...TANGISAN DI PENGUJUNG MALAM...
...Penulis : David Khanz...
Malam itu aku duduk termenung seorang diri di ruang tengah, bertemankan segelas kopi hitam kental dan sebungkus rokok kretek kegemaranku. Hembusan nafas berat bercampur asap nikotin sesekali menghentak kesunyian di antara remang cahaya lilin kecil yang mulai redup. Sebentar lagi pasti akan segera padam, saat batang habis terbakar. Entah kapan listrik ini akan menyala, sejak hujan deras mengguyur sore tadi, tiba-tiba PLN memutus aliran.
Aku segera bergegas mengambil potongan lilin baru untuk mengganti yang telah mulai habis meleleh, agar nyala api tetap terjaga. Sambil sesekali melihat-lihat kondisi anakku, Reyhan, yang masih terlelap di atas peraduan, di bilik kamar tidur sebelah.
Kasihan sekali anak itu. Diusia masih menyusui, dia baru saja kehilangan sosok ibu kandungnya tadi siang. Ya, istriku baru saja meninggal dunia. Pagi hari tadi saat hendak berangkat kerja, masih terlihat senyuman manis di bibirnya. Mengiringi langkahku untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami sekaligus ayah dari anakku yang baru berusia satu setengah tahun, mencari nafkah dan bekal penghidupan.
"Hati-hati di jalan, ya, Bang. Jangan terlalu sore pulangnya," ujar istriku dengan suara lirih dan wajah yang tampak pucat.
"Kamu sakit, Neng?" kuraba dahinya sebentar. Terasa sedikit panas, "kamu demam?"
Dia tersenyum, "Mungkin efek dari batuk, Bang. Aku sudah minum obat, kok."
"Ya, sudah. Kamu istirahat saja dulu. Biar tugas rumah aku yang kerjakan nanti, sepulang dari sawah."
"Iya, Bang," jawab istriku sambil menyerahkan tempat makanan untuk bekal aku makan siang nanti di sawah, "Abang tidak usah risau memikirkanku. Mungkin setelah tiduran, demam ini akan segera reda."
Setelah mengecup keningnya yang panas, aku segera melangkah pergi meninggalkan istriku serta Reyhan.
"Hati-hati di jalan, Bang!"
Kalimat itu yang terakhir kali terucap dari bibirnya pagi tadi dan sekaligus kudengar, untuk selamanya. Karena sepulang dari sawah dan tiba di rumah, hanya suara tangisan Reyhan yang nyaring terdengar. Anak itu nampak tergolek di samping tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku dan dingin. Istriku meninggal dunia.
Aku terperanjat dari lamunan seketika saat suara tangis Reyhan membuncah keheningan malam dari bilik kamar tidur. Segera kuburu tubuhnya dan mendekap erat anak itu di balik cengkeraman lengan ini untuk memberinya sedikit kehangatan. Lalu kubawa ke tengah ruangan yang lebih terang dengan nyala lilin yang baru saja diganti.
Tangis Reyhan semakin menjadi. Anak itu tidak juga mau diam dalam dekapan, walaupun sudah kusumpalkan dot botol berisi susu Kambing yang masih hangat.
"Kamu pasti lapar, kan, Nak?" bisikku lirih sambil mengayun-ayun tubuh Reyhan agar segera tenang. "Minumlah susu ini, ya?"
Hanya sesaat Reyhan mau mereguk susu yang kuberikan, sebentar kemudian kembali dia menangis. Menangis, menangis dan menangis. Bahkan sampai berapa lama anak itu meronta dalam tangisnya, aku tak tahu. Pekiknya semakin keras. Sampai kemudian ....
Aku mendengar suara-suara gemeretak dari arah luar rumah. Kupasang lebih kuat telingaku di antara suara-suara rincik hujan yang masih turun. Ya, suara itu sesekali terdengar sangat jelas.
"Pencurikah?" tanyaku dalam hati.
Perlahan aku kembali ke bilik kamar tidur dan menaruh tubuh Reyhan yang masih menangis, di atas kasur.
"Sebentar, ya, Nak. Bapak mau memeriksa kandang kambing dulu. Siapa tahu ada pencuri di sana."
Setelah mengambil parang yang terselip di dinding kayu, aku segera bergegas menuju kandang kambing yang berada persis di belakang rumah. Sambil mengendap-endap di tengah kegelapan, perlahan aku berjalan selangkah demi selangkah dengan bilah parang yang siap terhujam.
Bersamaan dengan itu tiba-tiba tangis Reyhan mendadak berhenti.
"Mungkin anak itu tertidur kelelahan ... " gumamku dalam hati.
Tidak! Reyhan tidak tidur. Samar-samar kudengar suara-suara gemericik seperti suara anak kecil yang sedang lahap meminum susu.
"Mungkin Reyhan sedang mengisap ibu jari tangannya sendiri .... "
Sekali lagi aku berusaha memusatkan pikiran di antara intaian kandang kambing dengan suara Reyhan. Tapi kondisi anakku rasanya tak boleh kulalaikan. Apalagi suara decak mulut anak itu semakin jelas terdengar di balik dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
Penasaran, aku mencari-cari lobang kecil dinding bilik bambu untuk melihat kondisi Reyhan. Sisa penerangan lilin yang ada di ruang tengah sedikit membantu penglihatanku menerobos keremangan suasana kamar tidur.
"Ya, Tuhan!"
Hampir saja aku terpekik kaget di balik lubang bilik yang digunakan untuk mengintip. Di dalam kamar tidur itu samar-samar kulihat ada sesosok putih tengah memangku dan menyusui anakku, Reyhan.
Kuusap mata berulang seakan tak percaya dengan apa yang terlihat barusan. Tapi mata ini tetap menangkap sosok yang sama itu di antara keremangan sisa cahaya lilin. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba sosok itu berkata pelan dan nyaris tak terdengar di antara riuh rintik hujan yang menghantam bumi.
