NovelToon NovelToon

Di Ujung Waktu

BAB 1

Lea menyusuri gang sempit dan gelap menuju ke rumahnya. Dengan ditemani cahaya rembulan dan suara hewan malam, ia terpaksa melewati tempat itu. Meskipun ia sudah melewati gang itu selama bertahun-tahun, namu tetap saja masih ada perasaan takut untuk melewatinya di malam hari.

Saat melihat cahaya di ujung gang semakin dekat, Lea mempercepat langkahnya. Ia bernafas lega saat sudah melewati tempat itu kemudian melihat sekeliling lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah. Sesampainya di rumah, ia disambut oleh suara lemparan barang dari dalam rumah. Teriakan dan caci maki memaksa masuk ke dalam telinga Lea. Gadis itu menghela nafas lalu membuka pintu rumah.

“aku pulang.” Ucapnya pelan.

Lea melepas sepatunya dan meletakkannya di atas rak sepatu. Setelah itu dia melenggang masuk ke dalam kamarnya melewati kedua orang tuanya yang langsung diam melihat satu-satunya putri mereka sudah di rumah.

“jangan membuat keributan lagi.” Ucap Rian pada istrinya.

“membuat keributan katamu? Jadi menurutmu aku yang buat kita berantem gini?”

Rian mengabaikan pertanyaan Putri dan langsung pergi dari rumah.

“kalau kamu tidak berjudi dan menghabiskan uang kita, kita tidak akan ribut begini mas.” Teriak Putri saat melihat sang suami pergi meninggalkannya.

Putri menghela nafasnya lalu terisak pelan. Ia merasa hidupnya benar-benar sengsara setelah menikah dengan Rian. Sementara itu, Lea sedang berbaring di dalam kamarnya sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Ia sudah terbiasa dengan keributan ini sejak kecil.

Keesokan harinya, Lea bangun pagi seperti biasanya dan bersiap menuju sekolah. Ia keluar dari kamar dan melihat rumah dalam keadaan sepi. Ia berjalan ke kamar orang tuanya dan melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Lea melihat ibunya masih tertidur dan ayahnya tidak ada di dalam kamar. Ia berbalik lalu bergegas menuju ke sekolahnya. Rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya lima belas menit berjalan kaki. Lea tidak bisa naik angkutan umum karena tidak memiliki uang saku.

Sesampainya di dalam kelas, ia mengeluarkan bukunya untuk mengulang materi yang kemarin diajarkan. Saat sedang membaca, tiba-tiba seseorang merebut bukunya.

“wah rajin ya.” Ucap Lusi lalu melempar buku itu keluar melalui jendela.

Lea terkejut dan langsung berlari ke arah jendela dan melihat bukunya yang sudah jatuh.

“kenapa kamu menggangguku?”

“kenapa ya?” ucap Lusi.

“hmm karena kamu miskin?” sambungnya.

Lea terdiam sesaat lalu menatap wajah Lusi.

“kenapa menatapku seperti itu hah?” ucapnya sambil mendorong kepala Lea ke samping menggunakan telunjuknya.

“kenapa melihatku? Kamu tidak terima? Kamu tidak suka?” ucap Lusi sambil terus mendorong kepala Lea menggunakan telunjuknya.

Lea hanya bisa diam saja menerima semua perlakuan itu. Ia tahu gadis yang sedang menindasnya ini bukanlah orang sembarangan. Tidak ada yang berani menyentuhnya bahkan pihak sekolah sekalipun karena kekuasaan kakaknya di kota itu. Lusi menjambak rambut Lea agar ia mendongak dan melihatnya.

“tidak menangis dan tidak bersuara sedikitpun, kamu yang paling menarik diantara semua mainanku.” Ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan keheningan di dalam ruang kelas tersebut.

Teman sekelas Lea hanya bisa menatap iba pada gadis malang itu. Sedangkan Lea masih berdiri di tempatnya sambil mengatur nafasnya. Ia sadar betul bahwa hari ini adalah awal kehidupan tenang di sekolahnya hilang. Setelah berhasil mengendalikan dirinya sendiri, Lea bergegas turun ke bawah untuk mengambil bukunya. Tapi sayang, saat sampai di bawah bukunya sudah basah kuyup dan tulisan di dalamnya tidak bisa dibaca lagi. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan mendapati Lusi berdiri di ujung koridor dengan menggenggam sebuah botol. Gadis itu tersenyum lalu pergi. Lea berbalik dan melemparkan bukunya ke dalam tempat sampah.

