NovelToon NovelToon

Dijebak Karena Terobsesi

Bab 1 Dijebak

Aah...!

Aah...!

"Lagi Mas yang kuat, Mara mau keluar ni!" Ucapnya dengan gairah menggebu. Suara itu masih terus membayang kuat di benak Bagas.

******

Tamara Morely masih belum sadarkan diri jika Ia ada dalam dekapan seorang pemuda yang semalam telah merampas mahkotanya.

Bagas Arta Kusuma sangat terpuaskan akan servis wanita yang sejak lama sangat diinginkannya menjadi istri. Sebab Tamara memang sangat cantik, bola matanya bening, hidung mancung, bibir merah merekah dan tubuh yang ideal.

Berkali-kali mengungkapkan isi hati pada gadis impiannya itu tak pernah sekali pun di respon positif oleh Tamara dengan alasan Bagas hanya orang miskin, jorok dan dekil, wajahnya di penuhi oleh jerawat dan berminyak.

Kesal di perlakukan tidak pantas, muncul keinginan Bagas untuk menjebaknya saja. Hanya itu jalan satu-satunya agar Ia dapat menjerat Tamara dengan paksa.

Usaha itu tak di lakukannya sendiri, Ia di bantu oleh seseorang yang selalu siaga menemani kemana pun Ia pergi.

Pagi yang indah dan cerah, cahaya matahari mulai menapaki bumi membuat Tamara terperanjat dari lelapnya yang begitu nikmat. Sudah sebulan terakhir, gadis itu kurang tidur karena sering pergi dugem, dan baru malam ini tidurnya terasa spesial.

Di balik selimut yang masih membungkus tubuh polosnya, Tamara melebarkan senyum menyambut hari yang baru.

"Apa tidurmu nyenyak?" Tanya seseorang yang sejak tadi menopang kepala di sebelahnya. Pemuda itu mengerling nakal ke arah Tamara yang sangat terkejut akan keberadaannya.

"Ba- Bagas, ke- kenapa kau ada di kamarku?" Ucapnya terbata. Tamara berlanjut memeriksa tubuhnya dan baru menyadari jika Ia sudah tak memakai apa pun. Kemudian manik matanya mengitari setiap sendi ruangan untuk mengenali dimana Ia berada saat ini.

"Ba- Bagas apa ini, dimana aku sekarang?" Tamara menaikan sedikit selimut yang hampir terjatuh ke bawah. Ia panik menyadari sesuatu pasti telah di ambil darinya.

Bagas hanya tersenyum, Ia bangkit dari ranjang dan meraih gelas air putih yang di teguknya hingga tandas. Pemuda itu berpindah ke sofa dan menyambar sebuah ponsel yang di yakini Tamara jika benda itu hanya barang murahan.

"Bagas, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa diam saja? Apa yang sudah kamu lakukan ha?" Tamara mulai tak bisa mengontrol emosi. Mana mungkin Ia seceroboh itu bisa berada dalam ruangan bersama Pria yang sangat di bencinya itu.

"Kamu sangat menikmati apa yang ku lakukan semalam, Ra. Apa kamu masih menginginkannya. Aku sampai gila mendengar Des-ahanmu terus memuja telingaku," ucap Bagas santai.

Mendengar pengakuan Bagas, Tamara tak mampu menahan marah. Ia bangkit dari ranjang di apit gulungan selimut mendekati Bagas.

Plak!

Tamparan kerasnya berhasil menyentuh wajah pemuda itu. Karena berminyak, Tamara kembali mengusapkan tangannya ke tubuh Bagas.

"Keterlaluan kamu Gas, kan aku sudah bilang kalau aku gak pernah cinta sama kamu. Bagaimana mungkin kamu menyentuhku!" Kecamnya sambil menuding. Pipi itu sudah basah oleh air mata kekesalan.

