"Pagi-pagi, bangun tidur aku masih terkantuk-kantuk."
"Tidur lagi, Ra. Ini masih malem."
"Aku pergi ke dapur, membawa gelas dan menyeduh kopi."
" Sejak kapan lu, suka kopi Ra?"
"Aku duduk di kursi, sambil menyimpan roko dan kopi."
"Ra, lu kesambet apaan bilang aku-aku, ha ha. Eh btw lu ngerokok? Gua aduin ke guru loh besok!"
"Pas aku menyesap kopi, sekelebatan berasa mimpi."
"Lu beneran kesambet genderuwo, Ra?"
"Jadi inget ke mantan, jadi inget ke mantan, aduh inget ke mantan."
"Ntar deh, Ra. Lu kan kagak punya mantan."
"Sok tahu, lu. Kemarin gua baru putus."
"Seriusan lu? Kok gue nggak tahu lu punya pacar. Emang lu putus sama siapa?"
"Sama Jungkook, gara-gara rebutan kinderjoy."
"Dasar, gila! Gue udah nunggu balesan chat lu serius. Malah ngebales kayak gitu, nyesel gue nanggepin chat lu."
"Hahaha, gabut gue."
"Tau, ah gue mau tidur masih ngantuk, bye."
Pesan WhatsApp pun berakhir, Naura yang masih ingin mengganggu temannya —Calisa. Terus menyepam chat dengan gambar dirinya dan huruf 'P'.
Tidak ada balasan dari Calisa, mungkin gadis itu sudah kembali terlelap dalam tidurnya, sebab jika melihat jam dan suasana yang masih gelap ini baru pukul dua pagi.
Naura, menghentikan spamnya. Ia yang tidak bisa tidur karena banyak hal yang dipikirkan, membuka aplikasi Instagramnya jari-jari lentiknya mulai meng scroll layar ponselnya yang sudah retak.
Gadis, itu melihat-lihat reels yang menampilkan berbagai macam video menarik. Dari mulai wanita memakai hanfu, review makanan, kata-kata bijak, potongan-potongan drama dan banyak hal lainnya.
Bosan dengan media sosialnya, Naura yang masih belum mengantuk beranjak menuju dapur. Ia mencuci piring-piring kotor bekas dipakai tadi sore, mencuci semua pakaian termasuk milik kakak dan keponakannya.
Naura Aurora, gadis remaja yang masih duduk di bangku sekolah kelas tiga SMA. Dia seorang yatim piatu sejak kecil, kedua orang tuanya meninggal karena sakit berat dan kini ia tinggal bersama keluarga kakaknya bernama Laila yang memiliki anak laki-laki bernama Sandi.
Naura anak bungsu dari empat bersaudara, ketiga kakaknya sudah menikah semua dan tinggal di desa sebelah.
Kebutuhannya sebagai seorang siswi yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional, tentu saja dia memerlukan banyak biaya. Tapi, sayang ketiga kakaknya enggan membiayai Naura dengan alasan mereka banyak kebutuhan untuk keluarganya masing-masing.
Tak hanya itu saja, mereka juga beralasan jika mereka kecewa karena dulu Naura nekat bekerja tanpa memberitahu ketiga kakaknya dan hingga saat ini mereka pun tidak pernah membiayai Naura lagi.
Sebenarnya Naura juga dulu bekerja karena terpaksa, biaya SPP yang sudah lama menunggak dan banyaknya kebutuhan yang harus dibeli membuat Naura memberanikan diri untuk melamar pekerjaan disebuah restoran meskipun, hanya sebagai tukang cuci piring dan gaji yang tidak seberapa, Naura sangat bersyukur sebab dengan uang gajinya ia bisa mencicil uang iuran sekolah.
Namun, pekerjaan itu tak berlangsung lama. Setelah kakak laki-laki Naura yang bernama Fredi memarahinya habis-habisan, Naura pun memutuskan untuk keluar dari restoran tersebut dan fokus bersekolah.