Gadis itu berjalan cepat menaiki setiap anak tangga yang mengarahkannya menuju atap sekolah. Ia merasakan hembusan angin membelai wajahnya. Lea duduk di tepi pembatas sambil melihat pemandangan di bawahnya. Setetes air mata mengalir dari matanya. Hidupnya tidak pernah tenang selama ini. Di rumah kedua orang tuanya selalu bertengkar dan kini di sekolah ia diganggu. Hatinya setiap hari menjerit kesakitan tapi matanya selalu kering tanpa air mata. Ingin rasanya ia mendapat perhatian dan kasih sayang walaupun sesaat. Bahkan jika kebahagiaan sesaat itu harus ditukar dengan hidupnya, ia rela melakukannya. Angin kencang kembali berhembus dan awan di langit mulai menggelap. Lea bergegas pergi dari sana dan kembali ke kelasnya.

Sepulang sekolah, Lea harus bekerja di sebuah toko untuk mendapat uang tambahan. Ia mau tidak mau harus bekerja untuk membayar uang sekolah dan sesekali membelikan bahan makanan karena ayah dan ibunya hampir tidak memiliki penghasilan. Ayahnya seorang pecandu judi dan ibunya tidak mau melakukan pekerjaan yang menurutnya tidak cocok untuknya. Kadang ia berfikiri bagaimana mungkin orang seperti ayah dan ibunya itu menikah. Mungkikah mereka berniat untuk menghancurkan hidup darah daging mereka sendiri. Lea selesai bekerja menjelang tengah malam lalu pulang ke rumah dan mengerjakan tugas sekolah sebelum tidur. Dan setiap ia sampai di depan pintu rumah, selalu mendengar keributan dari dalam rumah.

“aku pulang.”

“Lea, kamu punya uang kan?” tanya Rian pada putrinya.

“sekarang kamu akan merampas uang dari putrimu juga?” ucap Putri

“buat apa?”

“berikan saja, nanti ayah ganti.”

“tidak punya, uangnya mau buat bayar sekolah.”

“jangan jadi anak durhaka kamu ya.”

Lea menutup kedua matanya lalu menatap tajam pada sang ayah.

“anak durhaka? Kalau aku anak durhaka lalu ayah itu apa? Apa pernah ayah kasih aku sama ibu uang? Apa pernah ayah memenuhi kewajiban ayah sebagai kepala keluarga di rumah ini? Kalau tidak punya masa depan kenapa kalian harus menikah dan melahirkanku?” teriak Lea lalu pergi meninggalkan rumah.

Rian terdiam mendengar ucapan putrinya, begitu juga dengan Putri. Lea berjalan menyusuri jalanan malam yang sepi. Hembusan angin menusuk tulangnya membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Ia berjongkok di tepi jalan yang sepi dan untuk pertama kalinya air matanya keluar dengan deras. Ia menangis sesenggukan sendirian di tepi jalanan. Setelah cukup lama, akhirnya tangisnya berhenti dan Lea segera berdiri lalu melanjutkan langkah kakinya.

“lepas. Tolong.”

Lea mendengar suara seorang perempuan berteriak minta tolong. Ia bergegas mencari sumber suara tersebut dan menemukan seorang perempuan sedang diseret oleh sekelompok pria. Ia menghentikan langkahnya dan jantungnya berdetak cepat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu gadis itu. Lalu ia mengambil ponselnya dan menyalakan suara sirine polisi. Ia dengan pelan berjalan mendekat ke arah orang-orang itu. Seharusnya mereka cukup bodoh untuk mempercayai trik kecil yang Lea lakukan. Tapi nyatanya mereka benar-benar bodoh karena langsung lari ketakutan meninggalkan gadis itu sendirian. Lea bergegas menghampiri gadis itu.

“kamu baik-baik saja?” tanya Lea pada gadis itu. Tapi tidak ada jawaban apapun darinya membuat Lea tanpa sadar memeluknya dan mengusap punggung gadis itu.

“tidak apa-apa, mereka sudah pergi.” Ucap Lea.

Ia mengucapkan kalimat itu berulang kali sampai gadis dalam pelukannya itu tenang. Setelah tenang, ia melepaskan pelukannya dan menatap wajah gadis itu. Begitu juga dengan gadis itu yang menatap wajah Lea. Mereka sama-sama terkejut karena ternyata Lea baru saja menyelamatkan Lusi.

“Lusi?” gumam Lea dan tanpa sadar, ia mundur selangkah menjauh dari Lusi.

Saat Lusi akan mengatakan sesuatu, teleponnya berdering. Lusi berjalan menjauh dari Lea dan mengangkat telepon dari kakaknya.

“aku ada di persimpangan dekat gedung x.”

“...”

“ya, ada seseorang yang membantuku.”

“...”

“dia perempuan, teman sekolahku.”

“...”

“ya.”

