Di ruang rawat sebuah rumah sakit...
"Saya terima nikah dan kawinnya Adhisty Shanum Kaylia binti anwar Prayoga dengan mas kawin tersebut di bayar, tunai!"
Adhisty langsung mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika pria yang duduk di sampingnya selesai mengucapkan qabul atas dirinya dan disusul kata sah dari para saksi yang hadir dalam pernikahan sederhananya tersebut yang di lakukan di ruang rawat sang ibu.
Meski baru menikah siri, Adhisty mencoba lapang dada menerima laki-laki pilihan kedua orang tuanya dengan ikhlas. Ia yakin pilihan orang tuanya tidak akan salah.
Entah apa alasannya ia hanya di nikahi secara siri oleh pria bernama Zayn Sadhavir Erlangga tersebut. Mungkin karena ibunya sedang terbaring sakit menjadi alasan utamanya, pikir Adhisty polos.
Yang jelas, dia percaya akan pilihan orang tuanya. Meski ini bukanlah pernikahan impiannya. Apalagi keluarga Zayn juga memperlakukannya dengan baik. Ayah hanya bilang suatu saat nanti Zayn akan mendaftarkan pernikahan mereka di KUA. Dan Adhisty percaya.
"Mommy sama daddy pulang dulu," ucap Elang pada putra keduanya tersebut.
Zayn hanya mengangguk. Sejak tadi pria itu tak banyak bicara. Ia lebih banyak diam. Jika tak ditanya, maka ia tak bersuara.
"Aku pulang dulu, meskipun aku tak setuju dengan cara kalian ini, tapi semuanya sudah terjadi. Terima atau tidak Adhisty adalah juga tanggung jawabmu mulai sekarang. Perlakukan dia dengan baik!" Zea, sang kakak ikut memberi nasihat kepada Zayn.
"Ingat Zayn, Adhisty sekarang sudah sah menjadi istrimu. Selama dia masih istrimu, perlakukan dia dengan baik dan adil. Jangan buat rasa bersalah mommy sama daddy semakin besar dengan kamu memperlakukannya dengan buruk," pesan Elang sebelum ia dan istrinya pamit kepada besan dan menantunya.
Zayn tak menanggapi pesan dari keluarganya,. Ia memilih menyingkir ke sebuah taman yang ada di rumah sakit tersebut.
Zayn mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia mencoba menghubungi seseorang namun tak diangkat.
Akhirnya Zayn menulis pesan singkat, "lagi apa? kenapa teleponku nggak di angkat?"
Zayn kembali menyimpan ponselnya di saku celananya karena beberapa saat menunggu pesannya tak di balas.
"Mas, aku cariin ternyata di sini,"
Zayn menoleh, ternyata Adhisty yang berbicara dengannya.
Adhisty duduk di samping suaminya. Zayn hanya diam saja.
"Mas Zayn nggak nyaman ya berada di dalam?" tanya Adhisty, namun Zayn masih diam. Ia perhatikan raut wajah sang suami berbeda dari saat ia datang tadi pagi.
"Mas..." Adhisty menyentuh bahu Zayn. Hal itu membuat Zayn berjingkat kaget dan langsung menghindar.
"Kita harus pulang ke rumah saya sekarang!" ujar Zayn kemudian.
"Loh, sekarang mas?" Adhisty belum siap meninggalkan kedua orang tuanya, terutama ibunya yang sedang terbaring sakit.
"Saya ada banyak pekerjaan yang tidak bisa di tinggal,"
Adhisty pamit kepada ayah dan bundanya yang terbaring lemah di ranjang.
"Maafkan ayah, Adhisty, maaf!" Adhisty tak mengerti, kenapa ayahnya malah minta maaf saat ia pamit untuk ikut suaminya. Harusnya Adhisty yang meminta maaf karena akan pergi sementara ibunya masih terbaring lemah. Bahkan ibunya juga menitikkan air mata, mungkin mereka belum rela melepas anak gadisnya, pikir Adhisty. Anak gadis yang seharusnya hanya fokus dengan kuliahnya saja tapi kini harus menyandang status sebagai seorang istri.
Ya, Adhisty, gadis berusia 20 tahun tersebut terpaksa menikahi seorang pria yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal. Karena rasa sayangnya kepada kedua orang tuanya, Adhisty tak bisa menolak saat kedua orang tuanya memintanya untuk segera menikah dengan Zayn. Sejak kecil, Adhisty memang tidak pernah membantah omongna kedua orang tuanya, karena mereka selalu memberikan yang terbaik untuknya. Ia bahkan rela memutuskan kekasihnya demi memenuhi permintaan orang tuanya, terutama sang bunda yang sedang sakit.
Tapi, sepertinya keputusan Adhisty kali ini tidaklah tepat. Tanpa ia tahu, ada rahasia besar di balik pernikahannya tersebut.
............
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Zayn, Adhisty banyak diam karena suaminya yang saat ini duduk di sampingnya juga diam.
Untuk memulai bicara pun Adhisty merasa canggung. Pasalnya ia dan Zayn belum lama kenal. Bahkan mereka bertemu baru dua kali ini. Pertama saat acara lamaran sebulan lalu dan kedua saat akad hari ini.
Mobil memasuki halaman sebuah rumah yang sangat besar dan mewah menurut Adhisty. Ia sama sekali tak menyangka, suaminya sekaya itu ternyata. Ia pikir suaminya hanya seorang pekerja kantoran. Tapi, melihat rumah di depannya yang begitu besar dan mewah, Adhisty menebak jika suaminya adalah seorang pengusaha atau jangan-jangan seorang ketua mafia?
"Kenapa lihatin saya seperti itu?" tanya Zayn tanpa menoleh kearah istrinya.
