NovelToon NovelToon

Bunga Pengantin

Di Malam Pengantin

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

"Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman"  (QS.Ali Imran: 139).

                                                                                    ***

Annisa, gadis itu tak pernah berhenti tersenyum sedari tadi. Wajah cantiknya yang tertunduk anggun disertai rona merah di kedua pipi mulusnya turut menghiasi kegugupan malam ini. Ia gugup bercampur bahagia karena hari ini atau tepatnya beberapa waktu yang lalu ia telah resmi menjadi milik seseorang. Benar, ia resmi naik tahta menjadi istri seorang pemuda yang mengkhitbahnya satu minggu yang lalu.

"Annisa." Panggil sang suami lembut. Mereka saat ini sedang berada di dalam kamar pengantin mereka berdua, dihiasi dengan beraneka ragam bunga yang indah lagi menebarkan wangi yang menggelitiki dan menenangkan. Inilah mengapa Annisa merasa sangat gugup dan yah..kalian bisa pikirkan itu.

"I-iya Mas." Jawabnya lembut lagi malu-malu. Mendengar jawaban sang istri, sang suami pun tak bisa menahan senyum kebahagiaannya lagi. Ah, wajah malu-malu sang istri juga rona merah yang kontras dengan kulitnya yang indah lagi putih dan mulus membuat nya tak bisa berkata lain selain manis, yah Annisa adalah gadis yang manis.

"Apakah diri mu ridho dengan diri ku sebagai suami, mu?" Tanya sang suami berucap lembut, membuat Annisa semakin tertunduk malu. Ah, betapa manisnya gadis ini pikir sang suami.

"Tentu saja aku ridho terhadap mu, Mas." Jawab Annisa lembut lagi malu-malu.

Sang suami tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya mengerti. "Baiklah Annisa, setelah malam ini kita akan memulai hidup bersama, membuka lembaran yang baru dengan jalan kehidupan kita berdua sebagai tintanya. Maka dari itu, ayo kita jalani semua yang akan Allah gariskan kepada kita

dengan bersama-sama dan saling mengingatkan." Perlahan ia raih wajah Annisa, ia angkat perlahan sehingga kedua mata mereka bertemu.

Dengan gugup sang suami pun menegakkan tubuhnya tepat berada diatas ubun-ubun sang istri yang membuat Annisa memejamkan matanya bahagia. Maka dengan penuh pengharapan ia pun mulai membisikkan sebuah doa yang akan terus mengikat mereka dengan rahmat dan ridho Allah.

اللَّهُمَّإِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

"Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa."

"Aamiin." Harap mereka tulus. Sang suami pun mengecup puncak kepala Annisa singkat namun dilakukan beberapa kali secara perlahan hingga turun ke kening, kemudian ke kedua matanya, hidung, dan-

Kring~

Kring~

Kring~

Suara dering handphone sang suami mengintrupsi kegiatan manis mereka. Sang suami menatap mata Annisa lembut meminta persetujuan untuk menjawabnya. Annisa tersenyum lembut dan mengangguk pelan, memberikan sang suami kesempatan untuk menjawab sang penelpon.

Suaminya pun meraih handphonenya, menatap nama sang penelpon yang tidak diketahui namanya. "Hallo, assalamualaiku-" Ucapan salam sang suami terpotong dan entah mengapa raut wajah sang suami tiba-tiba berubah mengeras, yah Annisa tau ada emosi di sana.

"Mas-" Belum selesai ucapan Annisa sudah dipotong dengan tatapan tajam sang suami. Annisa takut, ia tak pernah melihat orang yang semarah ini dalam hidupnya. Ah, dia pun mulai mempertanyakan kemana suaminya yang hangat dan lembut beberapa waktu yang lalu.

Selama suaminya menelpon, Annisa hanya diam mengamati. Ada perasaan takut dan gelisah yang ia rasakan tiba-tiba memeluknya erat.

Ada apa ini? Batin Annisa gelisah.

"Annisa." Panggil suaminya, namun suaranya tak sehangat beberapa waktu lalu.

"I-iya, Mas." Suara Annisa gugup. Bahkan air mata yang kini mengalir lembut dari kedua matanya tidak pernah ia setujui akan kehadirannya. Ini terlalu tiba-tiba dan menegangkan.

"Ayo kita bercerai." Ucap sang suami dingin tanpa raut bersalah.

Annisa membeku, mendengarnya membuat Annisa seakan mati rasa. Ia mencoba menampik dan berharap ini hanya mimpi buruk namun faktanya ini nyata.

"Mas Dimas-"

"Aku akan mengirimkan mu surat perceraian kita. Aku pikir kita tidak bisa bersama lagi.." Cecar Dimas, ya suaminya yang tidak berhati itu bernama Dimas. Laki-laki yang beberapa waktu lalu bersikap hangat itu adalah suaminya yang kini bersikap dingin kepadanya. Annisa tidak tau seperti apa sifat sang suami akan tetapi melihatnya seperti ini membuat Annisa mau tidak mau terjebak dalam pikiran negatif.

