Mandiri, sebagai seorang gadis yang baru menginjak usia dua puluh tahunan Zely dianggap begitu bebas dalam menggapai semua keinginannya. Pertama, masalah sekolah. Kedua, pergaulan. Dan Ketiga, tentang kuliah … lebih tepatnya ia bebas dalam memilih jalur pendidikan seperti apa yang ditempuh.
Semenjak usia sepuluh tahun Zely dirawat oleh tantenya yang merupakan adik dari papanya. Sebuah kecelakaan maut merenggut nyawa kedua orang tuanya, hingga semua kewajiban mereka tantenya yang mengambil alih.
Zely sudah satu tahun sudah bermukim di negara tetangga, sekarang kakinya kembali menginjak negara sendiri. Info dadakan dari tantenya membuat dirinya harus kembali secara tiba-tiba.
Duduk di sebuah kursi tunggu bandara, dengan satu gelas kopi yang ia pesan sebelumnya. Matanya mengantuk, setidaknya minuman ini bisa menahan rasa kantuk hingga sampai di rumah.
“Aduh,” keluhnya ketika seorang laki-laki tak sengaja menyenggol kakinya, hingga membuat minuman yang ada di pegangannya berguncang dan tumpah.
“Ya ampun.”
Laki-laki itu segera membersihkan tangan Zely yang terkena tumpahan kopi akibat sikap dia yang tak hati-hati ketika berjalan.
“Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja menyenggol,” ucapnya segera meminta maaf.
“Nggak apa-apa, Mas. Biar saya bersihkan sendiri,” balas Zely mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam tas nya. Ya, namanya juga manusia, kan … kadang tergesa-gesa mengejar sesuatu yang penting membuat lupa keadaan sekitar.
Laki-laki dengan kisaran usia berada di angka tiga puluh lima tahunan itu bergegas pergi dari sana, menjauh dari Zely tanpa kata.
Menghela napasnya panjang dengan sikap dia yang pergi begitu saja. “Setidaknya dia sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf,” gumamnya membuang kopi yang masih tersisa sedikit di dalam gelas yang ada di pegangannya pada sebuah tong sampah.
Selang beberapa menit, Zely malah dikagetkan oleh kedatangan laki-laki yang menyenggolnya tadi. Dia berdiri dihadapannya dengan satu gelas kopi yang disodorkan padanya.
“Ini, Mbak saya ganti kopinya. Tadi saya sudah bersalah, hingga membuat minuman Mbak sampai tumpah.”
Zely malah dibuat kikuk akan sikap laki-laki itu. Padahal tadi ia pikir kalau dia pergi begitu saja setelah meminta maaf, ternyata pergi untuk membeli kopi sebagai ganti karena merasa salah.
“Padahal saya nggak minta ganti rugi loh, Mas,” respon Zely. “Toh minuman saya tadi juga tinggal sedikit, tumpah pun juga nggak rugi-rugi banget lah.”
Tak menerima pemberian itu, tapi dia malah menyambar tangan Zely dan meletakkan gelas yang berisi minuman tersebut di dalam pegangannya.
“Anggap saja ini hadiah dari saya, Mbak. Hanya segelas kopi, tapi kalau Mbak menerimanya saya merasa kesalahan saya barusan benar-benar sudah dimaafkan,” terangnya dengan sedikit perasaan tak enak hati.
Zely tersenyum simpul, kemudian mengangguk.
“Baiklah, Mas. Terimakasih,” ucapnya.
“Silakan diminum, Mbak. Selagi masih hangat. Saya permisi,” pamitnya segera berlalu dari hadapan Zely.
Biasanya orang-orang kebanyakan pada nggak jelas dan lari dari sebuah kesalahan. Hanya saja kali ini pikirannya salah, karena tak semua orang punya sikap begitu. Anggaplah satu dari seratus orang di sekitarnya, masih masuk dalam golongan orang bertanggung jawab dan baik.