"Kita akan tinggal di sini, mas?" tanya Adhisty.
Zayn tak menyahut, ia berjalan masuk mendahului Adhisty.
Adhisty hanya mengikuti langkah suaminya hingga sampai pada sebuah kamar yang ada di lantai dua.
Kamar tersebut sangat luas dan di hias menjadi kamar pengantin yang di hias sangat cantik. Senyum Adhisty langsung mengembang ketika melihat bunga-bunga yang di susun menghiasi ranjang dengan indahnya. Ia tak mempedulikan Zayn yang sedang berada di balkon menerima telepon.
Adhisty tak henti mengulum senyum. Yang membuatnya senang adalah, kamar yang di desain sangat cantik dan romantis tersebut, membuatnya berpikir jika sang suami benar-benar romantis dan menerima pernikahan mereka hingga menepis rasa curiganya, kenapa orang sekaya Zayn mau menikahi gadis miskin sepertinya. Entah darimana orang tuanya itu mengenal Zayn, mereka tiba-tiba saja mengatakan kalau ada seorang laki-laki yang berniat meminangnya. Mungkin kalau sudah jodohnya, akan di permudah jalannya, pikir Adhisty polos.
Ia tertegun sejenak, mengingat mantan kekasihnya yang terpaksa ia putuskan demi menuruti keinginan kedua orang tuanya menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Sesak ia rasakan, ingin menangis rasanya.
Tapi, segera Adhisty tepis rasa itu. Mungkin memang bukan jodohnya dengan pria yang menjadi kekasihnya selama tiga tahun terakhir itu. Adhisty harus mencoba mengikhlaskan dan menerima takdirnya menjadi istri dari seorang Zayn Sadhavir Erlangga sebagai baktinya kepada kedua orang tuanya. Meski tidak itu tidaklah akan mudah ia lakukan. Namun, Adhisty selalu bisa menyembunyikan perasaannya dengan senyuman.
Adhisty duduk di tepi ranjang, menunggu Zayn yang masih di balkon. Ia menyentuh kelopak bunga yang menghiasi tempat tidur berukuran besar tersebut. Ia mengambil setangkai mawar merah lalu menghirup aromanya. Bibirnya mengulum senyum, seolah aroma mawar itu telak merasuk dalam jiwanya.
Namun, binar senyum tulus itu tak berlangsung lama, saat sebuah kenyataan menampar hatinya.
"Mas..." panggil Adhisty karena suaminya lama berada di balkon.
Karena Zayn tak menyahut, Adhisty mendekatinya. Ia menyentuh punggung Zayn, "Mas, belum selesai teleponnya?"
Zayn menoleh, "Jangan berani menyentuh saya!" bentak Zayn. Ia langsung menutup teleponnya dan masuk ke dalam kamar.
Adhisty tentu saja terkejut, pria yang sudah sah menjadi suaminya itu membentaknya hanya karena dia menyentuh punggungnya.
Adhisty ikut masuk ke dalam, ia mencoba berpikir positif, mungkin suaminya lelah.
"Mas mau mandi? Biar aku siapkan air, ya?"
Zayn berdiri, ia menatap tajam Adhisty penuh kebencian,"Dengar saya, kamu tidak perlu berperilaku layaknya seorang istri kepada saya. Bukankah tugasmu hanya untuk melahirkan anak untukku dan istriku?"
Deg!
Adhisty tak mengerti kalimat yang baru saja keluar dari bibir suaminya. Melahirkan anak untuknya dan istrinya? Bukankah dia istri dari pria yang kini berubah dingin tersebut.
"Apa maksud mas?" tanya Adhisty.
"Ck, jangan pura-pura sok polos. Ayahmu terlalu serakah dengan meminta saya menikahimu. Padahal uang yang sudah istriku berikan untuk keluargamu saya rasa sudah lebih dari cukup untuk membayar rahimmu selama mengandung dan melahirkan anakku nanti,"
"Maksud mas apa? Aku nggak ngerti, isteri mas yang mana? Aku istri mas, baru beberapa jam yang lalu kita menikah,"
Zayn mengertakkan giginya, rahangnya semakin terlihat jelas saat ia menahan amarahnya, "Entah kamu yang terlalu polos atau bodoh sampai mau di bohongi orang tuamu sendiri! Dengar baik-baik. Aku menikahimu bukan karena aku ingin. Tapi hanya demi seorang anak! Demi istriku yang menginginkan seorang anak, keturunan dari darah dagingku, tidak lebih! Tidak perlu kamu terlalu dalami peran sebagai istri, cukup persiapkan diri untuk memberikan aku dan istriku keturunan!"
Adhisty semakin tak mengerti kemana arah perkataan suaminya. Semakin ia cerna kalimat dari suaminya, Dadanya semakin merasa sakit bagai tersayat sembilu.
Adhisty menatap kedua manik mata milik Zayn,"Kalau tahu seperti ini, ku juga tidak sudi menikah denganmu! Aku di jebak! Di jebak!" ingin sekali rasanya Adhisty berteriak, mengumpat di depan wajah suaminya tersebut. Namun sorot mata Zayn yang begitu tajam dan menusuk, membuat nyalinya ciut seketika.
Tanpa bicara lagi, Zayn meninggalkan Adhisty.
Adhisty langsung merosot ke lantai setelah Zayn pergi. Sejak tadi ia menahan supaya air matanya tidak tumpah. Tapi, begitu pria itu pergi, ia langsung menangisi nasibnya.
"Ayah, ibu... Kenapa jadi begini?" rintih Adhisty.
...............
Ceklek!
