Bergelimpangan mayat menggunung, bau amis memasuki indra penciuman yang amat menusuk.
Serentetan tembakan, kemudian sepi, sebuah ledakan lalu sunyi kembali. Di timur deretan awan menyajikan lengkung alis yang kelam, serentetan tembakan yang kemudian senyap seperti mata yang pejam dan angin menjadi nafas yang dalam.
Tiba tiba langit mengangkat pelupuknya, dan nyala terbuka, memandang mata hari yang menggeliat menerangi hati, murah dan merah dengan berat menatap, mengawasi prajurit yang tersungkur dalam lumpur, dengan anak anak yang hancur.
Tubuh mungil menggeliat menginjak mayat di atas kakinya, seorang pria bermandi lumpur dan darah mengangkatnya dari himpitan mayat, dia menatap mata yang berwarna kemerahan dengan tajam.
"Ikutlah denganku nak!" ucap pria tersebut mengendap-endap di antara rimbunan pohon tinggi dan air sungai jernih yang berubah kotor.
Matahari mulai mengintipi setiap sudut permukaan Bumi, rendah dan merah mencari sesuatu yang baru di bumi, burung berterbangan bersuara di antara tembakan.
Dua gunung terlalui sebuah Pedesaan yang nampak sederhana dengan atap jerami dan dinding bambu menjadi pengelihatan pertama.
Pria dengan lengkung alis tua membawa anak laki laki berusia 16 tahun itu duduk di antara sungai dan Desa, membersihkan darah, lumpur dan dedaunan yang menempeli tubuhnya.
"Bersihkan dirimu nak." ucap pria tersebut meletakan senjatanya, dengan cepat pria itu memandikan tubuhnya dengan air bening yang sangat jernih.
"Jemur pakaianmu setelah membersihkannya dan temui aku di sana." seru pria tersebut menunjuk ke arah sebuah rumah yang nampak lebih besar dari yang lainnya. Pria muda itu mengangguk dan membersihkan diri setelahnya melakukan apa yang pria itu ucapkan.
"Tuan maaf di mana aku?" tanya anak laki laki itu ragu ragu, dan nampak sangat sulit mengucapkan kalimat pendek tersebut.
"Di tempat yang baik, siapa namamu Nak?" tanya pria tua itu lagi dengan lengkung alis yang menajam.
"Anu... Aku... Tidak ingat," Ucapnya polos, meski usianya terbilang sudah dewasa namun dia nampak seperti anak kecil yang baru bisa bicara terlihat dengan bagaimana dia berusaha berbicara.
"Apa kamu melupakan siapa namamu?" Tanya lagi pria tua itu sedikit bingung dengan apa yang terjadi, anak laki laki itu mengangguk meng iyakan dengan pertanyaan pria itu.
Baru saja malam ini dirinya kehilangan sang Putera dan kini tuhan mengirimkan pura lain, tak perduli dia putera dan darah siapa yang mengalir dalam nadinya yang jelas dia adalah putera Bangsa.
"Mulai sekarang ingat baik baik siapa namamu, namamu adalah Jajang!" Ucap pria itu tersenyum tulus.
Pria muda itu mengangguk menerima nama yang di berikan padanya. Sebuah ledakan lagi lagi terdengar tak jauh dari tempat mereka, dan seorang wanita muda datang dengan kain samping membelit tubuhnya.
"Pak mereka kian mendekat, aku takut dia akan menemukan kita." Seru wanita muda itu.
"Jangan takut nak, kita bukan orang jahat yang kuasa pasti memberi perlindungan pada yang meminta perlindungan dan Ibu Pertiwi pun tak akan sudi bila darah kita tercerai sebelum tujuan kita mencapai kemerdekaan berjaya", ucap pria itu penuh keyakinan.
Wanita itu mengangguk meraih kepercayaan yang di berikan sang Ayah.
...***...
"Kakek lalu apa hubungannya dengan aku yang harus sekolah online?" Seorang gadis berusia 17 tahun mengeluh meminta penjelasan sang Kakek yang sangat risih dengan sistem belajar mengajar dengan cara online.
"Nak, dulu kami bahkan tidak mendapatkan pendidikan, kamu tahu Kakek yang tinggal di gubuk di tepi sungai di ujung Desa?" Tanya kakek tua itu tersenyum lembut.
"Ya tahulah kek dia kan galak banget! Dulu aja aku sempat di marahin cuma gara gara nangkap burung, untung sekarang dia sudah meninggal." Keluh gadis itu mengingat ingat kembali kejadian di mana dia di marahi pria tua yang tidak terawat itu.
