Namaku Putri Marsha Canda, karena sebuah insiden 7 tahun lalu membuatku berubah lebih pendiam, dan aku pun gak pandai bergaul.
Namun aku bersyukur, karena saat masuk SMA ada 3 orang menghampiriku lebih dulu, dan kini kami menjadi teman.
Sekarang aku sudah di bangku kelas tiga, dan sekolah membuat kebijakan baru soal tempat duduk dengan menggunakan nilai semester 2 kemarin, kenaikan kelas.
Karena nilai fisikaku yang rendah, aku mendapatkan kelas IPS, dan pembagian tempat duduk di mulai beberapa bulan yang lalu.
Pada hari itu, semua murid berpakaian pramuka, juga kehebohan yang terjadi di sekitarku saat teman dudukku mulai menempati tempat duduknya.
“Cewek yang duduk sama si Fakri Sinandar beruntung banget, sih!”
Saat itu, semua siswi di kelas menatap iri padaku, kecuali Lucy. Dia adalah salah satu teman terbaikku.
Memori berakhir.
Dan sampai sekarang, anak-anak cewek di kelas masih menatapku dengan mata iri mereka setiap kali Fakri datang dan duduk di sebelahku.
Batinku selalu bertanya-tanya, “Kenapa mereka merasa iri? memang dia siapa sih? artis juga kayaknya bukan, apa anak artis?”
Aku mendesah berat, rasanya aku ingin pindah duduk jika bisa, tapi percuma saja, karena teman dudukku tetaplah seorang pria.
Beberapa menit lagi pelajaran pun akan segera di mulai, namun banyak anak kelas yang masih berada di luar, ada juga yang sedang bermain ponsel ataupun bercengkrama dengan teman sebangku.
Aku yang sudah duduk dan siap mengikuti pelajaran, tanpa sengaja melirik Fakri. Ia seperti sedang mengunggah sebuah foto di bangku taman pada sosial medianya.
“Oh, foto sama teman-temannya,” ujar batinku berkomentar.
Anehnya, entah mengapa salah satu dari mereka yang berada di foto itu membuatku terpaku, terkesima dengan aura yang ia pancarkan. Dan tanpa sadar mulutku bergumam, “Kalau jodoh gak akan kemana.”
Fakri yang mendengarku bicara dengan samar seperti ikhfa' akhirnya bertanya padaku.
“Hah! tadi kamu bilang apa?”
“Hmmm?” Aku menengok ke arahnya.
“Ng ... i—itu foto kalian bagus banget udah kayak k-pop gitu!” seruku mulai berkeringat dingin, seperti maling yang tertangkap basah ketahuan mencuri.
“Apa ucapanku tadi terdengar olehnya? aduh, kalo iya malu banget!” gumamku dalam hati.
“Cewek gak jelas!”
Fakri berujar dengan nada sinis dan wajah dinginnya. Ia juga menaruh kembali ponselnya ke dalam laci meja. Perkataan singkatnya mampu membuat darahku naik ke ubun-ubun.
Batinku menggerutu, “Hah! orang di puji kok malah bilang cewek gak jelas! harusnya bilang terimakasih atau apa gitu!”
Aku merasa sedikit kesal. Tapi aku juga tahu, apa yang dikatakannya tidaklah salah, jika mengingat tingkahku yang aneh tadi.
Selang beberapa menit bel pun berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Yang tadinya masih banyak siswa/i di luar, kini berbondong-bondong mulai masuk ke dalam kelas.
Waktu berlalu begitu cepat, semua mata pelajaran jam pertama dan kedua berjalan dengan baik juga lancar tanpa adanya tugas. Kini waktu istirahat pun tiba.
...Kantin...
Puk!
Seseorang menepuk pundakku, sedangkan aku masih merebahkan kepalaku di atas meja kantin yang sudah bersih tanpa makanan tersisa.
“Put, kamu kenapa? apa perutmu sakit?”
Aku menyinggahi seruannya dengan mendesah panjang dan berat, seakan aku habis mengeluarkan semua beban yang begitu berat bersama nafas yang aku hembuskan.
Teman-temanku saling melontarkan pandangan saat mereka melihatku yang hanya menghela nafas panjang, serta wajah yang dihiasi dengan tulisan tidak semangat.
“Gak sakit kok! cuma agak ngantuk aja, hehe,” ujarku cengengesan menjawab pertanyaan Mira tadi, teman baikku.
Kini berlanjut Lucy yang mengejekku sambil terkekeh menatapku yang baik-baik saja.
“Udah kayak kebo aja, baru selesai makan udah ngantuk.”