Dia pikir dengan keluarnya dari tempat kerja, akan membuat kakaknya senang akan tetapi, kakak pertamanya itu malah memutuskan untuk tidak mau memberi lagi Naura uang sepeserpun.
Begitu juga dengan Renata dan Laila. Mereka hanya bisa memarahi Naura dan memandangnya remeh.
Sakit hati, sering dirasakan oleh Naura. Ia yang tak dapat melawan ketiga kakaknya hanya bisa menangis sendiri dan terkadang ia melukai dirinya sendiri dengan menyayat lengannya menggunakan silet untuk melampiaskan amarah terhadap keluarganya yang selalu mematahkan sayapnya.
Naura adalah gadis yang pandai menyembunyikan segala permasalahannya, semua orang mengira Naura adalah anak yang periang dan kuat, tapi kenyataannya dia hanyalah gadis kecil yang rapuh dan mudah sekali untuk menangis saat dalam kesendirian.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, Naura baru selesai mencuci dan menjemur. Rasa kantuk yang seolah melupakan Naura, membuat gadis itu kini meraih sapu dan kain pel.
Disaat semua orang tengah merasakan hangatnya kasur dan selimut, Naura yang seakan tidak merasa lelah terus membersihkan semua area rumah sampai mengkilat.
Urusan rumah telah usai, kini gadis itu mulai bertarung dengan peralatan dapur. Ia mengiris bawang-bawangan, tomat dan cabai merah, kemudian mengambil toge, tahu, tempe dan daging ayam mentah.
Semua bahan-bahan mentah itu, akan ia sulap jadi apa prok-prok. (Skip garing haha)
Semua bahan mentah itu, akan diolah Naura menjadi sayur toge tahu kesukaan laila dan ayam goreng serta tempe goreng kesukaan sandi.
Setelah sekian lama berkutat dengan penggorengan dan alat dapur lainnya, akhirnya menu sederhana yang tampak lezat itu sudah siap dihidangkan.
Masak sayur telah usai, kini dia mencuci beras dan memasukkannya ke dalam penanak nasi, sambil menunggu nasi matang gadis itu membersihkan area dapur sampai kinclong kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang lengket dengan keringat.
Pukul. 06.40 pagi.
Naura sudah siap dengan seragamnya, ia bercermin dan tersenyum pada bayangan dirinya yang ada dalam pantulan cermin.
"Semangat, apapun yang terjadi kau harus tetap kuat," ucap Naura menyemangati dirinya sendiri.
Inginnya di semangatin ayang, tapi Naura jomblo jadi di semangatin sama diri sendiri saja.
Semua sudah siap, Naura meraih tas merahnya dan menggendongnya di pundak. Saat melewati ruang makan, Naura buru-buru untuk pergi dan berusaha untuk tidak melihat pada makanan yang tadi subuh ia masak.
Meskipun, perutnya berbunyi karena lapar. Ia tahan dan bergegas untuk pergi sekolah.
"Neng Laila," panggil seorang ibu-ibu — tetangga Naura.
"Iya, Bu." Naura tersenyum dan menghampirinya.
"Ini, untuk jajan di sekolah." Ibu-ibu itu memberikan sepeser uang ke tangan Naura.
"Eh, tidak usah Bu. Aku masih ada kok, uangnya buat ibu aja beli sayur."
"Nggak apa-apa, Neng. Sayuran ibu masih banyak ini buat neng Naura, anggap aja upah karena neng Naura suka bantuin ibu di kebun," ucap rokayah, memaksa.
Karena terus dipaksa, dan Naura pun tidak enak jika terus menolak ia pun mengambil uang tersebut dan mengucap terimakasih pada tetangga tersebut.
Jarak sekolah dan rumah Naura tidak terlalu jauh, sehingga dia selalu berangkat sekolah dengan berjalan kaki seorang diri.
Ting …
Suara notifikasi WhatsApp Naura.
"Ra, jangan bilang lu masih mimpiin Jungkook ya. Ini udah hampir bel, lu masih dimana?" Pesan chat dari Calista.
