Note:
Cerita ini merupakan Spin-off dari cerita Me Gustas Tu. Cerita akan membahas tentang perjalanan karir dan kisah cinta Louis setelah berpisah dari Clarita (Tokoh utama wanita dalam cerita Me Gustas Tu yang pernah menjadi tunangan Louis).
Jika penasaran, silahkan mampir dan baca Me Gustas Tu terlebih dahulu untuk mengenal sosok Louis.
Terima kasih untuk perhatian kalian sudah bersedia membaca cerita Author Vi's. Jangan lupa like dan list favorit jika suka. ☺️
...💞💞💞...
...MAB by VizcaVida...
...|Prolog|...
...Selamat membaca...
...[•]...
“Mocktail?” tanya Angel ketika melihat Louis memesan segelas minuman non alkohol itu di sebuah bar ternama yang memang sering didatangi oleh banyak orang dari kalangan menengah atas. Meskipun ia baru pertama melihat bentuk mocktail secara langsung—hanya pernah melihat dari situs internet, tapi Angel tau jika minuman tersebut tidak lah memabukkan. Berbeda dengan cocktail dan juga Wine.
Louis tersenyum tipis, tidak ada alkohol. Dia sudah menghapus itu dari daftar minuman favoritnya. Ia tidak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Dia juga tidak ingin menghancurkan diri dan masa depan orang lain, meskipun yang sudah terjadi pada dirinya dan Gita, adalah ulah Gita yang menjebak demi menghancurkan hubungannya dengan wanita yang sangat ia cintai, Clarita.
“Eum. Udah kapok saya konsumsi alkohol. Kamu boleh pesen minum apapun yang kamu mau. Biar nanti sekalian saya bayarin.”
Angel memang bukan gadis kaya bergelimang harta yang bisa duduk santai di bar dan memesan minuman mahal. Faktor utama dia tidak tertarik dengan jejeran botol minuman berlebel kelas atas yang memabukkan itu adalah, karena dia bukan pecinta alkohol dan sejenisnya. Dia hanya ikut datang kesini karena Louis mengajaknya setelah mengadakan meeting dengan klien penting beberapa saat yang lalu.
Dalam redupnya pencahayaan malam didalam bar, Angel masih bisa melihat sosok Louis yang terlihat kalut. Wajah rupawan pria itu terlihat begitu hancur.
Bukan berita baru jika Louis baru saja putus dengan kekasihnya yang sangat ia cintai. Angel bahkan mengenal baik wanita yang pernah menempati dan menjadi nomor satu dihati Louis itu. Ia sempat mengikuti sepak terjang kisah cinta si boss dengan kekasihnya yang kini sudah menjadi milik pria lain.
“Saya enggak bisa minum alkohol pak.”
Louis menoleh ke arah Angel, menatap fitur yang sudah menemani perjalanan karirnya lebih kurang lima tahun lamanya. Diam-diam Louis terkekeh.
“Tau begitu, tadi kita pergi ke cafe aja, Ngel.” kelakar Louis yang disambut tawa oleh gadis berusia dua puluh lima tahun itu.
“Bapak nggak bilang-bilang, sih.” protesnya, nggak mau menjadi tersangka yang patut disalahkan.
“Ah, ya. Saya yang salah.
Angel tergelak. Ia kembali menatap wajah atasannya itu. Wajah yang tidak hanya rupawan, tapi juga penyabar dan baik hati. Ya, Louis sesempurna itu, tapi masih saja apes dalam hal percintaan.
“Ya sudah, kamu pesen mocktail saja. Sama kayak punya saya.” lanjut Louis dengan tawa membentang di bibir pink seksihnya.
“Terima kasih, tapi maaf, saya tidak sedang ingin mencoba minuman itu.” jawab Angel sambil menunjuk gelas tinggi milik Louis yang sudah mulai berembun.
Lagi-lagi tawa Louis menggema. Tawa yang begitu halus ketika menyapa Indra pendengaran. Angel membayangkan, betapa beruntungnya Caca yang pernah mendengar tawa mahal milik Louis selama itu. Sepuluh tahun, Angel mendengar berita berapa lama atasannya menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang sudah kandas.
Kenapa Angel menyebut tawa Louis itu mahal? Karena Louis jarang tertawa, pria itu hanya menyematkan senyuman ketika bersama orang lain.
“Ya sudah, pesen jus aja.”
