Bunuh diri. Aku masih berumur sepuluh tahun saat keinginan "bodoh" itu pertama kali muncul di kepalaku. Meski begitu, kehidupanku tidak langsung berhenti detik itu juga.
Aku masih hidup di hari berikutnya, minggu berikutnya, bulan berikutnya, bahkan di beberapa tahun berikutnya pun aku masih tetap bernafas dengan normal. Setidaknya secara fisik aku masih baik-baik saja hingga hari dimana aku menulis ini.
Seseorang pernah bertanya padaku, "Kamu selalu terlihat santai, apa kamu tidak takut pada apa pun?". Saat itu aku tidak menjawab sama sekali, tapi dalam hati aku tertawa mendengar pertanyaan konyol itu.
Aku ini manusia normal. Tentu saja ada banyak hal yang aku takutkan, seperti jatuh dari ketinggian, tertusuk pisau, perampok, ular, buaya atau hewan buas semacamnya.
Aku takut pada segala hal yang membahayakan nyawaku, sama seperti orang kebanyakan. Namun, diantara daftar panjang hal yang aku takuti, ada satu yang berada di tempat teratas—paling menakutkan menurutku—dan itu adalah hidup.
Kurasa ini lucu. Aku takut pada segala hal yang bisa menyebabkan kematian, sementara hal yang menurutku paling menakutkan adalah tetap hidup. Aku terdengar seperti pria yang konyol, bukan? Tapi begitulah adanya.
Di mataku, tetap hidup dan melanjutkan kehidupan terlihat sangat mengerikan. Semua yang terjadi padaku dan yang ada di sekitarku mendorong pemikiran itu. Bahwa kematian adalah jalan keluar terbaik untuk semua masalah.
Bisakah aku akhiri saja kehidupan yang menakutkan ini?
Tidak. Aku pengecut.
Setiap kali tanganku menggenggam pisau, tali, atau racun—setiap kali aku bersiap untuk mati—tubuhku gemetar ketakutan. Bagaimana jika aku akan menyesali ini?
Aku menatap lamat-lamat mata pisau di permukaan kulitku. Jika dipikirkan lagi, kenapa aku ingin mengakhiri hidupku?
Rasanya menjengkelkan setiap kali percobaan bunuh diriku mencapai titik ini. Aku tidak punya alasan kuat untuk mati hingga aku tidak bisa bunuh diri. Apa pentingnya alasan itu?
Seiring kedewasaan mendatangi, hal tidak penting lainnya mengusik pikiranku. Aku mulai menghawatirkan tentang pandangan orang lain jika mereka menemukan mayatku setelah bunuh diri.
Apakah mereka akan jijik dan membiarkanku membusuk tanpa dimakamkan? Akankah mereka menyumpahi jasadku sebagai pembawa sial? Berapa banyak yang akan mengutuk pemakamanku atau meludah saat melewati makamku?
Tidak boleh. Setidaknya mereka harus membiarkan tubuhku kembali ke tanah.
Untuk itu aku menulis catatan ini. Aku harap, kalian—siapapun yang membaca ini—akan tersentuh. Paling tidak, kalian harus mau menggalikan kuburan untuk peristirahatan terakhirku.
Laman berikutnya yang akan kalian baca adalah alasanku bunuh diri. Meski saat menulis ini aku juga masih belum mengetahui alasan itu, kuharap apa pun alasan itu kalian tidak akan mencelanya.
...~•~...
18+ CONTENT WARNING!
Hampir setiap bagian berisi adegan-adegan traumatik, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, gejala depresi dan pemikiran serta kalimat-kalimat bunuh diri—yang takutnya disalah artikan sebagai bujukan.
Tidak disarankan bagi yang masih di bawah umur, mental sedang tidak stabil, penderita depresi mayor dan orang-orang yang hanya tahu menghina dan meremehkan para penderita depresi.
Kebijakan pembaca sangat diharapkan. Jika memiliki pikiran/pendapat yang berbeda, silakan utarakan dengan kalimat yang sopan dan tidak menyudutkan pihak manapun.
Salam kenal dari RieeHime. Semoga kalian tetap bertahan sampai bagian terakhir dari hidup kalian! Happy Reading!
“Hidup ini memang sulit, tapi bukan berarti kita boleh menyerah. Mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidup hanya karena terhalang oleh satu-dua masalah adalah orang yang pengecut.”
...~•~...