"Ikutlah denganku ya, Nak."
Seketika aku segera menghambur memasuki rumah memburu kamar tidur, di mana Rayhan tadi kutinggalkan.
"Reyhan!"
Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali anakku sendiri. Lalu sosok putih tadi?
"Neng, kaukah itu?"
Tiba-tiba aku teringat pada sosok istriku yang telah meninggal tadi siang. Tidak ada jawaban selain keheningan malam.
Aku segera memeriksa kondisi Reyhan. Anak itu sedang terlelap tidur. Nafasnya masih ada. Tubuhnya juga hangat seperti biasa.
Syukurlah! Tidak terjadi apa-apa pada anakku. Mungkin saja sosok yang kusaksikan tadi hanya sekedar tipuan penglihatanku saja. Hasil dari bias cahaya lilin yang memantul dari ruang tengah. Bisa jadi.
Saat itu yang diinginkan hanyalah memeluk anakku. Memberinya kehangatan dari desiran angin malam yang menerobos dari celah dinding bilik bambu. Kehangatan. Ya, kehangatan.
Kehangatan? Tiba-tiba aku terbangun dari lelap yang sesaat tak terasa menyergap. Reyhan, anak itu ....
Tidak ada lagi kehangatan di tubuh anak itu. Kecuali rasa dingin dan kaku.
"Reyhan .... " setengah berteriak aku berusaha mengguncang-guncang tubuh anak itu yang tetap terpejam dalam diam.
T A M A T
------- o0o -------
ELEGI DI PENGUJUNG RAMADAN
Penulis : David Khanz
Deru mesin kendaraan yang keluar masuk terminal Baranang Siang, Bogor, terus menjerit bising menusuk gendang telinga. Asap hitam yang menyembur dari corong knalpot yang usang, pongah menggembosi setiap orang sambil menutup lubang hidung.
Aku duduk terhenyak melepas lelah di sebuah bangku pelataran terminal, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Surabaya.
Kerongkongan terasa kering kerontang, ditambah dendang perut yang terus berbunyi. Ah ... andaikan bukan bulan puasa, sudah sedari tadi aku usir semua derita ini. Apalagi tak jauh di depan sana, banyak warung nasi yang tetap buka dan setia melayani pembeli yang tidak berpuasa.
Astaghfirullah!
Aku hanya bisa duduk termangu sambil mendekap erat tas ransel. Khawatir disaat lengah, ada tangan jahil yang berusaha mengambilnya dariku.
Sesaat kemudian pandangan ini beralih pada sosok pedagang buah-buahan yang tengah menawarkan jualannya. Teringat pekerjaanku selama ini. Jauh-jauh datang dari tanah Pasundan ke Surabaya, hanya untuk menjadi seorang pedagang pakaian emperan jalan. Semula tak pernah menyangka akan mendapatkan pekerjaan semacam itu. Namun karena sudah terlanjur dan ternyata keuntungannya berlipat, maka aku berusaha mempertahankan profesi itu hingga saat ini. Bayangkan, tiga tahun bolak-balik antara Sukabumi dan Surabaya. Setiap setahun sekali pulang ke rumah. Tepatnya, saat menjelang lebaran tiba.
Setiap bulan menyisihkan keuntungan yang kudapat untuk sekedar bekal pulang kampung kelak.
Makanya tidak sekedar lumayan, namun begitu pulang kampung, aku bisa membelikan apapun yang anak dan istri inginkan. Bahkan untuk kedua orang tua dan mertua sekali pun.
Syukurlah!
Kulirik jam tangan, sudah pukul tiga sore. Lumayan, begitu sampai di rumah nanti, aku bisa langsung berbuka puasa dengan keluarga. Oh ya, ini puasa hari terakhir. Berarti besok lebaran.
Terbayang beberapa saat lagi, anak dan istri akan menyambut kedatanganku dengan sukacita. Apalagi bekal uang yang ada rasanya lebih dari cukup.
"Pulang mudik, Nak?" Tanya seorang laki-laki paruh baya yang duduk di samping, mengagetkanku.
"O, iya, Pak!" Jawab aku singkat masih diliputi rasa kejut.
Laki-laki paruh baya itu manggut-manggut sambil tersenyum.
"Ke mana?" Tanya dia lagi.
"Sukabumi."
"Sukabumi? Wah ... lamun kitu mah kita gak berjauhan atuh," seloroh laki-laki itu dengan logat khas pribumi setempat.
"Memangnya Bapak linggih di mana keurah?" Aku ikut latah dengan aksen asliku.
"Oh, teu jauh! Abdi mah di Cisaat," jawabnya sambil terkekeh.
Aku tersenyum, berusaha membalas keramahannya. "Wah, kalo gitu mah, kita bisa papaharè atuh, Pak."
Akhirnya ada teman bicara dengan tujuan tempat yang sama, tentunya.
Lelaki paruh baya itu tersenyum sejenak.
"Hatur nuhun! Sepertinya gak bisa, Nak. Saya tèh mau nyimpang dulu ke rumah anak yang ada di Ciseeng! Sudah lama gak ke sana. Rindu rasanya hoyong ketemu sama cucu-cucu saya," ujar lelaki itu dengan sorot mata seperti tengah membayangkan orang-orang yang ia maksud tadi.
"Biasanya kalau menjelang lebaran begini, justru anak cucu yang datang pada orang tua. Bukan sebaliknya, Pak," aku menyela di antara lamunannya.
"Kondisi keluarga anak saya itu gak lebih baik dari saya sendiri, Nak. Jarang sekali mereka punya kesempatan untuk bisa datang menjenguk saya."
"Maksud Bapak?"
"Ya ... jangankan untuk sekedar punya ongkos ke Sukabumi, udah bisa makan sehari aja sungguh merupakan rejeki yang teramat besar bagi mereka."
Aku tertegun.