"Dialah Jajang, tuan tanah desa ini! dialah yang memiliki tanah kita berpijak saat ini," seru pria tua itu menepuk pundak cucunya.
"Jajang? Jajang yang tadi kakek ceritain itu? T-tapi, Tunggu! Apa tadi kakek bilang? Tanah ini milikinya? bukannya kakek yang sudah membelinya ya?" tanya gadis itu mengangkat alisnya.
"Ya, tapi kakek tak akan dapat membeli tanah ini bila dia tidak memerdekakan tanah yang kita pijak sekarang, dan kita pun mungkin tidak akan seperti saat ini." Ucap pria tua itu menjelaskan.
"Hmmm.. Aku ngerti, lalu apa yang terjadi?" gadis itu kian penasaran dengan kisah yang akan di berikan kakeknya.
"Serius ingin dengar lanjutannya?" tanya sang kakek tersenyum semirak.
"Yah kalo kakek serasa terpaksa aku juga gak akan memaksa." Seru gadis itu duduk di kursi belajarnya seraya mengangkat pundaknya.
"Ya baiklah kakek pergi dulu." Kakek tua tersebut berpaling dan beranjak ke ambang pintu.
"Tunggu kek, akukan cuma bercanda gampang marah aja." Pinta gadis itu menarik kembali tangan sang kakek.
"Ah baiklah, dengarkan lagi ya!" seru kakek itu melanjutkan kisahnya.
Bersambung...
Jajang amat sangat polos layaknya anak kecil, namun itu lebih baik di bandingkan dengan karakter pria dewasa yang sudah berpandangan ke arah yang lain.
Pria tua itu bernama Sukri, Sukri amat sangat menyukai bujang yang baru tumbuh itu, Jajang seorang yang pantang menyerah, terlihat di mana dia mengajarinya berlatih ilmu bela diri Jajang tak pernah mengeluh dan selalu melakukan apapun yang dia ucapkan.
"Pak? aku berhasil mengbil ikan di sungai, mari makan bersama!" seru Jajang tersenyum lembut dengan sangat hormat.
"Baiklah nak, ajak pula saudarimu!" ujar Pak Sukri melangkah menuju sebuah tempat yang mana alas duduknya berasal dari anyaman bambu.
"Baik Pak!", Jajang melangkah menuju kamar saudarinya dan mendapati saudarinya yang baru selesai berganti pakaian karena hari ini mereka berencana melakukan pelatihan di tepi air terjun.
Suasana tenang kembali bergelayut dengan rasa nikmat dari ikan bakar yang memikat lidah dengan cabai merah dan tomat yang di tumbuk tanpa nasi.
"Mari kita latihan, namun sebelum itu kita sembunyikan dulu senjata kita!", Pak Sukri mengambil senjata senjatanya dan membawanya ke tempat persembunyian mereka yang berada di bawah tanah.
"Mari!", jajang membantu Pak Sukri merapikan senjata mereka dan berlalu meninggalkan tempat itu, menuju sebuah air terjun yang cukup deras.
"Sekarang kita akan melakukan pelatihan pernafasan, ingat! ini sangat di butuhkan untuk melindungi diri sendiri saat dalam kondisi terancam." ucap Pak Sukri dan di angguki kedua Puera Puterinya dan langsung masuk ke sebuah lombangan yang tercipta dari tetesan air terjun.
"Segera bangkit saat dirasa nafas kalian sudah berat dan lakukan olah nafas di darat, namun sebelum kalian membenamkan diri lakukanlah pemanasan terlebih dahulu", ucap Pak Sukri yang langsung di angguki mereka dan latihan berjalan cukup baik, dan waktu kembali sudah petang.
"Mari pulang!", Pak Sukri menarik kedua Putera puterinya ke darat dan berjalan menuju rumah mereka namun nampak beberapa orang yang tengah bersembunyi di atas pohon, dengan cepat Pak Sukri, Jajang dan Puterinya yang bernama Sani memanjat pohon.
Mereka melakukan bahasa isyarat yang dapat di mengerti Pak Sukri dan yang lainnya.
Beberapa perajurit nampak membakar habis rumah mereka, para ibu dan bayi mereka larikan ke tempat yang lebih tersembunyi di sebuah Gua dan di bawah tanah Gua mereka menggali tanah dan disanalah mereka menyembunyikan para kaum lemah dan melindungi mereka.
Setelah membakar merekapun pergi, namun para warga yang menatap mereka tak beranjak turun dan memilih kembali ke Gua tempat persembunyian utama mereka.
"Pak mengapa para penjahat itu bisa mengetahui keberadaan kita?" tanya Jajang saat mereka sampai di Gua.