Zely menyenderkan punggungnya di kursi sambil menyeruput minuman itu perlahan. Yap, rasa yang sama persis dengan kopi miliknya tadi. Meskipun agak sedikit aneh di bagian rasa. Mungkin takarannya saja yang membuat sedikit rasa agak berbeda.
“Tante mana, sih … kok belum datang juga,” keluhnya.
Zely melirik waktu di jam yang ada di pergelangan tangannya. Tampak jarum pendek itu sudah berada di angka tiga, itu artinya sudah hampir satu jam ia di sini … hitungan saat pesawat mendarat.
Ia rogoh tas dan mengeluarkan sebuah ponsel dari sana. Dahinya sedikit berkerut ketika pandangannya terasa agak buram ketika menatap layar datar itu. Berpikir kalau ini efek rasa kantuk, tapi lama-kelamaan kenapa justru makin parah.
“Kepalaku kliyengan,” gumamnya menggetok-getok kepalanya dengan tangan, berharap segera pulih dari rasa tak nyaman itu.
Tadinya mau menelepon tantenya, tapi gara-gara rasa tak mengenakkan ini membuatnya tak jadi untuk menelepon. Menyenderkan kepalanya, dengan satu tangan yang masih memegang gelas berisi minuman kopi. Tak tahan, hingga gelas itu ia letakkan di kursi yang ada di sebelahnya.
Awalnya kliyengan, sekarang kepalanya justru rasanya malah sakit. Pandangannya juga sudah tak jelas.Tak butuh waktu lama, hingga semua penglihatan itu menghilang dan gelap.
Seperti baru berjalan jauh di padang pasir yang tandus. Rasanya capek bahkan tulang-belulangnya terasa mau rontok saking capeknya. Jangankan untuk bergerak, mau membuka mata saja begitu lelah.
Sebuah deringan ponsel seakan memecah semua rasa dan keheningan itu. Ia tadinya malas gerak dan malas untuk bangun, sekarang mau tak mau harus bangun. Menyambar benda yang mengganggu tidur nyamannya, kemudian tanpa melihat siapa si penelepon langsung saja ia jawab.
“Hallo,” sahutnya dengan malas.
“Zel, kamu di mana, sih?”
“Hmm, tante?” tanyanya menyadari kalau yang sedang bicara di telepon dengannya adalah tantenya sendiri.
“Lah iyalah ini tante. Kamu kira siapa lagi? Astaga! Sayang … ini tante udah nungguin kamu sekian jam di bandara dan sampai detik ini kamu belum muncul dihadapan tante. Kamu jadi pulang, kan? Nggak lagi berencana buat bohongin tante, kan?”
Dahi Zely sampai berkerut mendengar omelan tantenya yang tanpa jeda. Lebih tepatnya ia bingung, wanita paruh baya itu sedang membicarakan apa, sih? Matanya kini juga mulai melek.
“Bandara?” tanyanya bergumam.
“Jangan bilang kamu tiba-tiba amnesia, Zel.”
Pikirannya ia fokuskan pada semua perkataan tantenya yang asli bikin bingung, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Berada di sebuah ruangan yang terlihat seperti kamar dengan tirai jendela bahkan masih tertutup. Aroma mint sangat kental di sini, seperti parfum seorang pria.
“Bilang sama tante sekarang kamu di mana, Zely?”
Pertanyaan kembali tertuju pada Zely, tapi tak dijawab karena masih bingung dengan kondisi di sekitarnya. Ketika pandangannya mengedar, tiba-tiba sebuah lengan kokoh jatuh dan melingkar di badannya. Kaget, sampai membuatnya tak mampu berkata-kata. Matanya membola, saat pikiran buruk sudah memenuhi isi otaknya.
Sebuah lengan melingkar di badannya, itu artinya pasti ada pemiliknya, kan. Perlahan, mengarahkan pandangannya ke samping diiringi perasaan was-was dan dalam waktu sepersekian detik sebuah teriakan seketika memecah suasana senyap dan hening itu.