Adhisty yang sejak tadi menangis seorang diri sembari memeluk lututnya itu langsung mendongak, menatap ke arah pintu yang baru saja terbuka. Ia langsung mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
Seorang wanita cantik dan duduk di kursi roda masuk.
Adhisty segera berdiri. Ia tak tahu siapa wanita di depannya tersebut.
"Duduklah, Dhisty. Aku ingin bicara denganmu," ucap wanita itu dan Dhisty manut saja. Ia duduk di tepi ranjang yang masih terhias cantik tersebut.
"Mbak, siapa?" tanya Adhisty.
"Aku Salwa, istri Bang Zayn," jawab wanita bernama Salwa tersebut.
Adhisty terkejut, ternyata dia wanita yang yang telah merencanakan pernikahannya dengan Zayn. Adhisty marah dan kecewa, "Kenapa mbak lakuin ini sama saya? Apa salah saya?" tanya Adhisty kecewa.
"Bukan kamu yang salah, tapi takdir kita yang saling membutuhkan yang salah. Keluargamu butuh uang banyak dan aku butuh jasamu untuk hamil anak suamiku. Karena kecelakaan rahimku harus diangkat dan aku tidak mungkin bisa hamil lagi. Anggaplah aku dan suamiku menyewa rahimmu untuk melahirkan anak kami," ucap Salwa.
"Saya tidak mau! Saya merasa terjebak di sini, saya tidak tahu kalau mas Zayn ternyata punya istri lain selain saya!"
"Kamu tidak punya pilihan lain kecuali melakukannya, Adhisty!"
"Tapi, kenapa harus saya, mbak?" Adhisty masih tak terima.
"Karena hanya pak Anwar yang bersedia merelakan putrinya untuk menjadi ibu pengganti untuk saya dan bang Zayn. Dengan imbalan yang tak murah tentunya,"
Degh!
Rasanya dunia Adhisty runtuh ketika mengetahui jika ayahnya telah benar-benar menjualnya demi sejumlah uang. Ya, dia yakin pasti ada imbalan besar atas apa yang di lakukan sang ayah.
Adhisty mencoba mencerna kalimat yang keluar dari mulut Salwa," Jadi, maksud mbak. Aku sama suami mbak harus melakukan 'itu'?"
Salwa mengangguk.
" Nggak mau!" Seru Adhisty. Bila tadi sebelum ia tahu kalau dia istri kedua, ia masih bisa terima jika nati di sentuh suaminya. Tapi sekarang? Membayangkan di sentuh pria yang sudah menyentuh wanita lain saja ia merasa risih.
"Kamu harus melakukannya supaya cepat hamil dan melahirkan anak untukku dan Bang Zayn. Semakin cepat kamu hamil, semakin cepat kau bisa bebas," ujar Salwa tegas.
Adhisty melotot, "Aku cuma di jadikan ibu pengganti? Hamil terus melahirkan lalu menyerahkan anakku buat kalian? Enak aja, aku yang kesusahan masa anakku aku kasih ke kalian, nggak ah! Mending aku minta cerai aja sama suami mbak! Mbak bisa cari wanita lain buat ibu pengganti," ucap Adhisty.
Salwa menggeleng," Lakukan saja seperti yang saya katakan tadi. Sesuai dengan perjanjian yang sudah ayah kamu tanda tangani. Setelah kamu melahirkan anak untuk saya dan bang Zayn, kamu harus pergi, bahkan saat itu saya akan memberimu uang lebih yang bisa kamu nikmati nanti setelah tugasmu melahirkan anak untuk kami selesai!" ucap Salwa.
"Perjanjian apa, mbak? Terus kalau saya langgar, apa yang akan terjadi?"
"Kalau kamu melanggar isi kontrak perjanjian yang sudah kami sepakati, ayah kamu akan masuk penjara dan biaya pengobatan ibu kamu akan saya hentikan. Pikirkan lagi Adhisty, hutang ayah kamu terhadap perusahaan tempatnya bekerja dulu sangat besar, ibu kamu juga butuh biaya yang banyak buat pengobatannya. Kalau kamu tega, silahkan kamu bisa pergi sekarang! Tapi kamu harus siap dengan konsekuensianya!," ucap Salwa mengancam. Ia memutar kursi rodanya bersiap untuk pergi.
Adhisty tertegun, ia tahu jika pengobatan ibunya memang membutuhkan biaya yang sangat besar, tapi ia tak menyangka jika Salwa yang menanggungnya. Bahkan sang ayah ternyata terlilit hutang, mungkin untuk biaya pengobatan ibunya selama ini dan juga biaya sekolahnya.
Jika membatalkan perjanjian antara ayah dan Salwa, Adhisty tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepada orang tuanya. Ayah di penjara, sementara ibunya? Mungkin tidak akan bisa bertahan.
"Tunggu, mbak!" sergah Adhisty saat Salwa sampai di depan pintu.
Salwa memutar kursi rodanya.
Adhisty menarik napasnya dalam, "Aku bersedia menjadi ibu pengganti untuk kalian," ucapnya dengan nada bergetar.
...----------------...
"Sudah puas sekarang? Apalagi yang kamu inginkan, memintaku untuk menidurinya malam ini juga?" tanya Zayn saat Salwa masuk ke dalam kamar mereka.
"Bukankah semakin cepat abang melakukannya, kita akan semakin cepat memiliki anak?" ucap Salwa.
Zayn mengusap wajahnya kasar, ia benar-benar tak menyangka Salwa dengan sadar mengatakannya.
