NovelToon NovelToon

Luccane

Bab 1 : Dinginnya Hembusan Napas sang Malam

Bulan sabit terlihat bersinar terang setelah hujan sepanjang hari mengguyur kota Bandung, membuatku sebal setengah mati karena menyebabkan kegiatan pindahanku jadi tertunda.

Sekarang sudah pukul setengah sebelas malam namun acara pindahan belum juga selesai, sanak keluargaku yang membantu aku dalam acara pindahan ini sibuk membawa barang-barang milikku dengan tergesa.

"Neng Visha, ini mau ditaruh di mana?" Mang Ujang pamanku sekonyong-konyong datang padaku dengan televisi tujuh belas inchi di tangannya.

"Ayo, Mang, kalau gitu bantu saya taruh TV-nya di dinding," jawabku seraya mengarahkan Mang Ujang untuk masuk ke dalam rumah.

Namaku Vishabea Lazuardi, mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Bandung.

Aku berasal dari Palembang yang iseng-iseng mengikuti seleksi penerimaan calon mahasiswa baru di universitas tersebut, namun diluar dugaan aku malah menjadi salah satu peserta tes dengan nilai akhir tertinggi.

Mang Ujang dan istrinya adalah satu-satunya keluargaku di sini, dan untungnya dengan senang hati mau membantu acara pindahan yang cukup merepotkan ini.

Awalnya Mang Ujang dan Bibi ingin aku ikut tinggal di rumah mereka sebab pasangan suami istri yang telah menikah selama tiga dekade itu tidak memiliki anak perempuan namun aku menolaknya secara halus mengingat Andri, anak bungsu mereka yang seusia denganku kerap mengeluhkan kedua orang tuanya karena terlalu disiplin dan tegas mendidiknya.

Tapi sejujurnya aku memang tidak mau merepotkan mereka terlepas dari alasan pertama hingga akhirnya memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah dengan harga sewa murah di sekitaran kampus.

Usai menaruh televisi di tempat yang aku inginkan, Mang Ujang, Bibi Reni serta Andri pamit pulang karena semua barang-barang milikku sudah ditaruh pada tempatnya sesuai kemauanku.

Malam juga sudah semakin larut, aku buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi bersiap tidur.

Aku membuka pintu kamar mandi perlahan, menghasilkan suara derik yang cukup mengganggu apalagi menurut penuturan sang pemilik rumah kontrakan ini memang sudah cukup lama kosong.

Kaki kiriku masuk lebih dulu ke dalam kamar mandi, menyentuh dinginnya ubin berwarna biru lantai kamar mandi namun yang terjadi berikutnya sungguh membuatku kaget bukan kepalang karena aku mendapati sosok wanita berambut panjang tengah berdiri dengan posisi menunduk di belakang pintu kamar mandi.

Ah, aku sudah menduga ini. Karena memiliki kepekaan terhadap hal-hal tak kasat mata jadi aku sudah menebak kalau rumah ini memiliki sesuatu sehingga pemiliknya menyewakannya dengan harga miring walau rumah ini berukuran besar.

Aku buru-buru menyembunyikan ekspresi kagetku, bertingkah seolah tidak melihat apa-apa lantas menyelesaikan kegiatanku.

Merasa sudah sangat lelah aku beringsut menuju kamarku dan langsung merebahkan diri di atas kasur tanpa mempedulikan sosok yang tengah menatapku dengan sorot sendu dari pojok ruangan.

...****************...

Rasa dingin tiba-tiba menjalari kedua telapak kakiku membuatku sontak terjaga.

Tak hanya telapak kakiku, kini sekujur tubuhku merasa sangat dingin seperti sedang berada di dalam freezer.

Dengan kelopak mata yang masih amat berat karena kantuk, aku memberanikan diri melihat ke arah kakiku guna mencari tahu apa yang menyebabkannya menjadi terasa sangat dingin. Pelan-pelan aku menyingkap selimutku hingga sepersekian detik berikutnya pupil mataku melebar setelah mendapati ada sosok pria dengan kulit putih pucat seperti orang Eropa tengah meringkuk di bawah kakiku sambil terus memandang wajahku.

