Janur kuning melengkung sebagai pertanda adanya pernikahan, tak jauh terdapat tenda berwana biru yang kini terdengar suara seorang mempelai lelaki mengucap kabul.
"Saya Terima nikah dan kawinnya, Wulan Septiya binti Tresno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimna para sanksi sah?" tanya penghulu.
"Sah!" ucap serempak yang membuat semua orang mengucap hamdalah.
Berbeda dengan keluarga serta tamu undangan, kedua mempelai yang duduk berdampingan justru menghela nafas berat.
Pernikahan keduanya memang dilakukan akibat perjodohan, Wulan yang baru seminggu selesai ujian nasional tingkat menengah atas diharuskan menikah dengan Dewa, teman sekelasnya.
"Mantanmu dateng tuh!" bisik Dewa sedangkan Wulan seketika terpaku dengan kedatangannya.
"Selamat untuk kalian, semoga jadi keluarga yang sakinah mawadah warohmah."
"Mas Apit aku minta maaf."
Dengan mata berkaca Wulan mencoba meraih tangan mantan kekasihnya yang bahkan belum diputuskan itu namun lelaki itu mundur sebelum tersenyum dan pergi.
"Astaga, nangis Lan?" cemooh suami Wulan.
"Orang engga punya perasaan kayak kamu engga akan ngerti."
"Yasudahlah, toh itu artinya dia bukan jodoh kamu."
Wulan menatap tajam Dewa. "Tapi aku engga mau punya jodoh kayak kamu."
"Dikira aku suka? Dih aku juga maunya punya istri yang bahenol bukan kayak kamu."
Wulan mendelik tajam sebelum menginjak kaki Dewa yang membuat lelaki berusia delapan belas tahun itu mengaduh.
"Baru sah udah KDRT? Ini masih banyak orang loh Lan, ganas banget."
Sementara Dewa mendumel, gadis yang memakai kebaya putih lengkap dengan adatnya menerawang sebelum dirinya berakhir menikah dengan Dewa.
Flasback on.
Mulut berkomat-komit menghafal beberapa patah kata dari buku, tak jauh terlihat lelaki paruh baya yang tengah duduk dikursi bambu sembari merokok menggeleng melihat anaknya.
"Wulan udah engga usah terlalu keras belajar, perempuan engga perlu pinter-pinter, nanti juga ketemunya dapur, sumur sama kasur."
Omongan merendahkan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi perempuan, apalagi hidup Wulan di desa yang masih kental dengan kebudayaan. Bukan menjadi hal tabu anak menegah pertama sudah menjadi ibu.
"Bapakmu bener Lan, udah kamu pasti lulus juga. Kalau engga lulus engga ada bedanya kan, kamu tetep nikah sama Dewa." Wanita bertubuh gempal menghampiri sang suami dengan secangkir kopi.
"Kamu itu sebentar lagi menikah, ketimbang baca buku engga guna itu mending ibu ajarin masak. Biar suamimu betah."
Perasaan Wulan sudah tidak mengenakkan, dia membanting bukunya lalu menghampiri kedua orang tuanya.
"Pak! Bu! Mau aku jelasin bagaimana kalau aku engga mau nikah sama Dewa, aku mau kuliah."
Ibu menggeleng. "Kuliah uang darimana Lan? Kamu tahu sendiri makan saja Bapakmu harus seharian diladang. Uang kuliah kan engga semurah beli kerupuk."
"Terus karena Bapak kesulitan kasih aku makan lantas aku dilempar? Kayak gini sama aja kalian buang aku. Wulan ini anak kalian bukan?" nada Wulan melemah di akhir sebelum setetes air turun. "Wulan kuliah engga akan minta ke Bapak, Wulan bakal berjuang untuk masa depan."
"Wulan! Jangan keras kepala! Semuanya sudah dibahas, kalau pernikahan batal mau ditaruh dimana muka bapakmu."
Flashback off.
Malam telah tiba dan di kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu Wulan terdampar, kini ia hanya mengenakkan baju tidur dan siap mengarungi mimpi namun melihat dekorasi, perasaan gadis itu menjadi campur aduk.
