GUBRAK!
Suara benturan keras terdengar dari arah gudang mengejutkan Rengganis. Gadis berusia 27 tahun itu sedang membersihkan halaman gudang dirumah sederhananya.
Awalnya Anis tidak mempedulikan suara itu. Ia berfikir kalau mungkin saja tikus atau kucing yang membuat beberapa barang berjatuhan. Jadi ia melanjutkan untuk menyapu area dalam gudang.
Saat sedang menyapu, Anis terbatuk-batuk karna banyak debu yang masuk kedalam mulutnya. Tapi seketika pandangan Anis tertuju pada sebuah titik berwarna merah dilantai semen itu. Ia membungkukkan badannya untuk melihat lebih jelas titik apa itu.
Darah!
Anis memundurkan badannya. Ia melihat tidak hanya ada satu tetes darah disana. Tapi banyak. Dengan perasaan penasaran sekaligus was-was, Anis mengikuti jejak darah itu. Samar-samar ia mendengar suara rintihan. Ia memegang sapu layaknya senjata. Mengarahkan batang sapu itu kearah suara berasal.
Samar ia bisa melihat ada sepasang kaki dibalik lemari yang sudah rubuh.
"Siapa disana?" tanya Anis memberanikan diri. Tapi tidak ada jawaban. Ia mengacungkan gagang sapu ke arah kaki itu.
"Keluarlah. Atau aku akan berteriak dan memanggil tetangga." ancam Anis.
Tapi tetap tidak ada jawaban. Yang ada hanya sura rintihan yang kembali terdengar walau lirih.
Anis mengumpulkan keberaniannya. Dia menusuk-nusuk kaki yang penuh luka itu dengan gagang sapu yang ia pegang.
"Aaaahhhh..." rintih pemilik kaki itu.
Anis memiringkan kepalanya dan ia bisa melihat ada kepala seseorang disana.
"To... Long..." samar suara orang itu meminta tolong.
Betapa terkejutnya Anis, dihadapannya tengah terbaring seorang pria yang berlumuran darah. Diperut pria itu tertancap sebilah pisau. Anis langsung terbelalak sekaligus ngeri melihatnya.
"Aaaa...!!!" Anis berteriak dan jatuh terduduk. Nafasnya tercekat. Ia ketakutan luar biasa. Rasa terkejutnya membuat tubuhnya gemetar tak terkendali.
Anis hendak berdiri dan berniat memanggil tetangganya. Tapi pria itu sudah terlanjur memegangi kakinya dan mencegahnya pergi.
"Tolong saya...." ucap pria itu sambil merintih. Darah segar terus mengalir dari luka tusuknya.
"Sa,,sa,,saya akan panggil bantuan." kata Anis. Ia berusaha melepaskan tangan pria itu. Tapi pria itu tak mau melepaskannya. Kini kakinya juga jadi berlumuran darah dari pria itu.
"Jangan. Jangan panggil siapapun." pinta pria itu.
"Tapi anda butuh pertolongan. Kalau begini terus anda bisa mati." kata Anis dengan ekspresi wajah masih ketakutan. Karna pria itu tak kunjung melepaskan tangannya.
"Tolong cabut pisau ini." pinta pria itu lagi.
"Apa? Ti,, ti tidak mau. Aku takut." tolak Anis.
"Tidak apa-apa. Kamu harus mencabutnya." pria itu mengangguk-anggukan kepala, berusaha meyakinkan Anis.
"Tidak mau!" Anis kekeuh. Bagaimana kalau sesuatu yang lebih buruk terjadi setelah ia mencabut pisau itu? Bukankah itu lebih berbahaya tanpa dibarengi dengan tindakan yang tepat?
"Apa kamu punya alkohol? Dan beberapa kain kasa?"
"Iya, aku punya, tunggu sebentar." Anis berlari masuk kedalam ruang tamu dan mengambil kotak perlengkapan obat. Setelah itu ia kembali ke dalam gudang.
Ia sempat berniat ingin memanggil tetangganya, tapi ia takut kalau pria itu malah akan semakin merepotkannya. Ia sempat melihat sepucuk senjata api di sebelah pria itu tadi. Kalau dia tidak menurutinya, bagaimana kalau pria itu membunuhnya?
Anis mendekati pria itu dan meletakkan kotak obat disampingnya. Membukanya kemudian menyerahkan botol berisi alkohol itu.
Pria itu menumpahkan alkohol disekitar pisau kemudian meminta segumpal kain kasa.
