NovelToon NovelToon

Teror Sekolah Baru

Pindah ke Rumah Kakek

"Perasaan gue dari mama bilang pindah ke rumah kakek tuh udah gak enak," ucap gadis berambut coklat gelap yang dijepit jedai.

Di depannya berdiri laki-laki sebaya sedang memilah berkas-berkas yang berhubungan dengan perpindahan sekolah mereka dari dalam nakas.

"Gak enak gimana?" pancing lelaki tersebut.

Jefri Fuadi. Tingginya 178 centimeter, berat badan 55 kilogram, suka warna abu-abu, kulit kuning langsat, sangat menyukai kebersihan, yang paling utama jago ngusir setan.

"Udah bener kita tinggal di sini, sama semua cucu-cucunya. Ngapain pindah sih?" sinis Mira menyembunyikan perasaan takut.

Jefri sama betahnya tinggal di rumah ini.

Rumah tingkat dua yang berisi banyak kamar sebab dihuni keluarga dari kakeknya. Mereka bisa dibilang orang mampu yang mempunyai dedikasi dan rasa penasaran tinggi terhadap hal supranatural.

"Gak ada pilihan lain."

Ketika diajak bicara dengan ibu dan buleknya bahwa mereka akan pindah awalnya Jefri tidak menyangka.

"Gak maen deh sama tempat baru," eluh gadis itu.

Mira dikenal sangat pemberontak tapi tidak bisa hidup tanpa Jefri.

Sebelum hidup Mira berantakan Jefri sudah memberitahunya bahwa kemungkinan besar dia akan menerima kemampuan yang sama.

Pertama kali Mira melihat makhluk tak kasat mata, Jefri lah yang memproteksi gadis itu dari hantu berenergi negatif.

Tiada guna mengeluh dan sebagainya. Di hari yang sama mereka berangkat ke rumah kakek dengan memakan waktu tiga jam menggunakan mobil ibunya Mira, namanya Hana.

Jefri menyetir. Di sebelahnya Mira. Di belakang mereka Hana dan Ratih yang tak lain ibunya Jefri.

"Kalian nanti saling jaga ya di sekolah," ujar Hana tertuju pada Jefri.

"Tenang aja, Mbak. Udah bertahun-tahun Jefri jagain Mira," balas Ratih.

"Kamu juga jangan takut, Mira. Udah tiga tahun liat hantu masih kagetan."

Mira langsung menyahut, "Astaga, Mama. Jangan mentang-mentang udah gak bisa liat jurig nge-bully anak sendiri. Gak baik tau."

Hana dan Ratih tentu mendapat kemampuan sama pada awalnya. Seiring bertambah usia, mereka tidak peduli dengan kehadiran sosok-sosok hantu penasaran jadi mudah terkikis. Sekarang mereka seperti orang biasa, melihat apa yang dilihat pada umumnya.

"Bisa gak sih tutup aja mata batin gue, Jef?"

"Mohon maap mata batin bukan warung bisa buka tutup seenak jidat," tandas Hana.

Mira mendelik ke ibunya. Kok bisa ... Mereka bertolak belakang.

"Nanti umur tiga puluh tahun juga hilang kalau kamu gak terlalu peduli urusan mereka," tutur Ratih menurut pengalaman.

"Berarti kita bisa jadi manusia normal dong, Jef?" tanya Mira sumringah.

"Gue nerusin almarhum. Mungkin lo bisa, tapi gue kayaknya susah."

"Jefri itu jembatannya. Sekarang mungkin hantu-hantu menyingkir karena ada Jefri." Hana mengingat sosok suaminya yang telah tiada tiga tahun lalu.

Ratih menggenggam tangan Hana mengerti yang terbayang sekarang adalah sosok suaminya. Hana membalas dengan senyum kecil, Ratih pun sama dengannya.

"Pawang Jurig emang beda," lirih Mira.

Hingga sampai di rumah kakek, mereka bersama-sama memindahkan koper dan tas ke dalam.

Mira merapat ke Jefri usai tak sengaja melihat ke atas pohon depan rumah tetangga.

Wanita setinggi dua meter, rambut kusut menjuntai ke tanah, muka abstrak yang semula menunduk jadi melihatnya.

"Itu apaan sih, Jef? Kayaknya liat gue deh dia... "

Mira mulai merengek takut kalau yang dilihat melihat dia juga.

Jefri menepuk punggungnya dan menyuruh abai saja.