Akupun hanya diam mematung, tak merespon ejekannya. Karena fokusku masih memikirkan kejadian tadi pagi.
Batinku benar-benar tak habis pikir, “Kenapa aku bisa bilang kayak tadi sih?! dan dari sekian teman cowoknya Fakri kenapa cuma dia yang membuatku tertarik?”
“Kenapa juga cuma dia yang aku lihat? udah seperti jatuh cinta pada pandangan pertama aja!” lanjut batinku merasa malu.
Teng tong! teng tong!
Bel istirahat selesai, dan pelajaran ke tiga akan segera di mulai. Tapi aku gak bisa konsentrasi sama sekali.
Salah satu teman Fakri yang kulihat satu detik di balik layar itu mampu membuat pikiranku menjadi ambyar.
Waktu berjalan begitu gesit, tak terasa pelajaran keempat sedang berlangsung, atau yang biasa kami sebut pelajaran terakhir.
Jam dinding kembali berkeliling dengan acapnya. Kini bel pulang telah mengangkat suaranya, berdering menyanyikan lirik teng tong! teng tong!
Aku yang mendengar bel pulang, langsung menyambutnya dengan wajah ceria bak anak kecil mendapatkan mainan.
Tak butuh waktu lama, aku segera bergegas memasukkan buku ke dalam tas ransel yang berukuran medium itu. Setelah semua bukunya masuk, aku segera meluncur meninggalkan kelas.
Lucy yang melihatku pergi begitu saja dan melupakannya, membuat ia merasa aneh dan tampak kebingungan.
Sorot mata Lucy menembak punggung Fakri. Karena saat jam pertama, Lucy melihatku dengannya saling bertukar kalimat, dan sikapku menjadi aneh setelahnya.
...***...
Kesokan harinya, hari Minggu. Aku yang sendirian di rumah merasa bored. Karena mama, papa, dan adikku sedang pergi ke Yogyakarta, menghadiri nikahan sepupuku.
Aku adalah seorang pemabuk berat. Daripada setiap mobil melaju aku muntah-muntah bak hamil muda. Lebih baik menjaga rumah saja.
“Haish! bikin mager aja, mana rumah sepi gini!” ucapku merebahkan diri di sofa panjang nan empuk sambil menonton tv.
Tanganku meraba-raba meja dekat sofa. “Mama, papa, dan Elvina juga lagi ke nikahan sepupu yang di Jogja, dan katanya sampai rumah nanti malam,” ujarku berhasil memancing benda kerdil di atasnya
“Main sosmed aja deh,” sambungku yang kini benda kerdil itu sudah dalam genggaman jari jemariku.
Ketika aku sedang scroll-scroll layar, tiba-tiba aku teringat dengan foto yang Fakri unggah sabtu kemarin. Sifatku yang selalu ingin tahu, membuatku langsung mencari akun Fakri tanpa pikir panjang.
“Kalo gak salah ingat, namanya ...” Aku berusaha keras mengingat nama akun yang aku lihat hanya sekelebat mata.
“Fakri Sinandar!” pekikku menjentikkan jari dan segera mengetik namanya di kolom pencarian.
“Ah, ketemu! apa aku coba cari aja ya di unggahan itu? siapa tahu ada tag akunnya.”
Setelah itu ....
“Wah! benaran ada tag akunnya.” Aku mengklik salah satu akun yang ada di foto.
“Oh, jadi namanya Nathan.” Aku tersenyum memandangi nama yang tertera di akun itu.
“Eh! kok, Lucy sama Mira follow dia juga? apa mereka berdua kenal sama Nathan?” lanjutku mengambil cemilan yang tergeletak di atas meja.
Setelah tahu akunnya Nathan, aku merasa senang bukan kepalang. Karena aku terus berpikir apakah mereka mengenal Nathan atau enggak?
Tanpa sadar aku sudah hanyut dalam mimpiku. Tiada tahu kalo jariku telah menyentuh layar ponsel yang masih menyala, membuatku jadi mengikuti akunnya.
Satu jam kemudian, mamaku yang baru sampai rumah langsung melihat anak gadisnya tengah tertidur pulas di sofa, dan ia langsung membangunkanku agar pindah ke kamar.
Aku yang setengah sadar langsung masuk kamar dan menjatuhkan diriku di ranjang bermotif hello kitty.
Akupun melanjutkan mimpiku tanpa mengecek ponsel, bahkan aku rebahkan benda kerdil itu diatas telapak tangan.
...***...
Sang pelita usai pancarkan sinarnya. Burung-burung mulai paduan suara di arah pohon dekat kamar bernuansa lavender, bersolek karakter yang imut nan lucu.