Aku melirik jam digital yang terduduk di atas nakas, masih menunjukkan pukul tiga dini hari membuatku mendesah malas tidak aku sangka kalau dia akan usil seperti itu.

Dengan enggan aku beranjak dari kasur menuju saklar lampu yang terletak di sebelah kiri pintu kamar sementara pandangan sepasang mata biru miliknya masih tetap terpaku padaku.

Ini sungguh menjengkelkan namun aku tak punya pilihan lain selain mengintrogasi makhluk astral satu itu.

"Apa maumu?" tanyaku ketus pada sosok pria berambut cokelat terang itu.

Dia tersenyum tipis, begitu tampan dengan sepasang mata biru lengkap dengan alis tegas serta hidung runcing miliknya.

Bibirnya juga ranum berwarna merah bagaikan kelopak bunga mawar yang sedang bermekaran.

Sungguh sebuah visual yang sangat memesona bagaikan seorang pangeran dari negeri dongeng sukses membuatku tercenung.

Pesona macam apa ini? Apa mungkin ada hantu yang sangat tampan seperti ini? Sejak kecil aku hanya melihat hantu dengan perawakan yang menyeramkan seperti sosok yang aku temui di kamar mandi tadi.

"Aku tidak mau apa-apa darimu, maaf telah mengganggu tidurmu."

Oh tidak, suaranya sangat rendah terdengar begitu nyaman untuk didengar bahkan lebih indah ketimbang suara para penyiar radio yang pernah aku dengar seumur hidupku.

"Siapa kau?" aku kembali bertanya setelah menetralkan detak jantungku yang sempat tidak karuan karena ketampanan milik sosok itu.

Dia bangkit dari posisi tidurannya kemudian duduk menghadap padaku.

"namaku Luccane, senang bertemu denganmu nona Vishabea."

"Kenapa kau ada di kamarku?"

"Aku sudah berada di rumah ini sejak lima puluh tahun terakhir," sahutnya enteng seakan tanpa beban.

Aku lantas mengambil posisi duduk di meja belajarku. "kalau begitu kau tidak boleh mengganggu aku dan jangan sampai penghuni lain dari rumah ini tahu kalau aku bisa melihatmu."

"Tapi sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku bisa terus mengganggumu," godanya dengan senyum misterius.

Aku mendecak sebal. "aku sungguh tidak tertarik dengan hantu. sepertinya usiamu juga jauh lebih muda dariku."

"Usiaku saat mati adalah sembilan belas tahun, mana mungkin lebih muda darimu yang baru berusia delapan belas? kau juga perlu ingat kalau aku sudah bergentayangan selama lebih dari dua ratus tahun," papar Luccane santai sambil menatapku penuh minat.

"Itu artinya kau hidup di era zaman penjajahan?" tanyaku antusias, mengingat jurusan kuliah yang kupilih memanglah sejarah.

Luccane mengangguk. "kamu menebaknya dengan sangat tepat."

Dilihat dari penampilannya Luccane memang nampak seperti bangsawan Eropa yang hidup di era abad pertengahan dengan pakaiannya yang nampak mewah berbahan sutra.

Kulit putihnya yang pucat terlihat begitu menawan dibalut dengan pakaian serba hitam.

"Aku memang banyak mempelajari sejarah," balasku sekenanya.

Luccane tersenyum lagi, memusatkan perhatiannya padaku. "jika kamu berpikir bahwa aku akan mengganggu atau membuatmu celaka maka itu adalah salah besar."

"Mana mungkin aku bisa percaya begitu saja dengan hantu yang baru saja aku temui?"

Pertanyaan ketusku lagi-lagi ditanggapi Luccane dengan senyuman menawan. "aku tidak memiliki pilihan lain selain tetap menjaga kamu selama masa studimu."

"Apa alasanmu melakukan itu?"

Aku jelas penasaran bagaimana bisa ada hantu setampan Luccane yang tiba-tiba muncul dan berkata ingin menjagaku selama masa kuliahku yang tidak mungkin sebentar itu.

"Kamu boleh percaya atau tidak tapi aku merasa sangat tertarik dan ingin sekali selalu berada di sisimu, nona Vishabea."

Bab 2 : Dia, Luccane.

"Kamu boleh percaya atau tidak tapi aku merasa sangat tertarik dan ingin sekali selalu berada di sisimu, nona Vishabea."