"Kamu mau ngapain?!"
Melihat kedatangan suaminya Wulan seketika berdiri, menunjukkan wajah sangar yang membuat Dewa tertawa.
"Eh santai aja, kayak mau aku bunuh aja."
Wulan mendekat, mengacungkan jari telunjuknya. "Meski kita udah sah bukan berarti kamu bisa seenaknya ya sentuh aku."
Dewa ikut mengacungkan jari sebelum memundurkan kening Wulan. "Ini otak kotor banget, pasti udah mikirin yang aneh-aneh."
"Dewa!" kesal Wulan.
"Apa?"
Membuang muka, Wulan melirik ke ************ suaminya sebentar sebelum berdecak.
"Paling juga kamu engga mau begituan karena malu punyanya kecil."
Wajah kaget tak terlewatkan dari Dewa. "Eh ngomong apa?"
Wulan menatap Dewa. "Punyamu kecil."
"Sebenernya aku engga berniat untuk menyentuh kamu tapi kamu udah menyakiti perasaan aku. Enak aja ngatain punya aku kecil."
Dewa menggengam lengan Wulan yang membuat gadis berambut sebahu itu melotot, belum lagi kala suaminya kian mendekatkan tubuh mereka hingga bersentuh.
"Dewa! ***** ya!" histeris Wulan merasakan ada yang tegang, berusaha melepaskan diri namun dicegah.
"Ini salah kamu ngatain aku."
"Apaan si! Lepas!" Sekuat tenaga berusaha lepas.
"Salah sendiri mancing, aku lelaki normal ya Lan."
"Bapak! Ibu tolong!" teriak Wulan yang kini membuat Dewa seketika melepas lalu menutup mulut istrinya.
"Gila ya?! Kamu engga malu?"
Mendorong Dewa hingga beberapa langkah. "Makanya jangan macem-macem kalau engga mau aku teriak."
Setelah mengatakan itu Wulan segera menuju ranjang dan merebahkan diri namun tak lama menatap Dewa yang masih berdiri di tempat.
"Jangan lihatin aku terus! Tidur sana!"
Dewa mendekat ranjang, menempatkan diri di sebelah Wulan yang membuat gadis itu mengambil bantal hendak memukul namun ditahan lelaki itu.
"Engga usah lebay, aku juga mau tidur. Disini cuma ada satu ranjang. Dan jangan berharap aku tidur di lantai. Kalau kamu engga mau tidur seranjang silakan saja mau tidur dimanapun."
Wulan turun, bukan menjadi peran wanita yang tersakiti dalam novel lalu tidur di lantai namun dia keluar kamar.
Saat hendak menarik pintu keanehan terjadi karena tidak satu senti kayu itu bergerak.
"Cobaan apa lagi ini Tuhan."
Dewa yang melihat itu tertawa. "Bukan cobaan tapi emang harus cobain, sini sayang abang belai!"
Wulan meremang mendengar Dewa, rasanya ia ingin menghilang dengan bantuan Doraemon.
Mentari menarik paksa Wulan untuk bangun, sebelum turun melirik bagian kosong yang semalam dihuni Dewa.
"Kemana suami jadi-jadian itu," gumamnya.
"Wah pengantin baru udah bangun, capek banget ya semalam sampai kesiangan."
Tidak aneh lagi para tetangga memenuhi ruang tamu sembari tangan mereka memasukkan makanan untuk dibagi, semacam tradisi pengantin baru.
"Gimana rasanya Lan?" tanya yang lain dengan senyum meledek. "Enak ya Lan, awas nanti ketagihan."
Seluruh orang tertawa berbeda dengan Wulan yang teramat malu lalu dengan cepat ke belakang dan memasuki bilik kamar mandi.
"Malam pertama apaan, jijik banget kalau sampai begituan sama Dewa."