Kaget, shock … semua rasa yang buruk kini sedang bersarang di dirinya. Langsung duduk, tapi untuk kesekian kalinya ia harus merasa terpental. Dengan cepat menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya. Bagaimana tidak, pakaiannya sudah tak utuh lagi, semua tampak berserakan di lantai.
“Zely!”
Mendengar suara tantenya yang masih terhubung di telepon, langsung ia tutup panggilan itu dan menjauh dari sosok manusia dari kaum adam yang saat itu masih terlihat belum sepenuhnya menyadari semua ini. Hanya saja dia terbangun karena mendengar suara teriakan darinya barusan.
“Siapa kamu?!” Langsung bertanya mode ngegas. “Kamu ngapain di sini dan apa yang kamu lakukan padaku?!”
Memijit kepalanya yang terasa sakit, kemudian barulah pandangan mulai ia arahkan pada seorang wanita yang duduk dengan wajah penuh emosi menatapnya. Perlahan bangun dan menyenderkan punggungnya di sandaran tempat tidur.
Ia melirik ke sekitar, tampak pakaiannya berserakan di lantai. Yap, terbukti karena saat ini ia hanya mengenakan boxer doang. Sepertinya sebuah masalah akan muncul.
“Kamu dengar apa yang ku tanyakan, kan?!” Zely dengan sengaja menyambar bantal dan melempar pada dia.
“Aku nggak tahu,” jawabnya santai.
“What?!”
Masih berstatus sebagai seorang mahasiswi, itupun baru satu tahun. Selama di luaran sana ia hidup dan bebas bergaul, tapi kenapa justru malah berakhir sial di negeri sendiri.
Bebas, bukan berarti bebas dalam menjalin hubungan dengan seorang pria, ya. Tapi sekarang justru dirinya malah berakhir dalam satu kamar, satu tempat tidur dengan seorang pria. Mana kondisi keduanya dalam keadaan yang memalukan.
“Dasar! Laki-laki nggak benar! Kamu sudah lakukan apa padaku, hah?!”
Kalau kondisi pakaiannya masih lengkap pasti bakalan ia amuk laki-laki ini sepuasnya, tapi masalahnya sekarang justru kebalikannya.
Dia bersidekap dada, menatap fokus pada gadis yang tampak masih berusia belasan tahun.
“Jadi, menurutmu ini kesalahanku?”
“Tentu saja salahmu,” timpal Zely berapi-api. Makin kesal karena dia tampak begitu santai menanggapi kejadian ini. “Kamu pikir aku cewek jenis apaan yang dengan sengaja bikin kesalahan sejelek ini. Jangankan berniat, bahkan bermimpi seburuk inipun ogah!”
Menarik napasnya dalam, kemudian melihat ke sekeliling. Sebuah benda pipih ia sambar. Tersenyum sinis, mendapati kondisi ponselnya. Benar-benar terniat, sampai-sampai menonaktifkan ponselnya.
Bikin geram, itulah penilaian Zely pada dia yang masih dengan santainya bersikap di saat keduanya sedang dihadapkan pada sebuah masalah besar. Tak bisakah dia terlihat panik atau ikut heboh karena kejadian ini?
Hendak bangun beranjak dari posisi duduknya, tapi Zely malah menahan niat dia hingga kembali ke posisi semual.
“Diam di posisimu,” ujar Zely mengarahkan telunjuk pada dia.
“Kenapa?”
“Masih tanya kenapa?” Sampai gregetan rasanya. “Demi planet Neptunus, Uranus dan Pluto … harusnya kamu mikir pakaianmu! Udah bikin anak gadis orang sampai seperti ini, sekarang masih saja berniat untuk merusak pandangan mataku!”
Langsung menyingkap selimut yang masih menutupi pinggang hingga kakinya.
Zely menyambar bantal dan menutupi wajah dan pandangan matanya dari penglihatan yang menakutkan dan pasti bakalan bikin kaget.
“Kamu pikir aku telanjang?!”