Terdiam, ia meremas kuat pakaian pengantin yang masih ia gunakan dengan perasaan terluka. Menutup matanya kuat, ia berharap ketika ia membuka matanya lagi semua yang ia dengar dan lihat tadi hanya khayalan semata. Annisa berharap tapi apa yang ia harapkan sesungguhnya hanya angan-angan saja.

"Kenapa, Mas? Padahal kita belum memulai semuanya." Tuntut Annisa ingin tau, yah mereka baru saja resmi menikah 3 jam yang lalu. Tapi mengapa Dimas ingin berpisah dengannya di saat mereka belum memulai apapun, apa lagi membuat sebuah kesalahan rasanya itu tidak mungkin karena mereka sebelumnya tidak saling

mengenal dan tidak pernah bertemu.

"Kau tidak perlu tahu Annisa, hanya saja maaf Mas telah mengecewakan mu." Maka dengan begitu Annisa seakan kosong, dari ekspresi yang Annisa lihat, permintaan maaf Dimas tak lebih dari sekedar bualan semata. Karena baik ucapan dan ekspresi sangat berbanding terbalik dengan apa yang Annisa lihat.

"Mas, pergi. Assalamualaikum." Ya, itu adalah kata terakhir yang Annisa dengar darinya. Seharusnya salam itu adalah sebuah doa keselamatan untuk semua orang tapi bagi Annisa itu tidak berlaku. Salam itu adalah sebuah pembuka untuk awal hidupnya yang hancur.

Dimas melangkah pergi seraya membawa sebuah koper yang berisikan seluruh pakaiannya. Koper yang

belum sempat Annisa buka dan di tata rapi ke dalam lemari mereka kini telah ia bawa pergi kembali.

Annisa menatap pintu kamar pengantinnya kosong, ia edarkan seluruh pandangan kebingungannya keseluruh area kamar. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi awal yang indah kini malah berakhir dengan sebuah perpisahan yang buruk dan melukai perasaannya.

Bahkan bunga pengantin yang seharusnya menjadi saksi bisu kebahagiaannya kini malah menjadi saksi bisu dari kekejaman takdir. Ya, ia ditinggal di malam yang pertama tanpa alasan yang jelas dan tanpa penjelasan yang berarti.

Annisa terduduk lemas menyentuh dadanya sakit. Ada rasa sesak dan nyeri yang menjalar keseluruh tubuhnya. Tiba-tiba suara ribut dan teriakan terdengar dari luar, dan dengan begitu rumor bahwa Annisa yang ditinggal oleh Dimas langsung menyebar luas. Membuat orang-orang menatap Annisa dengan pandangan sebelah mata, mereka

berpendapat bahwa Annisa adalah gadis yang sudah tidak suci lagi, mereka meragukan kebenaran yang coba Annisa jelaskan bahkan oleh keluarganya sendiri.

Maka dengan begitu Annisa menyadari satu hal bahwa orang-orang di luar sana menganggap dia manusia yang paling jahat dan ternoda. Mereka menatapnya seakan-akan ia adalah gadis dengan noda dosa yang paling besar dan mengerikan, lantas apakah ini wajar ia dapatkan di saat kebenaran yang coba ia sampaikan ditolak mentah-mentah oleh mereka semua?

                                                                                                 ***

"Annisa?" Tegur seorang gadis yang terlihat seumurannya. Ia menatap khawatir wajah Annisa. Annisa tersadar dari alam bawah sadarnya dan beralih menatap wajah Puspa, sepupunya yang juga merangkap sebagai sahabatnya.

"Kau melamun lagi, apa ada masalah?" Khawatir Puspa. Bagaimana ia tidak merasa khawatir jika ini sudah kesekian kalinya ia mendapati Annisa melamun. Ia tidak bodoh jika tidak menyadari bahwa Annisa masih terbayang masa lalunya.

"Maaf." Pinta Annisa menyesal, yah Annisa memang menyadari betapa cerobohnya ia karena melamun di tempat kerjanya, bahkan ini bukan pertama kalinya tapi ini untuk yang kesekian kalinya.

"Ini sudah 7 bulan berlalu, ayo lupakan malam itu. Lagipula aku tetap mempercayai mu sebagai gadis yang baik-baik jadi jangan dipikirkan." Suara Puspa khawatir, walaupun ia berkata seperti itu tapi ia tau betul jika luka dan

trauma yang didapatkan oleh Annisa sangatlah dalam, bohong bila Annisa dapat melupakannya semudah itu.

Annisa tersenyum hangat, sangat manis. "Tentu saja aku akan melakukannya." Jawabnya bersemangat, Puspa tau jika Annisa tidak benar-benar melakukannya. Ia tau bahwa senyuman dan semangatnya adalah topeng.

Jika kalian menjadi Annisa apakah kalian masih bisa tersenyum di saat baru beberapa jam pernikahan, kalian sudah ditinggalkan dan diceraikan tanpa alasan yang jelas?

Apa kalian masih bisa tersenyum?