Keduanya memang teman sepermainan, rumah mereka masih satu desa meski jarak tidak terlalu dekat, dikarenakan kebersamaan itu dan dari taman kanak-kanak hingga menengah satu kelas membuat Wulan merasa aneh harus menikahi sosok yang setiap hari memenuhi hari bukan hati, bagi Wulan Dewa itu anak kecil yang suka mengganggunya saat bermain masak-masakan.
"Wulan!"
Panggilan itu membuat tubuh Wulan menoleh, lalu menaikan alis sedetik sebelum kembali mencetak nasi untuk dibagikan.
"Lan aku mau bicara, ke kamar sebentar."
Para tetangga saling menyenggol, disuguhi percakapan pengantin baru rasanya begitu menyenangkan.
_______
Bagaimana dengan part ini?
"Lan aku mau bicara, ke kamar sebentar."
Para tetangga saling menyenggol, disuguhi percakapan pengantin baru rasanya begitu menyenangkan.
"Iya."
Keduanya saling berpandangan setibanya diruangan, tiga puluh detik kemudian Wulan memalingkan tatapan memilih duduk di ranjang.
"Mau bicara apa?"
"Kita tinggal di rumahku ya sebelum ke kota."
Bukan penawaran namun ucapan Dewa sebuah keputusan sepihak yang membuat Wulan kesal.
"Engga! Kita udah sepakat bakal tinggal disini sebelum kuliah kamu dimulai."
Dewa ikut duduk di sebelah gadis berkulit sawo matang itu. "Ayolah aku merasa canggung, sebagai suami kamu dan engga kerja lalu hidup sama mertua rasanya aku malu."
"Salah siapa nikah buru-buru."
"Kamu kenapa ketus sekali? Memang kamu pikir aku senang menikah muda? Aku juga dipaksa kayak kamu Lan," Menjeda. "Aku engga mau denger apapun, intinya kita tinggal di rumah orang tuaku."
Menatap tajam. "Engga! Aku mau disini."
"Jangan keras kepala, kamu itu sekarang istriku dan kewajibanmu menuruti apapun perintahku."
"Kamu egois Wa."
"Lalu kamu apa? Lan coba sekali saja memikirkan perasaan aku? Harga diriku ditaruh dimana?"
"Itu urusanmu! Lagian ayahmu itu kan kaya. Dia punya peternakan ikan dan banyak usaha, kamu bantu dia saja kalau malu engga kerja."
"Kamu engga paham apa yang aku bicarakan?"
Berdecak kesal. "Kamu sendiri memang memikirkan perasaanku Wa?"
Wulan menggeleng sembari matanya berkaca. "Aku mau kuliah dipaksa nikah sama kamu, aku juga harus merelakan cita-citaku dan harus mengurusimu. Aku itu dijual orang tua ku sendiri untuk menjadi pengasuhmu"
"Aku bodoh, kenapa aku bercerita padamu. Orang kaya seperti kamu engga akan paham bagimana perasaanku karena kalian sudah biasa seenaknya."
Mendengar tangisan istrinya, Dewa terdiam dan menunduk. Mencoba bersabar menghadapi Wulan.
"Baiklah aku menuruti maumu Lan, maaf."
Setelah mengatakan itu lelaki beristri itu meninggal Wulan seorang diri.
Flashback on.
Sofa berwana navy yang diduduki sepasang suami-istri serta anak lelaki yang mengenakan seragam sekolah menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah yang akan membolak-balikan hidup seorang Dewa Angkasa.
"Mama mohon Wa, kamu nikah ya sama Wulan."
"Kalau mau Wulan jadi menantu kalian setelah aku lulus dan bekerja pasti bakal bisa juga, kenapa harus buru-buru?"
"Wa, kamu tahu kakakmu yang memilih tinggal dikota bersama istrinya ketimbang membantu Bapak? Kami tidak ingin kamu berakhir sepertinya." Juragan kampung angkat suara. Basuki namanya.
"Wa kamu harapan kami, tolong penuhi permintaan ini."
Mengepalkan tangan. "Aku tahu mas Rangga mengecewakan tapi tolong percaya sama Dewa."