Sungguh beruntung sekali nasib keluargaku. Ternyata jika kita mau meluangkan waktu untuk melihat ke bawah, masih banyak orang yang hidupnya tidak seberuntung kami.
Dalam hati mendadak timbul rasa iba yang mendalam. Ingin rasanya aku membantu. Apalagi perbekalan yang kubawa sekarang ini.
Tidak, jangan percaya dulu dengan kata-kata dan cerita mengharukan lelaki tua itu. Siapa tahu ini modus penipuan baru. Di jaman seperti sekarang ini, para penjahat dituntut lebih pintar dalam bertindak dan berpikir. Apalagi di saat roda perekonomian masyarakat yang tengah merosot dan kebutuhan hidup menjelang lebaran yang semakin meningkat. Dan ... apalagi dia orang yang baru dikenal. Siapa tahu sejak tadi ia sudah mengincar perbekalanku. Ah, terkutuk! Jangan dikira aku orang yang gampang dibodohi!
"Sudah berkeluarga, Nak?" Tanya lelaki paruh baya itu kembali. Seakan tengah menyelidik.
Hhhmm ... aku tak akan terkesan dengan sikapnya yang ramah itu. Walaupun dari segi usia kita terpaut jauh, namun jangan dikira aku ini anak kemarin sore, Pak.
"Udah, Pak. Punya anak dua. Lumayan, hitung-hitung mengikuti saran pemerintah. Cukup dua saja," aku berusaha menahan kesan buruk tentang orang ini.
"Syukurlah, semoga menjadi keluarga yang bahagia," ujarnya sambil menepuk bahuku.
Aku terkesiap. Jangan sampai terlena. Jangan-jangan ia tengah memanterai atau bahkan menghipnotisku.
"Terima kasih," jawab aku sambil menepis tangannya yang masih menempel di bahu.
"Kelihatannya kamu jarang bertemu keluarga, Nak?"
Sial! Darimana dia tahu? Ataukah ...
"Kok, Bapak tahu?"
Laki-laki itu tersenyum.
"Tas ranselmu."
Tepat dugaanku. Ia tengah mengincar perbekalanku.
"Dulu waktu saya masih seusiamu, saya juga sering berkelana untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sehingga gak jarang keluarga sendiri pun kadang terlupakan. Namun di saat hari yang direncanakan tiba dan kita mempunyai sesuatu yang pantas untuk diberikan, berapapun banyaknya gak akan menjadi beban untuk membawanya," lelaki itu kembali menepuk bahuku.
Persetan kau, Tua Bangka! Aku tahu apa yang tersembunyi di balik kata-kata manismu itu.
Hati ini tiba-tiba terasa dibakar bara api yang tengah menyala. Panas. Ingin rasanya menghujani mulutnya yang laknat itu dengan beberapa kepalan tinju.
Niatku sudah bulat. Tak peduli sedang berada di tengah keramaian. Masa bodoh dengan puasa yang tengah dijalani. Persetan dengan ....
"Syukurlah, akhirnya bisnya datang juga," ujar laki-laki paruh baya itu seraya bangkit dari tempat duduknya.
Aku membatalkan niat penyerangan.
Hhmmm ... rupanya si tua bangka itu sudah mengendus niatku tadi. Ia berusaha mengindar.
"Saya permisi dulu ya, Nak. Mau ke Ciseeng dulu. Semoga kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti," laki-laki itu bergegas menaiki bis yang dimaksud.
Laknat, siapa pun tak akan sudi bertemu dengan manusia kotor sepertimu.
Bathinku terus berbisik busuk. Tak tahu, nuranikah yang berkata demikian atau pengaruh bisikan syetan? Ah, terlalu jauh aku berpikir.
Tapi ... ya Allah, tak jauh dari tempatku duduk, ada sebuah dompet kumal tergeletak di sana. Dompet siapa itu? Pasti yang pernah duduk di sana tadi. Dan orang tersebut pastinya baru saja pergi. Kalaupun telah lama berada di sana, mustahil rasanya jika masih aman berada di tempat seramai itu.
Tunggu, orangnya baru saja pergi? Seingatku yang tadi berada di sana itu, ya, lelaki setengah baya tadi. Pasti milik dia.
Segera kuambil dan secepat mungkin mengamankannya ke dalam tas ransel. Selagi perhatian orang-orang sekitar tak tertuju padaku. Aha, selamat.
Untuk mengindari lelaki tadi itu, aku harus segera pergi. Tak menutup kemungkinan ia akan segera kembali dan mencari-cari dompetnya.
Ha Ha Ha ... mampus kau, Tua Bangka! Senjata makan tuan. Semula aku yang akan kau jadikan korban, kan? Tapi kini, malah ia yang harus merasakan karmanya sendiri.
Di tempat sunyi, aku mencoba memeriksa isi dompetnya. Hanya ada selembar KTP usang dengan masa berlaku yang sudah habis. Fotonya pun sudah tak dapat dikenali. Ada beberapa lembar uang yang berjumlah dua ratus ribu rupiah. Hhhmm ... pasti uang dari hasil aksi kejahatan.
Uang itu? Ah, lumayan. Lebih baik aku ambil saja untuk menambah bekal. Terbayang pesta lebaran yang semarak bersama anak istri. Wajah-wajah lucu yang ceria dan senyum manis istriku. Tunggulah kalian semua, sebentar lagi orang yang kalian rindukan akan segera tiba.
Untuk menghindari kejaran lelaki tua tadi, aku memutuskan naik kereta api saja. Lumayan, di samping murah, juga bisa cepat sampai di tujuan. Tak akan terjebak kemacetan jalan raya.
Singkat cerita ... stasiun demi stasiun kereta telah terlewati. Hari mulai menampakan kegelapan. Pemandangan di luar jendela kereta dipenuhi kerlap-kerlip lampu dari rumah-rumah penduduk. Sementara gema takbir sudah mulai berkumandang menghiasi langit Pasundan.