“Ada ya?” tanya Angel heran, ia lantas celingukan menatap rak berisi botol berjejer di belakang meja bartender. Mustahil, pasti Louis sedang mengerjainya.
“Ada.” sahut Louis lalu mengangkat tangan kanannya dan seorang bartender tampan menghampiri mereka berdua. “Satu gelas jus ... ” Louis mengalihkan tatapan matanya pada Angel sambil mengetuk meja, memberi syarat agar Angel memberitahu tentang jenis minuman yang ia inginkan.
“Strawbery.” sahut Angel yang di angguki oleh mas-mas bartender berwajah lokal yang sangat tampan dan menggoda iman.
Tidak menjawab, bartender seusia Angel itu hanya membentuk pola yang mengisyaratkan oke dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk huruf O.
“Saya kira disini tidak menjual jus.” bisik Angel mendekatkan wajahnya di sisi bahu Louis. Terlalu berisik, mungkin akan menjadi bahan tertawaan dan mempermalukan Louis jika angel berkata lantang.
Satu ledakan tawa mencuat dari bibir Louis. Ia sedikit terhibur dengan ketidak tau-an Angel tentang bar yang diyakini perempuan berwajah lokal sedikit kebule-bulean itu hanya menjual minuman beralkohol saja.
“Ada, tapi tidak banyak pilihan. Pasti semua bar menyediakan buat jaga-jaga kalau ada pengunjung yang tidak bisa mengkonsumsi alkohol seperti kamu.” kata Louis memberi pencerahan yang begitu mudah di mengerti oleh Angel.
Setelah puas tertawa bersama atas satu sisi lugu Angel, akhirnya Louis kembali memasang wajah datar.
“Ngel,”
“Eung?”
“Kalau misalnya—”
Louis menjeda, menggantung ucapannya dan membiarkan Angel menunggu untuk beberapa saat.
“Ah, tidak jadi.”
Angel menatap iba pada atasannya yang sedang patah hati parah itu. Ia tidak tau menahu apa masalah menyebabkan Louis dan Caca berpisah. Tapi pria didepannya ini terlihat begitu terluka. Pria ini terlihat sangat putus asa.
“Bapak mau cerita sesuatu ke saya?”
Seketika Louis mengangkat pandangan dan menyorot Angel.
“Saya bersedia mendengarkan. Atau, kalau bisa saya akan memberikan solusi.”
Louis tersenyum jumawa. Ia meraih satu lengan Angel lalu mengusap lembut.
“Terima kasih untuk tawarannya. Tapi saya tidak bisa bercerita apapun pada kamu. Maaf.”
Angel bisa mengerti. Tapi hatinya begitu terusik dengan rasa yang amat sangat tidak nyaman ketika melihat Louis seperti ini. Ia juga tidak bisa berbuat banyak karena Louis menolak untuk bercerita. Ia tidak mungkin memaksa juga, Angel sadar posisi, ia tau siapa dia Dimata Louis.
“Baiklah. Tapi, jangan lupa jika bapak punya masalah yang membebani pikiran bapak, bapak boleh bercerita pada saya.” kata Angel memastikan dengan tatapan sungguh-sungguh. “Bapak boleh mencari saya jika memang bapak sedang butuh. Saya siap menjadi pendengar untuk keluh kesah bapak, kapanpun bapak inginkan.” []
...###...
...Disclaimer...
...-Cerita ini murni imajinasi penulis....
...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....
...-Semua karakter didalam cerita hanya fiksi, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata....
...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....
...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....
...Regret,...
...Author....
...MAB by VizcaVida...
...|01. Louis itu ...|...
...Selamat membaca...
...[•]...
Louis Furry Hutama, adalah nama yang disematkan sang ayah hampir tiga puluh satu tahun yang lalu dan membuat si pemilik nama merasa bangga dan bersyukur. Pasalnya, menyandang nama Hutama membuatnya merasa selalu dihargai, dihormati, dan disegani, selain dirinya yang memang pandai menempatkan diri dengan attitude yang begitu mencolok baiknya.
Louis—sapaan akrabnya, menjadi Presdir di salah satu perusahaan pertelevisian yang dimiliki oleh sang ayah. Dia memiliki seorang kakak laki-laki yang juga memiliki profesi sama dengannya, namun di tower yang berbeda.
“Uncle ... ” teriak gadis cantik berpipi bulat nan gembil sambil berlari menghambur ke arah Louis.
