, memperhatikan Roman dari kejauhan. Gadis cantik, berkulit putih dengan rambut hitam yang menjuntai hingga punggungnya itu, dengan segera menghampiri Roman yang sedang mematung di tengah Aula. "Kenapa masih disini?" tanya Rika seraya menyentuh pundak Roman.
"Tidak," -Roman menghelas nafasnya- "Aku hanya menikmati udara saja." Ia kemudian membuka kedua matanya secara perlahan. Roman pun sontak terpental sambil menjauhkan tubuhnya. Ia terkejut saat menoleh ke arah Rika yang menatapnya dengan tatapan kosong.
"Kenapa? Apa yang kau takutkan?" kata Rika seraya menghampiri Roman yang telah dipenuhi keringat dingin.
Roman kemudian berdiri sambil mengibaskan seragamnya dengan kedua tangan. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Rika seraya memandang tajam kedua mata yang sayu itu. "Terima kasih karena telah menyambutku dan menabrakku, wahai kakak kelas ketua OSIS," ucap Roman dengan nada sinis.
"Rika. Kau boleh memanggilku Rika," Rika tetap bergeming walau mendapati bibirnya, hanya berjarak beberapa senti dari bibir Roman.
"Baiklah, aku minta maaf karena telah menghalangi jalanmu," sindir Roman seraya menjauhkan wajahnya dan bergegas meninggalkan Rika.
Gadis itu tetap berdiri sambil menatap Roman yang telah mendekati pintu aula. Ia tak mampu berkata banyak, saat berhadapan dengan orang yang mengaku telah tertabrak olehnya itu.
Roman dengan tergesa-gesa melangkahkan kakinya menuju kelas. Ia merasa seperti telah dipermainkan oleh ketua OSIS itu. Jangankan untuk meminta maaf, tatapannya saja pun seperti orang yang merasa tak memiliki dosa.
Disela perjalanannya melewati lorong kelas yang sepi, Roman mendapati seorang siswa dengan penampilan seperti berandalan yang berusaha menghalangi jalannya dari kejauhan. "Hei kau! Mau kemana?" tanya berandalan itu kepada Roman dengan tatapan sinis.
"Aku mau ke kelas," jawab Roman seraya berjalan melewati berandalan itu. Roman yang hendak pergi pun terkejut saat berandalan itu meraih kerah bajunya. Ia kemudian mendapati kancing kerah bajunya terlepas karena genggaman orang itu.
" Hei! Tunjukan sopan santunmu kepada kakak kelas!" ketus berandalan tersebut dengan tatapan kesal diwajahnya.
"Lepas...kan!"
(Bugh...)
Roman seketika merasakan sesak yang amat perih setelah berandalan tersebut, melayangkan pukulan yang keras pada ulu hatinya.
Selepas melihat Roman yang jatuh tersungkur, berandalan itu pun tertawa terbahak-bahak dihadapannya. "Haha! Itulah akibatnya karena bersikap tidak hormat pada kakak kelas! cuih!" kata anak berandalan itu seraya menghempaskan ludahnya ke arah Roman lalu berlalu meninggalkannya.
"Duhh..., aku benar-benar hancur." keluh Roman sambil memegang perutnya.
Setelah merasakan benturan dibelakang, ia kini merasakan pukulan didepan. Roman berusaha bangkit walau terus menahan nyeri pada otot diafragmanya. Ia pun tetap mengikhlaskan segala perlakukan yang diterimanya sambil berjalan terhuyung-huyung menuju kelas.
~To be continued~
Roman terus berjuang melangkahkan kakinya. Meski menahan rasa sakit, ia tetap meneguhkan tekadnya untuk memasuki ruangan kelas. Seketika semua mata menaruh perhatian terhadap dirinya yang berjalan sempoyongan.
Ia menoleh kanan-kiri guna mencari tempat duduk yang kosong. Anak itu kemudian berjalan, menuju sebuah kursi yang terletak di bagian pojok kanan belakang ruangan kelas, setelah mendapati hanya kursi itu yang tidak bertuan.
Roman pun memperhatikan seorang siswi yang duduk termenung disebelahnya. Dengan penuh percaya diri, ia menyapa gadis tersebut seraya tersenyum. "Salam kenal, semoga kit—"
Ia terpaksa memotong ucapannya saat mendapati gadis imut, berkulit putih dengan rambut pendeknya itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Roman merasa gondok setelah menerima perlakuan dari siswi yang duduk bersebelahan dengannya tersebut.