Di balik jendela luar yang terbuka satu pintu, terpotret sosok gadis yang sudah rapih berseragam putih abu, dibalut hijab putih persegi yang ia lipat menjadi segitiga.
Gadis itu kini sudah finish menautkan hijabnya. Sekarang ia tengah menyiapkan buku pelajaran yang diambilnya dalam sekat rak buku dekat jendela.
Jari-jarinya gercap memasukan buku itu ke dalam ransel. Saat ini tangannya telah berpindah mengikat tali sepatu berwana hitam.
Karena sudah aturan dari sekolah yang melarang muridnya untuk pakai sepatu pelangi, kecuali hitam atau hitam putih.
Krieett~ pintu kamar terbuka, gadis itu lekas pergi menghampiri ruang makan yang berjarak lima langkah dari kamarnya.
“Mah, Putri berangkat sekolah dulu ya takut terlambat.”
Aku menjabat tangan mamaku, mengecupnya dengan batang hidung, sambil aku hirup aroma tangannya yang harum masakan, berharap doa darinya untuk memulai aktifitasku.
Dengan memberikan tangannya, mamaku menatap heran dan langsung menjelangak ke atas, di lihatlah jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06:17 WIB.
“Tumben, Put. Ini aja baru jam enam loh!”
“Emmm ... iya, Ma! kan sekarang hari senin, Putri juga ada jadwal piket, jadi harus lebih awal berangkatnya!” tuturku mengalihkan pandangan sambil menggaruk pelipisku yang tak gatal.
“Sudah ya, Mah! bye!” Aku mencium singkat pipi mamaku dan langsung meluncur keluar rumah.
Dalam perjalanan ke sekolah, aku selalu merasa bersalah dan terus kepikiran karena sudah membohonginya.
Tapi, kalo aku berangkat seperti jam biasa, aku pasti akan mendapati Fakri yang sudah duduk di kelas, dan itu akan terasa canggung banget.
Teng tong! teng tong! suara bel masuk ke dua setelah ucapara pengibaran bendera.
Aku yang sudah berada di kelas tak bisa duduk dengan manis. Pikiranku melayang-layang, dan pandanganku fokus ke arah pintu kelas.
“Kok si Fakri belum datang juga ya! apa telat? atau gak masuk? tahu gini gak usah berangkat awal-awal, mana pakai bohong segala sama mama,” batinku menyesal.
Tibalah waktu pelajaran akan segera di mulai, dan jawaban dari beribu pertanyaanku seputar teman dudukku, Fakri. Yang tiap kali ia duduk, fansnya langsung melaser pundak ku dari segala arah.
Sangat menjengkelkan, bukan?
Tapi sebelum itu, guru akan mengabsen murid-muridnya terlebih dahulu. Rutinitas yang dilakukan semua guru sebelum memberi materi pelajaran.
“... Fakri Sinandar!”
“Ijin, Bu! katanya hari ini ada pemotretan, dan sudah ijin sama wali kelas juga!”
Aku yang mendengar pernyataan dari ketua kelas cuma berekspresi biasa saja. Karena aku juga sudah menduganya dari awal, saat melihat followers dan penampilan Fakri yang gak biasa menurutku.
“Gak kaget sih kalo dia jadi model, keliatan banget dari foto-foto unggahan yang ada di sosmednya, belum lagi penampilannya selalu menarik perhatian. Tapi apa gak bisa diundur? hari inikan ada ulangan harian,” ocehku dalam hati.
Selang beberapa menit setelah selesai mengabsen, terdengar suara hentakan kaki orang berlari. Ia langsung membuka pintu kelas dengan kasar, sampai membuat seisi penghuni kelas menoleh ke arahnya.
“Ehh, kok ...” Semua orang di kelas menatap kaget ke arah pintu, begitu juga aku.
“Maaf, Bu! saya telat!” ujarnya terengah-engah sambil menyeka keringat dengan tangan kirinya.
“Loh! kata ketua kelas bukannya hari ini kamu ada pemotretan? dan orangtuamu juga sudah ijin sama wali kelasmu!”
“Iya, Bu! tapi udah selesai,” jawabnya dengan suara yang masih berat.
“Ya sudah kalo gitu, kamu bisa duduk sekarang.”
Saat berjalan ke tempat duduknya, dia mendapatiku yang masih terus menatapnya dari masuk kelas sampai sekarang.
“Ada tikus!”
Mendengar itu aku langsung tersentak kaget. Dan reflek membuat jeritan sampai semua yang ada di kelas melihat ke arah kita.
“Pftt!”