Setelah menutup teleponnya, Lusi kembali berjalan menghampiri Lea. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Suasana di antara mereka sangan canggung dan tidak nyaman.

“duduklah di sana.” Ucap Lea sambil menunjuk sebuah bangku panjang tidak jauh dari mereka berdiri.

Lusi tidak mengatakan apapun dan langsung berjalan ke arah bangku yang ditunjuk Lea. Ia duduk di sana sedangkan Lea berdiri tidak jauh darinya. Sesekali Lusi melirik ke arah Lea membuat Lea merasa tidak nyaman.

“aku akan menemanimu sampai kamu dijemput.”

Lusi hanya mengangguk menanggapi ucapan Lea. Dia merasa sedikit lega karena tidak menunggu kakaknya sendirian di tempat sepi seperti ini. Setelah terjebak dalam keheningan dalam waktu yang cukup lama, sebuah mobil hitam melaju ke arah mereka dan berhenti tepat di depan Lusi. Seorang pria dengan setelan jas lengkapnya turun dari mobil dan bergegas menghampiri Lusi.

“kamu baik-baik saja?”

“kakak, aku baik-baik saja.” Ucap Lusi.

Lea akhirnya tahu baimana rupa kakak Lusi yang selalu menjadi bahan gosip perempuan di sekolahnya. Ia menggelengkan kepalanya lalu dengan perlahan melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu. Rayno menolehkan kepalanya ke arah Lea begitu juga dengan Lusi.

“tadi dia yang menyelamatkanku.” Ucap Lusi.

Rayno menatap punggung Lea yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam.

To be continue...

BAB 2

Rayno menatap punggung Lea yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam.

“kakak.”

“ya.”

“pulang.”

Rayno mengangguk lalu menggandeng sang adik ke dalam mobil. Ia melajukan mobilnya membelah gelapnya malam menuju mansion miliknya. Pikirannya kembali tertuju pada punggung gadis itu. Bahkan jika dilihat dari belakang, ia bisa merasakan rasa sedih darinya.

“kenapa temanmu langsung pergi?”

“tidak tahu, mungkin karena sudah larut.”

“kenapa dia ada di luar selarut ini?”

“tidak tahu.”

“bukankah seharusnya kamu berterimakasih dan menawarkan tumpangan untuknya?”

“kakak.”

“ya.”

“aneh.”

“apanya yang aneh?”

“kakak tidak pernah banyak bicara seperti ini, kenapa Tiba-tiba jadi cerewet?”

“hanya merasa berterimakasih karena sudah membantumu.”

Lusi mengangguk lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia kembali berfikiri tentang Lea yang sudah menyelamatkannya dan bahkan menenangkannya. Terbersit rasa bersalah karena sudah mengganggunya di sekolah.

Keesokan harinya, Lea sudah berada di sekolah pagi-pagi sekali. Ia mengeluarkan buku dan mengerjakan tugas sekolah yang tidak sempat ia kerjakan. Semalam ia hanya berjalan kesana kemari tanpa tujuan jelas. Ia pergi ke toko tempatnya bekerja pagi-pagi sekali untuk mengganti seragamnya. Beruntung karena ia menyimpan seragam cadangan di toko itu dan toko itu buka 24 jam.

Tidak terasa, waktu berjalan dengan cepat. Kelas yang semula kosong sudah terisi oleh banyak orang. Tapi tiba-tiba suara riuh ramai di kelasnya hilang begitu saja. Lea mendongak melihat ke depan berharap sang guru belum datang. Memang bukan guru yang datang melainkan Lusi. Gadis itu berjalan menghampiri Lea dengan membawa sebuah paperbag di tangannya. Ia meletakkan tas itu di meja Lea membuat semua orang bingung.

“seragamku tadi kotor, bawakan ke laundri di depan sekolah.” Ucap Lusi.

Lea merutuki dirinya yang sempat berfikiri kalau Lusi akan bersikap baik kepadanya setelah kejadian tadi malam. Tanpa kata, ia meraih tas itu dan pergi menuju tempat laundri. Setelah meletakkan seragam milik Lusi di sana, Lea bergegas kembali ke ruang kelas karena sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Tapi tiba-tiba kepalanya pusing dan membuatnya berhenti sejenak. Setelah rasa pusingnya sedikit hilang, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Sesampainya di ruang kelas, ia sedikit terkejut karena ada sebuah bingkisan di mejanya. Ia menolehkan kepalanya mencaritahu siapa yang sudah meletakkan benda itu di mejanya. Mungkin saja orang itu salah meletakkannya. Lea membuka kotak itu dan ada sebuah jam tangan di dalamnya. Ia melihat sebuah surat yang terselip.