Tidak apa-apa. Mungkin aku bukan kriteria seorang teman untuknya, batin Roman.
Roman sejenak merenung seraya menoleh ke arah luar jendela. Burung-burung pun terlihat harmonis dimatanya. Ia ingin sekali merasakan hal yang telah dilakukan burung-burung itu. Rasa sakit di perutnya semakin menggebu-gebu. "Selamat pagi semuanya!" sapa seorang guru setelah memasuki ruangan kelas.
Semua siswa yang hadir pun berdiri seraya membungkukkan badan. Mereka memberikan salam penghormatan kepada guru wanita itu. Roman yang sedari tadi termenung, tetap berada dalam posisi duduknya. "Hei, kau! Berdiri!" tegur seorang gadis yang duduk disebelahnya tadi.
Roman beranjak dari kursinya seraya berdiri. Meski harus menahan rasa sakit diperut, ia tetap membungkukkan badannya secara perlahan.
"Baiklah, terima kasih. Silahkan duduk!" kata Sang Guru yang turut mengambil posisi duduk di kursinya. Wanita tersebut kemudian merogoh saku tasnya. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas yang terdapat nama-nama siswa. Sebelum melakukan absensi, guru itu beranjak dari kursinya seraya memperkenalkan diri.
"Saya adalah Valerie Helsink, yang akan menjadi wali kelas kalian. Hari ini kita akan melakukan absensi," tutur Valerie dengan singkat dan lugas. Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Valerie dengan segera menyebut nama mereka secara berurutan. Hingga akhirnya, tiba pada giliran nama Roman untuk disebutkan olehnya.
"Roman Hillberg!" sorak Valerie. Seketika keriuhan pun terjadi setelah nama itu terlontarkan dari mulut Valerie. Mereka menjadi bertanya-tanya sosok seperti apakah dibalik pemilik nama yang sangat bagus itu.
"Roman?" kata salah seorang siswa laki-laki berkacamata yang duduk paling depan.
"Hillberg?" ujar seorang siswa laki-laki lainnya yang duduk ditengah.
"Roman Hillberg? seorang pangeran kah?" sambung salah seorang siswi.
"Namanya cukup bagus! Aku jadi penasaran dengannya. Mungkinkah seorang anak pejabat?" kata salah seorang siswi.
"Hmm... dilihat dari nama keluarganya, sepertinya dia, orang yang terpandang." ungkap salah seorang siswi lainnya.
Roman hanya terdiam seraya menunduk saat menyaksikan kehebohan mereka. Ia tetap cuek sambil mementingkan kondisi tubuhnya.
Dengan perut yang terbelenggu oleh tangan, Roman berdiri dan menyebutkan namanya secara lantang. "Roman Hillberg! Hadir!" ucap Roman dengan nada tegas.
Tidak ada satupun kepala yang tidak menoleh ke arah Roman. Mereka terkejut seraya menatap tajam ke arah dirinya.
Roman pun tak dapat menahan ribuan tetesan keringat dingin yang keluar dari pori-pori kulitnya itu. Ia menunduk karena telah terbelenggu rasa gugup. "Roman Hillberg. Hmm..., nama yang aneh." sindir seorang gadis berambut pendek yang duduk disebelahnya.
Sang guru kemudian melanjutkan kegiatan absensinya kepada seluruh murid yang belum tersebutkan namanya. "Valentine Helsink!" sorak guru wanita itu seraya menatap pada sebuah kertas absensi.
"Valentine Helsink! Hadir!" sahut Valentine yang telah berdiri dari kursinya. Ternyata oh ternyata, gadis yang duduk disebelah Roman itu adalah Valentine. Seketika Valentine memberikan tatapan sinis kepada Roman yang tidak pernah sekalipun mencari masalah dengannya.
Roman pun melirik pada Valentine yang telah menyinggung perasaannya. Ia menjadi terheran-heran kenapa gadis itu sangat dingin dan jutek terhadap dirinya.
Valentine Helsink? Valentine Helsink..., Helsink... Ah lupakan! Roman membatin dalam hatinya.
Mereka pun menyudahi kegiatan absensi yang diselenggarakan oleh Ibu Guru Valerie. Kegiatan belajar mengajar hari pertama pun telah dimulai.
Seluruh siswa di kelas itu, memamerkan rasa antusiasnya dalam mendengar perkataan Valerie yang menjelaskan segala materi pembelajaran. "Roman? Apa kau mendengarkan?" tegur Valerie setelah mendapati Roman menundukkan kepalanya.