"Maafkan Salwa, bang. Aku hanya ingin memberikan apa yang tidak pernah bisa aku berikan. Aku ingin abang bahagia dengan adanya seorang anak diantara kita,"
Zayn mendekati Salwa yang terisak, Ia berjongkok di depan istri pertamanya tersebut, "Berapa kali harus aku bilang, aku tidak perlu anak untuk hidup bahagia denganmu. Kamu saja sudah cukup, Salwa," ucapnya lembut. Sedalam itu cintanya untuk Salwa sampai dia mau menuruti keinginan sang istri yang menurutnya sangat tidak masuk akal tersebut.
Salwa menyentuh pipi Zayn, "Aku hanya ingin memberi abang kebahagiaan yang sempurna. Aku juga pengin ada suara tangis dan tawa bayi di rumah ini, tapi aku nggak bisa ngasih langsung buat abang, maaf kalau permintaanku menyakiti abang terlalu dalam," ujarnya.
Salwa juga tahu seperti apa penyesalan dan rasa bersalah pria itu atas apa yang dulu pernah menimpa mereka hingga berujung pada pengangkatan rahim dan kakinya yang tidak bisa berjalan.
Tapi, kajadian itu justru menyelamatkan rumah tangganya yang saat itu sudah berada di ujung tanduk. Pertengkaran hebat keduanya yang berujung pada kecelakaan, di picu oleh Salwa yang ketahuan selingkuh oleh Zayn. Seharusnya Zayn tak terbawa emosi, seharusnya mereka bisa membicarakannya dengan duduk baik-baik, bukan sambil menyetir dan berakibat fatal. Karena rasa bersalahnya atas apa yang menimpa Salwa, Zayn memilih memaafkan wanita yang sangat ia cintai tersebut. Bahkan ia menyimpan sendiri rasa sakit hatinya di selingkuhi.
Zayn mengusap air mata yang menetes di wajah Salwa, "Jangan nangis lagi. Mudah-mudahan secepatnya kita bisa memiliki anak, sesuai keinginan kamu," ucapnya lembut.
Salwa tersenyum, "Keinginan abang juga," ucapnya.
Zayn tersenyum tipis, "Iya keinginan abang juga. Jangan sedih lagi, ya?" Zayn mengalah, ia memeluk Salwa lalu mencium kening wanita tersebut.
Salwa tersenyum penuh arti, ai matanya memang selalu bisa di andalkan untuk meluluhkan suaminya. Ia yakin, jika nanti sudah ada anak, Hubungannya dengan Zayn akan semakin harmonis.
Pasti Zayn akan berpikir kalau Salwa terlalu mencintainya hingga rela melakukan apapun demi membahagiakannya. Padahal ia lebih khawatir ATM berjalannya itu akan mencari wanita lain secara diam-diam jika semakin lama rumah tangga mereka tidak ada tangis dan tawa seorang anak. Karena akhir-akhir ini Zayn sering membicarakan kelucuan anak teman-temannya. Bahkan tanoa sadar pria itu berkata, "Lucu sekali mereka, seandainya kita punya sendiri, pasti lucu!"
Jadi, Salwa memilih bergerak lebih cepat dengan mencari seorang ibu pengganti dan kebetulan ia bertemu dengan pak Anwar yang sekitar satu bulan lalu sedang kesusahan uang untuk membayar administrasi biaya rumah sakit sang istri.
******
Salwa sudah menunggu Zayn yang baru saja mandi di meja makan. Pria itu langsung mencium puncak kepalanya lalu duduk.
"Bi, tolong panggilkan Dhisty ya?" perintah Salwa pada bibi.
Zayn tak mempedulikannya, justru ia berharap gadis yang siang tadi sah menjadi istri keduanya tersebut tidak ikut makan malam dengan mereka.
Adhisty masih meringkuk di lantai pinggir ranjang saat bibi mengetuk pintu kamarnya. Ia bahkan belum mandi.
"Non, di tunggu tuan dan nyonya di bawah untuk makan malam," kata bibi sopan. Bibi tahu gadis di depannya habis menangis, wajahnya sembab, matanya sedikit bengkak.
"Bibi tolong sampaikan sama mbak Salwa dan suaminya kalau aku tidak lapar," ucap Adhisty.
"Tapi non?"
"Tolong ya, bi?" Adhisty kembali menutup pintu kamarnya.
**********
"Non Dhisty bilang tidak lapar, nyonya!" lapor bibi begitu sampai di meja makan.
"Masa sih, dari siang dia belum makan apa-apa padahal," ucap Salwa.
"Biarin aja, dia bukan anak kecil. Kalau lapar juga makan," ujar Zayn.
"Masalahnya Dhisty masih marah bang posisinya. Jadi mana mau dia makan meskipun lapar. Nanti dia bisa sakit kalau tidak makan," timpal Salwa.
Tentu saja kalau Adhisty sakit, itu akan semakin lama buat mewujudkan keinginanya. Sehingga ia harus memastikan Adhisty baik-baik saja.
"Biar nanti, bibi antar saja makannya ke kamar non Dhisty, nyonya!" tawar bibi yang juga khawatir setelah melihat kondisi Adhisty tadi. Gadis itu terlihat pucat.
"Tidak usah, bi. Biar nanti bang Zayn yang bawa makan malam untuk Dhisty ke kamarnya," ujar Salwa. Yang mana langsung mendapat tatapan dari sang suami.
"Biar dia cari sendiri kalau lapar!" ucap Zayn.
"Bibi boleh melanjutkan pekerjaan bibi," Salwa abai dengan ucapan Zayn. Ia malah mengajak bibi bicara.
"Adhisty masih shock dengan kenyataan ini, bang. Dia pasti sekarang masih menangis di kamarnya. Abang nanti bujuk dia ya? Abang tidur dengan Dhisty malam ini," ucap Salwa lembut.
"Tidak, abang belum siap. Abang tidur dengamu saja malam ini," tolak Zayn.