Mendengar jawaban dengan seulas senyum yang amat lembut itu membuatku semakin memandang hantu tampan itu dengan curiga.

"Oh, jadi kau adalah penyebab kenapa rumah ini sampai disewakan dengan harga yang sangat miring oleh pemiliknya?"

Luccane tergelak. "menampakkan diri di depan manusia yang tidak bisa melihat makhluk astral adalah hal yang sangat ceroboh."

Kedua alisku bertaut bingung. "apa maksudmu?"

"Kami, para hantu perlu mengeluarkan sangat banyak energi jika ingin berinteraksi dengan manusia yang tidak bisa melihat kami," jelas Luccane seraya memandangku lurus. "kamu spesial, karena dapat menyentuhku juga seperti tadi."

"Apa aku akan jatuh sakit setelah ini?" tanyaku polos, mengingat banyaknya kasus orang yang sampai jatuh sakit setelah tak sengaja 'tersenggol' oleh makhluk astral.

Luccane menggeleng. "tidak. bukankah aku sudah bilang kalau kamu itu spesial?"

Aku memandang mata biru milik Luccane lamat-lamat. "kalau begitu bisa kau beritahu siapa nama lengkapmu? kau sungguh membuatku merasa penasaran."

Pandangan Luccane turun, menautkan kedua tangannya seperti orang yang hendak berdoa.

"maaf aku tidak bisa memberitahukan hal spesifik itu kepada kamu karena keluargaku memiliki kaitan erat dengan sejarah bangsa ini."

Aku tercenung, menelisik setiap titik dari tubuh Luccane dengan seksama guna mencari celah bagaimana bisa sosok setampan ini tidak diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidupnya kala itu.

"lalu kenapa kau memilih untuk menetap di sini?"

"Seperti yang kamu lihat, gaya bangunan rumah ini bergaya kuno sudah pasti rumah ini sudah ada sejak Belanda yang merupakan leluhurku. Dulunya, Ayahku membeli rumah ini untuk Ibuku sebagai hadiah karena kelahiranku sebagai anak laki-laki yang sangat diinginkan oleh Ayah serta keluarga besarnya untuk melanjutkan bisnis keluarga kelak," Luccane mulai bercerita mengenai masa lalunya.

"Ibuku adalah seorang pribumi, 'Nyai' yang dulunya bekerja sebagai pembantu namun sangat dicintai oleh Ayahku. Ayah dan Ibu tidak terikat pernikahan secara sah sebelum aku lahir hingga akhirnya mereka memutuskan menikah secara sah setelah aku lahir."

"Apa ibumu berasal dari kota ini?"

Luccane mengangguk. "ya. ibuku adalah wanita asli Bandung yang terpaksa dijual oleh orang tuanya sendiri kepada Ayahku karena terlilit hutang yang jumlahnya cukup besar."

"Tetapi kehidupan sebagai seorang 'Sinyo' tidaklah semudah kehidupan di zaman sekarang yang terkadang membuatku merasa iri," tambah Luccane dengan sorot mata sendu yang membuatku merasa tak tega untuk membiarkan dia terus menceritakan masa lalunya.

"Kita bisa bahas itu lagi lain kali, Luccane. sekarang aku sudah ngantuk, aku perlu tidur dulu sebelum pergi ke kampus besok siang untuk mengurus berkas perkuliahan."

Luccane tidak menjawab, dia hanya menyunggingkan seulas senyum dengan sorot mata yang terlihat sangat sedih serta terluka yang entah mengapa membuat hatiku merasakan sesuatu yang sangat berbeda.

...****************...

"Oh, jadi lo yang namanya Vishabea Lazuardi? gila sih emang cantik banget pantesan followers Instagram lo sampai tiga puluh lima ribu lebih," seorang gadis berambut ikal dengan hebohnya datang padaku yang baru saja keluar dari ruangan dekan setelah menyerahkan beberapa berkas penting sebagai persyaratan untuk universitas.

Menanggapinya, aku hanya tersenyum kikuk sembari berusaha mengendalikan ekspresi wajahku yang merasa agak risih dengan tingkahnya.

"Kenalin nama gue Carly," katanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Hai, lo udah tahu nama gue 'kan?" aku menimpali dengan senyuman tipis, menjabat tangannya sebentar.