"Dengar, setelah aku mencabut pisau ini, kamu harus segera menekan kasa itu ke lukaku. Apa kamu mengerti?" Ujar pria itu sambil berusaha membuka kancing kemejanya.
"Seperti di drama-drama?" tanya Anis dengan wajah polos.
"Yap. Seperti di drama-drama. Kamu sudah siap?"
Anis nampak mengangguk mantap. Tapi sebenarnya dia gemetar luar biasa. Yang di drama itu kan settingan, darahnya juga bukan darah betulan. Sedangkan ini benar-benar nyata terjadi dihadapannya. Ia harus bagaimana?
"Aaarrrgggghhh...!!!" pria itu mengerang saat mencabut pisau dari perutnya sendiri. Anis yang melihatnya langsung bergidik ngeri.
Pria itu berhasil mencabut pisaunya. Dan dengan segera Anis menekan luka itu agar darah tak terus mengalir keluar. Pria itu terus merintih kesakitan. Wajah pucatnya tertutupi oleh bercak darah diwajahnya.
Kain kasa sudah basah oleh darah. Anis panik dan segera mengganti kain kasa dengan yang baru. Tapi darah masih terus mengucur dengan deras.
"Bagaimana ini? Darahnya tidak mau berhenti." tanya Anis panik.
"Sebentar lagi berhenti. Tidak usah panik." jawab pria itu terbata-bata. Mata pria itu nampak sudah tidak fokus. Dalam keadaan ini, dia jelas sangat membutuhkan perawatan medis.
Perlahan, keadaan pria itu mulai melemah. Membuat Anis ketakutan setengah mati. Ia takut jika pria itu mati di rumahnya dan membuat keributan karna keadaan itu. Ia tidak suka kerepotan mengurusi hal-hal semacam itu.
Kasa yang di tekan di perut pria itu perlahan terlepas seiring pria itu yang tidak sadarkan diri. Anis berusaha untuk meletakkan kasa yang baru di luka itu. Darah sudah tidak banyak yang keluar, tapi Anis tetap ngeri melihatnya.
“Hei. Apa kau sudah mati?” Tanya Anis sambil menekan-nekan kaki pria itu dengan jari telunjuknya.
Perasaannya semakin kalut saat pria itu tidak meresponnya.
“Hei! Jangan mati disini. Kumohon.” Lirih Anis. Ia tidak mau berteriak hingga membuat para tetangganya penasaran dan datang ke sana. Kali ini ia berusaha menggerak-gerakkan lengan pria itu untuk membuatnya terbangun.
“Ya ampun. Bagaimana ini?” Anis panik sendiri.
“Hei! Jangan mati!”
“Ahh. Bisakah kau tidak berisik? Aku sedang berusaha untuk beristirahat.” Lirih pria itu sambil merintih menahan sakit di perutnya.
Hufh. Anis kini bisa bernafas lega saat mendapati ternyata pria itu belum mati.
“Tidak bisa begini. Keadaanmu semakin melemah. Lebih baik aku mencari pertolongan.” Ujar Anis yang hendak beranjak.
“Tunggu. Jangan lakukan itu. Aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat sebentar saja. Luka ini tidak dalam. Sebentar lagi tenagaku juga sudah pulih.” Pria itu bersikeras tidak ingin Anis meminta bantuan.
“Benarkah?”
Perlahan pria itu menjawabnya dengan mengangguk seiring wajahnya yang semakin pucat. Ia terus menekan lukanya dengan kain kasa.
Anis memperhatikan wajah pria yang tertutupi oleh darah itu dengan seksama. Ia sangat penasaran dengan cerita dibalik luka itu. Tapi ia tidak punya keberanian untuk menanyakannya. Karna pria itu nampak seperti orang yang berbahaya. Sungguh dia tidak ingin terlibat dengan orang semacam itu.
“Kau pergilah. Urusi urusanmu. Tapi bolehkan aku tetap disini untuk beristirahat?
Anis nampak berfikir sejenak sebelum menyetujui permintaan pria itu. Setelah menganggukkan kepala, Anis beranjak dan keluar dari gudang itu.
Di dalam rumahnya, Anis berjalan mondar-mandir dengan menggigiti kuku jarinya. Hatinya masih di selimuti oleh rasa khawatir. Bukan tentang keadaan pria itu melainkan ia khawatir jika ada orang yang mengetahui tentang keadaan pria itu. Itu bisa membuatnya dalam masalah. Anis bimbang antara melaporkan pria itu atau membiarkannya saja.