Bagas lagi-lagi hanya berdecih menertawai reaksi Tamara. Ia kemudian bangkit dan menggendong Tamara kembali ke atas ranjang dan menindihnya dengan kuat.

"Bagas, lepaskan aku. Apa kamu tidak sadar, aku jijik melihat wajahmu!" Amuk Tamara dengan brutal. Ia benar-benar kehilangan akal menatap wajah mengerikan itu.

"Diam lah Sayang, lebih baik kamu menikah saja denganku. Atau vidio saat kita bersetubuh menyebar di medsos, dengan begitu tidak akan ada satu pun pria yang mau menikahimu!"

Tamara menganga mendengar itu, " Kamu keterlaluan Bagas!"

"Biar saja, yang penting kamu mau mengabulkan keinginanku!" Ucap Bagas balas membentak.

Tamara terpaku. Ia berusaha berdamai dengan ke adaan, tapi wajah Bagas membuat pandangannya menjadi muak.

"Menjauh lah Bagas, aku bisa muntah melihat wajahmu. Apa saja yang kau lakukan denganku semalam, itu pasti mengerikan higs...?" Tuduhnya lagi sembari menggeleng. membayangkannya saja Tamara tidak sanggup.

Meski sakit hati atas penghinaan Tamara, Bagas menanggapinya dengan tertawa simpul. Pasalnya wajah tertekan gadis itu semakin menggemaskan dan menggoda di matanya.

"Kita main sekali lagi bagaimana? Aku tidak sabar melihat perutmu membuncit karena mengandung anakku?" Seringai Bagas, menaikan sebelah alisnya menatap penuh gairah.

"Cih, Mustahil!"

Tamara berdecih kesal. Bagaimana nanti jika Ia sampai hamil, sedang secuil pun Tamara tak pernah mencintai Bagas, disentuh saja rasanya sudah seperti berada di tumpukkan kotoran hewan."Jangan bermimpi...!" timpalnya dengan nada penuh kebencian.

"Jadi kamu kekeh tak mau menikah denganku?" Ulang Bagas lagi.

"Tidak...!"

"Baiklah, jangan salahkan aku jika foto bugilmu terpampang dimana-mana!"

"Kau mengancamku...?"

"Sedikit...!"

Tamara meleguk saliva, kali ini Ia sangat yakin kalau Bagas tidak akan mungkin melepaskan dirinya lagi, "Baiklah aku punya satu permintaan," tawar Tamara.

Bagas tidak menyahut, pria itu malah sibuk mengecup jenjang leher Tamara.

"Bagas...!" Tamara mendorong kepala pria itu menjauh menanti jawaban atas tawarannya.

"Baiklah, kamu mau apa?" Tanya Bagas yang menghentikan kesibukannya.

Tamara berusaha berpikir keras, sesekali merasa mual jika menatap lekat wajah Bagas yang masih mengungkungnya.

"Baiklah, aku mau menikah denganmu, dengan syarat setelah menikah nanti kamu harus memenuhi kebutuhan hidupmu dengan layak atau aku akan menggugat cerai dirimu!" Sergah Tamara, dalam hati Ia yakin Bagas tak akan mampu mengabulkannya, sedang Bagas hanya tinggal mengontrak di sebuah pemukiman kumuh.

"Hanya itu?" Tanya Bagas, seolah mampu mengabulkan.

Mendengar ucapan Bagas Tamara mengernyit bingung, mustahil seorang tak punya apa-apa bisa memenuhi keinginannya, "Kau yakin mampu membelikan apa pun untukku?" Tanya Tamara lagi.

Bagas tidak menjawab, Ia segera bangkit dari tubuh Tamara dan mengatakan apa yang seharusnya Tamara lakukan, "Pergilah mandi, aku antar kamu pulang!"