"Mama engga mau ambil resiko, kalau kamu menikahi Wulan dia juga akan mengurusmu selama di kota. Ibu akan tenang karena dia gadis yang baik dan rajin."
"Ma! Pak! Sadar kalian menghancurkan masa depan Wulan? Dia juga punya cita-cita."
"Bapaknya setuju, lagipula mereka punya hutang dengan kita jadi tidak mungkin menolak. Toh menikahimu banyak membawa manfaat untuk mereka."
"Bapakmu bener, lagipula Wulan juga tidak mungkin kuliah. Mereka engga mampu, nikahi dia ya nak."
Flashback off.
Hari pertama untuk pengantin baru telah usai, berkeliling desa mengunjungi kerabat Dewa sebagai ajang perkenalan membuat keduanya lelah dan berakhir di atas ranjang bersama dengan Wulan yang memunggungi.
"Lan aku engga nyangka kita jadi suami istri, padahal aku ingat banget dulu sering meledeki nama bapakmu. Dan ternyata sekarang jadi mertuaku."
Dewa tertawa kecil mengingat itu, dimana ia dikejar oleh gadis itu dengan amarah sembari membawa sapu.
Wulan berbalik arah, menatap Dewa menilai. "Kamu dulu menyebalkan sekali, aku sungguh merasa nasib buruk bisa berjodoh dengan cowok tengil yang waktu TK pipis dicelana."
Mengingat itu Dewa melongo. "Namanya juga anak-anak Lan, lagian sekarang mana ada aku ngompol."
"Tetap saja, diotak kalau inget kamu ya yang buruk-buruk."
"Yasudah aku nanti ngompol di apem kamu aja ya."
Giliran Wulan yang melongo beberapa detik sebelum kembali berbalik badan. "Mesum!"
Tawa tak henti keluar, entah dulu atau sekarang menggoda Wulan sangat menghiburnya.
"Ayo sayang bikin anak."
Dewa menggeser badannya kian mendekat lalu memeluk pinggang Wulan erat membuat gadis itu mencoba melepaskan diri.
"Ihh lepas Dewa! Minggir."
Semakin dekat bahkan kini hidung mancung lelaki itu menggesek leher Wulan gemas, bahkan terlalu menikmati sampai tanpa sadar menciumnya.
"Astaga!"
Kaget Dewa terlalu intim lalu berdiri membuat Wulan menatap tajam sebelum menutupi diri dengan selimut.
"Jangan dekat-dekat!"
"Lan aku takut khilaf kalau keseringan sama kamu, tapi masa aku engga boleh sentuh kamu?"
"Enyahlah! Lagian mana bisa kamu nafsu sama temen sendiri."
"Sekarang kamu kan istriku."
"Tetep aja Dewa, bagi aku kamu itu temenku engga lebih."
Mendengar itu hati Dewa bergemuruh. "Jaga omongamu."
"Kenapa? Kamu engga waras san*e sama temen sendiri."
Dewa mendekat sebelum menarik selimut Wulan yang membuat gadis itu melotot dan beringsut mundur.
"Wa kamu mau apa?"
"Aku ini suamimu bukan temenmu."
Perasaan Wulan sudah tak karuan, dia merasa takut dengan tatapan gelap suaminya.
"Wa jangan begini, aku takut."
"Aku lelaki dewasa Lan, wajar kalau aku tergoda sama kamu apalagi ini hak aku."
"Kamu jangan egois Wa, aku engga mau melakukan itu sama kamu."
"Terus kamu mau melakukan sama siapa? Mantan terindah kamu?"
Wulan merasa tersinggung. "Apaan, kamu jangan keterlaluan."
"Benerkan? Kamu saja menangisi dia kemarin? Apa kalian pernah melakukan *** makanya kamu sesedih itu."
"Dewa!"
"Aku mau kamu malam ini!"
Dewa mengurung tubuh Wulan, sekuat tenaga melepaskan diri namun kedua tangan gadis itu disatukan dan ditarik ke atas oleh Dewa sementara lelaki itu mencium leher Wulan penuh nafsu.