"Bang.... Dhisty butuh abang. Yakinkan dia, buat dia merasa nyaman dan aman bersama Abang. Semakin dapat chemistri kalian, kita akan semakin cepat punya anak," ujar Salwa.
Zayn meletakkan sendok dan garpunya lalu menatap Salwa.
"Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Kamu siap dengan resiko yang mungkin akan terjadi ke depannya antara aku sama dia?" tanya Zayn.
Salwa mengangguk, "Aku percaya sama abang," ujarnya.
"Setidaknya aku sudah memperingatkanmu, Salwa. Kau tahu segala sesuatu pasti ada resikonya. Dan aku tidak akan bertanggung jawab akan hal itu,"
"Salwa percaya abang," timpal Salwa kekeuh, yang mana membuat Zayn hanyak tersenyum tipis.
***
Zayn tak melihat Adhisty di kamar saat ia membuka pintu kama Adhisty. Ia melangkah masuk dengan membawa nampan berisi makan malam untuk Adhisty. .
Baru satu langkah kakinya masuk Adhisty baru saja keluar dari kamar mandi. Ia pikir pria itu tidak akan datang, sehingga kini ia hanya mengenakan kimono handuk.
"Aku tidak lapar!" ucap Adhisty yang melihat nampan di tangan Zayn.
Zayn meletakkan nampan itu di atas nakas, "Terserah kamu mau makan atau tidak. Saya tidak peduli!" ujarnya.
"Ngapain lihat-lihat? Jangan macam-macam, ya?" ujar Adhisty dengan nada bergetar tangannya menyilang di dadanya. Sebenarnya ia takut pada suaminya tersebut, tapi berusaha berani.
Zayn memperhatikan Adhisty yang susah payah menahan rasa gemetarnya.
"Saya tidak akan menyentuhmu sampai saya memastikan kalau kamu benar-benar sehat, subur tidak ada masalah supaya cepat hamil anak saya! Saya tidak ingin melakukan hal yang sia-sia!" ujar Zayn dingin.
***
Keesokan harinya, Salwa mengajak Adhisty ke rumah sakit untuk melakukan serangkaian pemeriksaan soal kondisi tubuhnya. Terutama soal kondisi rahim perempuan tersebut.
"Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Salwa tak sabar mendengar penjelasan dari dokter. Di sampingnya Adhisty hanya duduk diam.
"Semuanya sangat bagus, nona. Tidak ada yang perlu di khawatirkan," jawab dokter.
Salwa menoleh pada Adhisty yang tetap diam, lalu kembali menatap dokter, "jadi, adik saya bisa segera hamil, dok?" tanyanya.
Adhisty sedikit berdecak, ingin tertawa rasanya saat mendengar Salwa menyebutnya adik.
"Iya, nona. Tentunya harus dengan kondisi suaminya yang bagus juga, maka akan mempermudah untuk proses pembuahan,"
Setelah mendengar penjelasan dokter, Salwa merasa lega dan senang.
" Kamu tidak senang, Dhisty? kata dokter kondisi rahim kamu bagus, kamu bisa segera hamil," tanya Salwa saat mereka berada di mobil dalam perjalanan pulang.
"Harusnya kan yang senang mbak Salwa. Nanti kan yang akan punya anak kalian, bukan aku," sahut Adhisty yang duduk di samping sopir dengan wajah datar.
"Nona," pelayan yang selalu menemani salwa kemana-mana memperingatkan Adhisty untuk bicara lebih sopan lagi terhadap majikannya.
Namun, Salwa menggelengkan kepalanya kepada pelayannya tersebut sebagai isyarat untuk membiarkan Adhisty.
*****
Sore harinya, Salwa menyambut kepulangan Zayn dari kantor. Wanita itu tak sabar untuk memberitahu hasil pemeriksaan Adhisty siang tadi.
Seperti biasa, Zayn tersenyum hangat menghampiri Salwa, ia langsung mencium kening Salwa. Namun, Salwa menahan tengkuk Zayn, saat pria itu hendak menegakkan badannya. Salwa mencium bibir Zayn. Mereka berciuman beberapa saat.
Adhisty yang baru akan turun dari kamarnya, langsung berhenti saat melihat adegan di depannya. Zayn bisa melihat Adhisty di sana dengan ekor matanya. Ia tak peduli dan melanjutkan ciumannya dengan Salwa dengan mata terus melirik kearah Adhisty.
Adhisty memilih memutar badan dan kembali ke kamarnya. Ia malas melihat adegan yang tak senonoh menurutnya itu.
Setelah Adhisty pergi, Zayn menghentikan ciumannya, ia mengusap bibir Salwa yang basah akibat ulahnya, "Kenapa? kayaknya lagi senang?" tanyanya, ia merubah posisi menjadi di belakang kursi roda Salwa lalu mendorongnya ke kamar mereka.
Sampai di kamar, Salwa memberikan hasil pemeriksaan Adhisty. Reaksi Zayn terlihat datar.
"Lakukanlah malam ini, bang. Semakin cepat, abang akan semakin cepat punya anak," ucap Salwa lembut.
Zayn menatap Salwa tak percaya. Terlalu egois hingga tak memikirkan perasaannya. Tanpa memberi tanggapan, Ia memilih pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Sepanjang makan malam, Salwa terus saja membicarakan rencana-rencananya jika sudah memiliki anak nanti. Zayn hanya sesekali menimpali. Sementara Adhisty, sama sekali tak bicara. Jika bukan karena di paksa, ia malas untuk ikut makan malam di meja makan. Ia segera menyelesaikan makannya dan kembali ke kemar.
Hari semakin larut, Zayn masih sibuk di ruang kerjanya. Salwa datang dengan membawakan minum untuk suaminya tersebut.