Aku yang melihatnya menahan tawa membuatku merasa kesal dengan tingkah isengnya. Dan kita berakhir dengan hukuman berdiri di dalam kelas karena telah berisik.
Ini pertama kalinya bagiku, dan itu sangat memalukan. ’Anak pintar dan disiplin di hukum berdiri dalam kelas karena berisik.’ Itulah yang terngiang-ngiang di kepalaku saat ini.
“Wow! ini pemandangan langka. Jarang-jarang lihat siswi pintar kena hukum. Aku foto, ah! biar jadi kenangan, hihihi.” Suci diam-diam mengeluarkan ponsel dan bersiap mengambil foto.
“Bu! Suci diam-diam bawa ponsel ke sekolah.”
“Suci! kemari!”
“Ck! dasar!”
Suci mulai berjalan dari tempat duduknya, langkah ia terhenti di samping meja Lucy, dan berdecak kesal serta memberi tatapan tajam ke arah teman baikku itu.
Lucy membalasnya dengan seringai. Dan akhirnya ponsel yang akan dia gunakan untuk memotret kita di sita oleh guru.
Situasi kelas juga menjadi tak terkendali, yang seharusnya adalah ulangan harian seketika berubah menjadi razia kelas.
“Sebelum Ibu bagikan kertas ulangannya, sekarang letakkan tas kalian di atas meja!”
“Fakri! Putri! kembali ke tempat duduk dan letakkan tas kalian di atas meja!”
Aku dan Fakri yang masih berdiri langsung berjalan menuju tempat duduk kita. Mereka yang membawa ponsel merasa cemas dan takut akan ketahuan.
Dan benar saja, tak sedikit dari mereka yang melanggar peraturan sekolah.
“Ck! temanmu benar-benar deh!”
“Dia begitu karena melihat Suci mau mengambil foto kita. Kalo kamu merasa akan ketahuan, ya salah kamu sendiri. Siapa suruh ke sekolah bawa ponsel,” gerutuku.
Fakri menatap tajam ke arahku, sepertinya ia mendengar perkataanku. Sedangkan aku melihat ke sembarang arah.
...Beberapa menit kemudian...
“Semua tas sudah ibu periksa, dan mengingat sekarang waktunya ulangan jadi ibu tidak akan menghukum kalian, dan bagi yang ponselnya ibu sita temui ibu di ruang kepsek saat jam pulang.”
“Baik, Bu!”
Kami menjawab dengan serempak, dan bu guru pun mulai membagikan kertas ulangan selembar demi selembar. Yang di mulai dari meja depan, kemudian di oper ke belakang.
Saat kami sibuk berpikir mencari jawaban yang tepat, tak terasa sudah berjam-jam kami mencarinya. Sampai bel sekolahpun memperingatkan kita, bahwa pelajaran pertama telah berakhir.
“Oke! karena waktu sudah habis, ibu akan kasih waktu sampai jam istirahat. Ketua kelas, tolong nanti kumpulkan tugasnya dan bawa ke ruangan ibu.”
Bu guru yang sedang merapihkan buku-bukunya langsung disambut dengan jawaban dari sang ketua kelas. "Baik, Bu!”
Fakri menghela nafas lega setelah melihat bu guru sudah pergi meninggalkan kelas. “Untung hari ini aku gak bawa HP ke sekolah,” ucapnya lirih.
Pelajaran kedua pun telah dimulai, namun karena gurunya berhalangan hadir, kami hanya ditugaskan mencatat beberapa materi.
Sedangkan mereka yang sudah selesai mengumpulkan tugas, ada yang pergi ke kantin dan ada juga yang tetap dikelas, salah satunya aku.
“Put, bantuin kita dong! nomor 6, 7, 11, 15, 17, 23 dan 25 yang ini susah banget, huhu.” Suci menghampiri mejaku dengan wajah yang sudah ia buat memelas sedemikian rupa.
“Ee ... aku ajarin aja ya ...” sahutku dengan ragu.
“Yah jangan gitu dong, Put! langsung kasih jawabannya aja!” tukas Suci merasa emosi.
“Aku juga udah laper banget nih pengen ke kantin, mama bilang juga gak boleh telat makan nanti maghku bisa kambuh,” tuturnya kembali menempatkan kedua tangannya diatas perut.
“Berisik banget sih!” sergah Fakri langsung berdiri dan pindah ke meja depan yang sudah kosong.
Aku jadi merasa tak enak hati padanya, dan pandanganku kembali berbalik pada mereka yang masih mengerumuni mejaku.