“Jangan jadi pengecut. Bunuh diri itu bukanlah sebuah pilihan! Lari dari masalah tidak akan menyelesaikan apa-apa,” ucap Tama dengan semangat membara.
Victor tersenyum sinis sebagai tanggapan. Dia tahu Tama tidak berbicara padanya, tapi ceramah tidak berkesudahan mengenai berartinya hidup itu membuatnya merasa jengkel. Dia muak. Tama telah merusak sorenya yang nyaman.
Bagaimana dengan lawan bicara Tama? Pemuda itu sudah mendengar deretan omong kosong ini lebih lama dibanding Victor. Jika tidak dihentikan, Tama pasti tidak akan berhenti.
“Sudahlah, nona. Percuma kamu membujuknya,” ucap Victor, beranjak mendekat. “Biarkan saja dia melompat. Apa urusannya denganmu? Toh kamu tidak mengenalnya.”
“Tidak memiliki hubungan bukan berarti aku tidak boleh peduli, kan?” sengit gadis itu. “Aku bukan tipe yang bisa duduk dengan tenang melihat orang lain ingin bunuh diri.”
"Oh?" Mulut Victor membulat dengan wajah tak acuh. "Kamu peduli padanya? Aku kira kamu hanya sedang berusaha membuat hidupnya semakin tertekan. Bagian mana dari kalimatmu yang menunjukkan kepedulian? Apakah saat kamu mengatakan kamu peduli padanya? Saat mengatakan masalah yang dihadapinya tidak sulit?"
Victor terkekeh, lalu melanjutkan, “Kamu bahkan tidak tahu apa yang dilaluinya selama ini. Hanya karena kamu melarang dia bunuh diri, bukan berarti kamu peduli padanya.”
Victor menghembuskan nafas panjang. Melampiaskan semua kekesalannya sungguh kegiatan yang melegakan. “Sebaiknya kamu pergi saja. Kamu tidak akan sanggup menyaksikan adegan selanjutnya.”
Tama seperti ingin membantah, tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah. Ia tersenyum dan menyingkir dengan suka rela. “Kuserahkan sisanya padamu, Vic,” lirihnya.
Victor tidak akan memusingkan bagaimana gadis itu mengetahui namanya. Atau kenapa sikapnya berubah tiba-tiba. Yang terpenting adalah dia sudah pergi.
Victor ikut berdiri di tembok pengaman bersama pria yang ingin bunuh diri itu, memperhatikan tanah yang akan menyambut jika sampai mereka terjatuh.
“Aku tidak yakin melompat dari lantai tiga akan membuat kita mati. Kurasa, setidaknya harus dari lantai empat, dan disambut oleh tembok beton," ujar Victor.
“Terima kasih.”
Victor menoleh dan membaca kalimat itu tertulis di layar ponsel pemuda di sebelahnya. “Tidak bisa bicara, ya?” tanyanya secara frontal, lalu melanjutkan dengan gerakan tangan. “Pakai bahasa isyarat saja. Bisa, 'kan?”
Pria itu mengangguk, menggerakkan tangannya untuk mengatakan, “Bisa.”
“Tadinya aku heran, kenapa kamu diam saja mendengar ocehan gadis tadi. Ternyata...” Victor meregangkan otot-otot lengannya.
Pemuda di sebelah Victor tidak menanggapi. Dia hanya melirik layar ponselnya sejenak, kemudian menatap matahari yang kian turun. Seperti sedang terburu-buru.
“Kamu belum memberitahuku pendapatmu,” ucap Victor lagi. “Apa kamu yakin kita pasti mati jika melompat di sini?”
Pemuda itu memiringkan kepala, tanda tak mengerti. Rasanya seperti ada yang salah dari ucapan Victor hingga ia tidak tahu harus memberi respon seperti apa.
“Aku hanya ingin tahu seberapa besar peluang kita akan tewas jika melompat di sini." Victor mengangkat bahunya. "Siapa namamu?”
“R-a-y,” eja Ray dengan bahasa isyarat. "Apa yang kamu lakukan di sini? Sebaiknya kamu pulang."
“Aku juga selalu ingin bunuh diri. Sayangnya, aku pengecut, jadi tidak pernah mencobanya.” Victor tersenyum lebar. “Tapi kurasa, jika seseorang menemaniku, aku mungkin akan memiliki keberanian. Ayo bergandengan tangan dan melompat bersama!”