Dan setelah berkutat dengan fikirannya sendiri, akhirnya Anis memutuskan untuk membiarkan pria itu sementara waktu. Dia akan melaporkannya nanti kepada ketua RT setempat.
Rengganis terkejut saat mendengar pintu rumahnya di gedor-gedor dengan sangat keras. Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik sekitar, ternyata ia tertidur di meja makan.
"Buka pintunya.!!!" teriak suara seorang pria dari luar rumah. Rengganis melirik jam dinding. Hampir jam 11 malam.
Dor,, dor,, dor,,
Pintu kembali di gedor dengan sangat keras.
"Siapa??" tanya Rengganis. Ia tak langsung membuka pintu. Takut kalau-kalau itu perampok. Walaupun dirumah itu tak banyak barang berharga yang bisa diambil.
"Ini saya Nis, pak RT! Tolong buka pintunya."
Dengan tergopoh-gopoh Rengganis berjalan menuju pintu dan segera membuka pintu itu. Ia penasaran, kenapa malam-malam pak RT datang kerumahnya.
Sesaat setelah ia membuka pintu, tiga orang berbadan besar dan berambut agak gondrong langsung menerobos masuk kedalam rumah. Tanpa permisi mereka langsung mengacak-acak seisi rumah. Nampaknya mereka sedang mencari sesuatu. Sedangkan ada beberapa yang berjaga diluar. Rengganis tak tau jumlah tepatnya, karna diluar gelap dan minim pencahayaan.
"Apa-apaan ini Pak? Kenapa mengobrak abrik rumah saya?" tanya Rengganis kepada pak RT.
"Maaf Nona, apa anda melihat seorang pria dengan luka tusuk disekitar sini?"
"Pria dengan luka tusuk?" wajah Rengganis berubah pucat. Lututnya tiba-tiba gemetar. Siapa orang-orang ini? Apa mereka polisi? Kenapa mereka mencari pria itu? Astaga, Rengganis baru ingat tentang pria itu yang mungkin masih ada di dalam gudangnya saat ini.
"Nis???" tanya Pak RT menyadarkan Rengganis.
"Oh,, eh... Tidak. Saya tidak melihatnya." jawab Rengganis berbohong. Entah kenapa dia berusaha menyembunyikan pria itu.
"Anda yakin?"
Rengganis segera menganggukan kepalanya dengan mantap.
"Kalau begitu boleh kami memeriksa gudang dibelakang?" tanya orang itu lagi.
Kenapa tidak dari pertama masuk tadi meminta ijin? Dasar bagong! Gerutu Rengganis dalam hati.
"Tapi tidak ada apa-apa disana, Pak. Hanya gudang kosong!" sanggah Rengganis. Tiba-tiba menjadi ketakutan. Pria yang mereka cari jelas ada disana. Dan jika orang-orang ini menemukannya, itu sudah pasti akan membuatnya dalam masalah.
"Biar kami yang periksa sendiri."
"Tapi pak..." pria-pria sangar itu tak menggubris penjelasan dari Rengganis. Mereka terus saja berjalan memutari rumah untuk menuju ke gudang.
Perasaan Rengganis menjadi tak karuan. Bagaimana kalau ia ketauan berbohong? Bagaimana ia akan menjelaskan pada mereka? Apa dia juga akan dipenjara karna menyembunyikan pelaku kejahatan? Rengganis meremas jari jemarinya sendiri, dan saat pria-pria itu masuk ke dalam gudang, pasrah sudah ia. Tak mungkin lagi menghentikan mereka.
Rengganis duduk di atas tumpukan batu bata yang ada di depan gudang. Lututnya mulai lemas. Membayangkan dia akan berada dibalik jeruji besi. Wajahnya nampak sangat takut. Dia terus mere mas jari-jemarinya walaupun ia berusaha untuk tetap bersikap tenang.
Tiga orang yang tadi masuk kedalam gudang. Mereka menyalakan senter sebagai penerangan. Karna memang di dalam gudang tidak ada lampunya. Pak RT menunggui Rengganis di luar. Dia juga nampak khawatir jika salah satu warganya terlibat masalah.
"Nis, benar tidak ada siapa-siapa didalam gudang?" tanya pak RT. Rengganis yang mendapat pertanyaan itu hanya memandang wajah pak RT yang gelap karna kurangnya pencahayaan.
"Ayo! Kita pergi. Tidak ada siapa-siapa disini." kata salah satu pria gondrong keluar dari dalam gudang.
Apa???