Seluruh tubuh Mira merinding meski mereka tidak ganggu. Cara supaya tidak menjadi sorotan bagi mereka sebetulnya tidak ada.

Mira tak bisa menghindar, tapi dia bisa mengabaikan jika kuat.

Beban utama yang menghisap keberanian Mira contohnya hantu yang dilihat pertama ada di ujung. Diabaikan justru mereka bisa teleportasi muncul di hadapannya.

Mereka tatap muka. Bagaimana tidak tremor?

Tubuh sehat bugar bisa langsung kena serangan jantung alias ko-it.

"Ini kamar Mira." Hana menunjuk kamar kedua.

"Berarti Jefri yang ini." Mira menunjuk kamar pertama. "Kan biar bisa dijagain semuanya, hehe."

Kamar mereka masing-masing berurutan di sisi kiri dekat ruang tamu.

Toilet dalam kamar, jadi Mira agak tenang tidak perlu keluar kamar tengah malam. Jika ada sesuatu dia tinggal teriak maka semua akan datang karena kamarnya di tengah.

"Langsung istirahat ya. Besok kalian mulai berangkat sekolah."

Mira mendengus lelah. "Iya... "

Jefri mengangguk. "Gak ada hal lain, kan?"

"Maksud Anda gak ada hal lain apa ya?" Mira berkacak pinggang.

Jefri tertawa kecil. "Barangkali ada sesuatu yang mau diomongin. Dih, lo mah suuzon terus sama hantu. Mereka gak ngapa-ngapain juga."

"Jefri bilang 'mereka' berarti banyak, Mah."

Hana mau menertawakan anak sendiri tapi takut dosa.

"Udah. Pada tidur gih!"

Ratih turut bicara. "Jangan begadang. Khususnya kamu, Mira."

Setelah para ibu masuk kamar mereka, Mira mengintil masuk kamar Jefri.

"Sekolah baru kita aman, kan?" tanya Mira.

"Gak ada tempat aman buat orang kayak kita, Ra."

Mira duduk di bangku sementara Jefri mengeluarkan pakaiannya dari dalam koper dan tas.

"Bisa gak lo jawab aja aman?"

"Gue jujur."

"Kamar kakek sama sekali gak diisi dong walaupun kita pindah?"

"Hm, biarin kosong."

"Gitu."

"Gue boleh minta tolong?"

"Apa?"

"Jangan takut sama mereka."

Setiap Mira dan Jefri menginjakkan kaki ke tempat atau hunian baru, bagi mereka di alam sana bak melihat cahaya terang. Mereka akan penasaran dan berusaha mendekat.

"Kita pasti beda kelas, tapi mau sejauh apa pun gue bisa tahu kalau terjadi sesuatu sama lo," kata Jefri.

Jefri menganggap Mira sebagai adiknya. Mereka besar bersama di satu tempat, tentu tak ada satu pun hal yang terlewat.

Entah bagaimana besok di sekolah. Perasaan yang dia miliki sering berubah cepat. Ini bukan bipolar apalagi kepribadian ganda.

Mira dan Jefri sadar mereka waras tapi sedang dipermainkan oleh kemampuan mereka sendiri.

"Gue gak mau kita dijadiin dukun sama orang lain, Ra. Kemampuan kita bukan buat keuntungan mereka."

"Gue tau kok."

Kemampuan Jefri bukan untuk diuangkan. Ditambah banyak hal aneh menimpa keluarga mereka yang berkaitan dengan makhluk astral.

"Ngapain masih di sini? Lo gak berniat tidur di sini, kan? Sana, punya kamar sendiri juga."

"Cewek tadi kayaknya merhatiin gue, Jef."

"Baru tadi dibilangin gak usah takut. Dia nyari anak doang. Lo mau jadi anaknya?"

"Najis banget ih, Jef! Amit-amit!"

Kesurupan

Menunggu Mira keluar dari kamar sangat lama. Jefri hampir memaki gadis itu kalau di dalam tak ada ibu-ibu.

Sosok wanita yang disebut Mira semalam tak terlihat di tempat yang sama. Kemungkinan dia pergi ke pohon lain bertemu sejenisnya atau sedang tidak ingin menampakkan diri.

Mereka berangkat naik motor yang kalian bisa bayangkan lah ya modelnya bagaimana. Sekali lewat orang-orang langsung tahu 'orang kaya tuh'.