“lusi?” gumamnya setelah membaca tulisan di secarik kertas itu.

“bukankah ini terlalu berlebihan.” Gumamnya.

Meskipun ia tidak tahu banyak tentang jam tangan, tapi dia tahu kalau yang ada di tangannya saat ini pasti mahal harganya. Lea menutup kembali kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas. Ia berniat akan mengembalikan benda itu kepada Lusi. Tidak lama kemudian, seorang guru datang dan pelajaran pun dimulai.

Sepulang sekolah, Lea menunggu Lusi di gerbang sekolah. Cukup lama ia berdiri di sana, tapi Lusi tidak juga muncul. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi karena sudah hampir terlambat untuk bekerja. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya ia sampai di toko tempatnya bekerja. Lea melihat ke kanan dan kiri sebelum menyeberang. Setelah memastikan tidak ada kendaraan, ia melangkahkan kakinya menyeberang jalan. Baru beberapa langkah ia berjalan, kepalanya mendadak terasa sangat pusing membuat langkahnya terhenti. Tidak jauh darinya ada sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Lea terkejut dan menutup matanya erat. Suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal begitu memekakkan telinga. Pengemudi mobil itu turun dengan kesal dan berjalan menuju Lea.

“apa yang kamu lakukan? Kalau mau mati, jangan di sini.” Ucapnya.

Lea tidak berani mengangkat kepalanya. Ia terus menunduk dan meminta maaf kepada pria di depannya. Rayno menghela nafasnya kasar. Ia merasa kesal karena gadis di depannya ini terus mengucapkan kata maaf.

“lihat aku.”

Lea dengan susah payah mendongakkan kepalanya untuk melihat pria di depannya. Matanya membulat setelah melihat siapa pria itu.

“ada apa? Kenapa melotot?”

“ah, tidak.”

“sudahlah, lain kali hati-hati, jangan menyusahkan orang.”

“maaf.”

Lea menepi dan melihat Rayno pergi menjauh bersama dengan mobil hitamnya.

“adik kakak sama saja.” Gumamnya.

Seperti biasa, Lea bekerja sampai larut malam. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini, ia memutuskan untuk mengambil jalan memutar. Kalau ia sampai di rumah lebih larut, semua orang pasti sudah tidur, begitu pikirnya. Setelah sampai di rumah, ternyata lampu rumah masih menyala tapi tidak ada keributan di dalamnya. Lea membuka pintu dan melepas sepatunya.

“aku pulang.” Ucapnya yang kini langsung disambut oleh sang ibu.

“kenapa larut sekali pulangnya? Biasanya tidak sampai lewat tengah malam, apa ada masalah?”

Lea terkejut dengan kehadiran sang ibu. Ia tersenyum kikuk lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

“ada banyak pekerjaan hari ini, semuanya baik.”

“syukurlah.”

“hmm, Lea, ibu mau pinjam uang kamu.”

Lea yang sudah memegang kenop pintu kamarnya langsung terdiam. Tangannya jatuh ke samping tubuhnya lalu ia menengok ke arah sang ibu.

“bu, uangnya mau dipakai buat bayar sekolah Lea. Sudah nunggak tiga bulan.”

“ibu tahu, ibu akan kembalikan secepatnya, atau kamu bisa meminjam uang ke bos kamu untuk membayar uang sekolah.”

“bu. Ibu, sebenarnya peran kalian sebagai orang tua itu apa sih?”

Putri terdiam mendengar ucapan Lea. Sedangkan Lea langsung masuk ke dalam kamarnya setelah mengatakan hal itu. Ia mengemasi semua pakaiannya dan keluar dari rumah itu. Lea sudah terlalu muak untuk bertahan walaupun hanya untuk sehari saja. Keputusan impulsif yang dia buat akhirnya menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Dia tidak tahu kemana harus pergi dengan membawa barang sebanyak itu. Tidak mungkin jika ia menginap di toko, bos nya pasti tidak akan mengizinkannya. Lea mengikuti kemana kakinya melangkah. Setelah berjalan cukup jauh, ia mendapati dirinya sedang berada di sebuah taman. Lea meletakkan tasnya dan ia duduk di bangku taman. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pusing dan perutnya mual. Ia merebahkan tubuhnya di bangku taman dengan tasnya ia gunakan sebagai bantal. Tidak terasa, pagi sudah datang. Cahaya mentari pagi menggelitik kedua mata Lea yang masih terpejam. Ia membuka matanya perlahan lalu teringat kalau dirinya semalam keluar dari rumah dan sekarang malah ketiduran di taman.

“benar-benar jadi gelandangan.” Gumam Lea.