"Terima kasih sayang, kenapa repot-repot?" ujar Zayn seraya menerima secangkir teh yang di buat oleh Salwa.
"Buat temani abang kerja. Em... Bang..." Salwa tampak ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Ya, Salwa?" tanya Zayn.
"Tidak apa-apa, abang minum, ya? Aku ke kamar dulu," pamit Salwa.
"Tunggu abang di kamar, ya?" sahut Zayn. Salwa hanya tersenyum tipis sebelum memutar kursi rodanya lalu pergi.
Tanpa curiga, Zayn meminum teh buatan Salwa tadi. Awalnya biasa saja, tapi lama-lama ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Terasa panas dan bergairah secara tiba-tiba.
Semakin lama, rasa itu semakin membuat Zayn ingin segera melakukan penyatuan dengan Salwa. Entahlah, mungkin karena mereka sudah satu minggu tak melakukannya, pikir Zayn.
Zayn yang sudah tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya, segera menyudahinya. Ia ingin segera menemui Salwa. Namun, saat sampai di depan kamar pintu kamar sengaja di kunci oleh Salwa.
Zayn menggeram, ia tahu pasti ini akal-akalan Salwa. Wanita itu pasti sudah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya tadi.
"Salwa buka pintunya! Aku tahu kamu belum tidur!" teriak Zayn sembari menggedor pintu.
Salwa yang mendengarnya abai, meski hatinya sakit tapi dia harus melakukan ini demi suaminya. Eh bukan, lebih tepatnya demi dirinya sendiri. Toh Zayn tidak ernah menuntut apapun darinya, dirinya saja yang selalu negatif thinking, takut kehilangan sumber uangnya selama ini.
Menunggu beberapa saat sembari berusaha menahan gejolak yang semakin menjadi ia rasakan, akhirnya Zayn menyerah," Baiklah kalau ini maumu, jangan salahkan aku kalau aku melakukannya sekarang dengannya!" ujarnya kecewa.
Zayn segera bergegas ke lantai atas. Kebiasaan Adhisty yang tidak mengunci pintu kamarnya, membuat Zayn bisa masuk dengan mudahnya.
Zayn mendekati ranjang Adhisty, ia melihat gadis itu tidur meringkuk memeluk guling. Melihat baju piyama Adhisty sedikit tersingkap sehingga memperlihatkan punggungnya yang putih bersih membuat hasrat Zayn semakin tinggi.
Zayn merangkak naik ke ranjang. Merasa ada pergerakan di atas ranjangnya, Adhisty bangun. Ia terkejut melihat Zayn disana.
"Ma-mau apa kamu?" tanya Adhisty, rasa kantuknya hilang seketika melihat mata Zayn yang sudah di kuasai oleh kabut gairah.
Tanpa bicara, Zayn mencium bibir ranum Adhisty. Gadis itu berusaha melawan, namun sia-sia. Tenaga Zayn jauh lebih kuat menahan dorongannya.
Air mata Adhisty menetes begitu saja ketika Zayn terus menciumnya secara brutal karena sudah di kuasai hasrat
Zayn melepas ciumannya, ia menatap Adhistu penuh gairah. Sialnya, meski berusaha menahannya, melihat Adhisty justru semakin membuatnya bergairah.
"Bukankah kau di bayar untuk ini? Memberiku dan istriku anak? Jadi mulailah tugasmu dari sekarang!" Zayn kembali mencium bibir Adhisty.
Tak hanya itu, Zayn mulai membuka kancing baju Adhisty bagian atas, menyentuh bagian atas wanita tersebut.
Adhisty hanya bisa menangis, tangannya menggenggam erat tangan Zayn yang sedang bekerja di dadanya.
Tetesan air mata Adhisty di tangan Zayn, membuat pria itu menghentikan aktivitasnya dan sedikit mendorong Adhisty supaya menjauh.
"Kau bisa menolaknya sekarang sebelum aku berbuat lebih, pergilah!" usir Zayn.
Adhisty bergeming, air matanya terus mengalir meski ia berusaha menahannya. Ingat perjanjian ayahnya dengan Salwa, membuatnya tak bisa lari. Cepat atau lambat ia memang harus melakukannya dengan Zayn.
Adhisty mengusap wajahnya kasar, ia menatap suaminya, "Ayo lakukan sekarang!" ucapnya ragu namun tegas.
Zayn yang mendengarnya cukup terkejut, namun ia juga sudah tidak tahan lagi untuk mengelak, "Baiklah, jangan pernah menyesali keputusanmu ini, setidaknya aku pernah memberimu kesempatan untuk membatalkannya, Adhisty," ucapnya parau.
Kamar itu menjadi saksi bagaimana Zayn mengambil mahkota yang Adhisty jaga selama ini. Tangannya meremat sprei berwarna putih bersih itu dengan sangat kuat ketika Zayn melakukan penyatuan. Mungkin karena pengruh obat, Zayn melakukannya dengan kasar, membuat Adhisty yang baru pertama kali melakukannya merasa kesakitan luar biasa.
Adhisty meringkuk di bawah selimut sembari terus menangis dalam diam. Beberapa saat yang lalu, Zayn pergi meninggalkannya begitu saja setelah Zayn menyemburkan benihnya entah yang ke berapa kalinya.
Seperti tisu yang habis di pakai langsung di buang, begitulah nasib Adhisty. Tanpa ada kata yang keluar dari mulut Zayn, pria itu pergi begitu saja setelah menutup tubuh Adhisty dengan selimut.
Setelah puas menangisi nasibnya, Adhisty bangun dan berusaha ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia berjalan tertatih karena perbuatan Zayn membuatnya kesakitan, terutama di daerah intinya.