"Di hatimu, wkwkwk," balas Naura.
"Ah, gue meleyot," balas Calista lagi.
Ketika sedang asik berbalas chat dengan sahabatnya, tanpa sadar Naura sudah sampai di depan gerbang sekolah.
"Woy, calon janda anak tiga. Lu mau sekolah atau fashion show, jalannya lelet amat, bentar lagi gerbang mau gue tutup nih," teriak Farel dari gerbang kedua sekolah — ketua OSIS.
"Apa sih lu calon duda, teriak-teriak. Suara lu itu fales tau nggak bikin rusak kuping," dengus Naura.
"Enak aja, suara gue itu merdu banget tau … kayak penyanyi siapa itu namanya? Eu … oh iya Bambang Pamungkas," celoteh Farel.
Naura berpikir sejenak, untuk mengingat siapa yang disebutkan oleh Farel barusan. "Eh, calon duda. Sejak kapan Bambang Pamungkas jadi penyanyi, bukannya dia chef ya … tampang kamu melas kamu lolos babak kedua," timpal Naura, keduanya pun tertawa bersama seakan mereka lupa jika keduanya adalah musuh.
Beberapa menit telah berlalu, Naura yang ingat jika dirinya membenci Farel langsung menghentikan tawanya dan mengubah ekspresinya menjadi datar.
Begitu juga dengan Farel, yang menghentikan tawanya saat melihat Naura menatapnya dengan tatapan membunuh.
"Apa lu, liat-liat. Lu naksir sama gue, sorry ya tipe gue itu Wonyoung Ive bukan lu," cibir Farel.
Naura mengerutkan dahinya sebal. "Dih, halu Lu, bibir lu tuh monyong," pungkas Naura, ia pun pergi meninggalkan Farel yang sedang bertugas menjaga gerbang keabadian.
.
.
.
Bersambung.
"Sekotak nasi goreng, buat Naura ku sayang." Calista menyodorkan kotak makan berwarna biru laut dengan gambar Doraemon diatasnya, sambil berkata dengan nada seriosa.
"Wih, tau aja kalau gue lagi laper." Nadia tersenyum dan menghirup aroma nasi goreng yang menggoda lidahnya.
"Ya, taulah. Gue gitu loh." Calista seraya menyibakkan rambutnya ke belakang sambil terkekeh.
Naura yang sudah merasakan perutnya kelaparan, tanpa basa basi langsung memakan nasi berwarna coklat itu dengan lahap.
Sejak kemarin Laila yang terus mengomel pada dirinya tanpa alasan yang jelas, membuat Naura segan untuk sekedar makan di rumah dan beruntung, pagi ini Calista membawakannya sarapan, sehingga ia tidak perlu repot lagi minum air keran untuk mengganjal perutnya yang lapar.
"Ra, pelan aja kali makanannya. Nggak bakal ada yang rebut makanan lo juga," tegur Calista yang melihat sahabatnya makan seperti orang yang sedang ketempelan om Wowo.
Naura terkekeh malu. "Sorry, Ca. Gua laper."
Gadis itu meneruskan sarapannya, hingga nasi goreng buatan ibunya Calista ludes tak bersisa.
"Thanks ya, Ca."
"Santai aja kali, Ra. Kalau lo mau, gue bisa bawain sarapan buat lo tiap hari."
Naura menggelengkan kepalanya cepat, seraya menolak tawaran Calista karena takut merepotkan ibunya untuk memasak.
Meskipun, ia tahu jika keluarga Calista baik. Tapi ia tidak boleh terus-menerus merepotkannya, sudah terlalu banyak kebaikan yang diterima oleh Naura. Ia tidak mau jika terus membebani Calista dan keluarganya.
Bell pulang telah berbunyi, semua orang saling berebut untuk meninggalkan sekolah yang terasa membosankan, tapi terasa begitu nyaman bagi gadis yang seakan tidak punya tujuan hidup seperti Naura.