Ketika waktu Maghrib tiba, semua penumpang segera membuka perbekalan masing-masing. Tak terkecuali aku. Namun ....
Ah, sial!
Hanya tersedia sebotol air mineral. Tadi lupa membeli perbekalan makanan. Mungkin karena tergesa-gesa ataukah ... rasa takut dengan lelaki paruh baya yang ditemui tadi siang? Huh, pikiran itu lagi!.
Segera kubuka penutup botol air mineral dan siap-siap menuangkan ke dalam mulut, namun tiba-tiba ....
"Maaf, Kang," seru seorang pemuda dekil tak sengaja menabrakku.
Tak sakit sih, tapi yang disesalkan adalah botol air minum yang kupegang terlepas tumpah tak tersisa. Sial, belum setetes pun air yang sempat menyentuh bibir keringku.
Orang-orang yang ada di sekeliling tampak tak begitu peduli dengan keadaanku.
Huh, dasar manusia-manusia munafik. Katanya puasa itu untuk turut merasakan penderitaan kaum fakir? Tapi nyatanya tak ada satu pun yang merasa iba padaku.
Hhmmm ... akhirnya hanya bisa menikmati rasa haus dan laparku yang tidak kunjung reda.
Anehnya, tak seperti biasanya di dalam kereta, tak ada satu pun penjual makanan dan minuman. Biasanya mereka senantiasa berlalu-lalang menjajakan dagangan. Tapi saat itu benar-benar sepi. Mungkin karena mereka juga sibuk untuk persiapan lebaran besok! Mudik? Sudah tentu.
"Tas ranselku?" Tiba-tiba teringat tas yang sedari tadi tergeletak di samping tempat dudukku.
Tapi ... barang itu tak ada di tempatnya. Mataku sibuk menelusuri setiap jengkal tempat sekitar. Tapi tas itu memang sudah tak ada di sana. Kemana? Selama diperjalanan ini aku tak pernah ke mana-mana. Apalagi meninggalkan tas itu. Tapi ...
Tunggu, rasanya aku pernah lengah mengawasi. Kapan? Hhhmm ... ya saat pemuda dekil itu menabrakku. Dan ... ya Allah, pasti ia yang mengambilnya. Mengapa baru sadar sekarang?
Ingin rasanya aku berteriak marah, kesal dan segudang rasa yang sulit untuk diungkapkan. Bagaimana tidak? Di saat angan-angan indah sudah di depan mata dan hanya tinggal menunggu waktu beberapa saat, di saat itu pula lah semuanya sirna tak membekas!
Beberapa pasang mata penumpang yang ada di dalam kereta menoleh kearahku. Memandang aneh dan takut dengan raut mukaku. Seperti melihat ada syetan yang hendak mencekik leher-leher mereke. Sial, aku bukan iblis. Aku ....
Bukan iblis? Tapi mengapa di saat gema takbir yang tengah berkumandang itu aku malah ingin menutup lubang telinga? Bukan panas yang dirasakan, bukan pula rasa sakit yang hadir. Tapi suara itu seolah-olah tengah mengejek aku yang tengah mengalami musibah menyedihkan ini.
Apalah arti lebaran dengan tangan hampa seperti ini. Tak sepeser pun rupiah yang kubawa. Tak juga secuil oleh-oleh yang menggantung di tangan. Apa nanti kata anak dan istri? Berbulan-bulan meninggalkan mereka, hanya untuk meratapi nasib sehari.
Akhirnya, setelah perjalan berakhir, aku hanya bisa menyusuri jalan setapak dengan pikiran yang mengambang jauh entah ke mana. Tak tahu apa sebenarnya yang ada dalam benakku saat ini.
"Ya Allah, hei ... Anak Muda," satu suara serak dan besar dari dalam sebuah rumah tua memanggilku.
Aku menoleh dan ....
"Astaga ... " aku terkejut.
Suara itu milik lelaki paruh baya yang kutemui di terminal bis tadi siang. Ia ada di sini. Persis hanya terhalang satu bangunan dari rumahku sendiri. Apakah dia tetanggaku? Bertahun-tahun lamanya mengembara, sampai tak mengenali kondisi sekeliling kampungku sendiri.
Aku tak bisa bicara. Mulut terbuka namun tak satu pun suara yang mampu terucap.
"Rupanya kamu warga sini juga ya? Syukurlah," lelaki paruh baya itu menepuk bahuku, "tadinya saya mau ke Ciseeng, tapi dompet dan uang hilang! Saya bingung dan gak tahu harus berbuat apa. Saya sama sekali tidak punya uang untuk ongkos pulang."
Aku terhentak. Sedih atau malu kah yang dirasa saat ini?
"Tapi Allah masih berkenan menolong. Di saat itulah saya bertemu dengan anak, cucu beserta menantu saya di terminal itu. Allah telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjengukku. Walaupun ... tanpa membawa apa-apa, namun kedatangan mereka di sini justru lebih mahal nilainya dibanding apa pun yang pernah saya miliki sebelumnya," ujar lelaki itu dengan senyum bahagia yang senantiasa menghiasi setiap kata yang terucap.
Aku tertunduk malu.
Menyesal rasanya telah melakukan kesalahan. Dan ... ya Allah, Engkau telah memberikan balasan yang setimpal. Tunai. Tanpa menunggu waktu. Saat itu dan hari itu juga.
...SELESAI...
...GONE...
...Penulis : David Khanz ...
Sudah setengah jam lebih Jack berdiam di depan sebuah warung kopi, menunggu kedatangan Dul. Mereka berdua memang sudah berjanji akan bertemu di sana, untuk berangkat bersama menuju acara reuni, pukul delapan malam ini. Karena Dul tak punya kendaraan, maka terpaksa dia ikut nebeng pada satu-satunya teman searah rumah mereka ini.