Kalau dilihat-lihat wajah Carly itu cukup cantik dengan paras mirip bule membuatnya agak mencolok diantara mahasiswa lainnya.

Tubuhnya juga menjulang tinggi, mungkin nyaris sekitar seratus tujuh puluh sentimeter dengan.

"Gue juga follow Instagram lo, jangan lupa follow back ya," ucap Carly sambil menunjukkan laman Instagram milikku.

"Iya," sahutku sekenanya.

"Kulit lo bagus banget deh, iri gue," mata kecoklatan milik Carly memandang seksama wajahku, makin membuatku merasa risih.

Ya, sebagai gadis keturunan Tionghoa kurasa aku tidak jauh berbeda dengan keturunan etnis Tionghoa lainya dengan kulit putih sebagai ciri khasnya. Namun yang agak berbeda yaitu mataku yang cukup bulat, tak jarang aku kerap dijuluki sebagai Si Mata Boneka oleh teman-temanku.

"Lo ada keturunan bule gitu ya?" aku balik bertanya, mencoba mencari tahu mengingat dia memang akan menjadi salah satu teman sekelasku.

Carly memandangku dengan penuh antusias.

"iya, kakek dari sebelah Papi gue orang Italia. kalau lo gimana? kayaknya Chinese ya?"

Aku mengangguk membenarkan.

"ada keturunan aja sih."

"By the way lo udah punya pacar? katanya kakak tingkat jurusan kita pada cakep-cakep tuh," goda Carly sesaat setelah Kak Eliezer yang merupakan salah satu kakak tingkat populer di jurusan kami melintas.

Pertanyaan Carly entah mengapa malah membuatku teringat pada Luccane dan tanpa sadar malah berujar. "punya, cowok gue blasteran Belanda."

"Wah, gila keren banget sih lo! kapan-kapan kenalin ke gue ya. kalau gitu gue pamit pulang duluan ya, hati-hati lo," tukas Carly sambil bergegas pergi setelah ponselnya berdering.

Pacar blasteran Belanda apanya? punya pacar pun tidak! huh, kenapa aku bisa-bisanya bilang begitu pada Carly? Sepertinya aku harus segera pulang mengingat hari sudah mulai beranjak sore, aku tidak mau melewatkan waktu maghrib di jalan.

Buru-buru aku melenggang menuju parkiran Fakultas Teknik yang letaknya di area paling depan kampus bermaksud untuk segera pulang menggunakan motorku.

"Dek, calon mahasiswa baru ya?"

Kak Eliezer, cowok yang tadi disinggung oleh Carly kini menyapaku lebih dulu setibanya aku di lapangan parkir.

"Eh? iya kenapa, Kak?"

"Salam kenal ya, nama aku Eliezer. nanti kita bakal ketemu lagi pas ospek. nama kamu siapa?"

Kak Eliezer memang nampak menawan dengan rambut sekelam langit malam miliknya yang berkilauan, hidung mancung serta alis tebal yang membingkai wajahnya. Kulitnya berwarna kecoklatan, namun tidak begitu gelap membuatnya juga tak bosan untuk dipandang.

"Panggil aja Visha, Kak. sorry ya nggak bisa ngobrol lama-lama soalnya mau langsung pulang. mari, Kak," tutupku mengakhiri perbincangan.

Setelah mengenakan helm aku langsung tancap gas menuju rumah yang sekali lagi aku syukuri tak jauh dari kampus meski aku mendapati lebih dari empat makhluk astral yang tinggal di sekitaran rumahku.

Tapi ya sudahlah apa boleh buat, Papaku sudah kepalang membayar sewa sampai empat tahun jadi aku hanya bisa berharap kehidupanku kedepannya bisa selalu aman dari gangguan mereka.

Tiba di rumah aku lantas segera membersihkan diri tak lupa langsung melaksanakan ibadah sholat maghrib dengan khusyuk di ruang tengah.

Usai memanjatkan doa kepada sang maha kuasa aku dikagetkan dengan kehadiran Luccane yang memandangku dengan senyuman manis sambil duduk bersila di depanku.

"Hai, bagaimana pacar blasteran Belanda kamu itu? apa dia lebih keren dari pada aku?"