Ray dengan cepat menyambar uluran tangan Victor. Bukan untuk berjabat tangan, melainkan untuk mendorong Victor turun dari tembok pengaman.
“Jangan bermain-main!” amuk Ray. Tidak ada suara amukan, tapi ekspresinya sudah cukup untuk mengatakan betapa marahnya dia.
Victor sama sekali tidak menyangka Ray akan melakukan itu. Ia dengan cepat menetralisir kekagetannya, kemudian menopang dagu ke tembok pengaman dengan santai.
“Aku serius. Bukankah akan menyenangkan jika kita memiliki teman untuk diajak mati bersama? Kita mungkin juga akan sampai di dunia berikutnya pada saat yang bersamaan. Kita tidak akan kesepian.”
“Hentikan omong kosongmu dan pergilah,” tegas Ray melalui kedua tangannya.
“Aku penasaran. Kamu sepertinya berniat melarangku bunuh diri. Lalu kenapa kamu sendiri malah ingin bunuh diri?”
Ray melirik layar ponsel, kemudian mengabaikan Victor. Matanya fokus menatap langit yang sudah berubah menjadi jingga.
“Ah ... kamu tidak seru.” Setelah berpikir beberapa saat, Victor memutuskan untuk balik badan dan pergi. Sesuai keinginan Ray.
“Mood-ku tiba-tiba hilang. Aku akan bunuh diri lain kali saja. Semoga ber-”
“Tahan dia!” teriak Tama sambil menunjuk ke arah Ray.
Victor berbalik dan mendapati Ray sudah bersiap menjatuhkan dirinya. Sungguh detik-detik yang sangat menegangkan ketika ia reflek meraih lengan Ray. Terlambat satu detik saja, Ray pasti sudah bergelimang darah di bawah sana.
“Apa yang kamu lakukan?!” Tama berlari, dan segera membantu menarik Ray agar bisa naik kembali ke sisi atap. “Jangan menyia-nyiakan hidupmu!”
Dalam situasi menegangkan yang mempertaruhkan nyawa Ray itu pikiran Victor justru larut dalam imajinasinya sendiri. Ia melihat tanah di bawah sana dengan tatapan kosong, membayangkan tubuhnya terbujur tak bernyawa.
“Jika aku mencondongkan badan, aku pasti akan ikut jatuh bersama Ray. Seharusnya itu akan menjadi kecelakaan, bukan bunuh diri. Jika mati saat membantu orang ... aku tidak mungkin menyesal, kan?”
Victor tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia selalu ingin bunuh diri. Perlahan ia melemaskan dirinya agar mereka jatuh bersama. Akan tetapi ...
“Tolong, lepaskan aku.”
Suara serak itu menarik kembali kesadaran Victor. “Kamu tidak bisu?” tanyanya.
“Itu tidak penting sekarang! Cepat tarik dia, aku sudah tidak kuat,” ucap Tama.
Victor benar-benar lupa bahwa Tama masih di sini. Ia tidak punya pilihan selain menarik Ray dan menyelamatkannya. Saat kondisi mereka sudah lebih baik, sekeliling mereka gelap gulita.
“Tanganku sakit,” keluh Tama, bersandar ke tembok.
“Maaf,” tulis Ray di ponselnya. Ia hanya bisa bersimpuh dengan wajah yang tertunduk. Air matanya satu per satu mulai berjatuhan.
“Bukankah tadi kamu bisa bicara? Untuk apa menulis dan menggunakan bahasa isyarat?” keluh Victor acuh tak acuh dengan keadaan Ray. Tidak seperti orang yang baru saja menyelamatkan orang yang akan bunuh diri.
Tama melirik Ray dan Victor secara bergantian. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Ia tidak sanggup melihat wajah tertekan Ray, tapi ia juga tidak ingin disalahkan oleh Victor.
Ray menunduk semakin dalam kemudian berkata dengan lirih, “Seharusnya kalian tidak menyelamatkanku.”
“Kenapa kamu begitu ingin mengakhiri hidup?” jengah Tama. “Orang lain mati-matian bertahan hidup, dan kamu malah menyia-nyiakan hidup yang kamu miliki."
“Aku lapar,” potong Victor. Pria itu berdiri, memperhatikan area hutan di sekitarnya. “Dimana kita? Apa ada tempat makan di dekat sini?”
...~•~...