Ia kemudian pergi dari taman dan mencari toilet umum untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia menitipkan tasnya ke toko dan Lea berangkat ke sekolah. Sesampainya di kelas, ia melihat Lusi sedang duduk di kursinya. Lea menghela nafasnya lalu berjalan ke arah Lusi.

“nanti setelah pulang sekolah kamu ikut aku.”

“tidak bisa.” Ucap Lea tegas membuat Lusi langsung menoleh ke arah Lea.

“aku harus bekerja.” Sambung Lea.

“bekerja?”

“ya.”

“jam berapa selesainya?”

“jam sebelas malam.”

“kerja apa jual diri?” ucap Lusi yang merasa kesal karena ajakannya ditolak.

Tapi ia tidak sadar kalau ucapannya barusan sudah menusuk hati Lea dengan sangat dalam. Lea mengepalkan tangannya erat dan menggigit bibirnya berusaha meredam amarahnya.

“ya sudah.” Ucap Lusi lalu pergi meninggalkan Lea.

Sepulang sekolah, Lea berjalan menuju toko, tapi tiba-tiba Lusi menghampirinya dan menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Lea yang ingin protes akhirnya harus menelan kembali kalimatnya dan mengeluarkan ponsel untuk meminta izin kepada bosnya. Tidak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah restoran.

“kenapa membawaku ke sini?”

“kakak mau ketemu sama kamu.”

“kenapa mau bertemu denganku?”

“udah cepetan ayo.”

Lea mengikuti langkah kaki Lusi masuk ke dalam restoran mewah tersebut. Mereka masuk ke dalam sebuah ruang vip dan di dalamnya sudah ada Rayno yang sedang duduk. Rayno melihat ke arah adiknya dan juga Lea. Ia ingat kalau gadis itu adalah orang yang hampir ia tabrak. Lusi langsung duduk di samping kakaknya dan Lea duduk di depan Lusi. Pelayan masuk dan menghidangkan berbagai macam hidangan. Lea terperangah melihat semua hidangan mewah yang disajikan. Tapi saat ia melihat piring yang berisi seafood, secara reflek Lea langsung menutup hidungnya.

“ada yang tidak kamu sukai?” tanya Rayno pada Lea.

“aku alergi udang dan tidak suka dengan semua yang berkaitan tentang udang.”

Rayno langsung memanggil pelayan untuk menyingkirkan semua hidangan seafood yang ada di atas meja.

“silahkan dimakan, katakan kalau ada yang tidak disukai atau ada yang kamu inginkan.”

Lea mengangguk menanggapi ucapan Rayno. Dengan ragu, ia mulai mengambil makanan di depannya. Melihat Lea sudah mulai makan, Lusi dan juga Rayno juga mulai menikmati makanan mereka. Setelah selesai makan, Rayno mengeluarkan sebuah paperbag dan diberikan kepada Lea.

“ini sebagai bentuk rasa terimakasihku dan juga Lusi karena sudah menyelamatkannya malam itu. Maaf kalau terlambat mengucapkan terimakasih.”

Lea mengambil paperbag itu dan melihat isi di dalamnya. Sebuah tas bermerek duduk manis di dalam paperbag tersebut. Ia langsung meletakkan paperbag tersebut ke atas meja dan mendorongnya pelan ke arah Rayno. Dia juga membuka tasnya dan mengeluarkan kotak berisi jam tangan yang diberikan oleh Lusi kepadanya.

“aku tidak bisa menerima ini semua, ini terlalu berlebihan untukku.” Penolakan Lea berhasil membuat Rayno dan Lusi tercengang.

Manusia macam apa yang mau menolak barang mewah seperti ini. Rayno kembali mendorong paperbag dan kotak itu ke arah Lea. Begitu juga dengan Lea, ia mendorong paperbag dan kotak itu ke arah Rayno. Lusi yang melihat itu mulai merasa jengah sendiri.

“kakak tolong urus masalah Lea ya, aku harus pergi ke rumah Jeni sekarang.”

Rayno hanya mengangguk dan menatap adiknya pergi dari ruangan itu. Lea merasa canggung berada di dalam ruangan hanya berdua dengan Rayno.

“apa yang kamu inginkan?”

“pergi dari tempat ini.” Gumam Lea menjawab pertanyaan Rayno dengan spontan.

“apa?”

“ah tidak. Aku tidak menginginkan apapun.”

Rayno menatap tajam kedua mata Lea mencoba membaca apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi dan menyilangkan kedua tangannya di dada. Lea yang ditatap seperti itu menjadi semakin gugup dan detak jantungnya semakin tidak karuan.

“baiklah, pikirkan apa yang akan kamu minta dariku, aku akan mengantarmu pulang.”

“tidak perlu sampai mengantar pulang, aku bisa pulang sendiri.”