Dengan berada di sekolah, ia bisa mengeluarkan segala ekspresinya. Ia bisa tertawa lepas dan bercanda dengan Calista satu-satunya sahabat yang setia menemani dari kelas satu SMA hingga sekarang mereka duduk di kelas tiga.
"Bye, Ra. Gue duluan ya." Calista melambaikan tangannya pada Naura.
"Iya, hati-hati di jalan, Ca," sahut Naura membalas lambaian tangan gadis yang kerap ia panggil Caca tersebut.
Raut wajahnya yang ceria seketika berubah menjadi masam, ketika kakinya mulai melangkah keluar dari gerbang sekolah.
Hatinya terasa sesak dan nyeri, ketika mengingat semua permasalahan yang ada di rumahnya.
Sikap Laila yang sering berubah dan sulit ditebak, terkadang membuatnya frustasi. Apalagi jika Laila sudah punya masalah dengan orang lain, pasti Naura yang akan jadi sasaran amarahnya.
Sebelum masuk ke dalam rumah, Naura menarik napasnya dalam seakan-akan menyiapkan mental saat berhadapan dengan kakak ketiganya itu.
"Maaf, juragan. Saya belum bisa bayar hutangnya, tapi saya janji akan segera melunasi hutang-hutang saya secepatnya."
Laila sedang berlutut, sembari memegang tangan Jaka — juragan tanah yang lebih dikenal sebagai lintah darat dan memiliki tiga orang istri.
Pria berusia 60 tahun itu berdiri di hadapan Laila, dengan raut wajahnya yang kesal sebab sudah berkali-kali dirinya menagih pada Laila tapi, wanita berusia 36 tahun itu terus saja memberikan janji yang tak kunjung ditepati.
"Halah, saya tidak percaya dengan ucapanmu itu. Pokoknya saya tidak mau tahu, kau harus membayar hutang mu hari ini juga! Kalau tidak, aku akan menyita rumah mu ini!"
"J-jangan, juragan. Kalau rumah ini disita saya mau tinggal dimana?" Laila memasang wajah memelas dihadapan Jaka, yang bahkan tidak simpatik sama sekali pada dirinya.
"Saya tidak peduli! Mau tinggal di kolong jembatan, di tempat sampah ke … intinya saya hanya ingin uang saya kembali, titik!"
Naura hanya diam mematung, saat melihat kakaknya yang sedang dimarahi oleh juragan Jaka. Ia tidak mau ikut campur pada urusan kakaknya, sebab terakhir kali ia ikut campur sebuah piring terbang nyaris melukai wajah cantiknya, untung saja Naura langsung menghindar jika tidak wajahnya mungkin sudah cacat. Dan sejak saat itu ia kapok dan tidak ingin tahu apapun lagi mengenai masalah kakaknya.
Gadis itu duduk di depan teras rumah, menunggu tamu kakaknya pulang.
"Baiklah, saya akan memberi tempo satu Minggu. Jika kau belum sanggup membayar, kau harus pergi dari sini."
Laila bangkit dan berdiri, mengusap air mata buayanya dan mengikuti langkah Jaka yang berjalan ke luar.
Pria tua itu menghentikan langkahnya, ketika melihat seorang gadis dengan rambut hitam panjang terurainya yang masih mengenakan seragam SMA sedang menunduk sambil tersenyum tipis kearahnya.
Jaka memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah, seraya mengusap dagu dengan jari-jarinya yang hampir berkerut.
Sebuah seringai pun muncul dari sudut bibirnya, ia menoleh pada Laila dan mengajaknya ke dalam untuk bernegosiasi.
"Dia adikmu?"
"Iya, juragan."
"Cantik, juga … kau mau semua hutangmu saya anggap lunas?"
Laila mengerutkan dahinya, dan mengangguk cepat. "Mau, juragan."
"Kirim dia ke rumah saya, dengan cara itu hutangmu akan lunas."