"Ada begitu banyak faktor yang mana mereka dapat menemukan kita, pertama dari kepulan asap dimana kita memasak itupun akan menjadi pengaruh yang amat besar, ke dua karena jejak kaki kita yang mengarah ke sana dari langkah kita di tanah, itulah mengapa Bapak menyuruh kalian untuk bergelayun dari pohon ke pohon untuk sampai ke sini agar mereka tak dapat menemukan kita, dan Bapak pun membuat Desa di luar tempat persembunyian untuk kita memasak agar kecurigaan tidak mengarah kemari" ucap Pak Sukri menjelaskan alasan alasannya.
Jajang mengangguk mengerti, dia pun faham mengapa mereka lebih aman mengambil jalur atas karena jalur bawah sangat berbahaya, selain di pasangi banyak perangkap juga begitu banyak ular yang sengaja di tebar di bawah pepohonan.
"Pak sampai kapan kita seperti ini?" Sani nangkeup harigu (memeluk diri sendiri/ pelukan kosong).
"Sampai waktu yang di ciptakan sang pemberi kehidupan merestui peperangan ini berakhir nak!" Pak Sukri mengelus rambut putrinya.
Tak ada api unggun untuk menghangatkan saat baju mereka basah dan tak ada ganti, di karenakan para bayi dan yang lemah lebih berhak mendapatkan kehangatan di banding mereka yang sehat dan kuat.
Malam tertuju, tubuh Sani menggigil kedinginan, dia masih mengenakan baju basahnya karena mustahil baginya bertelanjang dan menjemur bajunya di tengah malam.
Jajang mendekati Sani dan langsung memeluknya, dengan cepat Sani mendorong tubuh Jajang menjauh darinya, "apa yang kamu lakukan? apa kamu bodoh!" Sani murka dan menatap tubuh Jajang yang bertelanjang dada.
"Aku hanya mencontoh mereka, yang merasa hangat saat di dekap", Jajang menunduk dan menunjuk sepasang suami istri yang tengah saling berpelukan menahan dinginnya malam.
"Huuuuh... Tanyakan pada Bapak apa yang kamu lakukan ini benar? pergilah!" Sani mengusir Jajang dari hadapannya, dengan berat langkahnya, Jajang menuju tempat di mana bapaknya tengah tertidur.
"Pak?" Jajang melihat Bapaknya yang belum tertidur dan menunduk lesu.
"Ya nak?", Pak Sukri menengadah menatap Puteranya.
"Saudariku kedinginan dan aku hanya ingin membuatnya hangat, apa yang harus aku lakukan? dan apakah aku salah bila aku melakukan hal yang sama seperti mereka?" tanya Jajang polos menunjuk ke arah pasangan yang tengah berpelukan.
Pak Sukri duduk dan menghadap Puteranya, dia menepuk pundak sang Putera dan tersenyum sekilas, "kamu tidak tahu nak? mereka sudah menikah dan melakukan hal semacam itu bukanlah hal yang terlarang, berbeda jika orang yang belum menikah yang melakukannya itu akan menjadi dosa nak" Jajang mengangguk berusaha meresapi ucapan bapaknya.
"Lalu apakah aku juga bisa menikah?", tanya polos Jajang meminta penjelasan Bapaknya.
"Tentu saja, saat kamu mencintai seseorang maka kamu bisa menikahinya!" ucap Pak Sukri menatap lembut mata Jajang.
"Cinta? cinta itu apa?" tanya lagi Jajang tidak mengerti, kata itu seakan ambigu dalam otaknya, dia seperti mendapat penyerapan namun di sisi lain dia juga tidak tahu dan tidak mengerti kata asing itu.
"Cinta itu bersangkutan dengan hati nak, coba bapak tanya apa yang kamu rasakan pada bapak saat ini?" tanya Pak Sukri berusaha menjelaskan pada kertas polos seperti Jajang.
"Perasaan, aku merasa bapak orang yang baik, dan aku sangat senang bersama bapak, dan ingin selalu bersama bapak dan saudara Perempuan!", Jajang burusaha merasakan perasaannya.
"Lalu apa lagi yang kamu rasakan pada Bapak? bila semisalkan kita berpisah secara tiba tiba?" Pak Sukri meneguhkan duduknya.
"Hmm, mungkin aku akan mencari Bapak dan menunggu Bapak di tempat kita latihan!", Jajang dengan polos menjawab dengan perasaanya.
"Nah itu di namakan sayang, dan sayang itu biasanya akan timbul menginginkan kebahagiaan untuk orang yang di sayangi, semisalkan saat ini nak Jajang yang menginginkan kebahagiaan untuk Bapak, dan rasa kasihan pada Saudarimu itu di namakan sayang!" ucap Pak Sukri dan tidur kembali.