“mana mungkin aku membiarkan seorang gadis pulang sendiri.”

“tidak perlu, aku sudah terbiasa pergi sendiri. Kalau begitu, permisi.”

Rayno melihat punggung Lea dan sama seperti malam itu, dia terlihat sangat rapuh dan seolah bisa hancur jika disentuh sedikit saja. Beberapa saat setelah Lea keluar, Rayno bergegas keluar dan mendapati Lea masih berdiri di depan restoran sedang melihat ponselnya. Ia mempercepat langkahnya dan meraih tangan Lea. Rayno membawa Lea ke area parkir. Ia membukakan pintu mobil dan mendorong Lea agar masuk ke dalam. Dengan langkah cepat, Rayno memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi.

“aku harus mengantarmu ke mana?”

To be continue...

BAB 3

“kenapa kamu bertindak seperti ini?” Tanya Lea yang mulai merasa kesal dengan sikap semena-mena yang ditunjukkan oleh pria itu.

“sudah aku bilang, tidak mungkin meninggalkan seorang gadis pergi sendirian di malam hari.”

“antar ke jalan x.”

Rayno melajukan mobilnya meninggalkan restoran itu. Tidak ada percakapan selama perjalanan mereka. Hanya seekali rayno menanyakan arah.

“kamu tinggal di toko ini?” tanya Rayno setelah mereka sampai di depan toko.

“tidak, aku bekerja di sini.”

“bekerja?”

“kalau begitu, terimakasih sudah mengantar sampai di sini.”

Setelah Lea turun dan masuk ke dalam toko, Rayno melajukan mobilnya menuju ke apartemen miliknya. Selain jarak yang dekat dengan kantor, ukurannya juga tidak seluas mansion membuatnya tidak terlalu merasa kesepian. Keesokan harinya, Rayno terbangun dari tidurnya saat mendengar suara dari arah dapur. Ia bangun dan keluar dari kamar. Rayno melihat sang adik sedang sibuk berkutat dengan bahan makanan di dapur.

“apa yang kamu lakukan?”

“membuat sarapan.”

Rayno hanya mengendikkan bahunya lalu pergi masuk ke kamarnya lagi. Ia bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saat keluar dari kamar, dia melihat Lusi masih berkutat di dapur. Rayno duduk di meja makan memperhatikan adiknya. Tidak lama kemudian, sang adik menghampirinya dengan membawa sebuah kotak bekal.

“ini untuk kakak.”

“tumben.”

“bukannya terimakasih.”

“terimakasih.”

“ayo berangkat, anterin aku dulu ya kak.”

“ya.”

Di dalam mobil Lusi sibuk bermain dengan ponselnya, sampai tiba-tiba ia mengatakan sesuatu yang membuat Rayno terkejut.

“kakak suka sama Lea?” tanya Lusi dengan mata yang masih terfokus pada ponselnya.

Rayno langsung menoleh ke arah adiknya dan berdehem.

“jarang liat kakak begini, kalau suka aku setuju. Dia anaknya beda dari yang lain.” Ucap Lusi sambil menatap serius kakaknya.

Rayno hanya berdehem dan sesekali melirik Lusi. Adiknya benar, ini pertama kalinya dia merasakan perasaan seperti ini. Setiap bertemu dengan Lea, ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Saat melihat punggung gadis itu, ingin sekali dirinya bisa memeluk Lea dan mengambil alih semua bebannya. Gadis itu terlihat seperti anak kecil yang kesepian sama seperti dirinya. Tidak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di depan gerbang sekolah. Lusi langsung turun dari mobil tanpa mengatakan sepatah katapun. Begitu juga dengan Rayno, ia langsung melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah setelah sang adik turun dari mobil. Saat sedang fokus menyetir, rayno melihat Lea sedang berlari menuju arah sekolah. Secara reflek, ia menghentikan mobilnya dan memperhatikan gadis itu.

“usianya sama dengan Lusi, apakah mungkin?” gumamnya pada dirinya sendiri.

Setelah Lea menghilang dari pandangannya, ia kemudian mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Lusi untuk meminta nomor ponsel Lea. Sebelum mencoba, dia tidak akan tahu apa hasil yang akan didapat.

Sementara itu, Lea yang baru saja sampai di kelasnya dikejutkan oleh kehadiran Lusi. Lusi sudah menunggu di kursi Lea dan sedang bermain dengan ponselnya.

“hp.” Ucap Lusi pada Lea.

Lea hanya menuruti dan memberikan ponselnya kepada Lusi. Lusi mengotak atik ponsel Lea lalu menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya.

“ini nomornya.” Ucap Lusi pada orang di seberang sana.