“Hey princess ... ” teriak Louis ketika melihat keponakan perempuan nya sedang berlari menyambut kedatangannya. Hari ini sengaja ia datang kerumah sang kakak karena siang tadi, Robert menghubunginya. Katanya Rebecca kangen.
Stefany—istri Robert—menyambut kedatangannya dengan sebuah senyuman. Keluarga Hutama memang harmonis sejak dulu. Hutama dan istrinya mendidik anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Itulah yang membuat Louis dan Robert memiliki sifat penyabar dan ber-attitude baik juga rendah diri meskipun mereka hidup dengan kekayaan yang berlimpah.
“Balik dari kantor Lou?” tanya Stefy—panggilan akrab Stefany—kepada adik iparnya yang masih mengenakan atribut lengkap seorang atasan.
“Eum.” jawabnya singkat, kemudian ia mencubit gemas pipi Rebecca sambil berkata, “Rere udah mandi?” tanya Louis mendekat ke arah Stefany sembari membawa gadis berpipi gembil itu dalam gendongannya. Dan gadis kecil berusia empat tahun itu mengangguk antusias hingga poni didepan keningnya memantul ceria. “Good girl. Princess nya uncle.”
Stefany kembali dari dapur membawa dua cangkir teh camomile, Robert juga sebentar lagi sampai rumah. Louis terpaksa mengikuti langkah Stefany menuju ruang keluarga.
“Ada apa?” tanya Louis pada Stefany. “Tumben Robert dadakan nelpon. Pake alasan Rebecca kangen segala.”
Stefy hanya mengedikkan bahu, menahan semburan tawa atas nada protes sang adik ipar yang seperti anak-anak. Tak ingin membocorkan apapun sampai suaminya datang nanti. Louis mendengus keras, membawa Rebecca duduk diatas sofa dan meletakkan gadis kecil itu diatas pangkuan paha sekalnya.
“Kalau aneh-aneh lagi, aku nggak mau lagi datang kesini.” ancam Louis karena mengendus hal tidak menyenangkan yang akan di sampaikan oleh kakak laki-lakinya nanti.
Sebulan yang lalu, Robert juga melakukan hal yang sama, meneleponnya dadakan, mengatakan jika Stefany akan pergi belanja dan butuh bantuan menjaga Rebecca, tapi ujung-ujungnya sang kakak memaksanya datang untuk sebuah acara kencan buta yang sudah dirancang sedemikian rupa dengan salah satu anak pejabat kenalan sang kakak.
Semua berjalan baik, pertemuan mereka juga tidak ada kendala. Tapi Louis tidak ingin memperpanjang hubungan dengan ikatan serius. Ia hanya ingin berteman dengan gadis yang dikenalkan kakaknya itu.
“Ya tunggu Robert datang dulu. Mana tau aku, Lou.”
Louis mengangguk, kemudian kembali mengerjai Rebecca dengan gelitikan di pinggang hingga gadis kecil itu terkikik geli.
Setengah jam kemudian, suara mobil memasuki pekarangan rumah Robert dan Stefany. Dan tidak butuh waktu bermenit-menit sosok bertubuh tinggi kekar dan berwajah rupawan seperti Louis muncul dengan setelan kerjanya.
“Oh, sudah datang?” kata Robert tidak percaya Louis datang secepat dugaannya.
Louis hanya diam, sibuk menyusun Lego bersama Rebecca. Stefany yang melihat sang suami datang, langsung menyambutnya dengan senyuman dan meraih tas kerjanya untuk ia bawa masuk ke ruang kerja sang suami.
“Oh Tuhan, capek sekali.” keluh Robert sambil membanting tubuhnya diatas sofa ruang tengah tempat Louis dan putrinya bermain. Robert menyandarkan punggungnya pada bahu sofa, lalu melirik Louis yang bersikap sok cuek padanya.
“Kamu sudah makan?” tanya Robert penuh perhatian kepada sang adik. “Lou,”
“Ada apa nyuruh kesini?” tanya Louis ketus. Adiknya ini, jika sudah dirumah kembali ke setelan awal, manjanya nggak ketulungan.
“Kakak tanya kamu udah makan apa belum? Malah cuek nggak dijawab.” jawab Robert tak kalah ketus, tapi masih mencerminkan sikap dewasa persis papanya.
“Belum.”