Zely perlahan menyingkirkan bantal yang berada dihadapanya, melirik dan mengintip dia yang tengah berdiri. Lega, setidaknya masih ada benda yang menutupi bagian yang horor itu. Jangan sampai dirinya benar-benar dewasa sebelum waktunya. Tidak, lebih tepatnya jangan sampai ia melihat hal yang bukan jadi miliknya.
Zely masih duduk, bersandar di sandaran tempat tidur dengan selimut yang ia lilitkan ke seluruh badannya. Panas, bahkan ia merasa keringatnya bercucuran. Tapi, masa iya dirinya menyingkirkan selimut ini?
Fokus menghubungi seseorang di ponsel, tapi matanya beralih pada pakaian yang tergeletak di lantai. Menyambar benda itu dan melemparkan ke arah Zely. Kemudian berjalan menjauh ke arah dekat jendela, memberikan kesempatan pada Zely untuk mengenakan pakaiannya.
Awalnya cemas dan was-was, tapi saat ada waktu dan kesempatan Zely langsung kabur dan berlari cepat menuju kamar mandi. Mengenakan pakaian di dekat dia? Ayolah, itu namanya adalah bunuh diri dan mengantarkan nyawa pada seekor macan jantan.
Sampai di dalam kamar mandi, langsung mengunci pintu dari arah dalam. Menarik napasnya panjang, seakan masih tak percaya jika ini semua adalah hal yang baru saja ia alami. Tapi gimana nggak percaya, jika dirinya dalam kondisi sesadar ini.
Sebelum mengenakan pakaiannya, terlebih dahulu mengecek seluruh tubuhnya. Tak berharap ada jejak yang benar-benar dia tinggalkan. Dia cowok, dirinya cewek, yakali aman sentosa begitu saja. Sepertinya tak mungkin.
“Jangan sampai apa yang ku takutkan benar-benar terjadi,” gumamnya.
Baru juga berharap, tapi matanya dibuat membola saat melihat penampakan yang bikin otak akan memikirkan hal buruk. Tanda berwarna merah agak kebiru-biruan, tercetak jelas di lekukan lehernya. Bukan hanya satu, tapi beberapa. Bahkan bukan hanya di situ, tapi bahkan ada di bagian atas dadanya. Itu artinya dia sudah benar-benar melakukan sesuatu padanya.
Berteriak heboh saat semua penampakan itu makin memperburuk isi pikirannya.
“Aku nggak mau begini! Aku sekarang benar-benar kotor! Aku kotor!” Berteriak, lengkap dengan tangisan frustasi yang memenuhi seluruh ruangan.
Melempar semua benda yang ada di jangkauannya tangannya ke arah cermin. Tak ingin melihat tanda-tanda menjijikkan yang terpampang di badannya.
Suara ketukan pintu terdengar, tapi Zely tak berniat untuk merespon. Dia yang membuatnya sampai seperti ini, gara-gara dia dirinya merasa begitu kotor. Pasti tangan itu sudah menjamahi tubuhnya ketika dirinya tak sadar.
Menangis tersedu-sedu dan berdiri di bawah guyuran shower yang membasahi seluruh tubuhnya. Berharap semua jejak yang ada bisa hilang, tapi justru tak bisa. Bukan hanya jejak di tubuhnya, bahkan kejadian ini seakan menempel di dalam otaknya.
“Kamu sudah selesai? Buka pintunya.”
Pertanyaan diiringi suara ketukan pintu itu tak berhenti. Mungkin mendengar teriakan Zely dan mendengar cermin yang pecah menghantam lantai, membuat dia berpikiran buruk.
Satu jam lebih berada di bawah guyuran air, Zely perlahan bangkit dari posisi duduknya di lantai. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, seperti ada adegan baku hantam di dalam sana. Menyambar handuk yang tergantung dan mengelap badannya agar lebih kering.
Setelah mengenakan pakaiannya, Zely kembali menangis. Ayolah, siapapun gadisnya pasti akan merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan saat ini. Kalau orang tuanya masih ada, mereka pasti bakalan sedih. Seakan diri ini jadi seorang anak yang kotor dan tak berguna.