Valentine menjadi geram melihat perlakuan Roman yang tidak sopan terhadap Valerie. Ia kemudian bangkit dari kursinya seraya menggebrak meja alih-alih menegur seorang lelaki yang sedang menahan rasa sakit di perutnya itu. "Hei, Kau! Jika merasa sok pintar, silahkan keluar!" bentak Valentine dengan nada keras dan tinggi.
Roman hanya bergeming. Ia tak mengindahkan teguran Valentine yang telah memasang raut wajah kesalnya itu. Hingga pada akhirnya, Roman kehilangan kesadaran akibat terlalu lama membiarkan rasa sakitnya.
"Brengsek!" berang Valentine. Darah seketika memuncak di otak Valentine. Ia yang telah termakan emosi pun menarik tangan Roman sekuat tenaga. Namun, Valentine sontak terkejut setelah mendapati Roman tersungkur, saat tangannya menerima tarikan yang kuat dari Valentine.
Valerie yang menyaksikannnya pun segera bergegas menghampiri mereka. "Valentine! Sudahi tindakanmu itu!" berang Valeri pada Valentine.
Valentine kemudian melepaskan tangan Roman dan membiarkannya terbaring lemah diatas lantai. Ia tak menyesali perbuatannya seraya menganggap Roman hanya tertidur dengan seenak jidatnya.
"Roman?... Roman!! Kalian anak laki-laki! Cepat gotong Roman menuju UKS!" seru Valerie setelah menyentuh dada Roman guna mendeteksi detak jantungnya.
Wanita cantik dengan rambut panjang serta poni di kedua sisi keningnya itu, menyaksikan tubuh Roman yang sudah lemah dengan wajah pucat pasi. Roman kemudian dibopong menuju Ruang UKS oleh beberapa murid laki-laki.
Valerie pun merasa khawatir dengan kondisi Roman. Selepas kembalinya beberapa murid dari UKS, Valerie menyudahi kegiatan belajar mengajarnya.
Rasa cemas seketika menyelimuti sekujur tubuh Valerie. Ia pun melangkahkan kedua kakinya ke arah luar kelas seraya berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang UKS. Aku tak membiarkan seorangpun dari muridku merasakan kesusahan. Ini adalah hari pertamaku mengajar. Aku harus membantunya! batin Valerie.
Valerie semakin mengencang laju kakinya. Cemas, khawatir dan apapun itu, telah menjadi sarapan paginya di hari itu. Setelah mendorong pintu ruang UKS, hatinya pun luluh lantak saat menyingkap tirai yang menutupi ranjang. Valerie mendapati Roman terbaring lemah tak berdaya.
......................
Bel seketika berbunyi. Menandakan waktu istirahat telah tiba. Seluruh siswa dan guru menikmati waktu mereka di kantin guna mengisi kekosongan perut. Kecuali, Valerie. Ia tetap setia dalam duduknya, menunggu Roman yang masih terbaring diatas ranjang ruang UKS.
(Brak...)
Valentine dengan rasa curiganya, mendobrak pintu ruang UKS. Ia kemudian menyingkap tirai dan mendapati Valerie tertidur seraya meletakkan kepalanya pada sisi ranjang. "Ini sudah kelewatan, Kak Valerie!" berang Valentine pada Valerie.
"V-valentine?" Valerie pun terkejut dengan kedatangan Valentine. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi setelah melihat wajah Valerie, telah di kuasai emosi yang membabi-buta.
Valentine kemudian menarik tangan Valerie dan membawanya menuju lapangan sekolah. "Valentine, tenangkan dirimu!" tegur Valerie.
"Tenangkan? Kakak harusnya mengerti dengan sikapku ini!"
"Aku mengerti Valentine, aku mengerti! Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian! Aku sudah muak!" Valentine seperti sedang kerasukan iblis.
Sedangkan Valerie tak kuasa menahan air matanya setelah melihat perubahan sikap Valentine.
Mereka pun menjadi pusat perhatian seluruh siswa-siswi. Ditengah lapangan itu, Valerie tetap berusaha menenangkan Valentine, demi menjaga ketentraman lingkungan sekolah.
"Valentine, aku mengerti perasaanmu. Tapi, tolong mengertilah keadaanku!" kata Valerie dengan raut wajah sedih.