Jack duduk sendiri di atas jok motor, menyalakan sebatang rokok sambil memperhatikan keadaan sekitar yang sunyi dan hanya diterangi lampu kecil di depan warung. Remang di bawah terpaan bohlam berdaya kecil. Hanya sesekali lewat kendaraan angkutan umum melintas, menerangi sekilas tempat di mana Jack berada saat itu.
Kemudian, sebuah kendaraan angkutan umum berhenti tepat di depan warung kopi tempat Jack berada. "Enggak, Bang. Saya lagi nunggu teman dan bawa motor pula," seru Jack pada sopirnya yang tak pernah melihat sedikit pun ke arah anak muda itu berdiri.
Sopir tersebut hanya menoleh sesaat ke arah belakang kendaraan dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat dan tampak dingin. Tak berapa lama, kendaraan itu pun melaju kembali meninggalkan sosok Jack sendirian.
Jack hanya menggelengkan kepala tanpa sempat berpikir apa pun mengenai sopir angkutan umum barusan.
"Buset, dah, ke mana tuh bocah, yak? Janji ketemu di sini jam delapan, tapi sampe sekarang masih belom keliatan batang idungnya," kata Jack kesal dalam hati. Sebentar-sebentar dia melirik jam kecil digital yang melingkar di tangannya, sudah hampir menunjukan pukul sembilan.
"Jack .... " panggil satu suara tiba-tiba di belakang anak muda tersebut.
"Eh, buset, deh!" seru Jack langsung menoleh dan mengenali sosok yang memanggilnya barusan. "Ngagetin aja lu, Dul!"
"Hehe ... sori, Cuy, gue baru dateng," ujar Dul cengengesan. "Lama lu nunggu?"
"Ampe lumutan gue nungguin elu! Ke mana aja, sih? Gue telpon HP elu kagak aktif!" timpal Jack kesal.
"Sori ... sori ... gue ada perlu dulu. HP gue lowbat." Jack kembali tertawa geli melihat reaksi kawannya yang satu ini. "Ya, udah. Yok, kita cus!"
Mulut anak muda itu bersungut-sungut dengan kalimat tak jelas, sambil mengenakan helm. Sebentar kemudian keduanya melaju di atas motor yang dikendarai oleh Jack, menembus kepekatan malam.
Satu jam kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Dul langsung turun sambil memegangi pangkal pahanya.
"Kenapa lu, Dul? Takut gue bawa ngebut?" ejek Jack cekikikan di balik helm full face-nya, melihat raut wajah Dul tampak memucat.
"Gue pengen boker, Cuy!"
"Ya, udah sono!" ujar Jack tapi heran melihat arah langkah Dul menuju sebuah kebun gelap. "Woy, Bro! Di dalem ada toilet, ngapain elu ke sono?"
Dul tak mendengarkan seruan Jack, anak muda itu tetap berjalan dan menghilang di kegelapan.
"Dasar kampungan! Kebiasaan boker di kali ngkali tuh bocah!" gerutu Jack lalu segera memarkir motornya dan masuk ke dalam gedung tempat acara dilangsungkan.
★ ✩ ★ ✩ ★ ✩ ★ ✩
Dul berdiri mematung seorang diri di depan sebuah warung kopi. Sesekali anak muda itu berdecak kesal sambil melihat-lihat ujung jalanan yang sepi. Raut wajahnya tampak kesal dan gelisah, serta kerap memperhatikan putaran angka jam di tangan. Sudah menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit.
"Gila tuh si Jack! Kebiasaan ngaret!" rutuk Dul kesal mengingat temannya yang satu itu. "Janjian jam delapan, tapi jam segini masih aja belum nongol tuh bocah sialan! Keburu malem dah datang ke acara. Mana HP-nya kagak aktif lagi. Sialan!"
Akhirnya Dul memutuskan untuk menaiki sebuah kendaraan angkutan umum yang kebetulan lewat di depan. Lumayan masih kosong. Hanya berdua antara dia dan sopirnya.
"Gedung Genta Buana, ya, Bang?" tanya Dul yang duduk di bangku belakang, sesaat setelah kendaraan tersebut melaju.
Sopir itu tak menjawab, hanya mengangguk perlahan dengan tatapan tajam melalui cermin tengah di atas dashboard. Wajahnya tampak pucat tak bergairah. Dul sampai bergidik dan pura-pura tak pernah memperhatikan sosok itu dengan memainkan ponsel sedemikian rupa.
Tak ada percakapan sama sekali selama di perjalanan. Kendaraan berhenti tepat di tempat tujuan beberapa waktu kemudian. Dul segera turun dari dalam kendaraan.
"Berapa, Bang?" tanya Dul sambil merogoh kantong celananya mencari lembaran uang recehan.
Sopir itu menggelengkan kepala disertai senyuman dingin menggidikan, kemudian pergi begitu saja tanpa menjawab sepatah kata pun pertanyaan Dul tadi.
"Sopir aneh! Narik angkot segitu jauhnya tapi kagak mau dibayar," gumam Dul heran. " ... tapi makasih, deh, Bang. Semoga mendapat rejeki yang melimpah, ya."
Dul bergegas masuk ke dalam gedung tempat acara yang akan diikutinya, khawatir datang telat dan telah melewati momen yang dia tunggu-tunggu.
★ ✩ ★ ✩ ★ ✩ ★ ✩
Baru beberapa saat Dul duduk sambil menikmati hidangan, tiba-tiba muncul Jack mendekati.
"Dul ... kok, elu di sini? Bukannya barusan elu bilang mau boker di depan sana?" seru Jack di antara hingar bingar alunan suara musik di dalam ruangan, seraya menepuk pundak Dul.
"Boker apaan? Gue baru dateng! Elu, gue tunggu dari jam delapan kagak dateng-dateng. Ngapain aja, sih, lu? Kalo gak mau bareng, bilang, dong!" balas Dul masih kesal melihat temannya yang satu itu.