“Ih si Fakri yang bagus cuma mukanya doang! coba kalau sifatnya juga bagus kayak teman-temannya udah aku kasih surat cinta dari dulu.”
Umpat salah satu siswi yang berdiri di sampingku dengan kesal. Kemudian di setujui oleh sisiwi di sampingnya, “Iya benar tuh!”
Aku hanya terdiam mendengar teman sekelas ku berbicara tentang dia. Ternyata mereka ngefans sekaligus benci juga.
“Put, kita ke kantin yuk aku udah selesai nih.”
Lucy yang sudah berdiri di dekatku langsung menarik lenganku, dan membuatku setengah berdiri.
Tapi karena seseorang yang berdiri dekat Lucy menahan tanganku juga, membuatku kembali duduk.
“Apaan sih, Luc! kalo mau ke kantin pergi sendirian aja, Putri masih harus disini!”
“Iya! ini juga, kan gara-gara lu pake bilang ke bu Rina kalo si Suci bawa ponsel, waktu kita ngerjain tugas jadi tersita gara-gara razia tas tadi!” sahut siswi yang berada di belakang Suci dengan kesal.
Lucy langsung merebut soal di tangan Suci dengan kasar. “Kalo gitu sini biar gue yang ajarin kalian.”
“Idih ogah! yang ada nanti nilai kita jelek kayak lu.” Suci merebut kembali lembar soalnya.
“Udah, Luc! gak apa-apa kok. Kamu duluan aja nanti aku nyusul,” tuturku mendongak ke atas menatap Lucy yang berdiri di samping kursiku.
“Ya udahlah terserah kamu aja, Put!”
Sepertinya Lucy marah atas keputusan yang aku ambil, tapi ya mau gimana lagi? aku gak enak hati menolak mereka.
Lucy yang sudah berjalan melewati mejaku tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, ia memutar kepalanya menoleh ke belakang.
“Kalian tuh nilai bagus dapat nyontek aja bangga.”
Beberapa menit kemudian, akupun selesai bersedekah jawaban pada mereka. Aku melihat mereka saling mereganggkan tangannya merasa lega.
“Akhirnya selesai!”
“Makasih ya, Put! lu emang murid ter-the best.”
Aku tersenyum, walau dalam hatiku merasa terpaksa. “Sama-sama.”
Kerumunan di mejaku berangsur-angsur menghilang. Aku menghela nafas berat dengan hati yang merasa bersalah kepada Lucy, teman baikku itu.
“Lucy pasti marah banget, dia juga pergi dari kelas dengan muka cemberut kayak gitu. Nanti aku coba traktir makanan yang Lucy suka aja, semoga dia gak ngambek lagi.” Harap dalam batinku.
Aku langsung berdiri dan hendak meninggalkan kelas, tapi langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat Fakri yang masih belum selesai.
Lagi-lagi! aku merasa ragu dan takut untuk menawarkan bantuan. Tapi pada akhirnya, sikap yang masa bodo ini membuatku berani dan menghampirinya.
“Ada yang bisa aku bantu?”
Aku yang sudah berdiri di depan mejanya menawarkan bantuan dengan ramah. Tapi Fakri mengabaikan tawaranku.
Walau begitu, aku tetap ingin membantunya. Itung-itung menebus kesalahanku karena udah membuatnya gak nyaman. Spontan kepalaku menunduk melihat soal yang belum Fakri selesaikan.
“Oh, nomor 15 ya?”
Fakri yang tanpa bersuara mengangkat kepalanya, namun ia terkejut karena wajahku terlalu dekat.
Fakri segera mengalihkan pandangannya. Wajahnya merah merona. Dan aku gak tahu kalo ia sempat mendongak.
“Ini kamu salah pakai rumus harusnya pakai cara yang sama kaya no. 3 baru ketemu jawabannya.”
Jariku singgah pada soal di no. 3 tapi lagi-lagi ia diam mengabaikanku. Tapi kali ini, pandangannya memperhatikan ke mana arah telunjukku singgah, dan mengerjakan soal sesuai arahanku.
Saat Fakri berucap Terimakasih, suaranya tenggelam karena suara bel istirahat yang berbunyi tepat saat Fakri mengucapkannya. Dan akupun gak tau, kalimat apa yang ia ucapkan. Meski aku bisa menebaknya.
Aku yang melihat Fakri sudah bisa menyelesaikan soalnya, tanpa bersuara, dan tanpa pamit, aku langsung pergi meninggalkan kelas.
Bergegas menghampiri temanku yang sedang merajuk, yaitu Lucy yang kini sedang berada di kantin.
...***...
Puk!
Aku menepuk pundak Lucy namun di abaikan.