Di kamar mandi, Adhisty melihat penampilannya yang acak-acakan dengan beberapa tanda merah di leher dan tubuhnya. Saksi bisu betapa buasnya perbuatan Zayn semalam. Adhisty menggosok dengan kasar tanda-tanda merah itu dengan tangannya, berharap tanda-tanda itu akan menghilang. Namun, tentu saja itu sia-sia.
Selesai mandi, Adhisty menyingkirkan sprei yang terdapat bercak darah dan menggantinya dengan sprei baru.
Adhisty kembali meringkuk di bawah selimut. Ia benar-benar merasa lelah dan sakit hampir di seluruh tubuhnya. Bukan karena di pukuli, melainkan efek dari malam pertamanya dengan Zayn semalam.
***
Esok hari...
Salwa tersenyum saat melihat Zayn ikut bergabung dengannya di meja makan. Namun, tidak seperti biasanya, pria itu acuh, bahkan tak memberikan ciuman di puncak kepalanya seperti biasa.
Salwa tahu, Zayn oasti marah dengannya. Namun, ia berusaha bersikap biasa saja dengan tetap melayani Zayn, mengambilkan nasi dan lauknya.
"Bi, tolong panggilkan Adhisty, ya?" suruh Salwa saat bibi melintas.
Mendengar nama Adhisty di sebut, membuat Zayn ingat pertempuran panas mereka semalam.
Bibi segera menuju kamar Adhisty. Setelah mengetuk beberapa kali dan tak ada jawaban, bibi terpaksa masuk karena pintunya juga tidak di kunci.
"Non, di suruh turun sama nyonya, buat sarapan," ucap bibi.
Adhisty yang semula memunggungi pintu menoleh. Karena melamun, Adhisty sampai tak menyadari kedatangan bibi.
"Aku belum lapar, bi. Nanti kalau sudah lapar baru makan," ucapnya.
"Apa nona sakit?" tanya bibi sembari berjalan mendekat.
"Hanya sedikit tidak enak badan aja, kok. Bibi bilang aja sama mbak Salwa, aku makannya nanti," ucap Adhisty.
Bibi menyentuh kening Adhisty, "Ya allah, non Dhisty demam. Bibi bilang sama tuan ya, non, sebentar!"
"Jangan Bi!" sergah Adhisty namun terlambat, bibi sudah keluar terlebih dahulu.
"Mana Dhisty, bi?" tanya Salwa. Zayn jug ikut penasaran kenapa Dhisty tidak ikut turun. Padahal sebelumnya wanita itu sudah mau ikut makan bersama di meja makan.
"Itu, tuan. Kata nin Dhisty belum lapar, nanti dia akan makam kalau sudah lapar. Non Dhisty demam sekarang,"
"Demam?" tanya Zayn.
Bibi mengangguk. Salwa melihat rekasi suaminya yang menurutnya berlebihan, "Nanti biar aku kasih di paracetamol, bang," ucapnya.
Zayn tak menyahut, ia memilih meneruskan makannya.
Salwa yang merasa tidak tahan didiamkan oleh Zayn pun meminta maaf, "Maafkan aku, bang. Abang pasti marah karena semalam. Aku melakukannya demi abang, Salwa mohon mengertilah,"
Zayn tak menjawab, daripada harus berdebat pagi-pagi, ia memilih berangkat ke kantor.
***
Salwa masuk ke kamar Adhisty. Adhisty langsung duduk.
"Aku bawakan sarapan buat kamu Dhisty, kamu makan ya. Aku juga bawakan paracetamol, kata bibi kamu demam?" ucap Salwa.
Bibi yang ikut Salwa menaruh nampan berisi sarapan dan paracetamol di atas nakas lalu pamit.
"Aku belum lapar, nanti kalau udah lapar aku makan. Mbak Salwa bisa tolong keluar? Aku mau istirahat, badanku rasanya sakit semua," ujar Adhisty.
"Tapi..."
"Mbak, tolong! Aku mau sendiri dulu. Aku udah nurutin maunya mbak, udah lakuin yang mbak suruh, tinggal tunggu hasilnya saja. Tolong mbak tinggalin aku!"
"Baiklah, Aku keluar. Tapi kamu jangan lupa makan dan minum obatnya!" ujar Salwa.
"Hem," sahut Adhisty.
Salwa memperhatikan Adhisty sejenak sebelum ia keluar, ia tak salah lihat. Leher Adhisty memang penuh tanda merah yang sudah di pastikan ulah suaminya. Sekuat apa Zayn melakukannya semalam hingga membuat Adhisty sampai demam. Salwa merasa sedikit sesak jika memikirkannya, apalagi Zayn jini tengah mendiamkannya. Tapi, demi memiliki anak, ia harus menekan perasaannya. Ia berharap setelah ini Adhisty segera hamil sehingga tak perlu lagi mereka melakukannya.
"Semoga anakku dan bang Zayn cepat tumbuh di rahim kamu, ya?" ucap Salwa.
Adhisty menanggapinya,"Tolong tutup pintunya lagi, mbak!" ucapnya lalu kembali berbaring memunggungi Salwa. Ia benar-benar masih merasa tidak enak badan.
***
Sementara di kantor, Zayn sedang memimpin rapat. Namun, pikirannya tidak ada di ruang rapat tersebut melainkan ia tinggal di rumah.
Alhasil, ia meminta sekretarisnya mencatat semua hasil rapat hari ini dan melaporkannya nanti.
Zayn kembali ke ruangannya meski rapat yang ia pimpin belum selesai. Percuma ia di sana kalau pikirannya ngeblank, hanya akan membuatnya malu karena terlihat bodoh di depan karyawannya sendiri.