"Kagak dateng gimana? Eh, gila! Gue nunggu sendirian dari jam delapan di depan warung, elu kagak ada. Hampir satu jam gue diem di sono! Mau nelpon elu kagak aktif! Kampret!" timpal Jack tak mau kalah.
"Kagak aktif gimana? HP gue dari tadi nyala terus, Cuy! Elu aja ngkali yang gak niat barengan ama gue!"
"Eh, gila! Elu tadi berangkat jam berapa?" tanya Jack penasaran.
"Jam sembilan kurang, naek angkot lagi. Abisnya elo kagak nongol-nongol juga di warung itu!"
"Apa? Naek angkot? Jam sembilan kurang? Elo nunggu di depan warung kopi tempat biasa kita nongkrong, kan?" Jack semakin penasaran.
"Lah, emangnya di mana lagi? Kan, kita janjiannya di sono!" jawab Dul mulai merasa ada yang tidak beres. "Ada apaan, sih, Cuy?"
Jack menatap mata Dul dalam-dalam. "Gue tadi lihat ada angkot berhenti pas di depan warung kopi itu, tapi gue gak lihat elu naek?"
"Yang bener lu?" Mata Dul mulai membesar.
"Eh, serius elu naek angkot?" tanya Jack sambil berpikir keras.
"Berani sumpah gue, Jack! Gue masih kesel ama elu!" gerutu Dul masih belum paham apa yang telah terjadi.
"Ini ... beneran elu, kan, Dul?" Jack meraba-raba bahu Dul.
"Iyalah, ini gue! Ngapain, sih, lu?" Dul menepis tangan Jack dari bahunya.
Jack melirik sebentar ke arah pintu keluar gedung. "Terus ... yang tadi naek motor ama gue siapa?"
"Dia siapa?" tanya Dul tak mengerti.
"D-dia ... d-d-ia .... " Jack menunjuk-nunjuk arah luar gedung. " ... yang lagi boker."
"Iya, siapa yang boker?"
"Elu .... "
"Gue gak kepicirit! Sialan lu!"
" ... tapi ... "
Percakapan mereka terhenti, karena tiba-tiba ada pengumuman melalui pengeras suara di dalam ruangan tempat acara berlangsung. Alunan musik dihentikan seketika, lalu disusul seseorang maju ke atas pentas dengan raut muka muram. "Selamat malam rekan-rekan semua. Maaf, acara terganggu sejenak karena ada kabar yang harus saya sampaikan. Baru saja saya mendapat informasi dari salah seorang rekan kita yang baru datang, bahwa ... salah seorang teman tercinta kita ... Saudara Abdul Hamid atau biasa kita panggil Dul, beberapa jam yang lalu telah meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kronologisnya, saat menuju tempat ini, kendaraan angkutan umum yang ditumpangi korban bertabrakan dengan sebuah truk hingga badan kendaraan mengalami rusak berat. Nahasnya, Saudara Dul langsung meninggal dunia di tempat kejadian. Untuk itu, marilah kita sejenak berdoa menurut keyakinannya masing-masing, semoga almarhum Abdul Hamid diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin."
Jack menatap Dul dengan tajam, lalu berteriak keras, "Teman-teman! Dul belum meninggal! Dia ada di sini bersama kita!"
Serentak para tamu undangan menoleh dan beberapa di antara mereka bergegas menghampiri Jack yang histeris.1
"Dia belum meninggal! Itu dia orangnya!" teriak Jack sambil menunjuk-nunjuk sosok Dul yang hanya bisa terdiam membisu dengan wajah pucat pasi.
Salah seorang teman Jack berkata sambil menepuk bahu anak muda itu beberapa kali. "Sabarlah, Jack. Relakanlah kepergian sahabatmu itu. Kita juga di sini sama-sama berduka dan turut kehilangan sosok almarhum .... "
"Tidak! Dia masih hidup dan ada di sana sedang melihat kita semua!" Jack semakin histeris lalu jatuh tak sadarkan diri.
...SELESAI...
...PANGGILAN DARI ALAM GAIB...
...Penulis : David Khanz...
"Hati-hati, ya, di jalan. Kalo udah nyampe di rumah, kasih tahu gue!" Ghea melambaikan tangan melepas kepergian sahabat lamanya yang sudah berada di dalam bis.
"Tentu dong, Say. Jangan lupa kontek-kontekan, ya," balas Irene dari balik kaca jendela kendaraan yang terbuka, "nomor hape gue udah elo save, kan?"
"Udah dong, Say," jawab Ghea sambil tersenyum, "pokoknya gue bakal tunggu kabar dari elo. Awas, kalo sampe kagak!"
Irene tertawa lalu memberikan kode kedua jempol tangannya.
Tidak berapa lama, bis yang ditumpangi Irene mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir terminal. Ghea melambaikan kembali tangannya, dibalas Irene dengan hal yang sama. Perlahan roda kendaraan itu mulai menginjak jalanan raya, sampai kemudian hilang dalam temaram alam pagi hari.
Ghea segera menghidupkan motornya lalu memacu lesat menembus dinginnya udara. Sementara dari kejauhan samar terdengar lantunan suara ayat-ayat suci mengisi langit yang masih pekat, menyambut jelang tibanya waktu untuk mengagungkan Sang Illahi.
Irene adalah sahabat Ghea yang sudah berpuluh tahun tak saling jumpa. Terakhir pamit dan berpisah, saat acara pelepasan siswa kelas enam di sekolahnya dulu. Sejak itulah mereka seperti padam perapian. Tak tahu kabar berita dan tak ada tempat untuk bertanya. Akhirnya kedua sahabat itupun saling terlupa sejalan waktu berlalu.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sore kemarin, tiba-tiba Irene muncul di depan rumah Ghea. Datang bertamu hendak melepas rindu, sambil bercerita tentang masa lalu.
Tentu saja ini menjadi saat-saat yang sangat bersejarah bagi keduanya, setelah sekian lama hilang dalam pisah.