Jefri mengandalkan GPS ke sekolah baru mereka. Hana dan Ratih tidak turut mendampingi karena harus ke makam kakek dan suami mereka.

Mira bernyanyi-nyanyi kecil mengusir semua perasaan negatif. Biasanya kalau sudah ada sedikit saja perasaan begini, pasti ada sesuatu.

"Gue gak bisa gak takut."

Jangan kira Jefri tidak dengar. Suara dari dimensi lain saja tembus telinganya. Sekecil apa pun suara Mira dia pasti dengar jikalau jarak mereka dekat.

**

Mira bungkam menunggu wali kelas di depannya memeriksa kelengkapan berkas catatan pindahan sekolah.

Matanya mengamati Jefri menghadap wali kelasnya sendiri.

Jefri sengaja mengalihkan tatapan supaya Mira tidak makin khawatir terpisah dengan dia.

Tidak adil baginya. Saat mata batinnya belum se sensitif sekarang mereka selalu satu kelas. Giliran pindah sekolah justru kedapatan beda kelas.

"Pak," panggil Mira.

Dua guru bernama Pak Ilman dan Pak Adit menoleh ke arah Mira, begitu pula Jefri.

"Iya, kenapa?" tanya wali kelasnya, Pak Adit.

Usianya sekitar 28 tahun, baru lulus setahun yang lalu katanya. Pak Adit ini sempat bercerita bahwa beliau baru mengajar selama setahun dan ditunjuk menjadi wali kelas 11B sekitar 3 bulan lalu pas mengiring mereka ke kantor.

Mira membatin, "Pen nangis gue, Jef."

Bukan perihal ngambek kelas mereka beda. Di belakang Pak Ilman ada sosok perempuan cantik yang memeluk lehernya dengan senyum lebar. Saking lebarnya hampir sampai kuping.

Jefri pasti lihat lebih jelas dibanding Mira yang menolak diperlihatkan.

"Sambil jalan ke kelas bisa, Pak?"

Mendapat pertanyaan itu, Pak Adit beserta Pak Ilman putuskan mengantar mereka ke kelas.

Mira ke kelas 11B dan Jefri ke kelas 11G. Letak kelas Jefri ini ada di paling ujung lantai 2 Gedung A.

Sangat jauh ya.

Mira diperkenankan perkenalan di depan teman-teman barunya.

"Pagi semuanya. Perkenalkan nama saya, Mira Fuadi. Sebelumnya dari Djuanda School, Bogor."

Mereka tampak antusias dengan kedatangan Mira. Ada yang semeja heboh, senyum-senyum, mungkin ada juga yang berbisik kurang suka.

"Mira ini kebetulan pindah rumah ke Jakarta. Ada sepupunya yang pindah sekolah di sini juga, tapi beda kelas. Kalian harus jaga Mira ya," kata Pak Adit.

Memang vibes guru muda jarang ada yang galak. Rata-rata ramah dan mudah bergaul.

"Yoi, Pak!"

"Cakep!"

Pak Adit menoleh ke kiri, "Mira boleh duduk di bangku yang kosong."

Ada tiga yang kosong.

"Terserah?"

"Iya, silakan."

Mira memilih duduk di tengah agak depan supaya bisa lihat tulisan di papan tulis. Matanya rabun tapi tidak parah.

"Hai," sapa teman sebangkunya, perempuan.

"Iya."

"Gue, Dewi."

"Oh iya, salam kenal."

Pak Adit meneruskan mata pelajaran yang beliau pegang di depan mereka.

Kesan pertama yang ditangkap mata Mira, Dewi itu ramah dan manis. Rambutnya sepunggung dengan ikal di ujungnya. Dia pakai bando mutiara pink.

"Sepupu lo di sini juga? Kelas mana?"

"G, di ujung sana."

"Cewek atau cowok?"

"Cowok."

"Yahh, kirain cewek."

"Kenapa?" Biasanya kalau laki-laki, kaum hawa pasti senang.

"Kita bertiga bisa main bareng."

"Gue dari kecil main sama Jefri, kok. Nanti gue kenalin pas jam istirahat."

"Waduh, agak susah ya."

"Susah kenapa?" Mira bingung.

"Nanti lo juga tau, bukan sesuatu yang dibanggakan buat diomongin."

Mira cuma senyum tak begitu menghiraukan maksud Dewi.