Apa lagi sejak saat itu orang-orang mulai menatapnya ragu, seakan-akan sebuah kebenaran yang coba Annisa sampaikan adalah sebuah dongeng pembawa tidur. Mereka bahkan mulai berbisik-bisik siapakah gerangan yang membuat Annisa melepaskan kesuciannya. Ini memang sulit dipercaya mengingat bahwa Annisa tidak pernah keluar dari rumah atau sekedar bertemu seseorang yang jelas-jelas bukan muhrimnya, namun kepergian Dimas seakan mematahkan semuanya bahwa ya, mana mungkin sang suami meninggalkan istrinya apalagi dimalam pertama mereka jika tidak bahwa fakta sang istri tidak suci lagi.

"Aku akan melihat stok yang baru datang, Mbak Yana bilang stok untuk satu minggu ke depan sudah datang." Suara Annisa memecahkan keheningan di antara mereka. Ia berjalan melewati Puspa menuju gudang penyimpanan.

Jangan heran, karena setelah kejadian itu Annisa memilih untuk bekerja disebuah cabang butik milik keluarganya. Ini ia lakukan untuk mengalihkan pikiran dan mencoba menyibukkan diri dari baying-bayang masa lalunya. Bagi Annisa ingatan akan malam itu masihlah sangat segar dan fakta bahwa dirinya menjadi seorang janda diumur semuda ini membuat Annisa merasa telah gagal. Yah, umur Annisa masih 19 tahun dan bulan depan sudah dipastikan Annisa akan memasuki usia yang kedua puluh. Usia yang bisa dikatakan dewasa dan matang.

                                                                                        ***

Ainalllah

يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَآءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 1)

                                                                                            ***

Namaku adalah Annisa Sauqi. Mereka atau orang-orang yang mengenalku memanggil dengan nama Annisa. Kedua orang tua ku memberikan nama seperti ini bertujuan agar diriku menjadi pribadi yang digambarkan namaku.

Annisa adalah sebuah surat didalam Al-Qur'an yang berarti wanita. Sedangkan Sauqi diambil dari salah satu ayat penting, as-sauqi yang berarti sebuah kerinduan.

Maka dari itu jika kedua namaku digabungkan akan berarti wanita yang dirindukan. Ya, aku berharap arti namaku juga menurun kedalam diriku. Awal ku terlahir didunia ini hingga menginjak usia remaja semua orang begitu memuji dan mengagumi keberadaan ku. Orang-orang mengatakan jika nama dan keperibadian ku sangatlah sesuai dengan apa yang diharapkan. Bahkan mereka juga memuji kecantikan yang diberikan Allah swt kepada ku. Mereka mencoba menjadikan ku sebagai menantu mereka dengan menjodohkan ku bersama putra-putra mereka, ah betapa lucunya masa-masa itu.

Tapi itu dulu, sebelum malam itu datang. Sebelum malam itu terjadi datanglah seorang pemuda yang bermaksud mengkhitbah ku, karena pemuda tersebut sesuai dengan yang diharapkan keluarga akhirnya aku pun menerimanya tanpa ku tahu bahwa ia adalah awal dari kehancuran hidup ku didunia ini.

Ya, setelah akad nikah tepatnya saat malam pertama, aku melihat sosoknya yang sejati. Laki-laki itu mempunyai sorot mata yang dingin lagi tidak bersalah sedikit pun.

Ia meninggalkan ku tanpa alasan yang jelas, bahkan ketika aku mencoba bertanya apakah ada sesuatu yang membuat kami berpisah tapi ternyata ia tidak mau mengatakannya. Ah, jika ku ingat-ingat malam itu aku sangatlah tidak beruntung, ya kan?

Apalagi setelah malam itu orang-orang menatap ku jijik, seakan-akan diriku ini perempuan ternoda berwajah topeng.  Benar mereka melihat ku seperti itu karena mereka tidak tahu atau tidak mau tau tepatnya, mereka seakan tuli dengan kebenaran yang coba ingin ku sampaikan.

Tapi itu tidak mengapa, mungkin ini adalah bagian dari skenario Allah sebelum diriku dipertemukan dengan sumber kebahagiaan ku yang sebenarnya. Yah, ini karena Allah sebenarnya ingin menguji ku. Baiklah, cukup sekian untuk diriku di masa lalu.

Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Adikku yang pertama bernama Saqila Sauqi. Kami biasa memanggilnya dengan panggilan Saqila atau Qila, namun aku pribadi lebih menyukai memanggilnya Saqila. Saqila adalah wanita yang cantik seperti namanya. Wajahnya sangat nenurun dari Umi, wanita paruh baya yang telah melahirkan dan membesarkan ku.

Di keluarga kami Saqila adalah gadis yang manis dan lemah lembut. Ia terkesan tidak memihak siapapun jika terjadi perdebatan didalam keluarga.

Setidaknya aku bersyukur Saqila menjadi gadis yang baik hati seperti ini, yah setidaknya untuk saat ini.