"Gue abis dari rumah tante di Jakarta. Jadi keingetan, pengen sekalian mampir dulu ke rumah elo. Sebelum lanjut pulang ke Bandung," itu awal Irene bercerita saat berada di dalam kamar Ghea.
"Nginep, ya? Sehari? Dua hari? Atau bahkan setahun juga, elo boleh tinggal di sini," Ghea mulai berkelakar seperti yang sering dia lakukan dulu, tiap kali dekat dengan sahabatnya itu.
"Gila lu, ah! Itu nginep apa ngekos, sih?" jawab Irene dengan suara cemprengnya.
Keduanya tertawa terbahak-bahak.
"Gue cuma numpang tidur doangan buat semalem ini aja. Lumayan buat ngehemat duit. Daripada nyewa kamar hotel, kan?" lanjut Irene kembali diiringi tawa kerasnya, "eh, elu belom punya laki, kan?"
"Belom, Say. Gue masih single."
"Ngkali aja elu udah kawin. Ntar kalo laki elu lihat gue di kamar ini, takutnya gue bakalan dijadiin bini kedua."
"Sialan lu, ah!" Ghea menepuk lengan Irene sambil tertawa kembali.
Ya, begitulah. Jika dua sahabat ini bertemu, selalu saja ada gelak tawa yang membisingkan suasana. Namun malam itu tak banyak cerita yang terungkap dari keduanya. Irene tampak lelah dan tertidur lelap dengan cepat saat Ghea telat membalas obrolannya yang penuh lawak.
"Dasar tukang molor. Gue diem beberapa menit aja langsung ngorok, nih, orang. Kelakuannya gak berubah dari dulu. Dasar!" gumam Ghea sambil menyelimuti tubuh Irene yang terasa dingin.
Dia mematikan AC kamar sebelum merebahkan diri di samping Irene. Tak lupa memadamkan lampu agar lekas terlelap. Beberapa saat kemudian, keheningan pun menyelimuti keduanya menuju alam impian.
"Ghea, bangun! Anterin gue ke terminal, yuk!" suara Irene tiba-tiba memutuskan jalinan mimpi yang tengah Ghea nikmati.
"Apaan, sih?"
"Anterin gue ke terminal, Say!"
Ghea menggeliat sebentar sambil menguap dan menghembuskan nafasnya ke wajah Irene.
"Busyet! Bau banget, sih, mulut elo!" Irene menutup hidung.
Ghea mengekeh sesaat, "Jam berapa, sih?"
"Bentar lagi shubuh. Ayo, cepetan bangun, dong, ah! Entar gue ketinggalan bis, nih!"
Ghea segera bangkit dari tidurnya.
"Sepagi ini?"
"Lah, emang mau nunggu siang?"
"Elu kok udah rapih? Udah mandi juga? Tumben!"
"Gak usah banyak cing-cong. Buruan anterin gue, yuk!"
"Bentar, gue mau mandi dulu kalo gitu."
"Kagak usah, Say! Lagian pagi-pagi gini mana ada cowok kelayaban naksir elu, ah!"
"Sialan!"
Irene tertawa ditahan. Takut membangunkan seisi rumah.
"Ya udah, tungguin. Gue mau pake baju dulu. Masa keluar pagi-pagi dalam keadaan seksi, sih?"
"Emang kenapa?"
"Takut ditaksir angin jalanan. Terus gue dimaharin pake kerokan," Ghea yang kali ini gantian tertawa, "eh, elu kirim nomor hape elu dong. Gue gak mau kehilangan kontak lagi sama elu, Ren!"
"Aaasssiiiaaappp, Bosque!" jawab Irene.
Tidak berapa lama, kedua gadis itu pun sudah melaju di jalanan melawan dinginnya udara pagi. Berpacu dengan waktu di atas motor matic yang dikemudikan Ghea. Hanya beberapa menit sudah tiba di tempat tujuan.
Sebelum berpisah, Ghea dan Irene berpelukan erat. Rasa rindu yang sekian lama terpendam, belum puas terpenuhi rasanya hanya dengan pertemuan semalam. Dalam hitungan jam, keduanya harus kembali berpisah jarak dan berjibaku dengan kesunyian gelak tawa.
"Ren, udah nyampe mana sekarang?" tanya Ghea melalui ponselnya.
"Baru nyampe Sukabumi," jawab Irene dari seberang sana.
"Oke. Entar gue hubungi lagi, ya, Say!"
"Siap. Makasih, ya, Bosque!" terdengar tawa renyah Irene di sana sebelum menutup panggilan teleponnya.
Beberapa waktu berlalu, Ghea kembali menghubungi nomor ponsel sahabatnya itu.
"Sekarang udah nyampe mana?"
"Bawel amat, sih, lu! Gue baru nyampe Cianjur."
Entahlah, tiba-tiba saja ada rasa khawatir yang Ghea rasakan tentang Irene. Ataukah karena rindu yang masih belum terpuaskan? Tak tahu. Karena sedari tadi, nomor ponsel Irene sulit dihubungi. Selalu saja gagal atau bernada sibuk.
"Mungkin gak ada sinyal?" gumam Ghea berusaha menghibur diri.
Jemarinya kembali menyentuh layar dan mengirim beberapa pesan pada Irene. Siapa tahu dengan cara seperti itu, dia akan cepat meresponnya.
Dan, akhirnya kali ini panggilan teleponnya tersambung kembali.
"Eh, gila! Kemana aja, sih, elu? Gue miscall kagak nyambung-nyambung! Gue khawatir, tahu!" seru Ghea di depan ponselnya.
"Maaf, hapenya baru saya aktifkan. Ini dengan siapa, ya?"
"Gila, jangan bercanda, ah. Elu udah nyampe rumah, kan?" Ghea mulai kesal.
"Maaf, ini dengan siapa? Mungkin Anda salah sambung, Bu?"