Setelah itu, ia mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya, lalu berdiri dan pergi dari kelas itu. Baru saja Lea akan duduk, tiba-tiba Lusi kembali lagi ke dalam kelas dan meminta Lea untuk menemuinya di atap di jam istirahat nanti. Lea tidak menanggapi dan hanya meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia berfikir kalau hari tenangnya akan benar-benar berakhir. Di jam istirahat, Lea melangkahkan kakinya menuju atap sekolah. Jantungnya berdebar menanti apa yang akan terjadi kepadanya dalam beberapa menit ke depan. Setiap langkah yang ia ambil semakin menambah rasa gugup. Saat sampai di depan pintu menuju atap, Lea mengambil nafas dalam lalu membuka lebar pintu tersebut. Hembusan angin segar langsung menerpa wajahnya. Terik matahari langsung menusuk kedua matanya. Lea mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan siapapun di tempat itu. Ia berjalan menuju tepi atap dan melihat pemandangan di bawah sana.

“benar-benar datang.” Ucap Lusi dari belakang Lea membuatnya terkejut.

Lusi menyerahkan kantong kresek berisi makanan kepada Lea. Lea menerima itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia melirik isi kantong kresek tersebut lalu menatap wajah Lusi. Lusi juga tidak mengatakan apapun, ia duduk di tepi atap dan menyandarkan punggunya ke tembok pembatas. Lusi menepuk tempat di sampingnya mengisyaratkan Lea untuk duduk di sana. Lea langsung mendekat dan duduk di samping Lusi. Ia meletakkan kantong kresek itu diantara mereka berdua.

“apa kamu selalu pendiam seperti ini?” tanya Lusi pada Lea.

Lea menatap Lusi sejenak lalu menatap langit yang terlihat sangat cerah hari ini. Sebuah senyuman tiba-tiba muncul menghiasi wajah cantiknya. Lusi yang melihat itu sedikit kebingungan.

“aku sendiri tidak tahu apakah aku sebenarnya orang yang pendiam atau bukan.”

“aneh.”

Lea menoleh ke arah Lusi dan tersenyum.

“ngomong-ngomong aku tidak sejahat itu, kamu tidak perlu ketakutan setiap melihatku.” Ucap Lusi pada Lea.

Lea hanya diam dan memandang lurus ke depan.

“diam lagi.” Gumam Lusi.

Lea langsung menoleh ke arah Lusi dan sedikit terkekeh.

“aku tidak pernah takut, hanya sedikit khawatir kalau hidup tenangku di sekolah akan berakhir.”

“itu kalau bukan takut lalu apa?”

“sebenarnya aku tidak terlalu peduli denganmu. Tapi hanya di sekolah tempat yang tenang untukku. Aku berharap tidak ada yang merusaknya, siapapun itu termasuk kamu.” Ucap Lea pada Lusi.

Lusi menatap mata Lea mencoba menelusuri apa yang ada di dalam pikirannya. Tapi nihil, itu seperti tempat yang dikelilingi tembok yang sangat tinggi.

“aku ingin mengucapkan terimakasih kepadamu dengan benar. Terimakasih karena sudah menolongku malam itu dan ucapan kakakku itu selalu ditepati, jadi cepat pikirkan keinginanmu atau kakak mungkin akan membuat hidup tenangmu hilang.” Ucap Lusi lalu bangkit dan meninggalkan atap.

Lea menatap kepergian Lusi lalu mengalihkan pandangannya ke arah kantong kresek di sampingnya. Ia mengambil kantong itu dan mengeluarkan kotak susu dari dalamnya. Ia tersenyum senang karena ini pertama kalinya ada orang yang memberinya sesuatu dengan tulus seperti ini. Meskipun terlihat sepele, tapi untuknya itu adalah sesuatu yang berharga. Saat akan berdiri, ponsel di sakunya berdering.

“kak Rayno?” gumamnya saat membaca nama penelepon yang tertera di layar ponselnya.

“halo.”

Rayno meminta Lea untuk menemuinya sepulang sekolah nanti. Tapi Lea menolaknya karena harus bekerja. Ia sudah libur satu hari, jadi tidak bisa mengambil libur lagi karena merasa tidak enak dengan pemilik toko. Selain itu, ia harus segera menemukan tempat untuknya tinggal. Lea mematikan ponselnya lalu berdiri dari duduknya. Saat akan melangkahkan kakinya, tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit hingga kakinya lemas dan ia jatuh terduduk. Tangannya menekan kuat kepalanya berharap itu bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Tanpa ia sadari, darah segar mengalir melalui hidungnya.