"Tap—,"
"Itupun jika kau ingin rumah ini selamat, kau harus ingat Laila hutangmu besar pada saya … saya tidak yakin jika kau bisa membayar semua hutang dalam waktu satu Minggu."
Laila tampak berpikir, yang dikatakan oleh Jaka memang ada benarnya juga. Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu satu Minggu, suaminya hanya pekerja bangunan di luar kota, tidak mungkin juga bisa memberinya uang banyak.
Setelah berpikir beberapa saat, Laila menyetujuinya dan mengatakan akan mengantar Naura besok siang ke rumahnya.
🌸🌸🌸
"Apa! Kakak tega menjualku pada juragan Jaka demi melunasi semua hutang kakak," pekik Naura yang terkejut dengan ucapan kakaknya yang meminta Naura mengemasi barang-barangnya ke dalam tas dan pergi ke rumah Jaka.
"Naura, aku sudah mengurusmu sejak kecil … sekarang sudah waktunya kau membalas kebaikanku, apa susahnya bekerja di rumah juragan Jaka sebagai pembantu toh kamu juga nanti akan mendapatkan upah," timpal Laila dengan rahang yang mengeras.
"Naura nggak mau, Kak. Naura takut."
Laila mengusap wajahnya kasar. "Oke, kalau kamu nggak mau … sekarang juga kamu bayar semua biaya yang sudah aku berikan padamu dari kamu lahir sampai sekarang."
Naura membisu, jujur saja jangankan untuk membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh laila, bahkan untuk membeli pulpen saja ia tidak punya.
"Kenapa diam! Nggak punya duit? Iya … mangkanya nurut. Oh atau jangan-jangan kamu lebih senang kalau kita semua tinggal di kolong jembatan begitu?" teriak Laila, suaranya yang menggelegar seakan menghancurkan gendang telinga si pendengar.
Naura menggeleng cepat, sebagai jawaban dari tuduhan kakaknya.
"Ya sudah, cepat bereskan barang-barang kamu. Hari ini aku akan mengantarkanmu ke rumah juragan Jaka." Laila meninggalkan kamar adiknya dan menutup pintu cukup kencang membuat gadis yang sedang duduk di lantai itu terhenyak.
Bulir bening berlomba-lomba turun dari sudut mata Naura yang bulat. Ia tidak menyangka kakaknya akan melakukan hal ini padanya, demi melunasi hutang yang tak ia tahu. Laila sampai menjualnya.
Meskipun, Laila mengatakan jika dirinya hanya akan bekerja menjadi seorang art, tapi ia merasa takut jika Jaka sedang merencanakan sesuatu terhadapnya. Terlebih lagi ia tahu, jika Jaka merupakan tua Bangka yang genit dan suka menggoda gadis-gadis muda yang dia temui walaupun, sudah memiliki tiga orang istri.
.
.
.
Bersambung.
Seorang kakak, yang seharusnya jadi pelindung dan pengganti orang tua bagi adiknya. Malah menjadi orang yang paling tega, mematahkan hati sang adik.
Kakak yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk mengadu segala keluh kesah, malah terasa seperti orang asing yang membuatnya segan untuk membicarakan segala hal yang telah di lewatinya.
Di depan sebuah rumah mewah. Naura berdiri tanpa ekspresi, ia masih merasa tidak percaya jika Laila benar-benar mengantarnya ke rumah juragan Jaka dan menyuruhnya untuk bekerja disana.
Sementara Laila, merasa tidak sabar setelah beberapa kali menekan bell pintu yang tak kunjung ada orang membukanya.
Setelah sekian lama menunggu, pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran kuno itu pun terbuka, seorang wanita berusia 40 tahun dengan hiasan emas yang menjuntai panjang, besar di leher dan tangan menatap Laila dan Naura dengan raut wajah tidak suka.
Buset, itu kalung apa jangkar kapal gede amat. Jerit batin Naura.
"Cari siapa?" ketusnya sembari mendelik.
"S-saya mau ketemu, juragan Jaka. Bu," jawab Laila terbata, mungkin karena sambutan si pemilik rumah yang tidak ramah membuat si pemilik suara petir jadi gugup.