Tak tahu harus mengatakan apa lagi, Tamara beringsut turun dari ranjang menuju kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya sangat lama, membayangkan betapa jijiknya saat Bagas menjamahnya, "Pria sialan, bagaimana bisa aku terjerat sekamar dengannya? Apa aku minum wine sangat banyak sampai tak menyadari hal gila itu terjadi? Oh Tuhan, aku harus bagaimana ini?" Gerutu Tamara seorang diri.

Sebagian kulitnya sampai memerah, karena terlalu kuat di gosok untuk membersihkan bekas sentuhan Bagas. Entah mengapa dari dulu Tamara tidak menyukai pria itu.

Muak!

Satu kata itu yang pantas Ia ucapkan untuk seorang Bagas, yang terus saja mengejarnya tanpa pernah menyerah sedikit pun. Padahal Tamara sudah sering selalu berkata kasar hanya untuk menyadarkan kalau Bagas tidak pantas mendapatnya.

"Keluar lah! mengapa lama sekali?" Teriak Bagas dari balik pintu. Sepertinya pemuda itu tak sabar ingin melihatnya lagi, mungkin saja Bagas akan gila jika tidak mengganggu ketenangannya sedetik saja.

"Ya, tunggu sebentar," jawab Tamara malas.

Dengan terpaksa, Tamara keluar dari ruangan lembab itu hanya dengan menggunakan handuk yang sengaja di persiapkan untuknya.

Kulitnya yang mulus, memanggil bola mata Bagas yang masih duduk di sofa bergerilya menatapnya. Sepertinya pria itu sangat terobsesi dengan Tamara, hingga jakunnya berulang kali naik turun hanya untuk meneguk saliva yang seakan serat di kerongkongan.

"Cepatlah...!" Ucapnya kemudian. Tamara takut melihat Bagas bangkit dari sofa, mengira akan menghampirinya untuk menyentuh. Ternyata perkiraan Tamara salah, Bagas memilih keluar meninggalkannya seorang diri dalam kebekuan.

Bab 2 Tak Perlu Restu

Selesai berkemas, Tamara segera keluar dan menemui Bagas. Sudah Tamara duga sebelumnya jika Bagas tak akan pernah mungkin mengantarnya pulang dengan sekedar naik taksi apa lagi naik mobil mewah.

Wanita itu hanya bisa pasrah diajak menaiki motor bebek butut yang dimiliki oleh pria dekil itu. Bayangkan saja bagaimana sialnya Tamara saat ini bersama dengannya

Cuaca yang sangat cerah di bawah terik matahari pagi, tak mampu mengubah suasana hati Tamara yang sejak tadi masih berselimutkan kemarahan.

"Bagaimana kamu menghidupiku jika seperti ini, Bagas? Sedang kehidupanmu melarat, bahkan suara motor bututmu saja membuat telingaku terasa sakit!" Kicau Tamara.

Duduk di belakang dengan menahan rasa malu karena sebagian pasang mata yang berjalan memenuhi trotoar tengah memperhatikan mereka. Wajar, suasana sangat ramai karena hari itu bertepatan dengan hari libur.

Belum lagi perut juga keroncongan karena sejak pagi belum ada nasi yang masuk, maklum saja Bagas tak memberinya makan apa pun. Kalau seandainya di kasih makan, sudah pasti Tamara tidak akan sanggup untuk menelannya, mengingat wajah Bagas yang penuh oleh jerawat batu dan bernanah.

"Maaf Ra, mau gimana lagi aku gak punya uang sekarang," timpal Bagas dengan santainya. Pemuda itu hanya fokus menatap ke depan tanpa perasaan bersalah.

"Cih, apa-apaan ini? Lalu bagaimana caramu memenuhi syaratku untuk memenuhi kehidupan yang mewah dan layak?" Jengah Tamara lagi, sangat kesal.

Bagas tidak menjawab apa pun, pria itu mempercepat motor bututnya sampai di halaman rumah Tamara. Rumah bergaya minimalis berlantaikan dua, pekarangannya juga cukup luas. Tentu Tamara memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari dirinya sekarang.