“Kakakmu masak apa?”
Louis hanya mengedikkan bahu karena memang tidak tau apa yang dimasak kakak iparnya. Karena setaunya ketika ia sampai disini, tidak ada apapun, dan Stefany juga terlihat tidak sibuk memasak.
Tak lama setelah itu, Stefany muncul dan duduk disamping Robert. Merangkul manja pinggang sang suami membuat Louis memutar bola matanya.
“Malesin.” cibir Louis melihat kelakuan sepaket kakak laki-laki dan iparnya yang seperti kompak mengerjainya.
“Sirik.” canda Stefany melihat kelakuan adik iparnya yang menurutnya lucu dan perlu di panas-panasi agar terpancing segera menginginkan istri. Melihat Louis patah hati karena ditinggal nikah Caca, membuat Stefany sedikit khawatir pemuda itu kembali ke jalan yang dulu kelam.
Stefany adalah saksi hidup bagaimana Louis yang dulu selalu suka mabuk-mabukan, sampai menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting. Kemudian adik iparnya itu perlahan berubah sejak mengenal Caca, perlahan tapi pasti Louis sepenuhnya menjadi sosok berbeda. Tidak lagi menghamburkan uang, dan tidak lagi mengkonsumsi minuman memabukkan. Disamping itu, Louis sering melakukan amal di tempat-tempat ibadah setiap minggu. Tapi nahasnya, Jenita—ibu Louis, tidak merestui hubungan mereka dan berujung Louis nekat melakukan apa yang tidak di sukai mamanya yang berakhir memancing murka sang ibu dan membenci Caca.
Lalu, kira-kira dua bulan lalu, Louis seperti orang linglung saat mendengar dan menerima undangan pernikahan dari wanita yang pernah menjadi orang paling berharga dalam hidupnya. Louis menangis dalam pelukannya dan juga pelukan Robert. Stefany tidak tau alasan yang membuat mereka sampai memilih jalan berpisah setelah lama bersama, selain alasan tidak mendapatkan restu. Louis sendiri menyimpan rapat-rapat alasan mereka putus, dan Stefany merasa tidak punya hak untuk mengorek rahasia adik iparnya sendiri. Ia hanya percaya suatu saat Louis bisa kembali bangkit dan menemukan wanita baru yang akan mewarnai hidupnya.
“Kamu nggak masak?” tanya Robert sambil menyibak poni Stefany dan mengarahkannya dibalik telinga.
“Udah. Aku bikin spaghetti daging kesukaan kalian.”
Kalian versi Stefany adalah, Robert dan Louis. Mereka berdua memiliki selera makan yang tidak jauh berbeda. Hanya saja, Louis lebih cenderung menyukai makanan yang tidak berkuah.
“Buat Princess kita?”
“Aku masakin dia sup daging.” jawab Stefany lembut penuh kasih sambil menatap wajah Robert, yang langsung dihadiahi kecupan ringan di bibir wanitanya itu.
“Sial!” umpat Louis ketika matanya menangkap kemesraan kedua kakaknya, membuat keduanya tergelak tawa.
Diam-diam, Louis kagum kepada kedua kakaknya ini. Mereka terlihat harmonis seperti papa dan mama mereka yang sudah mengikat janji hampir menyentuh angka setengah abad.
“Makanya, cepetan cari ganti. Biar nggak galau.” tembak Stefany tepat sasaran.
“Ogah.”
“Kakak punya tuh, kenalan, artis. Mama pasti suka.”
Nah, ini inti dari pertemuan yang dimaksud Robert untuk Louis yang sangat tidak disukai oleh pria tampan berusia tiga puluh satu tahun dua bulan kedepan itu.
“Kalau mama yang suka, ngapain ngasih taunya ke aku kak?” cibir Louis menjawab kalimat Robert. Ia kembali mengingat perjalanan dan perjuangannya bersama Caca. “Dulu, aku punya niat baik, nggak direstui. Sekarang, aku pingin sendiri dulu, di paksa cari gantinya. Sulit kak, nggak semua cewek menarik buat aku.” kata Louis dengan nada sendu. “Kalau ada yang seperti Caca, aku mau.” lanjut Louis lalu bangkit mendekati Rebecca dan mengecup puncak kepalanya yang harum strawberry.
“Aku pamit.”
“Hey, makan dulu. Nggak kasihan kakakmu masak susah-susah nggak kamu makan?”