“Aku adalah kambing hitam. Sudah takdirku untuk selalu menjadi orang yang salah. Tidak boleh ada penyangkalan. Tidak boleh membela diri. Percuma. Semuanya sia-sia. Tidak akan ada yang percaya ataupun peduli.”
...~•~...
Ian dan Elia adalah sepasang kembar perempuan dan laki-laki. Lahir dan tumbuh bersama membuat mereka tidak terpisahkan. Mereka dapat saling mengerti, meski hanya lewat tatapan mata. Pasangan kembar memang sering kali memiliki insting seperti itu, bukan?
Terbiasa saling berbagi membuat mereka berpikir kehadiran seorang adik lagi akan sangat menyenangkan dan mereka bertiga akan saling menyayangi. Sayangnya, kenyataan jauh berbeda dari ekspektasi mereka. Orang dewasa ternyata memberi lebih banyak perhatian pada pendatang baru itu.
Biasanya, apa yang didapat Ian, Elia akan mendapatkannya juga. Namun, saat bayi kecil itu mendapat sesuatu, mereka dilupakan. Pasangan kembar itu saling tatap, ada kemarahan yang sama di hati mereka.
Kecemburuan yang bahkan tidak disadari kedua orang tua mereka itu membesar tanpa bisa dikendalikan. Mereka mulai melakukan hal-hal buruk dan menuduh adik merekalah yang bersalah.
Melihat si adik hanya dimarahi saat di rumah saja mulai membuat mereka bosan. Anak yang menyita semua perhatian itu harus dibenci juga di sekolah. Di jalanan. Dimana pun ia berada.
Harapan Ian dan Elia terkabul. Adik kecil mereka dibenci, dikucilkan bahkan dibully di sekolah. Perbuatan mereka semakin menjadi-jadi, hingga membuat si adik drop out dari sekolah.
Lalu, apa yang dilakukan Ray, sebagai si adik? Tidak ada. Lebih tepatnya, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Pada awalnya, ia selalu membela diri dengan mengatakan yang sebenarnya. Ian dan Elia memfitnahnya. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang percaya.
Semakin Ray membela diri, semakin ia disalahkan. Ia lelah. Biarkan saja mereka marah, Ray tidak akan mengatakan apa pun lagi untuk membela dirinya. Ia berjanji pada dirinya untuk tidak pernah bicara lagi.
“Karena itu kamu bisu?” Victor menanggapi seadanya.
Ray mengangguk. Tenggorokannya gatal karena ini pertama kalinya ia berbicara lagi dengan orang lain.
“Makan dan minumlah. Wajahmu pucat.” Victor menambah lebih banyak makanan ke piringnya.
“Bukankah diam justru hanya akan memperburuk keadaan?” desak Tama. “Apa karena itu kamu ingin bunuh diri?”
“Apa urusannya denganmu?” Alis Victor menukik tajam. Ia masih kesal dengan sikap Tama sebelumnya. Gadis itu mengutip omong kosong mengenai kehidupan dari berbagai sumber, seolah dia tau segalanya.
“Kurasa kamu benar.” Ray memainkan jari-jarinya di bawah meja, seolah menggambarkan pergulatan antara hati dan pikirannya. “Kamu benar. Segalanya menjadi lebih buruk setelah aku membisu.”
“Pada awalnya, aku adalah kambing hitam dari semua kesalahan Ian dan Elia. Setelah membisu, aku menjadi kambing hitam untuk kesalahan semua orang. Teman, guru, pengurus sekolah, rekan kerja, semuanya. Apa pun hal buruk yang terjadi seketika akan menjadi salahku.”
Ray tersenyum getir saat mengingat kembali semua kejadian yang menimpa dirinya.
“Aku masih belia saat itu. Ketika aku sadar bahwa diamku justru memperburuk keadaan, semuanya sudah terlambat. Keadaannya membuatku tidak mungkin untuk berbicara lagi.”
Ray mengangkat kepala, melihat Victor dan Tama secara bergantian. Ia menarik paksa sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun, kepedihan dan tragedilah yang membayang di wajahnya. Rasa sakit dari masa lalu benar-benar telah menghancurkan dirinya.
“Aku sudah terbiasa dipukul sampai tubuhku mati rasa. Aku sudah terbiasa dibentak dan dimaki, rasanya seperti aku akan menjadi tuli karenanya.”
Victor menyingkirkan piringnya. Selera makanya hilang tak bersisa. “Terbiasa.” Victor membeo. “Kalau begitu, kamu pasti sudah cukup kuat untuk bertahan di situasi itu, bukan?”