"Lalu apa hubungannya dengan cinta?" Jajang bertanya penasaran.
"Itu di karenakan keduanya memiliki banyak kesamaan dan persamaan hingga sulit di bedakan, sekarang fahami dulu rasa sayang di hatimu dan setelahnya baru kamu akan mengerti rasa cinta", ucap Pak Sukri menutup matanya tertidur.
Jajang mengangguk dan tertidur di atas tanah tepat di samping sang Bapak, Jajang berusaha mencerna setiap ucapan Pak Sukri.
Bersambung...
Mata Jajang terbuka saat di rasa tidurnya cukup untuk malam ini, dia menatap sekeliling di mana orang orang masih tertidur, Jajang mengeliat menggunakan kembali pakiannya dan keluar tempat persembunyian, bergelayun antara pohon ke pohon layaknya orang utan, dia berhenti di tepi sungai di dekat air terjun, tanpa aba aba Jajang membuka baju atasnya dan meloncat dari pohon langsung ke bawah air terjun.
Seseorang keluar dari air terjun tersebut lantas menutup matanya dan beranjak ke darat dan mengenakan pakaiannya, dia tahu pasti yang tadi melompat adalah Jajang percuma baginya memperingatkan Jajang kertas putih tanpa tahu benar dan salah seperti Jajang memang terkadang sangat sulit di pahami dan sering mengundang salah paham.
"Saudari!" Jajang memperlihatkan wajahnya ke atas air dan melihat sani yang tengah berpakaian.
"Jangan lihat kemari!", seru sani mengenakan pakaiannya.
Jajang mengangguk menenggelamkan kembali wajahnya ke dalam air hingga berapa lama dia kembali mengambang dan melihat sekeliling dan tidak di dapati saudarinya.
"Cepatlah!, kita akan membuat pemukiman baru hari ini!", sani mengibaskan rambut basahnya dan menggelung rambut panjang itu hingga membelit di kepala bagian belakangnya.
"Baiklah!", jajang bangkit dan dengan cepat dia menaiki pohon yang semula dia taruh bajunya di dahan besar yang terjuntai ke ari terjun.
Dalam perjalanan pulang baik jajang ataupun sani saling diam, seakan tak ingin ada pertanyakan nyatanya dalam hati jajang amat banyak pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan.
Mereka sampai di markas utama dan mulai mengusung rencana untuk pembangunan desa baru, pak sukri memang bukanlah kepala desa namun dia amat di segani oleh seluruh warga, bagi mereka tak perlu ada ketua yang diperlukan adalah saling percaya dan menghasilkan sesuatu dengan cara bermusyawarah dengan hasil akhir yang mereka ambil sebagai mufakat bersama.
Pembangunan desa tak dapat di selsaikan dengan satu hari mereka memerlukan waktu hingga satu minggu untuk membangun desa baru, saling bergotong royong dengan siulan burung dan nyanyian bambu yang silih berganti bersuara dengan teriakan teriakan semangat dari para pengayam wanita, kebersamaan dan tawa silih berganti dengan bahagia meski dalam keadaan yang amat menakutkan namun mereka masih memiliki kebahagiaan dalam kebersamaan, tidak sedikit dari mereka yang tak memiliki orang tua, dan tak sedikit pula orang tua yang kehilangan putra putrinya namun mereka masih teguh dengan tujuan tertinggi mereka dan cinta terbesar mereka untuk ibu pertiwi.
"Jajang ayo kita mengambil ikan di sungai untuk makan siang kita!", seru seorang pemuda yang melambaikan tangannya ke arah jajang.
"Oh ya surwa tunggu sebentar!", jajang mengenakan alas kakinya yang terbuat dari anyaman jerami melangkah mendekati surwa.
"Mari!", jajang melangkah beriringan bersama surwa menuju sungai mengambil ikan, namun mereka tidak pernah mengambil ikan kecil mereka selalu mengambil ikan besar secukupnya, karena ladang mereka untuk makan adalah air dan tanah yang tumbuh di tanah air tercinta.
"Hai jajang!, berapa usiamu sekarang?", tanya surwa menyenggol lengan jajang.
"Hmm, itu anu sebenarnya saya tidak tahu pasti berapa usia saya tapi kata bapak kemungkinan saat ini usia saya 19 tahun", jajang menjawab ragu karena dia sendiri saja tidak ingat apa apa tentang masa lalunya.
"Waah, sudah cukup buat menikah, ayolah kawan menikahlah mumpung umur masih ada dan jiwa masih di badan, tak mau kan kau tiba tiba meninggal sebelum menikah!", surwa terkekeh menggoda jajang.