Papa Tamara memiliki pekerjaan yang terbilang mapan, beliau menjabat jadi wakil Direktur utama di sebuah perusahaan besar, sedang Mamanya adalah seorang Bos di sebuah rumah makan.

Kakak perempuan Tamara yang bernama Sindy pun baru selesai di wisuda dengan menyandang gelar sebagai Sarjana Ekonomi, sedang adik bungsunya Samuel kini sudah menginjak kelas 3 SMA.

Tamara sendiri masih kuliah, tapi sepertinya semua akan hancur dalam waktu singkat. Usai Bagas berhasil merampas harta berharganya.

.

.

.

Setelah turun dari motor menyebalkan itu, Bagas menahan lengan Tamara yang hendak meninggalkannya. "Aku ikut masuk...!" Ucapnya meyakinkan.

"Untuk apa?"

"Meminta restu...."

"Kau sudah gila?'

"Ya, aku terobsesi denganmu."

"Coba saja, tapi jangan salahkan aku jika hanya penghinaan yang kamu dapat."

"Tidak masalah, karena penghinaan itu akan berbalik ke keluarga besarmu, akibat menanggung malu akan perbuatan kita semalam."

"Sial! Kau mengancamku?"

"Sedikit..!"

"Terserah saja...!"

Keluarga besar gadis itu mendadak marah besar, mengetahui putrinya membawa seorang pecundang masuk kedalam rumah mewah mereka.

"Ngapain kamu bawa pria menjijikkan itu kerumah kita, Tamara?" Delik Mama Sandra dengan tatapan sinis.

Terlihat jelas tidak ada kesukaan sedikit pun yang terpancar dari raut wajah semua orang disana, termasuk Papa dan kedua saudara Tamara, Samuel dan Sindy.

"Di- dia memaksa, Ma," jawab Tamara lirih. Jujur gadis itu takut akan ancaman Bagas yang berniat menyebarkan foto nya di MEDSOS.

"Apa...?" Mama Sandra tersulut. "Jadi kamu takut dengan wajah keset seperti dia!" Tudingnya ke arah Bagas, yang masih memilih bungkam membiarkan keluarga Tamara puas memakinya.

"Maaf Ma!"

Bagas meremas tangan dengan wajah tertunduk, ada sedikit gugup melihat Papa Tara mendekat.

"Kamu...!" Ucap Pak Tara tegas, dan intens. Meski sudah menginjak usia hampir 50 tahun. Pria bertubuh besar itu masih tampak sangat gagah, terasa dari bagaimana kuatnya Ia mencengkram pundak Bagas yang masih mematung.

"Coba bercermin...!" Ucapnya menarik Bagas ke arah sebuah kaca berukuran sedang di ruang tamu. "Lihat! Apa pantas wajah mirip lutung sepertimu menikahi putriku?" Decihnya kasar.

Pernyataan beliau terdengar sangat pedas di telinga Bagas, namun pemuda itu tetap sabar. Karena baginya tidak penting mendapat restu dari kedua orang tua Tamara, asal Ia berhasil menikahi gadis impiannya.

"Saya mau menikahi Tamara, Om!" Ungkapnya jelas.

"Apa kamu bilang?"

Bagaimana mungkin seorang Bagas yang kumuh, jorok dan melarat serta tidak jelas asal-usulnya itu berani mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal di depan Papa Tara.

"Berani sekali kamu mengatakan hal itu Bagas, apa kamu tidak sadar jika kamu sangat lah tidak pantas untuk putriku Tamara!" Sela Mama Sandra.

"Benar Ma, Bagas dan Tamara bagaikan langit dan bumi, jadi sangat konyol rasanya jika sampai mereka menikah," Imbuh seorang gadis yang masih sibuk mengutak-atik sebuah laptop.