Louis kembali meletakkan jasnya yang semula ia ambil dari sofa.
“Ya udah, aku makan. Tapi kakak janji nggak bakal paksa aku ketemuan sama cewek-cewek kandidat kakak itu.” []
###
Satu kata buat Louis. Louis itu...
...MAB by VizcaVida...
...|02. Angel si pekerja keras|...
...Selamat membaca...
...[•]...
Hidup seorang diri tak lantas membuat Angel mengeluh lelah dengan hari-hari yang sudah dilaluinya. Ia bahkan sudah terbiasa mengerjakan semuanya seorang diri, sesuatu yang menurut gadis lain mungkin berat ia lakukan dengan tmringan tanpa keluh. Ayah dan ibunya berpisah sejak dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Berpisahnya sang ayah dan ibu tak lantas membuat Angel menjadi pribadi yang terpuruk dan menjauhkan diri dari orang lain. Dia tumbuh menjadi wanita yang kuat, mandiri dan dewasa. Juga memiliki tata krama yang baik dimata orang lain.
Sejak lulus SMA, Angel memutuskan untuk berhenti menerima uang dari ayahnya, dan memilih kerja sambilan berikut mengumpulkan uang untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah jurusan management, seperti yang ia inginkan. Wajahnya yang rupawan sedikit kebule-bulean cukup membantu dan memudahkannya untuk mendapatkan pekerjaan.
Angel ingin membawa nasibnya lebih baik dan mapan, sama seperti seorang perempuan yang sering ia lihat ketika mengunjungi supermarket tempatnya bekerja, dulu. Ia bahkan memiliki keinginan untuk bekerja di sebuah perusahaan pertelevisian tanah air. Tidak masalah meskipun hanya di bagian tukang pembersihan atau cleaning servis. Semua dimulai dari bawah, prinsip yang ia pegang kuat untuk menjalani hidup agar tetap percaya diri
Tapi mungkin nasib baik sedang berpihak padanya. Angel mendapatkan lebih dari harapannya menjadi seorang cleaning servis, dan menjadi salah satu staff berpengaruh di gedung pertelevisian yang ia titipi daftar riwayat hidupnya. Ia diterima tanpa syarat karena potensi yang ia miliki terbaca oleh salah satu HR dari stasiun televisi yang ia kirimi lamaran pekerjaan setelah lulus S1 universitas swasta kenamaan ibu kota.
Ia bersyukur kepada Tuhan akan pencapaian nya, dan berjanji akan menjadi jemaat yang taat beribadah setiap minggu. Ia juga tidak akan lepas berbuat baik, agar kebaikan juga datang kepadanya.
Angelica Baby Gisamara Rubel, adalah nama yang diberikan oleh Patrick Rubel, sang ayah yang kini sudah kembali ke negara asalnya—Selandia baru, karena telah berpisah dari sang ibu. Sedangkan sang ibu Giara Bella Saphira memilih kembali ke kota asalnya—Surabaya, demi merintis usaha butik yang sejak lama diidamkannya. Mereka tak lagi peduli pada Angel yang hidup sebatang kara di ibu kota, kecuali sang papa yang masih sering menanyakan kabar Angel melalui telepon. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu terlunta tanpa perhatian utuh diusia remaja dan sukses oleh dirinya sendiri, meskipun begitu ia tak pernah menghapus sedikitpun kenangan indah dan kebaikan kedua orang tuanya yang pernah menyayangi dan memberikan pendidikan serta mengajarkan tata Krama yang baik padanya.
Suara pintu berderit dari ruangan CEO stasiun televisi yang menjadi tempat bernaung Angel mengais rupiah. Pria berjas abu-abu tua, berambut cepak rapi yang di pomade seluruhnya ke sisi belakang itu selalu terlihat tampan dan kharismatik. Bagi Angel, pria seperti atasannya inilah sosok yang diidamkan banyak wanita. Karena selain kaya dan tampan, pria ini begitu ramah dan baik kepada seluruh staff yang berada dibawah naungan kepemimpinannya.
“Ada agenda meeting apa hari ini, Ngel?” tanya Louis, si CEO yang menjadi orang paling disegani Angel di tempatnya bekerja ini.
“Ada bertemu dengan salah satu klien di Le Quartier, Senopati, Kebayoran baru, pukul sepuluh pagi, pak.” jawab Angel tanpa ada kesalahan. Ia sudah tidak canggung lagi menjalani pekerjaannya sebagai seorang sekretaris ke dua, setelah Rita.