______
Adegannya dipotong dulu ya😊
Sampai bertemu di part selanjutnya.
Salam.
"Aku mau kamu malam ini!"
Dewa mengurung tubuh Wulan, sekuat tenaga melepaskan diri namun kedua tangan gadis itu disatukan dan ditarik ke atas oleh Dewa sementara lelaki itu mencium leher Wulan penuh nafsu.
"Dewa berhenti atau aku teriak!"
Nafsu telah menguasai lelaki itu tanpa memperdulikan ia beralih melucuti baju Wulan dari atas.
"Dewa!" teriakan itu keluar jua namun tidak menghentikan lelaki itu untuk menikmati tubuh istrinya.
"Teriak saja dan lihat apa akan ada yang menolong?" Tertawa. "Wulan kita itu pengantin baru, wajar jika kamu berteriak karena kesakitan."
Wulan meneteskan air matanya. "Aku mohon Wa, aku engga sanggup."
Tangisan gadis itu menghentikan Dewa, dia merasa kasihan lalu membenahi tubuh Wulan meski tetap berada di atas gadis itu.
"Maaf, aku keterlaluan."
"Kamu jahat Wa, kamu menyakitiku."
"Maaf aku menyesal. Iya lain kali aku meminta izin ya?"
Menyelimuti Wulan lalu beranjak tidur saling memunggungi yang Dewa lakukan, dia teramat sedih namun membuat istrinya menangis jauh lebih menyakitkan baginya.
Hari kedua pernikahan Wulan bangun namun tidak menemukan suaminya, meski ia marah namun hati tidak bisa membohongi bila mengkhawatirkan lelaki itu.
Bau tumisan bawang terasa menggelitik perut, ia tidak sabar untuk menyantap sarapan yang dibuat.
"Lan nanti susulin suamimu, dia pasti belum sarapan." Kata Ibu yang tengah mencuci piring.
Menimbang beberapa kali, Wulan yang istrinya saja tidak tahu keberadaannya, hendak bertanya namun malu.
"Lan denger tidak?"
"Iya Bu nanti aku susul Dewa."
Ibu berdecak. "Mas Dewa, kamu ini engga ada sopannya sama suami, jangan-jangan kamu juga begini kalau didepan mertua?"
"Aku butuh waktu Bu, udah biasa menyebut begitu."
"Waktu apanya Lan? Ini tentang sopan santun. Perempuan itu harus berturut manis, jangan bikin Ibu malu, dikira engga bener didik kamu nanti."
"Maaf Bu."
"Yasudah cepet selesaikan masakanmu terus susul Dewa ke kolam juragan."
"Iya Bu."
Sesuai perintah Ibunya kini Wulan dan Dewa duduk lesehan di gubug sembari menyantap makanan.
"Mas pergi dari kapan?"
Sesuap nasi yang ada di tangan Dewa jatuh, dia cengo dan menatap Wulan bingung.
"Kamu bilang apa?"
Berdecak. "Pergi kesini jam berapa?"
Menggeleng. "Itu, aku tadi denger kamu manggil Mas, apa salah denger?"
Mengerucutkan bibir. "Udahlah ini karena Ibu. Katanya perempuan harus sopan sama suami."
Dewa tertawa lucu melihat ekpresi istri manisnya. "Ibumu memang mertua yang baik."
Memutar mata malas. "Cepat habiskan."
"Siap istriku."
Wulan tersedak mendengar itu yang membuat Dewa menggeleng geli sembari membantunya meminum air.
"Pelan-pelan istri."
"Dewa!" kesalnya.
"Loh bukan mas Dewa lagi?"
"Jangan ledek aku."
"Kenapa? Aku suka, kan dari dulu juga udah biasa."
"Aku malu, apa kamu engga merasa canggung?"
Karena gemas Dewa mencubit pipi Wulan. "Uluh ternyata istriku bisa merasa malu ya."
Jemari lentik Wulan menegur tangan Dewa karena membuat pipinya kotor.
"Jorok banget, sekarang pipi aku berminyak."
"Ihh bagus itu, glowing Lan." Tawa Dewa.