Sindy memang terbilang cerdas untuk urusan manajemen, itu sebabnya dia bisa bekerja di perusahaan yang lumayan besar meski tak sebesar kantor tempat sang Papa bernaung.

Bagas yang merasa sudah seperti sampah di mata keluarga itu, hanya dapat tersenyum getir. Namun Ia tidak akan menyerah untuk cintanya.

"Nikahkan saja aku dan Tamara, Om. Atau aku akan membuat anak Om tidak ada harganya dimata semua pria!" Ucap Bagas dengan lantang. Ia melirik ke arah Tamara yang nampak sangat bingung.

Papa Tara menertawakan bualan Bagas, ancaman itu tak berarti apa-apa baginya yang banyak Uang. Sebab menghilangkan nyawa orang saja sangat muda di lakukan jika Ia mau, "Apa yang bisa kamu lakukan anak muda? Kau sama seperti semut kecil bagiku, sekali di injak TEP! Mati!" Timpalnya sembari menjentikkan ujung kuku.

"Om yakin? Bagaimana jika Om tanyakan dulu soal jawaban Tamara akan pinangan saya?"

"Heh! jangan memaksa Bagas, lebih baik kamu pergi dari sini!" Usir Mama Sandra.

"Aku tidak akan pulang, kecuali bersama Tamara!"

Keluarga Tamara tercengang, Bagas mendudukkan diri di sofa dengan tenang, tak seperti saat datang. Ia bahkan menikmati sofa mahal itu dengan senyum-senyum sendiri persis orang gila.

"Astaga! Bagas! Pergi kamu dari sofaku. Kumannya akan tertinggal di sana!" Amuk Mama Sandra lagi, panik. Betapa lucu reaksinya di depan Bagas.

"Jangan pelit begitu Mama Mertua, aku akan segera pergi. jika Papa dan Mama memenuhi keinginanku, bukan begitu Tamara?" Ucapnya beralih ke arah gadis yang masih tahan berdiri di dekat guci mahal tak jauh dari pintu.

Mama Sandra gelimpungan, tak biasanya Tamara hanya pasrah saat Bagas leluasa bertindak di rumah mereka.

"Tamara, Come on nak, tolong usir pria begajulan ini dari rumah Mama, sungguh Mama bisa gila jika dia berlama-lama disini!" Pinta Mama Sandra.

"Ya- Ya aku harus bagaimana Ma, di- dia benar Mama jangan terlalu pelit begitu," jawab Tamara gagap.

"Bagus! Terima kasih sayang!"

Bagas beranjak dan menghampiri Tamara, lalu mencium kening gadis itu tanpa menghargai orang yang sudah merendahkannya.

"Bagas...!" Pekik Papa Tara tak terima.

Sungguh Tamara sangat jijik akan tindakan Bagas, tapi Ia tak punya pilihan lain kecuali bersedia menikah dengan Bagas demi harga dirinya. "Nikahkan saja aku dengan Bagas Pa!"

Bab 3 Perjanjian

"Tidak! Kamu sudah gila Tamara. Apa yang kamu harapkan dari pria melarat ini!" Bentak Papa Tara, hingga terlihat urat lehernya yang semakin menegang karena marah.

"Om yakin, tidak mengizinkan Tamara menikah denganku?" Tanya Bagas lagi.

"Jangan bermimpi!" Sentak Papa Tara, dengan telunjuk menuding tepat di depan mata Bagas. Sepertinya tidak ada harapan dari pria tua itu untuk memberikan restu.

Bagas yang tak terima pun tidak kehabisan akal, Ia mengeluarkan ponsel yang terlihat retak di bagian belakangnya lalu memperlihatkan vidio Tamara saat menikmati permainannya, "Om lihat sendiri kan kenakalan anak Om ini? Dia begitu menggairahkan, bagaimana jika aku menyebarkan vidio ini sekarang juga?"

Papa Tara membulatkan mata tak percaya, "Bagas...!"