Dibanding Rita yang sering terjun langsung ke lapangan, Angel lebih terfokus untuk mencatat dan menyusun jadwal atasannya—Louis Furry Hutama, seperti pertemuan dengan klien hari ini.
Louis menghentikan langkah kaki dalam balutan pantofel mengkilat itu tepat didepan meja kerja Angel. Kemudian menunjukkan angel dengan wajah datar dan kening sedikit berkerut. “Sama kamu?”
“Ya, saya yang akan menemani bapak hari ini.” jawab Angel sembari menganggukkan kepalanya canggung bukan main.
“Baiklah. Bawa mobil saya ya, soalnya mobil sama sopir kantor kayaknya mau dipakai hari ini. Biar saya yang nyetir.”
Angel menyesal karena lagi-lagi harus membuat atasannya itu menyetir kendaraan sendiri. Ia akan mencoba ikut les mengemudi jika memungkinkan. Tapi waktu tidak pernah berpihak, karena setelah pulang bekerja dari sini, Angel harus mengurus bisnis online nya yang bergerak di bidang makanan ringan dan kue.
Ya, selain bekerja di stasiun televisi milik keluarga Louis, Angel juga pandai membuat aneka jajanan dan kue kering yang ia pasarkan melalui jejaring sosial yang ia miliki. Pesanan yang ia dapat pun kadang banyak hingga dirinya kurang tidur, kurang istirahat. Mau bagaimana lagi, hidup di kota itu butuh perjuangan dan kerja keras. Atau jika dia bermalas-malasan, dia akan tumbang oleh kerasnya hidup metropolitan.
“Dengar-dengar dari anak-anak, kamu juga punya bisnis kue gitu, ya?” tanya Louis memecah keheningan saat stir kemudi memutar ke arah kanan melewati lampu merah perempatan yang tidak jauh dari gedung pertelevisian miliknya.
“Ah, itu. Iya, pak. Kerja sampingan, dari pada nganggur setelah pulang.”
Louis mengangguk mencoba paham. Sekretaris nya ini memang bukan gadis yang terlihat malas bekerja, melainkan wanita yang gigih dan pekerja keras.
“Jual apa aja?” lanjutnya penasaran.
Ditanya-tanya seperti ini, Angel jadi minder sendiri.
“Ada lah, pak. Kue kering kayak nastar, kastengel, kue kacang. Bahkan ada yang pesan kue tart pun saya jabanin.”
Louis yang memang murah senyum itu, tersenyum mendengar jawaban Angel. “Kamu memang pekerja keras ya?”
Angel tersenyum masam. Keadaan yang memaksanya menjadi gadis pekerja keras dan tidak kenal lelah.
“Ah, ya. Anda bisa menyebut saya seperti itu.” jawab Angel yang langsung mendapat reaksi dari Louis. Pria tampan rupawan itu langsung menoleh ke arah Angel untuk beberapa detik sebelum kembali fokus menatap jalanan yang sedikit padat pagi ini. “Mau bagaimana lagi, pak. Saya hidup sendiri di kota ini. Tidak ada sanak saudara, hanya beberapa teman main yang saya kenal di sekitar apartemen saya tinggal. Tagihan juga banyak, belum lagi biaya hidup yang cukup tinggi.” cerocos Angel diselingi tawa kecil di bibir plum nya. Angel memang memiliki kemampuan public speaking yang lumayan bagus.
“Gaji kamu kerja disini, nggak cukup?” tanya Louis penasaran dengan dahi mengerut. Ia takut pegawai di kantornya tidak makmur dan sejahtera dengan gaji dan bonus yang ia berikan selama ini. “Ah, sorry.” lanjut Louis tiba-tiba merasa salah bicara.
Caca terkesiap. Bukan tidak cukup, tapi dia hanya ingin mengurangi rasa bosan ketika sendirian, selain hal finansial tentu saja.
“Cukup kok, pak.”
Ditengah obrolannya bersama Louis, ponsel Angel bergetar. Ia merogoh nya dari dalam tas bermerk terkenal satu-satunya yang ia miliki, lantas menengok nama yang muncul di layarnya. Daddy.
“Ada telepon? Kenapa nggak dijawab?” tanya Louis setelah membaca gerak-gerik Angel yang terlihat kikuk.