Hingga pelajaran Pak Adit selesai, kelas berlangsung biasa saja tanpa kendala. Mira bertanya pukul berapa biasanya istirahat, Dewi bilang setengah dua belas.

Sekitar menjelang istirahat dan guru terakhir baru ke luar kelas.

Lampu proyektor yang menyala karena tadi materi diberikan lewat presentasi mendadak mati.

"Buka jendelanya, woi." Dia Irlan, ketua kelas berkarisma.

Mira lihat mereka yang duduk dekat jendela menyibak gorden supaya cahaya matahari masuk mengganti kegelapan kelas.

"Mendung." Dewi lihat di luar awan gelap.

"Eh, nyalain lampu dongs." Irlan menyuruh anak-anak lagi.

Sakelar lampu belum dinyalakan manual tapi sudah menyala serentak.

"Waduh," kata Irlan mewakili keterkejutan yang lain.

Kira-kira lima detik mereka saling diam, pandangan ke satu arah pun mengalihkan perhatian Mira yang tengah merapikan mejanya.

"Kenapa, Dew?"

Dewi menarik tangan Mira agar bangun dari bangku. "Kayaknya kita harus keluar kelas sekarang."

"Hah?" beo Mira. Ngapain? Gitu batinnya.

Kecuali Mira, mereka teriak kaget begitu lampu kelas mati nyala seperti dimainkan tapi tidak ada yang menekan sakelar.

"Wi! Bawa yang lain ke luar!" teriak Irlan.

Dewi melepaskan pegangan tangannya dari Mira untuk mengeluarkan mereka dari kelas.

Mira membeku di tempat lihat satu siswa duduk tiga meja dari kursinya dikelilingi semacam asap hitam pekat.

Tangan lelaki itu menggaruk meja dengan kasar disertai cekikikan panjang.

"Hihihihihi."

Kepanikan melanda satu kelas meski berdesakan ke luar.

"Eh, anak baru masih di dalem!"

Dewi juga lihat Mira membeku dari ambang pintu. "Mira! Keluar! Dia kesurupan!"

Mira sadar langsung nengok dipanggil Dewi. "Kesurupan?"

Gadis itu belum sempat mengalihkan pandangan ke posisi siswa tadi duduk karena wajahnya tepat di hadapan Mira.

Muka menyeramkan itu membuat Mira memejamkan mata rapat. Mira jelas kaget setengah mati melihat sosok yang merasuki temannya begitu mengerikan.

Dewi masuk lagi dan menarik Mira ke luar.

Tiba-tiba Mira memekik pangkal rambutnya ditarik oleh sosok tadi sampai kepalanya menengadah ke atas.

"Anjrit!" Keluarlah satu kata ajaib dari mulut Mira.

Dewi dibantu Irlan melepas tangannya dari kepala Mira.

"Zafran! Sadar, bangsat!" gertak Irlan marah.

"Kamu bisa lihat saya." Bola mata sosok itu melotot merah juga menyeringai tajam.

Dewi dan Irlan sempat tercengang mendengar suara Zafran begitu melengking seperti wanita tua.

Mira menahan kepalanya takut lepas ditarik hantu sialan itu. Dia merengek setengah menangis.

"Panggilin Jefri dong! Aaa, Jefri!"

Mira ketahuan oleh sosok hantu di hadapannya dan dijadikan alat mempermainkan anak lain.

"Hah, Jefri siapa?" tanya Irlan tak tahu.

"Sepupu gue."

Dewi tanpa babibu langsung keluar memanggil sepupu Mira padahal tidak tahu alasan harus ke sana.

"Anak ini harus mati!" teriak hantunya cekikikan parah.

"Jangan dong!" jawab Irlan seadanya.

Mira mau nangis tapi air matanya tidak kunjung keluar, ditambah muka Irlan panik berusaha melepas jambakan tapi masih bisa jawab si Zafran yang kesurupan.

"Harus mati!"

"Kita punya Tuhan. Tuhan yang berhak ambil nyawa. Lo siapa bisa cabut nyawa, anjir!" balas Irlan.

"Atau kamu? Hihihi. " Zafran menyeringai namun yang dilihat Mira tetaplah si wanita mengerikan.

"Kok gue? Belum nikah, gak mau ah!" Mira menggeleng sayang nyawa.

"Mira! Itu sepupu lo, bukan?!" Dewi teriak dari luar jendela menunjuk Jefri.

Mira lihat Jefri di depan pintu. "Rambut gue, Jef! Help!"