Menarik heandle pintu. Saat pintu terbuka, agak sedikit kaget karena langsung dihadapkan pada dia yang ternyata masih menunggu di depan pintu kamar mandi.
“Baik-baik saja, kan?”
Tak berpikir panjang lagi, Zely langsung melayangkan tamparan yang tepat mengenai pipi laki-laki itu. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya menampar seseorang. Bahkan tangannya ikut bergetar setelah melakukannya.
Wajah dia memerah karena tamparannya, tapi itu tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang sedang ia alami saat ini.
“Baik-baik saja, katamu?” Tersenyum sinis, tapi air mata yang jatuh dari pelupuk matanya membasahi pipi seakan tak mampu ia halangi. “Lihat.”
Dia mengarahkan pandangannya pada objek yang ditunjuk oleh Zely. Tertuju pada lekukan leher dia. Lebih tepatnya ada beberapa bekas kiss mark di sana. Tak hanya itu, dia menurunkan satu lengan bajunya hingga terlihat dada bagian atasnya. Ada beberapa bekas juga di sana.
“Kelakuanmu!”
“Kita dijebak,” responnya.
Haruskah dia pikir dirinya begitu bodoh, hingga beranggapan hal seserius ini adalah jebakan? Iya, jebakan yang sangat gila hingga membuat dirinya seakan tak berguna.
“Dijebak? Kamu pikir aku bodoh?!”
“Ku akui jika hal yang terjadi padamu memang aku yang lakukan,” ujarnya. “Tapi yang kita alami adalah jebakan. Ada yang membuat kita berdua berada di sini tanpa sadar. Dan tanpa sadar juga aku sudah melakukan hal yang …”
“Aku jijik mendengarnya!”
Zely langsung berlalu pergi dari hadapan dia dengan langkah cepat. Mengenakan sepatu dan menyambar sebuah travel bag miliknya yang ada di dekat pintu. Ingin rasanya melupakan hari yang buruk ini, tapi sepertinya begitu sulit. Apalagi dengan penampakan tanda yang ada di tubuhnya.
“Jangan pergi dulu. Kita selesaikan masalah ini dulu.”
Zely menghentikan langkahnya yang sudah mencapai pintu. Hanya sejenak berpikir, karena setelah itu ia memilih untuk tetap pergi.
Dia mengatakan untuk menyelesaikan masalah entah dengan cara apa. Harga dirinya benar-benar sudah jatuh, tentu saja itu tak mungkin. Rasanya jejak dia di tubuhnya tak akan bisa dibersihkan. Kini ia merasa dirinya benar-benar kotor.
Sampai di luar, baru ia sadari ternyata saat ini berada di sebuah hotel. Jebakan? Bahkan keduanya berada di sebuah kamar hotel. Apanya yang jebakan. Ini benar-benar sebuah niat buruk yang memang sudah direncanakan dari awal.
Mengeluarkan sebuah syal dari dalam tas, kemudian melilitkan benda itu di lehernya. Bukan karena dingin, tapi justru untuk menutupi bekas tanda yang ada di lekukan lehernya. Setelah itu barulah melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
Pulang ke rumah dengan menggunakan sebuah taksi. Selama perjalanan pun kondisi hatinya masih sama seperti sebelumnya. Sedih, tak tenang, dan kembali menangis kalau sudah kepikiran kejadian itu.
Ponselnya berdering, terlihat kalau yang kembali meneleponnya adalah Bella, tantenya. Ya, wanita itu pastilah cemas akan keadaannya. Harusnya ia sudah sampai di rumah dari sekian jam yang lalu, tapi sekarang malah belum menampakkan diri. Ditambah lagi dengan tadi telepon tantenya dengan sengaja ia tutup, pasti makin membuat beliau cemas.
“Hallo, Tante.”
“Zel, kamu di mana, sih, Nak? Tante khawatir sama kamu.”