Adik ku yang kedua atau yang terakhir bernama Safira Sauqi. Kami biasa memanggilnya dengan Safira atau Fira. Aku pribadi menyukai keduanya. Jika Saqila adalah gadis yang lemah lembut maka berbanding terbalik dengan Safira. Safira justru adalah orang yang keras dan tidak mau dibantah. Sifat dan sikapnya ini sangat menurun dari Umi.

Apa lagi saat kejadian itu ia menjadi lebih temperamen dan bersikap dingin kepada ku. selalu berucap sinis jika didekat ku. Aku mengerti, mungkin ia kecewa sekaligus marah karena diri ku tidak seberuntung pengantin yang lain. Aku tau, jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam ia sangat menyayangi ku dan tidak ingin hal ini terulang lagi kepada siapapun, terlebih kepada ku.

Itu adalah kedua Adik ku dengan sifat yang berbeda dan akan ku perkenalkan kedua orang yang sudah berjasa melahirkan dan membesarkan kami sampai pada titik ini.

Yang pertama adalah Umi, Umi ku bernama Siti Hajjaratul Fitrah. Ia adalah wanita yang cantik walaupun usianya sudah terbilang tidak muda lagi namun fisiknya masihlah sangat bugar. Kecantikan fisik kedua Adik ku sangat menuruni Umi, bahkan Safira saja tidak hanya mewarisi fisik namun sikap dan sifatnya pun menurun. Umi ku adalah orang yang keras dan temperamen, jadi tidak heran jika Safira seperti itu.

Sama halnya dengan Safira, sejak malam itu Umi ku bersikap seolah aku tidak pernah ada di sekitarnya. Bahkan Safira masih baik mau berbicara dengan ku walaupun terdengar pedas daripada Umi yang hanya mau berbicara dengan ku jika melakukan sesuatu yang fatal atau kecerobohan yang besar. Yah, hanya itu jika kalian ingin tahu.

Aku mengerti, mungkin ia kecewa karena aku tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Aku mengerti mungkin mereka masih belum mempercayai ucapan ku dan aku mengerti jika mereka pasti sangat terluka mendengar semua ucapan orang-orang yang mencemooh ku, aku mengerti. Itulah sebabnya jika mereka marah dan melampiaskannya kepada ku, aku diam bahkan tidak membantah atau pun memjawab amarah mereka. Aku melakukannya karena aku tau mereka pasti sangat lelah menanggung malu dan cemooh yang orang-orang lontarkan tentang aku kepada mereka.

Yang kedua adalah Abi ku, Abi ku bernama Muhammad Affirul Sauqi. Bagiku ia adalah seorang laki-laki yang hebat dan penyabar. Jika Saqila kebalikan dari Safira, maka Abi adalah kebalikan Umi. Ya, sifat dan sikap Saqila yang lemah dan lembut adalah turunan dari Abi. Apakah kalian tahu?

Setiap Umi melampiaskan amarahnya pada ku, orang yang pertama kali membela aku adalah Abi. Abi bahkan terus mengatakan kepada pihak keluarga yang mencemooh ku bahwa aku adalah gadis yang baik-baik. Bahkan ia membenarkan semua ucapan yang ku ucapkan di malam itu, ya Abi ku sangat mempercayai diri ku. Setidaknya aku bersyukur jika aku tidak sendirian di rumah ini, lihat aku tidak sendiri bukan?

                                                                                        ***

"Umi, Kak Saqila berniat menolak khitbah Kak Adam. Bayangkan saja Umi, ini sudah kesekian kalinya ia menolak setiap pemuda yang datang meminangnya. Aku tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkannya." Keluh Safira mengurut pelipisnya bosan.

Saat ini aku, Umi, Safira, dan Saqila sedang berada di taman belakang rumah. Ini adalah kebiasaan rutin kami setiap sore jika tidak sibuk. Membantu menanam dan menyiram tanaman bunga.

"Benar begitu, Nak?" Tanya Umi lembut masih tetap fokus memotong daun tumbuhan yang sudah mengalami gejala penyakit.

Ku dengar ada helaan nafas, aku tidak tau pasti darimana sumbernya karena aku memang membelakangi mereka.

"Iya, Umi." Jawab Saqila terdengar lembut.

"Umi, kau tau sendiri jika aku tidak akan menikah sebelum Kak Annisa lebih dulu menikah. Maka selama Kak Annisa sendiri aku pun akan begitu." Jelas Saqila membuat ku terenyuh sekaligus merasa bersalah. Yah, banyak sekali pemuda yang datang meminangnya namun selalu ia tolak karena aku yang masih belum mendapatkan pasangan yang baru. Jika kalian pikir masih ada pemuda yang datang ingin memikat ku maka kalian salah, karena semenjak hari itu tidak ada seorang pun yang datang mencari ku walaupun semua orang tau aku sudah sendiri dan telah bercerai. Ah, miris sekali bukan?

"Jangan memikirkan janda itu."

Deg

Ah, rasanya sakit sekali.

"Ia bahkan tidak memikirkan perasaan keluarganya saat berbuat maksiat, ia bahkan tidak perduli dengan perasaan yang kita rasakan saat orang-orang menatap keluarga kita aneh."