"Tunggu!" ujarnya yang kembali masuk ke dalam, dan tak berselang lama. Wanita itu kembali lalu, menyuruh Naura dan Laila masuk.
Kedua kakak beradik itu berdiri sambil menunduk di hadapan juragan Jaka, yang sedang menikmati pijatan dari kedua istrinya dengan perhiasan yang tak jauh beda dari wanita yang tadi membuka pintu untuk mereka. Sementara istri yang satunya lagi kini duduk sembari menatap Naura dengan tajam.
"Akhirnya, kalian datang juga," kata Jaka dengan senyum menakutkan di wajahnya. Ia memindai penampilan Naura yang hari ini terlihat begitu cantik, dan pandangannya pun jatuh pada dada Naura yang memiliki ukuran yang berbeda dengan gadis seusianya.
Dadanya yang besar, dan padat itu menonjol dibalik kaosnya yang oversize. Seakan tengah menggoda Jaka. Pria tua itu mengusap dagunya sambil menelan ludah susah payah, membayangkan jika wajahnya menyelesup kebelahan dada tersebut.
Naura yang sadar dirinya sedang diperhatikan. Langsung bersembunyi dibalik badan Laila yang gemuk, tapi itu hanya berlangsung sebentar karena Laila menarik Naura ke sampingnya lagi.
"Maaf, juragan," lirih Laila yang merasa Naura telah menyinggung pria kaya yang ada di hadapannya.
"Tidak apa-apa, namanya juga anak-anak," tutur Jaka sembari terkekeh. "Kenalkan, ini adalah ketiga istriku. Ini Aminah, istri pertama. Munaroh istri kedua dan ini Masitoh istri ketigaku." Jaka mengenalkan satu persatu istrinya pada Laila dan juga Naura.
Laila tersenyum ramah pada ketiga wanita yang bermuka masam itu. Sedangkan Naura tak hentinya bergumam mengomentari perhiasan yang dikenakan oleh ketiga istri Jaka yang lebih mirip rantai kereta dibanding perhiasan.
Apa nggak berat ya, tiap hari bawa-bawa rantai di leher? Pantas saja kemarin kereta mogok ternyata, rantainya ada di sini hihi.
"Oh ya, Laila. Kau boleh pergi, mulai saat ini hutangmu aku anggap lunas. Dan kau Masitoh tunjukan kamar untuk Naura, mulai hari ini dia akan bekerja dan tinggal disini," tutur Jaka memberi perintah.
Laila pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih pada Jaka karena telah membuat hutangnya lunas.
"Ingat, jangan berbuat macam-macam. Bekerjalah dengan baik." Laila memperingati adiknya dengan sorot mata yang mengancam.
"Tapi kak, aku takut … aku mau ikut pulang," rengek Naura. Gadis itu menggenggam tangan Laila erat.
"Kau tidak usah takut, juragan Jaka akan menjamin hidupmu disini. Lepaskan aku, aku harus pulang sandi pasti sudah menungguku di rumah," bisik Laila yang menepis tangan sang adik.
"Kak, tunggu aku! Kak Laila." Naura berusaha mengejar. Akan tetapi anak buah Jaka bergerak cepat dan menghalau Naura untuk mengejar kakaknya yang sudah menghilang di balik pagar besar.
Bulir bening pun, kini mulai membasahi kedua pipinya. Ia benar-benar merasa takut saat ini, berada di tempat yang membuatnya tidak nyaman seorang diri ,bersama orang-orang asing yang tidak menyukainya tanpa alasan.
Kecuali, Jaka yang sejak awal terus menatapnya dengan tatapan menjijikan.
"Berhenti menangis, dan ikut denganku," dengus Masitoh judes.
Naura mengusap air matanya, dan mengikuti istri ketiga Jaka dari belakang. Wanita berambut pirang itu, membawa Naura kesalah satu kamar yang ada di dekat dapur.