Bab 3 : Lentera Merah

"Hai, bagaimana pacar blasteran Belanda kamu itu? apa dia lebih keren dari pada aku?"

Aku sontak terperanjat kaget dengan keberadaan Luccane yang suka datang dan pergi tiba-tiba seperti angin. Mataku mendelik kesal ke arahnya, sementara Luccane hanya menatapku dengan air muka santai seolah tak berdosa.

"Kenapa kau selalu muncul seperti hantu begitu!" teriakku murka.

Luccane cengengesan mendengar perkataan konyolku. "aku memang hantu kalau kamu lupa."

"Sial, aku selalu lupa soal itu karena wajahmu terlalu manusiawi," balasku ketus sambil merapikan peralatan ibadahku kembali ke tempatnya.

Jemari kokoh milik Luccane membetulkan kancing teratas kemeja satin miliknya yang terbuka, sedikit menampakkan dada bidangnya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku cepat berusaha mengendalikan diri agar tidak menjadi gila karena godaan dari Luccane.

"Kalau begitu apakah kamu mau melihat wajah terakhirku saat meregang nyawa?"

Aku bergidik ngeri. "kurasa tidak perlu, itu pasti sangat menyeramkan."

"Apa kamu tidak merasa penasaran bagaimana aku mati kala itu? dari sekian banyak anak indigo yang kutemui semuanya menanyakan soal itu," Luccane bertanya sambil menyugar rambut coklat terangnya kebelakang menggunakan jemari.

Dilihat dari sisi mana pun, sosok pria astral itu sama sekali tidak nampak seperti hantu.

Luccane memiliki mata yang sangat hidup berwarna biru bagaikan air laut yang jernih, rambut serta alis tebal berwarna cokelat terang yang menawan sangat berbeda dengan wujud penampakan hantu yang umumnya menyeramkan dengan wajah hancur serta bau anyir darah yang menyengat dari tubuh mereka.

Belum sempat aku menjawab ucapan Luccane, lagi-lagi aku dikagetkan dengan listrik yang tiba-tiba padam membuatku kelimpungan karena takut dengan kegelapan.

Aku yang takut sekaligus panik hanya bisa berteriak heboh sambil berusaha menemukan ponselku.

"Luccane! tolong nyalakan sesuatu untuk penerangan, aku takut gelap!" teriakku histeris.

Belum ada sepuluh detik berlalu, cahaya remang-remang nampak muncul membuat napasku yang tadinya memburu hebat menjadi sedikit lebih tenang. Ternyata cahaya itu berasal dari lentera kecil berwarna merah yang entah dimana Luccane menemukannya, sebuah lentera zaman dulu yang sudah tak pernah aku lihat bentuk aslinya selain dari buku-buku sejarah yang kupelajari.

"Kamu merasa lebih baik?" Luccane bertanya dengan lembut, menaruh lentera merahnya di atas meja tak jauh dari posisi kami berdua duduk.

"Iya, terima kasih."

Meski dalam cahaya temaram wajah Luccane masih nampak begitu memukau, terlihat amat kontras dengan kegelapan yang menyelimutinya.

Wajah rupawan itu mengulas senyuman lembut yang menenangkan membuatku terpaku dengan mata yang hanya tertuju padanya.

"Jadi, kamu mau mendengarkan cerita kematianku atau tidak nona Vishabea?"

Pertanyaan Luccane dengan nada tenang serta suara beratnya yang lembut membuatku kembali fokus. "ah, ya kau boleh menceritakannya. karena kamu menyinggungnya sekarang aku juga jadi penasaran."

"Aku mengingat semua kejadian hari itu secara detail," Luccane memulai ceritanya. "waktu itu hari senin, aku pulang sekolah seperti biasa dengan berjalan kaki sendirian karena tidak mempunyai teman. lalu secara tiba-tiba datang lima orang tentara Jepang yang menyeretku secara paksa untuk ikut dengan mereka. aku yang tidak punya pilihan lain hanya bisa mengikuti mereka dengan harapan bisa pulang dengan selamat."

Pandangan Luccane nampak menerawang, mengingat-ingat kembali masa lalunya.