Mencoba mengabaikannya, aku terus melakukan aktivitas ku mengais tanah walaupun air mata ku kini sudah mengalir diwajah ku.

Umi, jika kau tau siapa yang lebih sakit di sini maka jawabannya adalah aku. Aku, Umi jika kau ingin tau.

Bahkan dalam pikiran ku sekalipun aku tidak ingin ada yang terluka di sini. Aku tidak ingin kalian merasa sakit atau pun terluka karena hal ini, tapi apa daya ku Umi?

Apa yang bisa aku lakukan di saat aku ingin mengatakan yang sebenarnya kalian selalu menolak untuk percaya, apa yang bisa aku lakukan jika kepercayaan kalian kepada ku saja sudah hilang?

"Umi jangan mengatakan hal seperti itu lagi, tidak baik." Tegur Saqila mencoba menenangkan emosi Uminya.

"Umi tidak bisa berpikir jernih jika menyangkut soal dia, Nak! Umi hanya lelah." Keluh Umi membuat lutut ku berasa lemas.

Maaf, Umi.

Maaf aku mengecewakan mu, namun sungguh Umi aku sama sekali tidak berniat menyakiti mu seperti ini. Aku bahkan tidak pernah sampai berpikir sebodoh ini.

Maafkan aku, Umi.

Menghela nafas, "Sebaiknya Umi beristirahat saja di dalam, Umi terlihat pucat pasti karena kelelahan beraktivitas." Saran Saqila dan dengan begitu ku dengar suara langkah kaki menjauh dari tempat ini.

Aku mengusap kedua pipi ku dengan lengan baju ku, aku tidak bisa menggunakan tangan ku karena sudah dipenuhi oleh kotoran tanah.

"Lekaslah," Ku dengar suara Safira dingin, mungkin di arahkan kepada ku.

Aku bangun dari posisi ku dan berbalik arah menatap matanya yang tajam akan sorot kekecewaan.

"Lekaslah menikah dengan laki-laki manapun, jika bisa menikahlah dengan **** yang menodai mu. Kemudian setelah itu pergilah, jangan kembali." Itu sudah pasti semua ucapan tidak berhati ini ia arahkan kepada ku. Safira menatap ku sinis lalu berjalan masuk ke dalam rumah menyusul Saqila dan Umi.

Aku termangguk di tempat ku. Merasakan bahwa lutut ku terasa benar-benar lemas. Perlahan aku mendudukkan diriku dibangku taman yang sengaja Abi tempatkan untuk kami semua duduk bersantai.

Aku meremat bagian dadaku yang berdenyut nyeri, ini sangat sakit.

"Ainallah.." Suara ku berbisik.

"Ainallah.." Bisik ku putus asa.

"Ainallah..hiks.." Mohon ku penuh harap.

Ketika aku bersedih hal yang biasa aku lakukan adalah mengatakan "Ainallah".

Dimana Allah.

Itulah yang selalu aku ucapkan. Ini aku lakukan untuk menenangkan hati ku. Karena aku tau Allah tidak pergi, Allah selalu memeluk dan menjaga ku. Aku tau Allah selalu bersama ku, dimana pun. Maka dari itu, apapun masalah yang ku hadapi aku selalu mencoba untuk meyakini diriku bahwa betapa Allah sangat menyayangi diriku dengan memberikan ku cobaan ini.

Yah, aku kuat.

Aku mampu menghadapinya. Aku hanya perlu kepercayaan pada diriku saja, jika semua orang telah menghilangkan kepercayaannya padaku, maka akulah yang akan memberikan diri ini kepercayaan.

Benar, hanya aku.

Bersambung...

Awal

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِ

"Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga."

(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 46)

                                                                                            ***

"Abi, Annisa berangkat yah?" Aku mendekat ke arah Abi yang sedang duduk bersantai di ruang tamu. Ku coba untuk meraih tangan Abi, namun setelah ku raih Abi malah menarik dan membuat ku berakhir terduduk di sebelahnya.

Abi memberikan ku senyum terhangatnya.

"Sarapan dulu ya, Nak." Pinta Abi lembut seperti biasa. Aku tersenyum seraya menggeleng menanggapinya.

Abi terlihat sendu mendapatkan penolakan dariku. Aku sebenarnya tidak berniat menyinggung, sungguh. Hanya saja aku tidak ingin membuat keributan di pagi yang cerah ini. Aku tidak ingin membuat Abi dan Umi berdebat, membuat suasana menjadi kacau dan canggung seperti di pagi yang sudah-sudah.

Tersenyum tulus, "Jangan khawatir Abi, Puspa pasti sudah menunggu ku untuk sarapan bersama di butik. Aku tidak ingin membuatnya menunggu." Alasan ku mencoba memberikan pengertian kepada Abi. Abi menghela nafasnya lelah dan mengangguk mengiyakan rencana ku di pagi ini.

"Kak Annisa pagi ini tidak sarapan lagi?" Suara Saqila lembut mengintrupsi pembicaraan ku dengan Abi. Ia datang dengan sebuah gelas yang masih mengepul asapnya, ah itu kopi kesukaan Abi.

Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Ia terlihat cemberut mendapatkan jawaban singkat dari ku. Pipi gembilnya terlihat mengembung lucu. Ah, betapa manisnya Adik ku yang satu ini.

"Kak Annisa masih saja keras kepala, uh aku merasa terluka karena masakan ku tidak pernah dimakannya." Rajuk Saqila membuat ku mau tidak mau tertawa lepas, lihatlah ia seakan tidak sadar umur, begitu menggemaskan. Aku mencubit pipinya gemas seraya mencium tangan Abi, mengucapkan salam dan langsung pamit untuk memulai pagiku.

"Umi, Annisa berangkat, assalamualaikum.." Pamit ku kepada Umi sambil mencium tangan kanannya. Ia tidak menolak juga tidak mengatakan apapun. Tapi aku yakin, walaupun Umi bersikap seperti itu ia pasti menjawab salam ku.

Setelah pamit aku langsung bergegas keluar, berjalan menuju butik. Aku tidak jalan kaki kok, aku menempuh perjalanan ke butik dengan menggunakan layanan taksi. Ini sudah biasa aku lakukan jadi aku tidak terlalu takut atau khawatir jika menggunakan taksi atau layanan jasa antar lainnya. Selama perusahaan asal mereka jelas dan mempunyai sertifikat telah lulus uji dari pemerintah maka itu bukanlah masalah.

Hampir 15 menit menempuh perjalanan akhirnya aku sampai di depan butik yang sudah beberapa bulan tempat ku bekerja, di sana Puspa dengan manisnya menunggu kedatangan ku.

Sebenarnya butik mulai dibuka pukul 8.15 pagi, namun aku dan Puspa sepakat untuk datang lebih pagi agar bisa sarapan bersama. Iya, hal ini rutin kami lakukan begitu Puspa mengetahui bahwa aku selalu melewati sarapan pagi ku di rumah.

"Assalamualaikum, Puspa?" Salam ku semangat setelah sampai di depannya. Puspa tersenyum lebar melihat kedatangan ku, ia menjawab salam ku dengan tidak kalah semangat sambil menggapai pergelangan tangan dan langsung menarik ku untuk mengikuti langkah kakinya.

Kami menyeberangi jalanan dan langsung masuk ke kafe yang menjadi langganan kami sejak aku bekerja di sini. Tidak seperti kafe yang biasanya buka jam 8 pagi, itu pun maksimal. Kafe ini justru mulai buka dari jam 6.30 pagi hingga jam 20.30 malam.

Aku tidak tau sistem apa yang mereka gunakan di sini, akan tetapi yang aku tau adalah sistem kerja mereka ini sangat membantu untuk ku. Jadi aku sangat berterima kasih atas sistem kerja mereka.

Setelah duduk disalah satu meja yang amat sangat strategis untuk di tempati kami pun langsung memesan makanan yang baik untuk sarapan pagi.

Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba memanfaatkan waktu yang kosong untuk melihat-lihat kafe ini sementara Puspa yang sedang asik dengan handphone genggamnya.

Pagi ini cukup ramai menurut ku, itu terlihat dari semua meja yang ada di kafe ini hampir terisi semua. Kebanyakan adalah mereka yang masih berumur muda, tidak jelas apakah mereka anak SMA atau kuliahan, karena ya, hari ini adalah hari minggu dan seperti yang kalian tau sendiri ini adalah hari libur. Minggu berarti libur jika kalian belum paham.

Bosan memandangi suasana kafe yang monoton, aku akhirnya mengalihkan pandangan ku ke arah luar. Memang kafe ini di dominasi oleh kaca, aku tidak tau tujuan utama sang pemilik untuk membuat kafe ini menjadi tempat yang didominasi oleh kaca atau sesuatu yang transparan, akan tetapi yang jelas aku bersyukur karena dengan begini aku bisa menghilangkan rasa bosan ku terhadap tempat ini.

Di luar sana, aku bisa melihat beberapa orang yang sedang ingin menyeberangi jalan raya, ada orang yang sedang duduk bersantai dikursi yang memang khusus disediakan oleh pemerintah untuk para pejalan kaki atau untuk orang yang singgah beristirahat.

Ada beberapa pasangan remaja yang sedang asik berbincang-bincang, terlihat menyenangkan. Di sana juga ada beberapa para pejalan kaki yang sedang istirahat di pinggir trotoar jalan, mereka terlihat kelelahan dari aktivitas acara lari pagi mereka.

Ah, di sana juga ada beberapa pejalan kaki. Salah satu diantara mereka sepertinya pasangan suami istri. Itu terlihat dari sikap mereka yang begitu romantis dan manis. Ah, betapa beruntungnya mere-

"An?"

"Ya?" Jawab ku seraya mengalihkan pandangan ku menatap Puspa yang kini juga sedang menatap ku.