Zafran berhenti tertawa nyaring begitu Jefri datang dengan tangan masih menjambak kepala Mira.

Sambil memiringkan kepala Zafran bertanya lirih di antara telinga Mira dan Irlan.

"Ternyata kalian datang berdua."

"Jefri!"

Zafran Diamankan

Jefri sempat ragu masuk kelas barunya setelah terusik dengan keberadaan sosok-sosok hantu penasaran dalam kelas Mira pas lewat tadi.

Mira melihat dengan sengaja maupun tidak diukur dengan energi yang mereka keluarkan.

"Jefri, ayo masuk."

Pak Ilman tak begitu curiga mengapa Jefri diam beberapa saat di belakangnya.

"Iya."

Kelas 11G sangat terkenal akan keributan dan keonaran. Pak Ilman berkata meski akhlak mereka minus tapi tiap ditanya pelajaran apa saja pasti bisa jawab dengan tepat.

"Saingan lo nih, Sur!"

Jefri langsung mengenali Surya karena menengok langsung setelah dipanggil kawannya.

Seragam dikeluarkan dibalut jaket denim, celana abu digulung sebelah, sepatu full putih, rambutnya cetar bak aktor drama china. Masih keren, kok.

"Ih, Pak. Siapa dia?" tanya Surya setelah kembali duduk di bangkunya.

"Kamu nanyea?" ledek Astuti, dari pojok kanan menyahut.

"Kamu bertanyea-tanyea?" lanjut Mahen geli sendiri.

"Gue gibeng lu pada," tangkas Surya bercanda.

Pak Ilman meladeni mereka pula seperti teman dekat. "Kenalan, dong."

"Abwang, kenalan dong!" teriak Nuri dari belakang Surya.

"Naj*s! Jangan mau kenalan sama Nuribaya. Gemblung ... Edan... " Surya geleng-geleng kepala.

"Cukup Nuri aja, bangset. Nuribaya mah yang dijodohin kan?"

"Mau gue jodohin sama Mahen, noh!" tunjuk Surya ke Mahen.

"Pada tenang dulu dong, hargai teman baru kalian. Silakan, Jef."

Pak Ilman mengawasi gerak-gerik mereka sembari menyiapkan materi bab baru.

"Saya Jefri. Saya pindahan dari Djuanda School."

"Bukan bangor ini mah... " Mahen kecewa.

"Jangan ajak Jefri masuk circle kalian. Awas ya," ingat Pak Ilman.

Jefri tersenyum namun berubah datar sekaligus bingung karena para siswi berteriak dan bersiul-siul.

Mahen yang duduk di belakang Astuti langsung menoel punggungnya. "Ganjen!"

"Iri bilang bos!" kata Astuti menikmati ketampanan dari jauh.

"Emang seganteng siapa kemarin ... Lee Min Ho! Seganteng dia?"

Dengan sopan Astuti melihat ke belakanang. "Setidaknya lebih ganteng dari kamu, ranting pohon pisang."

"Mana ada rantingnya, g*blok."

"Silakan duduk, Jef."

"Harus gabung sama kite-kite, guys." Si Surya melambai-lambaikan tangan agar Jefri duduk satu meja sama dia.

Jefri dengan mudah bergaul dengan mereka, tentu tanpa mengenalkan apa yang dia punya.

Satu jam, dua jam terus berjalan diisi pelajaran berbeda.

"Jep, mo makan ape?" tanya Surya merapikan rambut di kaca jendela yang menurutnya jernih dan stabil.

Mereka berdua di luar menunggu komplotan lain yang masih menghapus papan tulis.

"Apa aja."

"Buset, ngeri amat jawaban lo kek cewek gue."

Oh ternyata Surya sudah ada yang punya.

"Gue mau ke kelas 11B dulu, Sur."

Jefri berniat bilang dulu ke Mira sebelum dia datang mencarinya.

"Ngapain?" tanya Surya terselip kaget.

"Sepupu gue pindah juga, di kelas 11B."

Surya tak ambil pusing. "Banyak cobaannya, Jep. Si Japran, nak baru bulan kemaren sering kesurupan. Biasanye tiap mau pulang tuh anak mulai eksyen."

"MISI WOI! AWAS!"

Dari arah samping kiri suara nyaring perempuan mengalihkan banyak orang yang langsung ke tepi memberinya jalan.