“Ini aku udah di jalan mau pulang kok, Tan. Bentar lagi juga nyampe.”
“Beneran?”
“Iya, Tante.”
“Yasudah, kamu hati-hati, ya. Tante tunggu.”
Percakapan ditutup, kembali menghela napasnya yang terasa amat berat. Ini bukan lagi masalah sepele, tapi justru sangat besar. Bukan lagi menyangkut detik ini dan saat ini, tapi justru masa depannya sudah ikut rusak. Bagaimana dengan kuliahnya, bagaimana caranya menjelaskan pada tantenya nanti? Apa beliau akan percaya begitu saja dengan apa yang ia jelaskan? Padahal selama ini wanita itu adalah satu-satunya orang yang selalu menjadikan dirinya nomer satu perihal apapun juga, sekarang semua ia hancurkan dalam waktu kurang dari satu hari.
Beberapa saat perjalanan, akhirnya ia sampai di rumah. Taksi berhenti di dekat pagar, setelah membayar ia pun segera turun.
Seorang satpam membukakan pagar pembatas setinggi dua meter sebagai akses masuk area rumah. Masih dengan perasaan kacau, ia geret koper hingga sampai teras. Belum mengetuk pintu, seseorang sudah lebih dulu keluar dari sana.
“Ya ampun, Zely kamu kemana aja, sih? Tante khawatir, loh.”
Bella langsung bergegas menghampiri ponakannya itu. Sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa dari almarhum kakaknya, tentu saja rasa sayangnya pada gadis ini sudah seperti sayang pada anak sendiri. Di usianya yang sudah menginjak angka tiga puluh lima tahun, bahkan dirinya seakan mengabaikan hal pribadinya demi hanya fokus pada Zely.
Zely memaksakan senyuman di bibirnya, pun raut wajah yang ia buat senatural mungkin. Tak ingin jika Bella tahu apa yang sudah terjadi pada dirinya. Ya, mungkin untuk saat ini jangan dulu, tapi ia tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Alur seperti apa yang sudah dipersiapkan untuk dirinya di depan sana.
“Tante, aku baik-baik aja, kok. Tadi tuh aku kelamaan nungguin Tante jemput, nah pas tuh Jean nelepon aku. Yaudah, aku ikut dia karena lagi makan di luar sama Renata juga,” jelasnya.
Seorang asisten rumah tangga membantu untuk membawakan koper milik Zely menuju kamar. Sedangkan ia masuk dan berjalan sambil ngobrol dengan tantenya.
“Harusnya kamu kasih kabar sama Tante dong, Sayang. Ini tiba-tiba ngilang, nggak ada kabar. Dan lagi, tadi dengar suara yang aneh-aneh pas bicara di telepon. Malah kamu langsung tutup telepon lagi, gimana Tante nggak mikir buruk.”
Zely hanya bisa menanggapi semua perkataan tantenya dengan senyuman berat dan hambar. Ingin rasanya menjedotkan kepalanya ke dinding agar kejadian tadi bisa hilang dari ingatannya. Atau, sekalian juga amnesia nggak apa-apa. Bukan hanya kejadian, tapi wajah laki-laki itu saja seakan menempel di dalam memori ingatannya.
“Yang jelas sekarang kan aku udah nyampe rumah, Tan. Duh, rasanya capek banget. Pengin tiduran sepanjang hari aku.”
“Yah … padahal tante mau ngobrol sambil kangen-kangenan sama kamu, loh.” Bella menunjukkan rasa kecewanya.
“Besok kita ngobrol panjang sepanjang jalan kenangan deh, Tan. Aku benar-benar capek kali ini. Maklum aja, tadi habis perjalanan jauh, nyampe sini langsung jalan-jalan juga.” Terkekeh sebagai pemanis dan pemecah suasana tegang.
Bella mengangguk paham akan apa yang dikatakan Zely. Biasanya dia juga begitu kalau pulang. Nyampe sini malah memperbanyak tidur dan mendekam di dalam kamar.