Pria paruh baya itu hendak melayangkan tamparan namun Bagas menyambutnya dengan tenang, "Sabar Om, anda tidak perlu marah begitu, nanti darahnya naik lo."

"Jangan macam-macam Bagas, atau aku akan memenjarakanmu?" Ancam Papa Tara.

Bagas pun melepaskan tangan pria itu, "Hahaha... Sudah ku duga, sayangnya aku tidak takut dengan ancaman murahan itu Om, sebab anda akan lebih sengsara jika vidio ini sampai ke atasan tempat anda bekerja, selain itu anak gadis anda yang cantik ini akan menangis seumur hidupnya karena semua pria mengecapnya perempuan mur-ahan," jawab Bagas yang tidak kehabisan kata-kata.

"Sialan...!" Maki Papa Tara.

Mama dan yang lainnya tak bisa lagi berkata-kata, ternyata ancaman Papa Tara tidak berarti apa-apa di banding ancaman Bagas yang berdampak lebih besar pada kehidupan mereka.

Lama berpikir keras, Papa Tara akhirnya setuju, namun ada syarat yang harus Bagas penuhi, "Baiklah, aku akan menikahkan kalian tapi ini hanya berlaku selama tiga bulan, dan setelah itu kamu harus melepaskan Tamara."

"Maksud Om?"

"Ini sistem kawin kontrak, tidak ada yang boleh tahu Tamara telah menikah denganmu jadi selama itu berpura-puralah jadi sopir pribadi Tamara," jelas Papa Tara.

"Keuntungan apa yang kudapat dari tiga bulan itu Om?" Bagas menaruh rasa curiga.

"Kamu bisa menyelesaikan obsesi gilamu itu, dengan jaminan kau menghapus vidio tersebut setelah kontrak selesai," jengah Papa Tara.

Bagas mengembangkan senyum, "Om yakin? Atas dasar apa Om menikahkan Tamara denganku begitu singkat?" Tanya Bagas penasaran.

Papa Tara menatap Bagas sejenak, terlihat jakunnya tengah menelan ludah, "Bukan urusanmu, lagian kamu tidak perlu khawatir karena selama tiga bulan itu aku akan membayar gaji sopirmu, dengan begitu kau bisa memenuhi keinginan Tamara selama bersamamu!"

Bagas menggelengkan kepalanya tak percaya, tapi akhirnya Ia mengulurkan tangan tanda setuju dengan syarat Papa Tara, "Baiklah tidak masalah bagiku, asal Tamara tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri."

Tanpa berlama-lama Papa Tara pun menyambut tangan Bagas, meski pada akhirnya Ia mengelap tangan itu dengan tissue.

Persetan dengan penghinaan itu, yang penting Bagas bisa memiliki wanita impiannya. Jadi selama tiga bulan itu, Ia bisa menguasai Tamara kapan pun Ia mau.

*

*

*

Akhirnya Bagas dan Tamara pun resmi menikah di sebuah KUA usai menanda tangani surat perjanjian dari yang diberikan Papa Tara. Acara itu hanya di hadiri oleh keluarga Tamara, termasuk pihak terkait di tempat tinggal mereka yang sudah di bungkam dengan uang serta pihak KUA sendiri.

Jadi, sepulangnya dari sana. Bagas tidak membiarkan kesempatannya memanfaatkan keadaan. Dengan bebasnya Ia meminta Papa Tara memesankan sebuah hotel untuk malam pertama mereka, lagi-lagi syarat timpal baliknya adalah Bagas harus memakai masker dan jaket untuk menutupi wajahnya yang buruk rupa itu.

Setibanya di kamar, Tamara yang sebenarnya sangat malas berduaan dengan Bagas, harus pasrah membanting tubuhnya di sofa.

Dengan cepat, Bagas datang menghampirinya. Ia melepas semua jaket dan masker yang memuakkan itu dari tubuhnya, "Sepertinya ini malam yang indah untukku," bisik Bagas tepat di telinga Tamara.