Ghea merapatkan layar ponsel ke daun telinganya. Dia merasa suara itu bukan suara Irene. Tapi ….
"Elu Irene, kan? Gue dari tadi gak salah mijit nomor, deh. Jangan bercanda, ah! Gak lucu, Ren!" seru Ghea lebih keras suaranya kali ini.
Terdengar suara batuk-batuk dari sana, "Ini dengan Mamanya Irene, Bu. Anda siapanya Irene, ya?"
"Lho, kok, jadi Mamanya Irene? Mungkin dia udah nyampe rumah ngkali, ya?" Ghea bergumam sendiri.
"Halo … "
Ghea segera menjawab sambil gelagapan, "Oh, maafkan aku, Tante. Aku Ghea, temen Irene waktu kecil. Tante masih ingat gak?"
"Ghea anaknya Bu Marline yang tinggal di Bogor?"
Ghea berdoa semoga ini kerjaan Irene yang sedang membuat video prank, seperti yang sering dia tonton di internet.
"Betul, Tante. Aku Ghea anaknya Mama Marline. Syukurlah, Tante masih ingat," Ghea mulai bisa bernafas lega sekarang, "Irenenya sudah sampe rumah, Tante?"
Lama tak ada jawaban dari seberang sana. Ghea tahu teleponnya masih tersambung. Samar-samar seperti ada suara isak tangis yang terdengar.
"Halo, Tante. Halo?"
"Irene tidak ada di rumah, Neng," suara Mama Irene terdengar parau.
"Ke mana, Tante? Tapi Irene sudah sampe di rumah, kan, Tante?" kembali Ghea dilanda rasa khawatir.
"Irene tak akan pulang lagi, Nak."
"Lho, kenapa, Tante? Tadi … "
"Dia sudah meninggal dunia seminggu yang lalu."
"Apa?!" hampir saja ponsel terlepas dari Genggaman Ghea, "tidak mungkin, Tante!"
"Benar, Nak. Irene meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di daerah Cianjur seminggu yang lalu."
"Ya, Tuhan!" pekik Ghea tanpa sadar.
Tubuhnya tiba-tiba terasa melemah dan ambruk ke atas tempat tidurnya.
Bagaimana mungkin bisa terjadi? Padahal jelas-jelas Irene masih tidur bareng dengan Ghea semalaman. Sulit sekali rasanya membuka pikiran Ghea untuk mempercayai. Benar-benar mustahil!
Gadis itu tak bisa menerima kenyataan bahwa sahabat yang dirindukannya selama ini, ternyata sudah tiada. Lalu, yang kemarin berkunjung ke rumah Ghea itu, siapa?
Entahlah, lagi-lagi pikirannya seperti menggulita. Tak ada secercah sinar pun yang bisa menuntunnya menyusuri jalan ke luar.
Seharian Ghea hanya mengurung diri di kamar. Dia tak bernafsu mencari penghiburan ataupun sekedar mencari udara segar bagi parunya yang masih sesak.
Kriiiinngg … !!!
Ponselnya berbunyi. Dari nomor Irene. Mungkin Mamanya yang menghubunginya.
"Halo, Tante," lirih suara Ghea menyapa.
"Woy, Say! Tante … Tante! Emang tampang gue kayak emak-emak, hah? Ke mana aja, sih, elu? Seharian tadi gue telepon kagak aktif mulu!"
Lho, itu suara Irene. Bukankah ….
"Irene … "
"Iya, ini gue. Siapa lagi? Mak Lampir? Hahaha," suara gelak Irene terdengar nyaring.
"Beneran ini Irene, kan?" Ghea masih belum percaya.
"Emang elo pikir gue siapa? Kan, kemaren malem gue nginep di rumah elo, Ghea. Paginya gue dianter sama elo ke terminal. Tadi siang baru nyampe di Bandung. Gue mau ngasih kabar, nomor elo kagak aktif!" suara cempreng Irene seperti menusuk-nusuk lobang telinga Ghea, "gue berdoa semoga elo belom pikun, Say!"
Sejenak Ghea terdiam.
"Tapi kata Mama elo tadi siang … "
"Apaan, sih? Kapan Mama gue ngobrol sama elo?" Irene tertawa cekikikan, "ini, gue lagi sama Mama gue. Elo mau ngobrol?"
Terdengar suara wanita setengah baya ikut tertawa dengan Irene di seberang sana.
"Halo, Neng Ghea. Apa kabar? Ini Ghea temennya Irene waktu masih sekolah SD itu, ya?" Mama Ghea menyapa dengan lembut, "gimana juga kabar Mama Marline sekarang?"
Gila! Ghea semakin bingung dibuatnya. Prank macam apa, sih, ini? Sungguh dia tak sanggup kalau harus terus menjalani sekenario candaan mereka itu.
Perlahan ponsel Ghea terlepas dari genggaman. Jatuh namun tak bersuara. Dan, mendadak suasana kamar menjadi gelap.
"Mati listrik?" Ghea bergumam.
Dia bangkit hendak mengambil ponselnya, namun kepalanya terantuk dengan keras ke dinding. Lalu tangannya menggapai mencari pegangan dalam kegelapan. Hanya tersentuh dinding yang lembab dan dingin dan tercium seperti aroma tanah basah.
Tanah? Sejak kapan kamar Ghea berdinding tanah? Tapi, gadis itu meraba sekujur tubuhnya. Terasa seperti sedang mengenakan kain tak berjahit dan panjang menjulur sampai membungkus kedua kakinya.
Ghea berusaha menggerakan kedua kakinya yang terasa diikat. Diikat? Lho, perbuatan siapa ini sampai tega mengikat kakinya, juga … betisnya, pinggangnya, perutnya, kedua tangannya, leher sampai ujung kain yang menutupi hingga kepalanya.
Ghea menjerit sekuat tenaga. Namun hanya kegelapan yang kian erat menyelimuti setiap pandangannya.
Ghea ….
...SELESAI ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!