"Aku selama ini selalu mengemis untuk mendapatkan perhatian dari—"
(Prak...)
Valentine menyentuh pipinya setelah mendapatkan tamparan keras dari tangan Valerie. Ia sontak meneteskan air mata karena mendapati perlakuan kasar dari Valerie yang sudah muak melihat tingkah laku adiknya itu.
Dengan menaruh rasa benci yang mendalam terhadap Valerie, Valentine pun berlari, meninggalkan bekas air mata yang jatuh dari pipinya.
~To be continued~
Roman membuka kedua matanya secara perlahan. Rasa sakit ditubuhnya pun menghilang seiring dengan kesadarannya. Roman kemudian bangkit dari tidurnya dan bergegas meninggalkan ruang UKS, menuju ruang kelas.
Sial! Di hari pertama sekolah malah sakit! batin Roman.
Perutnya seketika berbunyi. Rasa lapar kini menjalar di sekujur tubuh Roman. Ia lalu menoleh ke arah jam di ruangan kelas lain.
Roman mendapati waktu menunjukan pukul dua siang hari. Ia juga tak mendapati seorangpun di lingkungan sekolah. Sudah pulang kah? batinnya.
Roman berniat melangkahkan kakinya menuju loker siswa. Lemah dan lapar, itulah yang dirasakannya saat ini.
Selepas membuka pintu loker, ia mendapati Rika memperhatikannya. Gadis itu pun turut membuka pintu lokernya. "Ada apa?" tanya Roman sambil meraih tas dalam loker.
"Apa sepeda yang diluar sana itu milikmu?" Rika balik bertanya pada Roman yang telah mengenakan tasnya.
"Ya! Kenapa? Kau tidak suka dengan sepedaku?"
"Bodoh! Lihat sana! Sepedamu terbakar! Aku melihat seorang siswi menyiram bensin lalu menyalakan api ke sepeda itu," ujar Rika seraya mengarahkan tangannya ke arah luar.
"Hah! T-tidakk mungkin!" Roman bergegas menghampiri sepedanya yang terparkir di tempat parkir.
Rasa cemas dihatinya seketika meledak saat mendapati kendaraan roda duanya menghilang. Roman kemudian kembali ke ruang loker untuk mempertanyakan maksud Rika. "Rika!" ucap Roman dengan nada keras.
Namun yang didapatinya hanyalah keheningan. Rika telah pergi meninggalkan ruang loker. Roman menjadi panik tak tertolong. Ia kemudian melihat sebuah kertas yang tertempel pada pintu loker miliknya.
Sepedamu ada dibelakang gedung sekolah. Tepatnya, di bekas gudang peralatan olahraga. Cepat! Atau sepedamu akan hangus! Rika.
Begitulah isi dari kertas tersebut. Roman yang tak ingin putus asa pun mempercayai isi dari kertas itu. Ia kemudian bergegas melangkahkan kakinya memutari gedung sekolah.
Roman tetap berharap bila semua hanyalah ulah iseng dari Rika. Ia berusaha tenang melawan rasa cemas yang semakin menguasai pikirannya. Roman pun tiba didepan sebuah gedung yang merupakan bekas gudang peralatan olahraga.
Dimana? Dimana sepedaku? batin Roman.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, Ia menoleh kekanan dan kekiri. Tak ada sedikitpun asap yang muncul. Roman pun jadi kebingungan, dimanakah letak sepedanya itu. Ia kemudian terduduk dan bersandar pada dinding gedung.
Rika, apa kau sedang mempermainkanku? batin Roman.
Roman seketika menoleh kearah pintu gudang yang ada disampingnya. Perhatiannya pun tertuju pada secarik kertas yang menempel pada pintu tersebut.
Dengan rasa kesal, Roman beranjak dari tempatnya bersandar. Ia kemudian menarik kertas itu dan mendapati sebuah pesan yang tertulis didalamnya.
Jika kau ingin mengetahui keberadaan sepedamu, pergilah keatas gedung sekolah. Ada seseorang yang menjelaskannya. Rika.
"Rikaaa!!!" sorak Roman alih-alih tidak percaya dengan perbuatan Rika. Roman pun menyeka peluh dikeningnya. Ia mengatur nafasnya yang telah terhembus berantakan. Dengan tangan yang terkepal secara erat, Roman memantabkan diri untuk melangkahkan kaki, menuju atas gedung sekolah.