Bukan tanpa sebab Zayn seperti itu, meski pikirannya menyangkal namun hati nuraninya tak bisa berdusta jika ia kepikiran soal Adhisty yang sedang demam. Dan kemungkinan besar demamnya di sebabkan olehnya.
"Apa aku melakukannya sangat kasar semalam, sampai-sampai demam seperti itu? Tapi, dia sepertinya juga menikmatinya semalam," gumamnya dalam hati, dan itu malah membuatnya kembali ingat dengan suara indah Adhisty yang mengalun memenuhi kamar semalam.
"Atau, memang dianya aja yang lemah," pikiran Zayn terus menerka-nerka.
Sudah berusaha masa bodoh, tapi tetap saja ia sedikit kepikiran. Mungkin sedikitnya ia merasa bersalah. Zayn, memijit pelipisnya yang terasa pening, mungkin efek dari obat yabg di berikan oleh Salwa semalam.
Zayn mengambil ponselnya, dari pada kepikiran. Takutnya akibat ulahnya, anak orang mati. Ia menatap nomor kontak Salwa, tapi jika ia menelepon Salwa, wanita itu pasti akan berpikir macam-macam. Akhirnya Zayn menelepon bibi.
Zayn meminta bibi untuk mengecek kondisi Adhisty secara diam-diam. Menunggu bibi melaporkan hasilnya, membuat Zayn hilang kesabaran. Sial, kenapa dia bisa merasa. Bersalah seperti itu, padahal itu bukan salahnya, Zayn mengumpati dirinya sendiri.
Tak lama kemudian bibi bilang jika Adhisty masih demam, gadis itu bahkan tidak menyentuh makanan yang tadi di antar oleh Salwa.
Setelah mengetahui kondisi Adhisty, Zayn menelepon dokter pribadinya. Memintanya untuk datang ke rumah dan memeriksa Adhisty.
Adhisty yang sedang tidur, merasa terganggu karena suara pintu yang terbuka
"Sudah ku bilang, bi. Aku nggak mau di ganggu!" ucap Adhisty tanpa menoleh.
"Maaf, nona. Tuan muda menyuruh dokter untuk memeriksa nona," sahut bibi.
Mendengarnya, Adhisty langsung menoleh. Benar saja, di samping bibi ada seorang dokter, "Apa dia peduli padaku sampai mengirim dokter ke sini?" batin Adhisty.
"Aku nggak mau di periksa!" tolak Adhisty. Mana mungkin dia membiarkan sang dokter melihat hasil kerja Zayn semalam. Leher, bahkan hampir seluruh tubuhnya ada tanda merah jejak kepemilikan Zayn.
"Maaf, nona. Saya harus memeriksa Anda, ini perintah tuan Zayn!" kata dokter.
Adhisty mendengus, "Dasar tukang maksa!" gumamnya kesal.
"Ya sudah, periksa saja!" putus Adhisty pada akhirnya. Namun, ia sama sekali tak mau membuka selimut yang menutupi tubuhnya sebatas leher.
"Maaf, nona. Kalau Anda tidak membukanya, bagaimana saya akan memeriksa Anda?" tanya dokter.
"Eh, emangnya apa yang mau di periksa? Aku hanya demam, periksa keningku saja, demamnya masih terasa," sahut Adhisty. Ia terlalu malu jika dokter melihat ada tanda-tanda keliaran Zayn pada sebagian tubuhnya.
"Maaf nona, saya harus memastikan apa penyebab demam Anda, agar saya tahu obat apa yang harus saya berikan," dokter mencoba menarik selimut Adhisty namun gadis itu kekeh menolaknya. Yang mana membuat dokter bingung sendiri.
"Sejak kapan, Anda demam?" tanya dokter kemudian.
"Subuh tadi kalau nggak salah," jawab Andini.
Dokter mencoba mengajak Andini terus mengobrol untuk mengalihkan perhatian gadis itu. Hingga tanpa sadar, Adhisty sudah tak berselimut.
Dokter mengatup, menahan senyumnya saat mengerti kenapa Adhisty tak mau membuka selimutnya.
"Ish kan, aku bilang cukup periksa kening dan kasih aku paracetamol, udah! Aku cuma kecapean karena semalam...." kalimat Adhisty menggantung di udara.
"Tidak apa-apa, saya mengerti, kok," ucap dokter. Meskipun sebenarnya ia penasaran sebenarnya siapa gadis di di depannya tersebut. Apa dia simpanan Zayn? Tapi, mana mungkin Zayn membawa simpanannya ke rumah, pikirnya.
Adhisty berdecak, ia membiarkan dokter melakukan tugasnya.
"Seluruh tubuhku rasanya sakit semua, Dok. Terutama bagian bawah perut, nyeri sekali, kayaknya luka, saya takut kenapa-kenapa, apakah dokter bisa kasih obat?" tanya Adhisty dengan polosnya, mumpung ada dokter, sekalian ia konsultasi, pikirnya.
Dokter hampir tersedak mendengarnya, polos banget gadis ini, pikirnya.
" Kepala pusing, dingin banget rasanya, perut juga sakit, dok. Apa karena maag? Aku jarang makan soalnya," keluh Adhisty lagi. Tadi dia menolak di periksa, sekarang malah banyak sekali keluhannya.
"Coba saya periksa perutnya, ya? Maaf," Dokter sedikit menyingkap atasan piyama Adhisty untuk memeriksanya.
"Apa yang kau lakukan?" tiba-tiba saja, suara yang sudah tak asing lagi menggelegar di kamar tersebut.
Zayn melangkah masuk dengan wajah tegasnya, "Jauhkan tanganmu dari perutnya!" titahnya dengan sorot mata tajam pada sang dokter.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!