Kamar berukuran kecil, dengan kasur kecil yang hanya muat untuk satu orang serta sebuah meja dan lemari pakaian berukuran sedang.
"Kamu bisa istirahat disini, dan bekerja besok … ini daftar kerja yang harus kamu kerjakan besok pagi." Munaroh melemparkan buku kecil ke dada Naura, membuat gadis itu gelagapan menangkap buku tersebut.
"Jangan lupa, kalau tidur kunci pintunya dengan benar. Kau paham!" sambung Munaroh kemudian pergi meninggalkan Naura.
Naura pun masuk ke dalam kamar, dan mengunci pintu sesuai yang dikatakan oleh istri ketiga Jaka.
Gadis itu meletakkan ranselnya, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang dirasa cukup nyaman untuknya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, menarik napas dalam dan memikirkan apa yang mesti ia lakukan agar bisa keluar dari rumah juragan Jaka.
🌸🌸🌸
Pukul tiga pagi.
Saat semua penghuni rumah sedang menikmati tidurnya yang pulas, tiba-tiba mereka terperanjat setelah dikejutkan dengan suara box musik yang dinyalakan oleh Naura.
Gadis itu menyalakan box musik dengan full volume dan memutar musik rock yang sangat tidak ramah ke telinga.
Jaka bersama tiga istrinya keluar dari kamar yang berbeda secara bersamaan, sembari menutup kedua telinganya. Mereka berjalan ke arah sumber suara dan melihat Naura sedang berjingkrak-jingkrak sambil memainkan sapu seperti gitar.
Jaka memanggil Naura berulang kali, tapi suara musik yang menggelegar itu membuat Naura tuli dan mengabaikan teriakan Jaka.
Hingga pada akhirnya, salah satu anak buah Jaka mematikan box musik tersebut. Naura menghentikan kegiatannya, dan menoleh ke arah orang-orang yang sedang menatapnya dengan tatapan marah.
Gadis itu hanya tersenyum dan menjatuhkan sapunya ke lantai. "Apa aku menganggu kalian?" tanya Naura tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Aminah tersenyum kecut ke arah Naura. "Kau sedang bertanya atau meledek kami? Tentu saja kau sangat menganggu waktu istirahat kami."
"Apa kau tidak tahu, jam berapa sekarang hah!" timpal Munaroh geram.
"Tahu kok, Bu. Ini pukul 3 pagi," jawab Naura santai.
"Diam! Apa kau tidak punya otak hah! Memutar musik di pagi buta seperti ini dengan volume yang keras!" teriak Masitoh kesal.
"Punya kok, Bu. Ini otak saya ada didalam kepala," sela Naura yang menunjuknya dengan jari telunjuk.
Ketiga wanita itu mengeraskan rahangnya, mereka sangat gemas pada Naura yang terus menyahut ketika dimarahi.
Karena Jaka yang masih mengantuk, dia pun mengangkat tangannya agar ketiga istrinya berhenti untuk bicara. Ia melangkahkan kakinya, dan mendekati Naura untuk bertanya.
Naura mundur beberapa langkah, ketika Jaka menghampirinya.
"Naura," suara berat itu membuat Naura mengepalkan kedua tangannya.
"Kenapa kau memutar musik, di pagi buta seperti ini?" tanya Jaka lembut.
"Saya terbiasa bekerja, dengan musik yang keras juragan," jawab Naura dengan bibir yang bergetar.
Jaka menganggukan kepalanya perlahan. "Kau boleh memutar musik sesukamu, dan aku tidak akan melarang. Tapi kau harus ingat di rumah ini bukan cuman ada kamu saja, jadi kamu harus menghargai orang lain. Kau mengerti," ujar Jaka memberi pengertian pada gadis yang sedang menunduk itu.
"Mengerti, juragan."
Jaka pun membubarkan istri-istrinya untuk kembali melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu oleh ulah Naura.
Sementara gadis berambut panjang itu pun mengulas senyum di bibirnya, karena telah berhasil menjalankan rencananya.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!