“Maaf ya, soal yang tadi! aku gak ikut kamu dan milih untuk tetap tinggal di kelas. Sebagai permintaan maafku dengan tulus, aku traktir makanan yang kamu suka, deh. Jadi please, maafin aku ya!"
Aku memohon maaf dengan sangat padanya, tak lupa juga merapatkan kedua telapak tanganku. Berharap ia membuka pintu maafnya.
Lucy menghela nafas. “Put! kamu tuh jangan kebiasaan deh, pakai kasih tahu mereka jawabannya, nanti mereka jadi manfaatin kamu terus tahu!”
“Sepertinya dia masih kesal.” Tebakku dalam hati.
“Iya Lucy sayang, maaf ya!” Aku memeluk lengannya.
“Ih apaan sih geli tahu dengernya!”
Lucy yang menarik tangannya, membuatku gak bisa menahan tawa, dan itu sangat lucu. Menurutku sih!
“Hahaha, jadi udah di maafin, nih!”
“Iya, udah. Tapi harus tepatin dulu janjinya!”
Lucy menjulurkan jadi kelingkingnya, dan aku melilitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya, seperti sebuah janji yang biasa di buat anak-anak.
“Siap boss.”
Pluk!
Seseorang dari belakang mendaratkan kedua tangannya di pundak kita.
“Wah, ada apa nih! siapa yang mau traktir?” tanya seorang siswi yang lebih tinggi dari Lucy, tapi sejajar denganku. Dia adalah Nia, teman baikku juga.
“Putri.” Lucy menujuk ke arahku dengan ibu jarinya.
“Waaahh! traktir kita juga dong, Put! masa Lucy aja sih, mentang-mentang sekelas,” sahut seorang siswi lagi yang berdiri di sampingku.
Ya, dia juga teman baikku, Mira.
“Haha, oke! asal jangan melebihi kapasitas dompetku aja, sekarang aku lagi nabung nih!"
“Wah-wah! demi apa? seorang Putri nabung?!” Mira tercengang heran tak percaya.
“Apaan sih, Mir, boros-boros gini kalau soal tabung menabung aku juaranya, lho!”
Ungkapku menujuk diri sendiri dengan bangga. Dan Mira malah tertawa tekekeh. “Hahaha ... iya deh! percaya kok sama si ratu hemat!" ejeknya kembali.
...***...
Waktu berakhir dengan cepat, aku yang sudah pulang dari sekolah kini sudahku rebahkan tubuh ini di atas kasur.
Tanganku meraba laci yang berada di samping ranjang. Sebuah benda yang kerdil itu di atasnya sudah dalam genggamanku.
Dan saat aku menyalakan data, mataku terbelalak seakan mau keluar dari sarangnya karena sebuah notifikasi terpampang di atas layar.
Dengan gercap, aku langsung membuka notifikasi yang sempat membuat jantungku berhenti mendadak.
“Eh! kok bisa?! kapan aku mengikutinya?!”
Batinku terlonjak kegirangan. “Waaaahh! seneng banget di follback sama dia.”
Seperti biasa, aku selalu menjalani aktivitas sehari-hariku. Tapi sekarang, aku memiliki aktifitas baru, yakni mengomentari setiap unggahannya kak Nathan.
Terkadang kak Nathan pun mengomentari balik unggahanku. Dari saling berkomentar, kemudian tak lama setelahnya Nathan tiba-tiba penasaran tentangku.
Tak butuh waktu lama, ia mulai menanyakan identitasku. Mengingat nama akun yang kubuat bukan menggunakan nama asliku.
Ting! sebuah notif masuk pukul 21:05 WIB.
📱“Assalamu'alaikum, nama kamu siapa?”
“Wa'alaikumussalam. Mau tau aja atau mau tau banget?” balas ku sambil bercanda dengan menghantamkan kaki di kasur dalam keadaan tengkurap.
Siapa sih yang gak senang tiba-tiba di notif sama doi?
Begitupun denganku, merasa senang bukan main membalas setiap pesannya sambil cangar-cengir sendiri.
Batinku tersentak tersadar, “Oh astaga! jika ada yang melihatku begini pasti sudah di sangka yang bukan-bukan.”
📱“Kalau gak mau kasih tahu juga gak apa-apa kok.”
“Nama lengkap apa nama pendek?”
Aku kembali melanjutkan candaku, dengan pipi yang sudah memerah karena menahan tawa.
“Oh ayolah! bukankah itu sudah keterlaluan?” batinku memperingati.
Ting! pesan masuk pukul 21:09 WIB.
📱“Udah gak mau tau lagi.”