“Ah, tidak. Telepon dari ayah saya. Saya bisa menghubungi nanti setelah selesai bekerja.”
Angel tidak ingin dicap keterlaluan, tidak punya sopan santun kepada atasan, atau lancang menggunakan kesempatan di jam kerja. Apalagi didepan boss nya. Dia bisa dipecat dengan alasan yang jelas kalau nekat.
“Jawab saja, siapa tau penting.”
Angel menunduk. Ia ragu, tapi juga rindu. Sudah hampir dua bulan nomor ayahnya tidak bisa dihubungi. Dia takut terjadi sesuatu pada ayahnya.
“Tidak apa-apa saya bicara sebentar dengan beliau, pak?”
“Silahkan.” jawab Louis dengan bahu berjengit dan telapak tangan terbuka untuk mempersilahkan.
“Maaf, saya permisi mau bicara dengan ayah saya sebentar.” katanya meminta izin yang langsung di angguki Louis.
Mobil berbelok kanan ketika Angel mengeluarkan ponselnya yang sudah diam. Ia menggeser layar ponselnya, kemudian menghubungi nomor milik ayahnya melalui aplikasi WhatsApp yang tidak membutuhkan waktu lama sudah dijawab.
“Dad,” panggil Angel, sedikit menarik rasa ingin tau Louis. “How are you?” kata caca menyapa dengan wajah berbinar bahagia. “I'm worried about you, dad. Are you oke?”
Louis hampir menekuk alis ketika mendengar Angel menggunakan bahasa asing ketika bicara dengan ayahnya.
“I Miss you too.” kata Angel melanjutkan. “No, I'm fine, how about you, daddy?”
Daddy?
Ah, jiwa Daddy seorang Louis tiba-tiba berontak ketika mendengar Angel menyebut kata itu beberapa kali.
“Ah, yeah. But I'm working now. I'll talk to you later.” Angel tersenyum hingga satu gigi gingsulnya tertangkap mata Louis. “Eum. I Miss you too. I Miss you so bad. Bye daddy.”
Angel mengakhiri panggilan dan kembali memasukkan ponselnya kedalam tas.
“Papa mu orang mana?”
Angel terkejut karena Louis tertarik ingin tau darimana asal ayahnya.
“Ah, itu. Ayah dari New Zealand.”
“Oh wow.” pekik Louis tidak menduga dengan bibir mengembangkan senyuman lebar. “Pantas saja wajahmu kayak ada sedikit aksen bule nya gitu.”
”Ah ya?” kata Angel, tersipu karena kalimat Louis terdengar seperti sebuah pujian di telinganya.
“Kalau mama, asli orang sini?”
Mobil berhenti karena lampu merah menyala.
“Ibu asli Surabaya. Ayah dan ibu saya ketemunya di Bali, pak.”
Louis tertawa kecil. “Wah, ceritanya pasti seru.”
Angel tergelak tawa mendengar ke-antusiasan Louis akan perjalanan bagaimana kedua orang tuanya memadu kasih.
“Sepertinya dulu, iya.” jawab Angel masih dengan senyuman diantara tundukan kepalanya yang terlihat sedih. “Tapi tidak pada akhirnya, karena mereka memutuskan bercerai ketika saya duduk di bangku akhir SMP.”
Mendengar itu, ada sedikit rasa sesak dalam hati Louis yang tadinya begitu menggebu-gebu mengagumi kisah kedua orang tua Angel.
“Oh, maaf.”
“Tidak apa, pak. Lagi pula itu sudah lama berlalu. Saya sudah bisa menerima keputusan mereka kok.”
Louis mengangguk canggung karena masih merasa tidak enak.
“Ayah masih sering tanya kabar saya. Tapi ibu sudah lost kontak sejak saya memutuskan untuk hidup sendiri di jakarta.”
Rasa tidak enak dalam hati Louis berubah iba. Ternyata gadis di sampingnya ini memiliki kehidupan yang mungkin bisa di katakan cukup rumit dan tidak seindah kelihatannya. Louis baru saja bisa melihat segaris kesedihan yang begitu nyata dari diri Angel setelah kalimat itu terucap.
“Jadi, kamu hidup sebatang kara, disini?”
Angel mengangguk, dan seketika hari Louis mencelos.
“Iya. Dan saya harus berjuang keras untuk diri saya sendiri, disini.” []
###
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!