"Kamu dari tadi liatin apa sih? Kok kelihatan nya seru banget deh. "

"Oh, enggak kok. Biasa aja, aku cuma liatin para pejalan kaki yang lagi istirahat diseberang jalan." Jawab ku sedikit berbohong. Mana bisa aku menceritakan apa yang aku lihat tadi kepada Puspa, bisa-bisa Puspa kepikiran lagi dengan apa yang ku lihat.

Hem, benar. Itu tentang pasangan suami istri yang terlihat romantis, sejujurnya aku sedikit iri atau cemburu mungkin melihat mereka begitu bahagia dengan pasangan masing-masing.

Puspa terlihat menganggukkan kepalanya mengerti dan kembali fokus berkutik dengan handphone genggamnya.

Lagi, aku memilih mengalihkan pandangan ku ke arah pasangan tersebut namun na'as karena tempat pasangan tersebut beristirahat dihalangi oleh sebuah mobil sedan hitam. Dari mobil tersebut keluarlah seorang laki-laki yang terlihat cukup tinggi. Dari perawakannya aku bisa simpulkan bahwa laki-laki ini sangat tampan, itu bisa aku simpulkan dari posturnya yang cukup tinggi, kulitnya yang putih, garis rahangnya yang tegas, kedua alisnya yang tebal dan hitam, kedua matanya yang tajam dan berwarna hitam bersih, bibirnya yang-

"Hem, biasa aja ya? Tapi ngeliatnya kok gak nyantai gitu?" Bisik seseorang berhasil membuat ku tersadar dari acara menilai ku. Tunggu

Jangan-jangan...

"Puspa!" Kaget ku setelah mengetahui bahwa yang sedang membisikkan ku tadi adalah Puspa.

"Astagfirullah..kamu hampir buat aku jantungan tau gak! Astagfirullah.." Kesal ku yang langsung dihadiahi suara tawa Puspa yang terdengar ditahan, itu karena ia masih waras tidak mau menjadi bahan perhatian dan perbincangan orang-orang di sini. Ia enggan menjadi buah bibir simpelnya.

"Biasa aja tapi ngeliatin orang sampai segitunya, huh sampai-sampai sarapannya sendiri dilupakan." Cibir Puspa membuat ku mendengus tak suka.

Benar, aku baru menyadari jika menu sarapan yang kami pesan sudah berjejer rapi di atas meja kami. Sejak kapan makanan ini ada di sini?

"Kau tentu tidak menyadari kapan makanan ini datang karena kau sangat sibuk memandangi seseorang." Ujar Puspa seakan bisa membaca isi pikiran ku. Ia dengan santai memasukkan satu sendok nasi goreng kedalam mulutnya dan jangan lupa tatapan mengejeknya yang sangat menyebalkan itu.

Aku memutar bola mata ku malas, kesal sendiri menanggapi tatapan mengejeknya. Daripada meladeni ejekan Puspa, aku lebih memilih untuk memfokuskan pikiran ku pada seporsi nasi goreng yang ada di depan ku.

                                                                                          ***

"Alhamdulillah..sudah rapi semua." Syukur ku begitu selesai mengecek stok di luar ternyata sudah sangat pas. Sementara Puspa sibuk mengecek stok di gudang, aku pun memutuskan untuk duduk bersantai sambil mengecek stok bulanan bulan lalu. Sedang asik-asik membaca draft pengeluaran tiba-tiba aku mendengar suara pintu dengan langah ringan yang spontan membuat ku mengalihkan perhatian ku. Seorang wanita paruh baya masuk dengan anggun berjalan ke arah ku.

"Assalamualaikum Ibu, ada yang bisa saya bantu?" Sapa ku seramah mungkin seraya memberikannya salam hangat.

Ibu itu tersenyum dan membalas salam ku tidak kalah hangatnya. "Saya ingin mengambil pesanan saya satu minggu yang lalu." Jawab Ibu tersebut.

Mendengar jawaban Ibu tersebut aku langsung membawanya ke ruang tunggu.

"Atas nama siapa Ibu?" Tanya ku seraya membuka buku daftar nama para pelanggan yang memesan pakaian.

"Atas nama Ibu Hadratul Aini." Jawab Ibu itu tersenyum, ah melihatnya terus tersenyum seperti ini pasti ia adalah seorang wanita yang ramah dan baik. Aku jadi kangen Umi. Tunggu, wajah Ibu ini terlihat tidak asing bagiku, aku

sepertinya pernah bertemunya di suatu tempat.

"Oh, pesanan Ibu saat ini sedang dikemas di gudang. Mohon tunggu sebentar ya, Bu." Ujar ku setelah mengecek ternyata pesanan Ibu tersebut masih dikemas di gudang.

Lagi-lagi Ibu tersebut hanya merespon ku dengan sebuah senyuman, masyaa Allah, betapa

ringan bibirnya.

"Kalo begitu, tolong temani saya di sini. Saya tidak suka jika berdiam diri tanpa bersuara padahal saya mempunyai seseorang yang bisa diajak mengobrol. " Pinta Ibu tersebut.