Setelah menahan sakit cukup lama, akhirnya rasa sakit itu sedikit berkurang. Ia mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap darah yang masih mengalir dari hidungnya. Lea kembali menyandarkan tubuhnya ke tembok lalu mengeluarkan ponsel dan melihat jam perlajaran sudah dimulai beberapa saat yang lalu. Ia memutuskan untuk tetap berada di atap sampai pulang sekolah. Tubuhnya terasa lemas dan kepalanya masih terasa sedikit pusing.

Keesokan harinya, Lea memutuskan untuk mengambil libur sekolah satu hari untuk memeriksakan dirinya ke dokter. Ia bersiap dari pagi agar tidak terjebak antrean panjang di rumah sakit. Saat sedang berjalan di trotoar, sebuah mobil hitam mendekat ke arahnya dan berhenti tepat di sampingnya. Kaca mobil diturunkan dan terihatlah orang yang mengemudikan mobil tersebut.

“kak Rayno.”

“mau kemana?”

“hah? Eh mau ke..” Lea bingung mau menjawab apa karena tidak mungkin ia mengatakan harus pergi ke rumah sakit. Ia masih merasa sungkan untuk mengatakan kesulitan yang ia alami kepada orang lain.

Sejak kecil, apapun kesulitan itu ia harus bisa mengatasinya sendiri dan tidak bisa menceritakannya kepada siapapun.

“masuklah, aku akan mengantarmu.”

“tidak, aku bisa pergi sendiri.”

“masuk.” Perintah Rayno dengan tegas.

Lea akhirnya menuruti ucapan pria itu untuk masuk ke dalam mobil.

“ke rumah sakit.” Ucap Lea.

Rayno langsung menoleh ke arah gadis di sampingnya.

“kamu sakit?”

“tidak, hanya ingin memeriksakan kesehatan biasa.”

Rayno hanya mengangguk lalu melajukan mobilnya ke arah rumah sakit terdekat.

“kamu tinggal di sekitar toko tempatmu bekerja?”

“tidak, itu cukup jauh dari toko.”

“tapi tadi kamu dari arah toko.”

“oh iya searah, tapi rumahku lebih jauh sedikit.”

Rayno hanya mengangguk lalu tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Setelah berkendara cukup lama, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Rayno menurunkan Lea tepat di depan pintu masuk rumah sakit.

“jangan lupa untuk memikirkan baik-baik apa keinginanmu, aku tidak suka berhutang budi dengan orang lain.”

“aku sedang memikirkannya dengan baik, terimakasih sudah mengantarkanku.”

Setelah mengatakan itu, Lea berbalik dan masuk ke dalam rumah sakit. Rayno kembali melihat punggung Lea membuat perasaannya tidak nyaman. Ia langsung turun dari mobil dan menyusul Lea ke dalam rumah sakit. Rayno menarik lengan Lea membuatnya terkejut. Rayno menatap lekat wajah pucat gadis di depannya dan mengeratkan genggaman di lengan Lea.

“aku akan menemanimu sampai urusanmu di sini selesai.” Ucap Rayno lalu menarik lengan Lea berjalan ke arah tempat pendaftaran.

Lea menggigit bibirnya karena gugup. Ia melirik lengannya yang digenggam oleh Rayno membuat jantungnya berpacu semakin cepat. Lea harus menjalani serangkain tes untuk mengetahui lebih detail apakah ada penyakit serius yang diidapnya atau tidak. Setelah serangkaian tes itu, Lea harus menunggu beberapa jam sampai hasil tes itu keluar. Lea berjalan menghampiri Rayno yang masih duduk di kursi tunggu.

“bagaimana?”

“seharusnya tidak ada masalah, hasilnya akan keluar sebentar lagi.”

Rayno melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya.

“pergilah.” Ucap Lea.

“maaf karena tidak bisa menunggu sampai selesai.”

“tidak masalah, kamu pasti sibuk.”

Rayno bangkit dari duduknya lalu pergi dengan enggan. Ingin rasanya ia berbalik dan kembali duduk untuk menunggu sampai urusan Lea di sana selesai. Tapi dia juga memiliki pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda.

Beberapa jam kemudian.

Lea saat ini sedang duduk di depan dokter. Sang dokter sedang fokus ke arah komputer dan belum mengatakan sepatah katapun. Sang dokter memutar layar komputer agar Lea bisa melihatnya dengan jelas. Kemudian sang dokter menunjuk ke arah bagian di kepalanya dan mengatakan bahwa di kepalanya terdapat tumor. Lea harus melakukan beberapa tes lanjutan untuk mengetahui apakah tumor di otaknya itu jinak atau ganas.

“kapan aku harus kembali ke sini?”

“sebaiknya hari ini kamu mulai di rawat inap."

To be continue...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!