"Tuh anak ngapain lagi ke sini... " Surya siap menghadang Dewi.

"Siapa?" Jefri lihat mereka saling kenal.

"Cewe gue."

"Oh.. "

"Belum gue samperin udah ke sini lo, Dew."

Dewi langsung bertanya dengan cepat dan keras, "Yang namanya Jefri mana woi?"

Surya heran bukan dia yang dicari. "Ngapain lo nyari Jepri?"

"Itu si Zafran ... Kesurupan lagi!" Dewi terengah-engah dalam bicara. "Lo tau Jefri gak?"

"Hm?" Terlihat kaget Dewi memberitahu Jefri si Zafran kesurupan. Mereka kan tidak saling kenal.

Surya mempersembahkan orang di sampingnya. "Ya ini Jepri, astaga."

"Ikut gue!" paksa Dewi langsung menarik tangan Jefri. "Lo juga!" Dia tarik pula tangan Surya supaya adil.

"Japran yang kesurupan ngapain panggil kita? Kunci aja pintunya tunggu Pak Roni dateng!"

Jefri lihat Mira ditahan Zafran yang tengah kesurupan dibantu Irlan.

"Wah, mulai minta tumbal demitnya." Surya menarik diri dari tarikan Dewi. Agak takut kalau menghadapi hantu-hantu yang agresif.

"Jangan kabur lo!" sungut Dewi.

Jefri memberhentikan mereka di samping kelas. "Gue sendirian aja yang masuk, kalian tunggu di luar."

"Berani, Jep?" celetuk Surya.

Jefri melangkah sembari membaca doa perlindungan sampai depan pintu kelas Mira.

Mira melihat kedatangannya.

"Rambut gue, Jef! Help!"

"Jefri!" Mira panggil lagi sepupunya.

Jefri mendatangi mereka bertiga kemudian menarik Irlan terlebih dahulu supaya menjauh.

Pria yang sering menghadapi orang kesurupan seperti Zafran langsung sigap mengunci tangannya ke belakang agar tak bisa kemana-mana.

Zafran mengerang, menangis, dan tertawa secara acak setelah posisinya terkunci. Dia terkadang berontak tapi gerakannya terbatas.

"Pegang kepalanya, Ra!"

"Lo aja ah! Takut!"

"Buruan!"

Mira pegang kepala Zafran yang ke kanan-kiri sebagai penolakan.

Zafran mengeluarkan sosok di dalam Zafran melalui perantara Mira dengan doa.

Mira buru-buru melepaskan tangannya disusul Zafran terkulai lemas.

Mira hendak pergi namun dicekal Jefri yang masih berusaha menyadarkan Zafran.

"Udah gak ada. Bangun."

Mira sungguh-sungguh ingin menyantet orang yang menempatkan dirinya di kelas tempat orang kesurupan.

Secara ketertarikan, Mira mengundang para hantu di sana dengan masuk ke tubuh Zafran.

Oleh sebab itu tadi hantu perempuan yang merasukinya tidak takut apalagi kaget melihat mereka yang bisa melihatnya.

"Buang aja ke rawa-rawa, Jef!" kesal Mira. "Rambut gue dijambak lagi.. " lanjutnya membenahi rambut.

"Dia siapa?" Jefri melihat Irlan.

"Ketua kelas." Mira menghampiri Irlan yang masih syok. "Gak ada yang luka, kan?"

"Bantu bawa ke luar."

Irlan sanggup kalau keluar dari kelasnya sendiri. Dia bantu Jefri papah Zafran ke klinik di lantai dasar.

"Thanks. Barangkali lo mau ngantin," kata Jefri.

Irlan mengangguk. "Zafran udah gapapa?"

"Bentar lagi juga bangun," celetuk Mira.

Menyadari ketenangan mereka agak membuat Zafran heran sekaligus khawatir.

Jefri ikut merapikan rambut Mira. "Udah, gak usah takut."

"Dia sering kesurupan begitu, Lan?" tanya Mira mengekspresikan kekesalannya. Seandainya boleh mumpung Zafran belum bangun mau ditampar wajahnya.

"Ya lumayan sih. Sejak dia pindah berarti tiga mingguan begini terus. Biasanya jam-jam mau pulang, baru sekarang kesurupan jam istirahat."

Jefri manggut-manggut. "Sadar sendiri atau-- "

"Mana Zafrannya?"

"Itu, Pak Roni yang biasanya turun tangan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!