"Glowing matamu!"
"Maaf ya."
Wulan hanya berdehem untuk menanggapi.
"Aku baru ingat, kamu engga belajar Wa buat masuk universitas?"
"Aku sudah pintar."
Wulan melotot. "Sadar! Kamu itu selalu rangking satu dari bawah."
Tawa menggelora. "Aku sekarang tenang karena pasti bakal dibantu istriku yang selalu juara paralel."
"Ihh engga ya! Ndak sudi!"
"Yah kok gitu?"
"Kamu harus berusaha sendiri."
"Tapi kalau dibantu sedikit engga masalahkan? Kita suami istri kalau aku susah kamu juga bakal susah Lan. Lagian bantu suami juga dapat pahala, nanti bisa masuk surga tuh."
Wulan menimbang, ia yang sebenarnya iri karena Dewa berkuliah. Berkeinginan untuk membuatnya berakhir sama namun, gadis itu sadar. Mimpinya telah direnggut itu sangat menyakitkan, dan kalau bisa ia tidak ingin seorangpun merasakan yang dia alami.
"Lan?"
Kembali pada kenyataan Wulan mengangguk. "Belajarlah yang benar, engga semua orang beruntung seperti kamu Wa."
Pesan tersirat itu memiliki arti dalam dan Dewa sadari perasaan sedih istrinya, belajar di tempat yang sama membuat Dewa tahu banyak akan impian Wulan.
Matahari terus naik hingga membuat bayangan tegak, ditengah panasnya mentari Dewa mendekati Basuki yang tengah memeriksa beberapa dokumen.
"Ah Dewa, aku kira siapa." Katanya setelah melirik.
"Pak apa Wulan bisa kuliah bareng Dewa?"
Pena yang dipegang jatuh begitu saja sebelum menatap anak keduanya.
Dewa mendesah, memilih duduk di depan Basuki. "Dewa merasa bersalah, kita satu kelas dan tahu betul apa impian Wulan setelah lulus, Dewa rasa udah merenggut masa depannya."
"Masa depan mana yang kamu bicarakan Dewa?"
"Pak aku mohon, aku rasa menyekolahkan Wulan tidak akan mengurangi sebagian harta yang Bapak miliki."
"Dengan kamu menikahi Wulan itu sudah menambah beban, karena kamu belum bekerja jadi semua kebutuhan kalian Bapak yang tanggung."
"Beban yang Bapak maksud juga tidak ingin terjebak dalam hubungan paksa ini. Semua ini ide Bapak dan Mama bukan Wulan yang menginginkan."
"Dewa apa tinggal dirumah Wulan selama dua hari tidak membuka matamu tentang ekonomi mereka? Mana mungkin orang tuanya mampu membayar kuliah."
"Dia pintar, Wulan bisa mendapat beasiswa tapi dia milih mundur."
"Nah itu kamu tahu, tidak ada pemaksaan. Kita menawarkan pernikahan dan disetujui oleh pihak mereka, lalu dimana letaknya sampai bisa kamu sebut Bapak merenggut masa depannya?"
"Karena Bapaknya Wulan yang menyetujui bukan orang yang bersangkutan."
"Bapaknya Wulan itu walinya, dia punya hak. Sudahlah Dewa lebih baik kamu fokus saja dengan pendidikan ketimbang memikirkan hal yang tidak penting."
Emosi Dewa tersulit. "Tapi ini penting karena sekarang Wulan istriku Pak."
"Dewa!" tegasnya. "Sekali bapak menolak berarti tidak! Perempuan itu tidak berkewajiban menempuh pendidikan tinggi, dia harus satu langkah lebih rendah agar tidak menyepelekan laki-laki."
"Tapi kalau perempuan berpendidikan akan mencetak penerus yang berwawasan luas."
"Sekali tidak berarti tidak Dewa! Kamu memohon padaku dan jawabanku mutlak tidak."
"Terbuat dari apa hatimu Pak."
Basuki mengambil nafas sembari beristighfar, bersabar menghadapi anaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!