"Cih, jika bukan karena kau menjebakku, mana mungkin aku sudi menjadi istrimu," cerca Tamara sembari membuang wajahnya ke tempat lain, dimana di sana ada televisi berukuran jumbo.

Perempuan itu meraih remote kontrol di atas nakas untuk menyalakan televisi, akan tetapi Bagas malah menarik kepala perempuan itu agar fokus padanya saja, "Lupakan itu, dan utamakan aku," ucapnya sesuka hati.

"Apa? Bagas, jangan suka mengaturku begini, aku bukan babumu!" Pekik Tamara kesal.

"Heh, begitu juga aku. Mengapa Papamu menjadikan aku sopirmu saat kita keluar!" Timpal Bagas balik yang sebenarnya sangat amat keberatan. Bagaimana mungkin Ia di larang memamerkan pernikahan mereka di tempat umum.

"Ya mana aku tahu, Papa tentu punya alasan sendiri untuk itu," jawab Tamara, suaranya memelan di akhir kalimat.

"Munafik, mana mungkin kamu tidak tahu," desis Bagas seorang diri.

"Bodo' amat lah, aku mau mandi sebentar!" Tamara berlalu dari hadapan Bagas menuju kamar mandi, Ia menanggalkan seluruh pakaiannya dengan mengenakan sehelai handuk.

Namun sialnya, Tamara tidak dapat menyalakan shower hingga Ia marah-marah karena sudah kegerahan, "Aduh, kenapa hidupku berat begini sih, sudah di tidurin pria jelek itu, menikah dengannya pula, sekarang mau mandi pun air juga menolakku!"

"Cepatlah!" Teriak Bagas dari luar.

Ceklek!

Tamara membuka pintu, "Showernya gak mau nyala," ucapnya agak malas.

Bagas memantik tubuh Tamara yang hanya memakai handuk, kemudian menyelinap masuk untuk memeriksa. Lama mengutak-atik benda itu, Bagas tidak menemukan penyebabnya, "Mana ponselmu?" Tanya Bagas.

"Di kamar...."

"Cepat ambil...!"

Tamara segera menuju ke sofa, dimana tasnya tergeletak disana, kemudian menyerahkannya lagi pada Bagas, "untuk apa?" Tanya Tamara heran.

"Menelpon pihak hotel lah, apa lagi," jawab Bagas ketus.

Entah apa yang di bicarakan mereka, Tamara sendiri tidak perduli, Ia hanya termangu dan merundung dalam hati. Kesal, terperangkap bersama orang yang paling di bencinya dalam satu ruangan.

Setelah menghubungi orang yang bersangkutan, Bagas kembali memperhatikan Tamara. Pria itu melangkahkan kakinya ke arah Tamara sambil menatap tajam ke arah kulit mulus perempuan itu. Tamara dapat melihat tatapan ambisius dari seorang Bagas yang beberapa kali meleguk salivanya berulang-ulang.

"Ayo kita bermain sebentar!" Ajak Bagas. Pemuda itu mendorong tubuh Tamara terjerembak ke dinding.

Tamara mengkerut, Ia ketakutan menatap wajah Bagas. Karena sejak hari itu, Tamara baru sadar jika Bagas bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan sebuah keinginan.

"A- apa yang membuatmu terus mengejarku Bagas?" Ucapnya dengan nada membentak namun tersengal.

Bagas tidak menjawab, Ia terus saja menatap ngeri hingga bibirnya nyaris menempel ke bibir Tamara.

"Menjauh lah Bagas!" Tamara replek mendorong Bagas menjauhinya, membuat bola mata pria itu melotot bringas.

"Jangan menolakku perempuan sial!" Ucapnya berbarengan dengan menghantamkan tinjuan di samping wajah Tamara yang langsung terpejam ketakutan akan reaksi Bagas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!