Ia mengingat kembali kenangannya akan sepeda yang sangat berharga, bagi dirinya itu. Roman pun meneteskan air matanya seketika, saat membayangkan sosok mendiang ayahnya.
Sepeda itu merupakan pemberian terakhir sang ayah, sebelum beliau meninggal karena kecelakaan. Aku tidak akan memaafkan seseorang yang telah merusak pemberian ayah! batin Roman.
Roman meneguhkan hatinya. Ia menghitung anak tangga yang dinaikinya satu persatu. Hingga tibalah Roman pada sebuah pintu yang menutupi area atas gedung sekolah.
Dengan berlandaskan rasa sayang yang kuat pada mendiang ayahnya, Roman membuka pintu itu secara perlahan. "Hei, Kau! Kemarilah!" himbau salah seorang siswa kelas dua yang telah menanti Roman ditengah area gedung.
"Paul. Ingat, Jangan sampai kelewatan!" tegur Rika kepada Paul yang menghimbau Roman dari kejauhan.
Roman pun mendapati tiga orang siswa termasuk Rika dan Valentine yang berdiri dibelakang seorang siswa lainnya. Seraya memandang tajam, ia pun menghampiri Paul yang tengah menantinya dengan wajah sinis. "Dimana sepedaku?" tanya Roman setelah mendaratkan kakinya dihadapan Paul.
Paul sontak meraih kerah baju Roman. Ia mencengkeramnya dengan kuat. Paul seperti sudah tak sabar ingin menghajar Roman.
Senyuman yang tipis dari wajahnya menandakan orang itu telah bersiap untuk mengintimidasi Roman. "Begitukah caramu bertanya pada senior?" tanya Paul seraya mengencangkan genggamannya pada kerah seragam Roman.
"Aku bertanya! Dimana letak sepedaku?" kata Roman dengan nada keras. Keadaan pun jadi berbalik.
Paul yang berniat memancing emosi Roman, malah emosinya yang seketika memuncak, setelah melihat sikap Roman. Dengan mata yang membelalak lebar, Paul melayangkan tinjunya.
(Bughhh...)
Rasa sakit untuk kesekian kalinya pun bertamu pada perut Roman. Ia sontak membungkukkan badan setelah menerima hantaman tinju yang amat keras dari Paul. "K-kembali ... kembalikan s-sepedaku," kata Roman dengan terbata-bata sambil menggenggam perutnya.
Paul belum merasa puas dengan tindakannya. Emosinya semakin terbakar saat melihat keteguhan Roman. Rasa penasaran pun telah menyuapi Paul untuk menguji seberapa kuat Roman, menghadapi intimidasi darinya. "Hanya karena sepeda usang itu, kau rela mengorbankan dirimu? Hah!!!"
(Bughhh... Bughhh... Bughhh... Bughhh...)
"Hentikan, Paul!" tegur Rika dari kejauhan setelah menyaksikan Paul terus-menerus memberikan pukulan kepada Roman.
"Biarkan! Itu akan membuatnya sadar, siapa dirinya!" sambung Valentine seraya melipat tangan di depan dadanya.
Paul seketika menghentikan aksinya. Ia melepaskan genggamannya pada kerah seragam Roman dan membiarkan anak itu jatuh tersungkur dihadapannya. "Cuih! Sekolah ini tak membutuhkan pecundang sepertimu! Kau lemah hanya karena sepeda usang!" bentak Paul pada Roman yang meringkuk kesakitan.
Ia bergegas meninggalkan Roman yang sudah lemah tak berdaya. Paul merasa puas setelah memberikan pelajaran pada anak itu.
Namun, setelah mendengar sindiran Paul, Roman dengan tegar menahan rasa sakitnya seraya bangkit dari keterpurukan. "Aku lemah bukan karena sepeda yang usang itu," kata Roman yang berusaha mendirikan tubuhnya.
Paul sontak tercengang, setelah mendengar perkataan Roman. Ia menoleh kearah Roman dan mendapati adik kelasnya itu berusaha bangkit, seraya menatap tajam ke arah dirinya.
Tak senang dengan kegigihannya, Paul lalu berbalik menuju Roman. "Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!" ucap Paul dengan penuh emosi.
Ia kembali mencengkeram kerah seragam Roman dengan kuat. Rasa iba nya telah mati saat mendapati darah yang menetes dari mulut Roman.
Paul kemudian melanjutkan intimidasinya pada adik kelasnya itu. "Berbicaralah sesukamu. Ayo, katakan! Ucapkan semua yang ada dalam pikiranmu!!" bentak Paul.