Aku hanya menanggapinya dengan sebuah tawa kecil seraya berjalan mendekati dan berakhir duduk bersamanya. "Ah, ternyata selera humor Ibu baik juga." Kagum ku membuat Ibu tersebut mau tidak mau tertawa juga.

"Benarkah begitu?" Aku mengangguk pelan sebagai ungkapan rasa kejujuran ku.

"Saya tidak pernah tahu jika saya mempunyai humor yang cukup baik, tapi jujur saya tidak bisa tahan jika tidak berbicara padahal ada seseorang yang bisa saya ajak mengobrol." Jelas Ibu tersebut membuat ku lagi-lagi menganggukkan kepala ku maklum.

"Ibu tinggal dimana?" Tanya ku mulai membuka obrolan ringan.

"Saya tinggal di kota jauh Nak, di pondok pesantren Ar-Rahman." Jawabnya pelan. Ia tinggal di pondok pesantren?

Ah, apakah ia pemilik pondok pesantren itu tepatnya?

Aku penasaran.

"Apa-"

"Assalamualaikum, Umi." Ucapan ku terhenti ketika seseorang mengintrupsi obrolan kami.

"Waalaikumussalam, bagaimana? Apa urusan kamu sudah selesai?" Tanya Ibu tersebut kepada laki-laki yang ku yakini adalah anaknya. Kenapa aku bisa mengetahui bahwa anak Ibu tersebut adalah laki-laki?

Karena simpel saja, suaranya terdengar seperti laki-laki yang masih muda.

"Alhamdulillah, sudah Umi." Jawabnya sopan. Karena penasaran aku akhirnya memutuskan untuk melihat seperti apa sosok anak dari Ibu ini.

Deg

Bukankah laki-laki ini adalah laki-laki yang aku lihat di kafe tadi?

Dia sangat-astagfirullah! Apa yang aku pikirkan?

Jangan melangkah terlalu jauh Annisa! Jangan melangkah terlalu jauh.

"Ibu Hadratul Aini, ini pesanannya sudah siap. Maaf membuat Ibu menunggu." Suara Puspa memecahkan kecanggungan, tepatnya hanya aku yang merasa canggung di sini.

"Oh, tidak apa-apa. Lagipula saya juga sedang menunggu anak saya menyelesaikan urusannya. Oh ya, terima kasih atas kerja keras kalian. " Jawab Ibu tersebut ramah. Di setiap kata yang ia ucapkan selalu saja membuat hati tenang. Bagaimana bisa aku melupakan orang seramah dia. Karena urusannya yang sudah selesai akhirnya Ibu dan pemuda laki-laki tersebut meninggalkan tempat kami. Aku masih merasa aneh, bahkan setelah kepergian laki-laki tersebut. Perasaan yang ku rasakan ini seperti sebuah ketidak relaan atas kepergian laki-laki tersebut.

Apa iya?

Astagfirullah, aku baru menyadarinya sekarang bahwa Ibu ini adalah Ibu dari laki-laki tersebut. Maka wajar saja jika aku merasakan pernah bertemu dengan sosok Ibu ini karena faktanya tadi pagi aku sempat melihat anaknya. Ah, jadi sebenarnya orang yang ku temui pertama kali adalah anaknya, bukan Ibu itu.

“Jadi seperti itu.” Gumam ku kepada diriku sendiri.

“Ada apa Ann?” Puspa bertanya bingung. Mungkin ia mendengar apa yang ku katakan tapi kurang jelas.

Tersenyum tipis, aku menggelengkan kepala ku ringan. “Bukan apa-apa.”

                                                                                       ***

Author P. O. V

"Assalamualaikum, Annisa pulang." Salam Annisa seraya membuka pintu rumah. Namun, tidak ada seorang pun yang menjawab salam Annisa. Alasannya? Itu karena tidak ada seorang pun di rumah ini. Karena tidak mendapati siapa pun di ruang tamu, akhirnya Annisa mencoba mencari keberadaan orang-orang rumah dengan mengitari semua tempat.

Hingga akhirnya Annisa mendapatkan keberadaan keluarganya di ruang keluarga. Sayup-sayup Annisa bisa mendengar suara mereka yang sepertinya sedang mengobrol serius.

"Namanya Mas Gio Umi, bukan Mas Ilham." Suara Safira menyela ucapan Uminya.

Annisa terdiam di tempat, ia ragu untuk bergabung bersama mereka. Karena saat ini Umi, Abi, Saqila, dan Safira sedang berkumpul bersama. Ini jarang terjadi sejak Annisa gagal dalam berumah tangga. Karena sejak saat itu Umi dan Abi pasti selalu berdebat dan berujung emosi yang membuat suasana rumah menjadi tegang.

Annisa tau diri, jika ia bergabung bersama mereka maka itu sama saja ia merusak kebahagiaan yang sedang menyelimuti keluarganya. Melihat suasana damai ini, Annisa memilih untuk diam dan pergi ke kamarnya. Ia cukup bahagia melihat Umi dan Abinya tertawa bahagia seperti saat ini, dia bersyukur akan nikmat yang Allah berikan hari ini.

BERSAMBUNG..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!