Rengganis tak kalah terkejut mendengarnya. Sedangkan pak RT nampak lega sambil mengelus dadanya.
Bagaimana bisa? Beberapa jam yang lalu pria itu jelas ada disana. Tapi kenapa mereka tidak bisa menemukannya? Apa pria itu sudah benar-benar pergi? Atau sembunyi ditempat lain? Beragam pertanyaan muncul dibenak Rengganis
Tidak mungkin pria itu pergi. Tadi saja pria itu sempat pingsan sebentar sebelum Rengganis meninggalkannya masuk kedalam rumah untuk mengambil air minum yang malah membuatnya ketiduran di atas meja. Melihat bagaimana keadaannya tadi, tak mungkin pria itu bisa berdiri, apalagi pergi dari sana. Rengganis sangat ingin memeriksa ke dalam, tapi ia takut kalau pria-pria itu menaruh curiga padanya.
"Maaf Nona, kami sudah masuk tanpa ijin. Ternyata tidak ada siapa-siapa disini. Kalau begitu kami permisi dulu.." kali ini pria itu berkata dengan sopan. Membuat Rengganis mendengus kesal.
"Maaf ya Nis, sudah membangunkanmu." kata pak RT. Ia juga merasa tidak enak kepada Rengganis.
Pria-pria berwajah sangar itu pergi meninggalkan rumahnya bersama dengan pak RT. Beberapa tetangga nampak berdatangan dan langsung mengintrogasi Rengganis. Rengganis menjelaskan semuanya, alasan kenapa orang-orang itu mendatangi rumah Rengganis tengah malam begini. Tapi ia tetap tidak menceritakan tentang pria asing dengan pisau yang menancap diperutnya.
Setelah hampir satu jam para tetangga itu bergosip ria di depan rumah Rengganis, akhirnya mereka membubarkan diri juga. Sambil berjalan pulang mereka masih terdengar berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan.
Sepeninggalnya para tetangga, tinggallah Rengganis sendirian. Ia berjalan masuk kedalam rumah dan mengambil ponselnya. Ia masih penasaran dimana pria asing itu berada. Bagaimana orang-orang tadi tak bisa menemukannya. Apa dia memang benar-benar sudah pergi? Rengganis sangat penasaran. Jadi ia memutuskan untuk memeriksanya kembali.
Rengganis memberanikan diri masuk kedalam gudang yang gelap gulita. Ia menyalakan senter di ponselnya. Menyorot ke segala arah. Yang pertama ia lakukan adalah mencari bercak darah di lantai. Sudah tidak ada. Lantainya sudah bersih. Kemudian ia berjalan kearah lemari usang yang roboh, tempat pria itu berada sebelumnya.
Sudah tidak ada. Pria itu benar-benar sudah menghilang dari sana. Kira-kira kemana dia pergi? Batin Rengganis. Dengan luka separah itu bagaimana caranya pria itu pergi dari sini?
Rengganis tak berhenti disana. Dia tetap mencari disetiap sudut gudang, melihat kecelah-celah sempit barang kali pria itu bersembunyi disana, tapi nihil, pria itu tetap tidak ada disana. Ia menghembuskan nafas antara lega dan khawatir.
Tapi kenapa juga dia harus memikirkannya? Tidak ada hubungannya sama sekali dengannya. Mau pria itu mati, atau tertangkap oleh orang-orang yang mencarinya barusan, seharusnya Rengganis tak peduli. Lihatlah, setelah di tolong olehnya pria itu malah pergi entah kemana tanpa jejak.
Udara semakin dingin, karna waktu sudah lewat tengah malam. Rengganis memutuskan untuk masuk kedalam rumahnya dan melanjutkan tidurnya. Tapi setelah golek kanan, golek kiri, Rengganis tetap tak bisa tidur. Rasa kantuknya sudah melayang entah kemana gara-gara kedatangan orang-orang tadi. Jadi ia memutuskan untuk berkemas saja. Tidak banyak barang yang ingin dia bawa. Hanya beberapa potong baju dan barang-barang kenangan berupa selembar foto keluarganya. Barang yang sangat berarti baginya.
Rengganis berkemas karna ia akan pindah ke kota. Disana, ia sudah mendapat pekerjaan sebagai pelayan di sebuah club malam dengan gaji yang lumayan besar.
Sampai pagi rasa kantuk Rengganis tak juga datang. Jadi dia berencana untuk segera berangkat ke kota dengan menggunakan motor maticnya.