“Yasudah, sekarang kamu istirahat, ya. Tapi jangan bablas tidurnya. Ntar malah sampai lupa makan lagi.”
“Iya, Tanteku tersayang.”
Jadilah, Zely melanjutkan langkahnya menuju lantai dua di mana posisi kamarnya berada. Di depan tantenya, harus terlihat baik-baik saja seakan tanpa masalah. Berlalu dari hadapan beliau, langsung memasang wajah dengan permasalahan yang berat. Kakinya bahkan terasa lemas saat menapaki satu-persatu anak tangga.
Sampai di dalam kamar, menanggalkan sepatunya. Langsung menghempaskan badannya di kasur, seolah sedang melepaskan beban yang ada di pikirannya. Rasanya berat banget masalahnya kali ini, di saat usianya menginjak angka dua puluh tahun. Bagaimana caranya menyelesaikannya … ia bingung. Tak tahu tadi apakah yang terjadi antara dirinya dan laki-laki itu, tapi bekas dan jejak di badannya seakan mematahkan pikiran baik. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa menahan keinginan dengan apa yang ada di depan mata, kan.
“Aku takut,” isaknya tak tahan. “Aku takut kalau tante sampai tahu semua ini. Tante pasti kesal dan kecewa padaku. Selama ini kesan beliau begitu baik, sekarang saat sampai langsung ku berikan hal memalukan.”
Menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, agar suara tangisnya tak sampai terdengar hingga keluar kamar. Bingung, kemana dirinya akan meminta solusi. Serasa menghadapi ujian hidup sendirian tanpa adanya tempat mengeluh.
Capek menangis dan berpikir, Zely sampai ketiduran. Padahal dari sana ia sudah punya ancang-ancang akan menghabiskan akhir pekan di sini dengan kedua sahabatnya, tapi justru mucul masalah yang begitu besar.
Terdengar ketukan pintu kamar serta panggilan dari sana. Bisa ia prediksi kalau itu adalah suara Bik Ratih yang memanggilnya. Malas untuk bangun, kemudian mengedarkan pandangannya ke arah balkon. Terlihat suasana sudah gelap, pertanda kalau hari sudah malam. Tentu saja tantenya akan heboh saat ia belum juga keluar kamar sedari tadi.
Segera bangun dan beranjak dari posisi tidurnya, dengan malas berjalan menuju pintu. Nyaris saja ketahuan, saat mengingat kalau syalnya ia tinggalkan di kasur. Kebayang kalau sampai BIbik tahu dan melihat bekas di lehernya. Kembali melingkarkan benda itu di lehernya dan membuka pintu kamar.
“Ya, Bik?”
“Itu, Non … kata nyonya diminta untuk segera turun.”
“Mau ngapain ya, Bik?”
“Duh, Bibik nggak tahu, Non. Cuman dilihat dari raut wajah Nyonya, kayaknya ada masalah, Non.”
Zely tiba-tiba merasa takut dan cemas. Mendengar perkataan Bik Ratih, membuat ketakutannya menjadi-jadi. Apa jangan-jangan tantenya sudah mengetahui kejadian apa yang menimpanya? Tapi, bagaimana mungkin bisa tahu?
“Non.”
Zely yang berada dalam pikirannya, tersentak kaget saat panggilan waniita paruh baya itu membuyarkan lamunannya.
“Non kenapa?”
Tersenyum berat dan menggeleng. “Bibik bilang sama Tante, ya … aku mandi bentar.”
“Jangan lama ya, Non. Soalnya ada tamu juga di bawah, Non. Kayaknya ada hubungannya sama Non Zely.”
Haruskah ia pingsan saat ini? Maksud Bibik apaan mengatakan hal seperti itu? Sedang menakut-nakuti dirinya atau gimana?
“Tamu?”
“Iya, Non … tamunya cowok. Sekarang lagi bicara sama Nyonya Bella.”
Tanpa aba-aba, Zely langsung mundur satu langkah masuk kamarnya. Kemudian tanpa bicara dan kata, segera menutup pintu. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!