“Sampai kemarin, aku masih bisa. Tapi hari ini aku menyesal sudah dengan percaya diri mengatakan pada diri sendiri bahwa aku pasti bisa bertahan. Aku menyesal sudah melayangkan harapan tinggi bahwa hari esok akan lebih baik.”
“Andai aku lebih berani, andai aku tidak pernah menyerah untuk membela diri, andai aku tidak membisu.” Suara Ray bergetar, begitu pula tubuhnya.
Victor langsung membantu Ray untuk meminum segelas air putih. Bibirnya terkatup rapat tanpa ekspresi, tapi percayalah, hatinya sangat tersentuh dengan kehidupan Ray.
“Jangan dilanjutkan jika tidak mau pingsan,” ucap Victor datar.
“Kamu seorang pria.” Ray menahan lengan Victor. “Apa menurutmu aku cantik seperti seorang perempuan? Apa aku menaikkan birahimu?”
Victor memperhatikan wajah Ray dengan saksama. Hanya mulut dan ujung hidung yang dapat dilihat dengan jelas, sedangkan matanya tertutup dibalik poni Ray yang panjang.
“Tidak,” jujur Victor. Dia memang tidak tertarik pada hal yang berbau seperti itu. Lebih tepatnya, selain mati, tidak ada yang menarik perhatiannya.
“Tentu saja! Karena itu tidak ada yang percaya pria bejat itu melecehkanku!” bentak Ray. Pemuda yang lama membisu itu melepaskan semua kemarahannya dalam satu teriakan. "Pria mana yang akan melecehkan pria lain yang bahkan tidak terlihat menarik?"
“Jika aku tidak lemah, hal itu tidak akan terjadi! Jika aku ... jika aku tidak membuat diriku bisu, mereka tidak akan berpikir bahwa aku yang menggoda pria tidak tahu malu itu.”
“Lalu, kamu akan tetap bisu hingga akhir hidupmu?”
Ray hanya diam. Air mata yang terus berdesakan keluar membuatnya kembali membisu. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya sekarang. Bukankah mati akan jadi pilihan terbaik? Tidak akan ada lagi penderitaan yang ia rasakan.
“Ini kartu namaku.” Victor meletakkan kertas kecil ke atas meja. “Jika ada yang kamu inginkan, cari saja aku. Entah ingin mati atau hidup, apa pun itu.”
Setelah meletakkan beberapa lembar uang kertas, Victor pun beranjak pergi. Ia melirik sejenak pria tua pemilik rumah makan. Beruntung dia tuli. Jika tidak, mungkin dia akan mengganggu percakapan mereka.
“Apa tidak masalah meninggalkan Ray seorang diri?” tanya Tama, menyusul langkah Victor.
Victor melanjutkan langkahnya seolah tidak mendengar apa pun. Jika dibiarkan, Tama pasti akan pergi dengan sendirinya. Mungkin?
“Kamu yakin dia akan baik-baik saja jika ditinggalkan sendiri? Dia tidak akan mencoba bunuh diri lagi, kan?” Tama memperjelas pertanyaannya.
“Kalau kamu peduli, kenapa tidak menemaninya? Untuk apa mengikutiku?” usir Victor.
“Tapi kamu kan pamongku, tentu saja aku akan mengikuti tindakanmu.”
“Ya?” Victor menghentikan langkahnya. Ia menatap gadis asing itu dari atas sampai bawah dengan saksama. Ia sama sekali tidak mengenalnya. “Kamu pasti salah orang.”
"Berhenti sebentar," ucap Tama dengan nafas tersengal akibat mengikuti langkah Victor yang panjang dan cepat. “Tadi aku terlalu fokus pada Ray, sehingga tidak langsung mengenalimu. Tapi aku yakin, kamu memang Victor.”
“Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang sepertimu. Ganggu orang lain saja." Victor mengibaskan tangannya.
“Aku serius. Pagi ini Bu Ginette sudah menyetujui kamu yang akan menjadi pamongku. Bukankah seharusnya kamu mengikuti arahan yayasan?”
Victor terkekeh. “Kamu percaya diri sekali saat membawa nama Ginette. Kamu pikir aku akan takut hanya karena dia ketua yayasan?” ejek Victor. Ia memangkas jarak antara wajahnya dan Tama.
...~•~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!