Rengganis memacu motornya dengan kecepatan sedang. Menembus barisan kemacetan di jalanan Ibu Kota karna bertepatan dengan jam berangkat kantor.
Diperempatan lampu APILL, Rengganis mengedarkan pandangannya. Udara pengap menembus masker yang ia kenakan. Karna merasa gerah, ia kemudian membuka kaca helmnya. Setelah lampu berubah hijau, Rengganis segera melajukan motornya kembali dan
BRAKKK..!!!
Sebuah mobil menabraknya dari belakang. Sehingga ia juga menabrak sebuah sepeda motor yang ada didepan. Tidak sampai terjatuh, karna ia dan orang yang ia tabrak masih sempat menyeimbangkan kendaraan, tapi lumayan menimbulkan kerusakan.
Rengganis menepikan sepeda motornya dan berjalan menghampiri pemotor yang ia tabrak. Seorang bapak-bapak paruh baya yang nampak bingung dengan situasi yang baru saja terjadi.
"Bapak tidak apa-apa?" tanya Rengganis.
"Saya tidak apa-apa, Neng."
"Sial.! Hei.! Bisa bawa motor tidak?!!" seorang wanita muda dengan gaya yang mewah keluar dari dalam mobil yang menabraknya.
"Lho kok jadi anda yang marah? Kan anda yang menabrak saya.!" jawab Rengganis.
"Caramu mengemudikan motor itu seperti siput. Aku sedang terburu-buru apa kau tau.! Gara-gara kamu, aku jadi terlambat.! Lihat ini.! Mobil mewahku jadi penyok kan." maki wanita itu.
"Anda yang salah kok anda yang marah-marah? Seharusnya saya yang marah."
"Enak saja. Kamu yang jalan kaya siput.!"
Beberapa orang nampak berkerumun dan berusaha membela Rengganis dan si bapak. Tapi wanita itu malah bertambah emosi. Semua orang yang membela Rengganis malah kena semprot juga.
Begitulah kebiasaan sebagian orang. Sudah dia yang salah, dia pula yang ngotot dan ditambah marah-marah pula. Tidak merasa bersalah dan tidak mau disalahkan. Pokoknya merasa benar sendiri.
Seorang pria muda dengan wajah yang nampak pucat keluar dari dalam mobil yang baru saja berhenti. Pria itu menghampiri kerumunan itu dan bertanya kepada beberapa orang untuk mengetahui kronologi kejadiannya.
"Berapa biaya perbaikan mobil rongsokanmu itu?" tanya pria muda itu kepada si wanita pemilik mobil.
"Apa? Rongsokan? Ini mobil mewah. Enak saja kamu bilang rongsokan. Ini mobil mewah edisi terbatas. goresan seperti itu bisa menghabiskan biaya 500 juta." kata wanita itu sambil menunjuk bemper depannya yang agak penyok.
Apa? Rengganis yang mendengar jumlah yang tidak masuk akal itu langsung terbelalak. Ia melihat penyok yang tidak seberapa di bagian bemper mobil. Masa sih biaya perbaikannya sampai 500 juta?
"Yoham. Berikan nona ini cek dengan jumlah yang dia sebutkan tadi." kata pria itu santai. Orang yang disebut Yoham langsung mengeluarkan cek kemudian menulis jumlah sebesar 500 juta dan langsung memberikan kepada wanita itu.
Si wanita itu nampak bingung sekalipun sumringah saat melihat jumlah yang dia inginkan tertulis di selembar cek yang baru saja dia terima. Tanpa rasa malu, wanita itu masuk kembali kedalam mobilnya dan langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata maaf kepada Rengganis dan si bapak.
Orang-orang yang ada disana langsung menyoraki wanita itu seiring kepergiannya. Uang, dengan mudahnya menyelesaikan masalah tanpa harus berbuntut panjang. Sungguh beruntung sekali orang-orang yang punya uang berlimpah seperti itu. Ia pasti merasa seperti mengendalikan dunia.
Pria muda itu juga langsung masuk kedalam mobilnya. Sementara pria yang bernama Yoham menghampiri Rengganis dan si bapak kemudian memberikan kartu nama kepada masing-masing mereka.
"Bawa motor kalian ke bengkel. Setelah selesai, kalian bisa menghubungi saya, dan saya yang akan membayar tagihannya." jelas Yoham.
“Kenapa anda yang harus membayar tagihannya, Tuan? Anda bahkan tidak terlibat dengan kecelakaan ini.” Protes Rengganis
Pria bernama Yoham itu menoleh sekilas kepada pria yang sudah masuk kedalam mobil kemudian beralih melihat kepada Rengganis.