"bukannya pulang dengan selamat, aku malah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ketika para tentara Jepang yang sudah menduduki rumahku menembaki kedua orang tuaku serta semua orang yang tinggal di sekitar rumahku secara membabi-buta. tidak sampai disitu, aku dan beberapa anak Belanda lain yang telah mereka kumpulkan dibawa naik ke atas sebuah kapal perang dengan benda pemberat di masing-masing kaki kami. tak ada yang bisa kami lakukan selain pasrah kala itu, kami sama sekali tak dapat melawan para tentara Jepang berbekal persenjataan lengkap tersebut. setibanya di tengah laut lepas, satu persatu dari kami mulai diceburkan ke dalam laut dengan entengnya seperti sedang membuang sampah."

Aku sama sekali tidak menyela cerita Luccane yang ia ceritakan dengan air mata menggenangi kedua pelupuk matanya. Luka serta dukanya melebur menjadi satu yang aku yakini terasa benar-benar sakit dan menyiksa batin Luccane.

Aku termangu membiarkan Luccane melanjutkan ceritanya seraya menghapus jejak air matanya dengan punggung tangannya cepat-cepat.

Luccane memandangku dengan sorot penuh luka.

"dan ya, aku lalu mati tenggelam karena kedua kakiku sudah dipasangi pemberat yang sama sekali tak mampu aku lepaskan. sebuah kematian yang sangat tidak adil bagi seorang pemuda sembilan belas tahun yang sangat ingin membahagiakan ibunya yang merupakan seorang pribumi."

Aku mengusap bahu dingin Luccane dengan lembut, tak kuasa berkata apa-apa. Cerita itu teramat memilukan bahkan untukku yang hanya mendengarnya membuat hatiku serasa diremat.

"Kami tahu? lentera merah ini adalah hasil buatan tanganku sendiri yang dulunya ingin kuberikan untuk ibuku, namun aku bersyukur akhirnya benda ini bisa berguna," tambah Luccane dengan tangganya yang mengusap pinggiran lentera merah itu. senyuman terukir di wajahnya namun aku yakin itu bukanlah senyuman yang menggambarkan kebahagiaan.

Aku tertunduk lesu. "maafkan aku, Luccane. seharusnya aku tidak memintamu untuk menceritakan masa kelam itu."

"Tidak masalah, itu karena aku yang ingin menceritakannya sendiri."

Suara guntur disertai dengan deru angin kencang terdengar mengoyak kesunyian malam ini. Sepertinya hujan disertai badai akan datang sebentar lagi membuatku menjadi was-was takut kalau listrik tak segera kembali menyala saat badai datang nanti.

"Listriknya akan padam dalam waktu yang lama," ucap Luccane sekonyong-konyong seperti dapat membaca isi pikiranku. "tapi kamu tidak perlu takut, lentera merah itu tidak akan padam sampai listrik menyala."

"Tapi aku mulai kedinginan," cicitku, enggan menatap mata Luccane yang tertuju padaku.

Suara kekehan ringan menguar dari Luccane kemudian. "kenapa tidak bilang? aku bisa mengambilkan semua yang kamu butuhkan."

"Kalau begitu bisakah kau mengambilkan bantal dan selimutku?"

"Kamu tidak mau tidur di kamar?" Luccane bertanya heran.

"Ya, pocong dengan wajah gosong dan mata semerah darah itu terus menatapku tajam dari balik jendela. itu sangat menyeramkan dan membuatku merasa terganggu," aku mengungkapkan kekesalanku pada sosok pocong berwajah seram yang sangat menganggu dengan tatapannya yang tajam serta penuh dendam.

Luccane mengangguk paham. "ya sudah kalau begitu untuk malam ini kamu tidur saja disini. soal pocong kurang ajar itu aku akan mengurusnya segera."

Sepeninggal Luccane, aku memandang lentera merah yang penuh dengan ukiran tangan itu dengan kagum. "ternyata Luccane sangat menyayangi ibunya lebih dari pada aku menyayangi ibuku. dia bahkan rela mengerjakan ukiran rumit seperti itu untuk membuat ibunya bahagia."

"Kamu boleh menyimpan lentera merah itu kalau kamu mau. lagi pula selain ibuku, kamu juga layak memiliki lentera merah yang aku buat dengan sepenuh hati itu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!