“Nah, kan! tuh orang jadi ngambek. Aduh! gimana nih!” batinku gelisah merasa bersalah.
Ibu jariku gercap langsung meminta maaf padanya dalam belasan ketikan kata. Tak lupaku selipkan namaku, bahkan nama lengkap dan asalku.
“Maaf ya, nama lengkapku Putri Marsha Canda dari jakarta, kalo kamu siapa?”
Aku menyerah dengan sifat isengku yang kekanak-kanakan ini. Tetapi sayang sekali, pesan yang aku kirim belum juga di respon.
Aku terus merasa cemas di kelilingi rasa bersalah. Semalaman aku menunggu balasannya, tapi belum juga ada balasan.
Sifatku yang sering kali merasa tak enak hati, membuatku cepat merasa bersalah meski hanya persoalan kecil.
Dan sifat ini yang membuatku harus berhati-hati dalam bertindak. Apalagi, saat teman-temanku minta tolong soal tugas sekolah, aku sungguh tak bisa menolaknya.
Pikirku, jawaban atau penolakan yang aku kasih bisa menyinggung dan menyakiti perasaan mereka. Hal itu membuatku terus berhati-hati, dan gak bisa menolak langsung.
Tapi entah mengapa malam ini aku tak bisa menahan diri dari rasa isengku terhadapnya. Entah apa yang merasukiku kala itu, mungkin karena kita gak saling tatap muka makanya aku sedikit berani.
Aku terus bolak balik melihat ponsel, sampai tak terasa jam di ponselku menunjukan pukul 00:05 WIB. Aku segera mengerjapkan mataku, walau pikiran dan hatiku melayang-layang gelisah.
...***...
Kring~ kring~ bunyi alarm memenuhi sudut ruang kamarku. Nyaris saja! aku hampir bangun kesiangan.
“Aduh, gawat! udah jam 5 aja, sholat subuh dulu deh baru siap-siap.”
Aku segera bergegas mengambil wudhu. Sebab, bila mandi dulu bisa-bisa telat dan harus di qodho. Sedangkan kalau aku mandi gak cukup 30 menit saja.
Beberapa menit setelah selesai sholat, aku langsung mandi dan segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
Diriku mengambil kemeja putih dan rok abuku yang tergantung di pintu. Selesai memakainya, kuraih hijab berwarna putih yang masih tergantung bersama dasi abuku.
Selama 7 menit, dasi abuku sudah melingkar di kerah kemeja yang kututupi dengan hijab putih sudah melekat di kepalaku.
Sudut mataku menembak benda kerdil di atas laci. Rupanya aku lalai memberinya makan. Kakiku berjalan mendekat.
Setelah berjalan beberapa langkah. Langkahku terhenti, dan kuraih benda kerdil itu.
Sebelum men-charger nya, aku mengeceknya lebih dulu. Apakah dia sudah membalas pesanku atau belum? dan tiba-tiba ponselku berdenting.
Ting! pesan masuk pukul 06:07 WIB.
📱“Maaf ya semalam aku ketiduran. Namaku M. Nathan dari Palembang.”
Wajahku seketika langsung meletupkan kembang api, dan sesak yang tak jelas itu akhirnya pergi setelah melihatnya membalas chat yang semalam, aku pun segera membalas pesannya.
“Iya gak apa-apa kok.”
📱“Aku asalnya bukan orang Indonesia. Tapi dari Turki, di sini aku ada belajar agama, di pondok pesantren Al Iman.”
“MaaShaa Allah, jauh banget. Keren,” gumamku menatap kagum balasannya.
“Padahal di tempatnya juga pasti ada pondok pesantren, tapi dia rela jauh-jauh datang ke Indonesia untuk belajar agama,” lanjutku dalam hati tanpa sadar sudah amat dalam mengaguminya.
📱“Maaf ya kalo bahasa Indonesiaku masih belum lancar, aku baru 2,5 tahun di sini.”
“Oh gitu, ya gak apa-apa.” Aku melupakan jam dinding yang masih terus berputar.
Aku cukup terkejut karena cowok yang aku isengi semalam ternyata bukan asli orang Indonesia, namun bahasa indonesianya lumayan lancar walaupun masih ada 1 atau 2 patah kata yang membuatku harus menterjemahkan sendiri.
Aku yang masih terkagum-kagum pada sosok yang kukenali lewat kata-katanya. Sampai sahutan seorang wanita paruh baya memecahkan lamunanku yang sejenak itu.
“Puput! buruan sarapan, jangan main ponsel terus!” omel wanita paruh baya itu tengah berdiri di depan pintu kamarku, dan ternyata adalah mamah.