“Saya hanya berniat membantu saja. Kalau anda tidak mau, tidak apa-apa.”
Yoham langsung pergi begitu saja meninggalkan Rengganis dan kerumunan untuk kembali ke dalam mobilnya.
Sementara Rengganis meneliti bagian motornya yang nampak sedikit penyok di bagian platnya. Sedangkan bagian depan motornya patah karna menabrak motor si bapak paruh baya.
Tapi untungnya motor bapak itu tidak mengalami kerusakan yang parah. Hanya tergores saja di beberapa bagian.
“Saya minta maaf ya, Pak.” Ujar Rengganis dengan ekspresi merasa bersalah. Dia benar-benar tulus meminta maaf kepada si bapak.
“Tidak apa-apa. Bukan salah kamu. Lagipula rusaknya tidak parah. Kalau begitu saya permisi duluan. Soalnya sudah telat.” Pamit si bapak yang kemudian menghidupkan sepeda motornya dan langsung berlalu meninggalkan Rengganis.
Huffhh.
Rengganis hanya bisa menghela nafas saja. Sebal kepada prilaku pemilik mobil yang menabraknya tanpa mau bertanggung jawab. Tapi ia tetap merasa berterimakasih di dalam hati dengan pria yang telah menawarkan bantuan padanya.
Rengganis terus memperhatikan kartu nama milik Yoham sampai deringan ponselnya membuatnya mengalihkan perhatian.
*****
“Anda yakin tidak apa-apa, Tuan?” Tanya Yoham kepada Nawa. Ia khawatir karna wajah tuannnya itu semakin nampak pucat.
Arnawama Samudera hanya melirik Yoham lewat kaca spion. Pria berusia 31 tahun itu masih merintih menahan sakit di bagian perutnya sehingga enggan menanggapi cuitan asistennnya.
“Saya akan membawa anda ke rumah sakit.” Paksa Yoham.
“Kau sudah gila apa bagaimana? Baji ngan-baji ngan itu pasti akan menemukanku disana. Aku harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Kau diam saja dan cepat antar aku ke kantor.” Tegas Nawa.
“Baik, Tuan.” Akhirnya Yoham mengalah. Walaupun ia sangat khawatir dengan keadaan Nawa tapi ia tidak punya pilihan lain selain memenuhi perintah tuannya itu.
Di balik kemeja putihnya, darah segar masih tetap mengalir sampai merembes dan menodai kemeja Nawa. Ia segera menutup bagian itu dengan jasnya agar tidak menimbulkan perhatian.
Sesampainya di kantor, Nawa berusaha sekuat tenaga untuk berjalan seperti biasanya. Padahal ia sedang merasakan sakit luar biasa di perutnya. Ia bahkan harus berjalan lebih pelan agar lukanya tidak semakin berdarah.
“Oh, kau sudah datang?” Tanya Barra yang merupakan saudara tiri dari Nawa. Pria itu datang dari arah samping Nawa bersama dengan sekretarisnya.
Pria dengan gelagat persis seperti preman itu tersenyum sinis sambil memperhatikan kondisi Nawa dengan seksama. Terutama di bagian perut.
Nawa tidak peduli. Dia berniat untuk mengabaikan Barra dan kembali melanjutkan langkahnya. Tapi Barra menarik lengannya dengan kuat untuk menghentikannya. Perlakuan Barra itu sempat membuat Nawa menggeretakkan giginya akibat lukanya yang terasa lebih sakit.
“Kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat.” Selidik Barra.
Nawa yang kini berbalik menatap Barra hanya menghela nafas saja. “Apa pekerjaanmu baik-baik saja? Ku dengar proyek resortmu gagal total. Ku fikir kau sedang tidak punya waktu untuk mengkhawatirkanku sekarang karna posisimu sedang terancam. Dewan direksi tidak akan tinggal diam dengan kerugian yang sudah kau sebabkan. Sebaiknya kau lebih berhati-hati lagi, atau ibumu akan memarahimu.” Balas Nawa sambil tersenyum sinis.
Kemudian Nawa meninggalkan Barra yang nampak sangat marah dengan ucapannya. Di ikuti oleh Yoham yang berjalan di belakangnya. Ia masih bisa mendengar Barra yang berteriak dan mengumpatinya dengan kata-kata kasar. Hal itu hanya membuat Nawa semakin mengembangkan senyumannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!