"Kau tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya bila, benda berhargamu telah dirusak orang," balas Roman seraya menunjukkan senyuman tipisnya.
"Hah? Lalu bagaimana rasanya bila tubuhmu dirusak olehku!" kata Paul yang bersiap melayangkan lututnya pada perut Roman.
(Bughhh... Bughhh... Bughhh... Bughhh...)
Ia semakin membabi-buta dalam menghujam perut Roman dengan hantaman lutut yang sangat keras. Berandalan itu berharap Roman akan menyerah, dan tak lagi mengatakan sesuatu yang dapat membuatnya kesal.
Paul seketika menghentikan hantaman lututnya. Ia mengangkat wajah Roman dan mendapati bibir adik kelasnya itu telah dipenuhi dengan darah.
Paul benar-benar melebihi Iblis. Ia pun melihat Roman yang tersenyum, seraya bersiap menggerakkan bibirnya. "Sepeda itu adalah pemberian terakhir dari ayahku," kata Roman.
(Bugh...)
Roman membiarkan tubuhnya menjadi sasaran pukulan Paul. "A-atas keberhasilanku m-mendapatkan beasiswa di sekolah i-ini," Ia melanjutkan perkataannya dengan terbata-bata.
(Bugh...)
Paul terus menerus memberikan pukulan pada Roman. Ia merasa kesal dengan keteguhan anak itu dalam menghadapi intimidasi darinya.
Semakin Roman meneruskan perkataannya, semakin semangat Paul mendaratkan tinjunya. "A-ayah bekerja k-keras untuk m-mendapatkan sepeda i-tu," tutur Roman dengan terbata-bata. Darah pun semakin membasahi mulut pemuda yang tak berdosa itu.
(Bugh...)
"D-demi memudahkanku u-untuk berangkat k-ke sekolah i-ini," Roman semakin terbata-bata dalam berkata. Walaupun terus menerus menahan sakit, Ia tetap menjelaskan tentang bagaimana sepeda itu menjadi sangat berharga untuknya.
(Bugh...)
Paul semakin terlena dengan kekejamannya. Ia tiada hentinya menghujamkan tinju ke perut Roman. "Hingga m-maut d-datang m-menjemput ayah," sambung Roman seraya menahan rasa sakit yang menyerang tubuhnya.
Berandalan itu telah kehilangan kontrol emosi. Sambil menunjukkan ekspresi kekesalannya, ia bersiap untuk memberikan serentetan pukulan mematikan pada perut Roman. "Kau layak untuk mati," katanya. Paul pun melayangkan pukulan terakhirnya.
(Bughhh... Bughhh... Bughhh... Bughh...)
Ia kemudian mengangkat kepala Roman untuk memastikan bila anak itu telah menyerah. Namun, Paul tercengang saat menyaksikan wajah Roman yang tetap tersenyum menyeringai, walau darah semakin banyak mengalir di mulutnya. "B-bukan k-karena harga s-s-sepedanya, T-t-tapi k-k-karena n-nilai k-k-kenangan ... nya," Roman pun akhirnya, menutup kedua matanya.
"Hentikan, Paul!!!" sorak Rika seraya bergegas menghampiri mereka. Paul melepaskan genggamnya dari kerah seragam Roman.
Ia lalu mengibaskan seragamnya dengan kedua tangan seraya bergegas meninggalkan adik kelas yang sudah tidak berdaya itu.
"Roman! Roman!!" Rika menggoyang-goyangkan tubuh Roman yang sudah tergeletak. Ia merasa menyesal karena sudah mempertemukan Roman dengan Paul. Alih-alih cemas, Rika pun bergegas mencari bantuan.
Sementara Valentine, hanya tercengang tanpa menyadari, air matanya menetes deras membasahi pipi. Ia mematung seraya menyaksikan tubuh Roman yang sudah tidak berdaya itu, dari kejauhan. "Ayo pergi! Biarkan anak itu sendirian!" seru Paul dari balik pintu.
Dengan penuh rasa penyesalan, Valentine menghampiri Roman. Ia kemudian merogoh sakunya dan mengambil sebuah sapu tangan.
Valentine pun semakin terisak dalam tangisnya, saat menyeka luka yang mengalir di mulut Roman. Ia seperti telah larut dalam penyesalannya. Air matanya pun terus menetes dan menetes, hingga membasahi pipi teman sekelasnya itu.
~To be continued~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!