“Iya Mah, bentar lagi!” sahutku yang masih sibuk mengetik.
📱“Sudah dulu ya, aku harus siap-siap dan mau berangkat ke sekolah.”
Setelah berpamitan dengannya, aku segera meninggalkan ponselku dalam kamar dengan keadaan sedang di charger.
Sahutan menyuruhku untuk sarapan pun terdengar kembali, dan segera aku melaju menuju tempat makan.
...***...
Seminggu sudah kita saling bersapa lewat ponsel, instagram sebagai perantara, dan kuota internet sebagai pengantar pesan.
Hari-hariku yang seperti abu-abu ibarat tak berwarna dan tak mempesona. Kehadirannya mampu merubah semua hidupku.
Perlahan demi perlahan, kehidupanku mulai di penuhi warna seperti pelangi, indah, mempesona, dan memikat.
Dari sekian banyak warna, ia memberikan lebih banyak warna pink dalam hidupku untuk pertama kalinya.
Namun siapa sangka, dia benar-benar menjadi pelangi yang memiliki warna begitu indah. Memberi rasa takjub.
Datangnya tanpa pemberitahuan, dan pergi tanpa berpamitan, benar-benar seperti pelangi. Jangan sebut seperti jelangkung ya!
Tiga bulan sebelum dia benar-benar menjadi pelangi.
Setelah perkenalkan seminggu yang lalu kita jadi sering chatting. Komen status pun menjadi lebih sering dari sebelumnya.
Dari kebiasaan itu datang sebuah perasaan yang tak pernah aku rasakan. Sungguh aneh, setiap menerima notifikasi hatiku langsung berdebar-debar gak jelas.
Feelingku begitu kuat, dan yakin kalo itu sebuah notifikasi pesan masuk darinya. Padahal bisa saja itu dari operator, atau mungkin teman baikku.
“Ya Tuhan! sejatuh cinta inikah aku sama makhlukmu yang satu ini?” batinku menjerit.
Hati yang setiap waktu selalu berdebar- debar karenanya, membuatku benar-benar seperti sedang berada di taman yang penuh bunga nan cantik.
Tapi aku selalu menolaknya, dan selalu bilang bahwa ini hanyalah perasaan yang berlebihan.
“Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta hanya karena sering chattingan? bahkan kenalpun nggak. Jangankan kenal, ketemu aja gak pernah,” batinku menolak keras.
Kalimat itulah yang selalu ada di pikiranku tiap kali hatiku merasa berdebar karenanya. Bisa di bilang itulah caraku mengendalikan hatiku.
Di tambah aku punya alasan besar kenapa aku selalu menolak perasaan yang datang. Karena saat masih duduk di bangku SMP, aku pernah bertekad gak akan pacaran.
Dan hanya akan jatuh cinta sekali seumur hidup. Sebuah perasaan yang hanya akan aku berikan pada jodohku.
Beberapa hari dilema dengan perasaanku, dan di tengah kegalauan itu tiba-tiba ada chat masuk dari orang yang enggak aku kenal sama sekali.
Sebuah akun dengan nama cowok dan juga foto profil yang menyembunyikan wajahnya. Dia tidak bercadar, maksudku pria itu menggunakan foto bunga.
📱“Hai! kamu Putri ya?”
“Iya, ini siapa ya?”
Batinku bertanya-tanya, “Kok bisa tau namaku? sebenarnya orang ini siapa? apa teman satu sekolah? kayaknya gak mungkin, apa teman satu kelas? tapi masa sih!”
Disaat aku sibuk dengan tebakanku, seseorang di seberang sana tengah mengetik dan memberikan jawabannya.
📱“Aku Gilang Anggara, sepupunya Nathan.”
“Oh, ternyata sepupunya kak Nathan,” batinku berkomentar.
“Berarti bukan asli Indonesia juga ya?” balasku.
📱“Iya, di sini aku juga belajar sama kayak Nathan.”
Sebenarnya aku enggan mengobrol dengan cowok. Bukan karena perasaanku pada kak Nathan, tapi memang semenjak insiden 7 tahun lalu itu membuatku kesulitan berinteraksi dengan lawan jenis, dan gak bisa ngobrol dengan nyaman.
Tapi mengingat dia adalah sepupunya, dan kita juga berinteraksi di balik ponsel, membuatku jadi terbuka juga untuknya.
Di tambah, karena saat ini aku yang sudah menganggap kak Nathan sebagai temanku.
Jadi, semua orang yang berada di sekitarnya, sebisa mungkin aku akan selalu menghargai dan bersikap sopan, walau aku tak mengenal mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!