"Mm, wa sebenarnya saya tidak tahu menikah itu apa?, bisakah kamu menjelaskannya sedikit?", tanya jajang, dia meminta penjelasan pada surwa, surwa terkikik geli senang sekali rasanya punya teman polos namun baik hati seperti jajang.
"Eh jang!, kau suka siapa di sini heh?", tanya surwa menyenderkan tangannya di pundak jajang di atas batu di tengah sungai mereka bertengger.
"Hmmm, aku suka bapak, suka kamu suka saudari perempuan dan suka semua warga desa", seru jajang berfikir mungkin maksud suka yang di katakan surwa bukan ke arah saa, namun jajang menafsirkan suka itu layaknya kamu menyukai ikan bakar, dan itulah suka di mata jajang.
Surwa menepuk jidatnya dan menggeleng kepalanya, dia menepuk pundak jajang meneguhkan, berusaha menjelaskan apa yang dia maksud, "kamu ya jang!, begini suka yang ku maksud bukan seperti itu, tapi begini bila kamu melihat seorang wanita lalu tiba tiba dada kamu bergetar hebat dan selalu ingin bersamanya", surwa menjelaskan perasaan yang amat sulit di tafsirkan itu.
"Sekarang dadakupun bergetar, aku juga senang bersama kamu sur, apa itu juga berarti suka?", jajang merasakan detak jantungnya sendiri.
Plak, lagi lagi surwa menepuk jidatnya dia benar benar sulit menjelaskan sesuatu hal yang dewasa pada jajang, "bukan begitu kawan, begini rasa suka yang ku maksud itu cinta, kamu tahu cinta kan?", surwa bertanya menyelidik, jajang menggeleng dan sudah pasti surwa pusing sendiri oleh kelakuan jajang.
"Kawan, dengar baik baik!, cinta itu sangat indah bahkan luar biasa indah, coba aku tanya padamu kawan siapa wanita paling dekat denganmu saat ini?", tanya surwa berusaha kembali menjelaskan.
"Wanita paling dekat denganku adalah saudara perempuanku!", seru jajang memberi tahu.
Surwa mengurut pelipisnya yang tiba tiba berdenyit, namun dia tiba tiba ingat jajang dan sani kan tidak sedarah jadi tidak mustahil bila mereka menikah, surwa tersenyum jahat namun dia kembali berubah ramah saat menatap jajang, "bagus!, nah sekarang bila kamu sering dekat dengannya apakah dia sering memerah pipinya saat di sapa atau di dekati olehmu?", tanya jajang berusaha melakukan kejahatan yang baik.
"Iya, dulu pas desa di bakar aku pagi pagi bangun meski matahari masih senyap dan sedikit mengeluarkan cahaya aku tidak sengaja mandi di air terjun dan saudariku pun sama dan aku melihat wajahnya memerah sepanjang jalan, mungkin dia marah padaku karena aku malamnya memeluknya tapi niatku tidak jahat aku hanya ingin berusaha menghangatkan tubuhnya", jajang menjelaskan keadaanya, yang sebenarnya terjadi di malam hari sani sama sekali tidak bisa tidur karena dadanya yang terus bergemuruh dengan wajah memerah merasakan bertapa lembutnya pelukan jajang yang sekilas.
"Bagus jang!, coba sekarang kamu katakan apa yang aku katakan tapi kamu jangan bilang ke saudarimu bila itu dari ucapanku kamu bilang saja itu perasaanmu, bagaimana?", tanya surwa terkikik ingin mengerjai jajang.
"Baiklah!", jajang mengangguk mengerti rasa ingin tahunya akan segala sesuatu membuatnya menurut dan melakukan apa yang di katakan surwa.
...
Jajang dan surwa pulang dari sungai dengan ikan dan kelinci hutan hasil buruan mereka, mereka membakarnya dan menyajikan hidangan itu di atas daun pisang yang berjajar rapih, (sekedar info di sana belum ada kecap, garam atau sejenisnya).
"Saudari, ini untukmu!", jajang memberikan sebuah bunga anggrek yang amat cantik pada saudarinya, wajah sani memerah, dari kejauhan surwa terkekeh dan rencananya pasti akan berhasil.
"Terima kasih!", sani meraih bunga tersebut dan menghirup aroma yang merasuki hidungnya dan tersenyum lembut, dirinya memang telah menyimpan rasa yang sangat dalam untuk jajang namun dia tidak berani mengatakannya karena melihat jajang yang amat polos, mustahil baginya untuk bersama di tambah lagi kini jajang adalah saudara angkatnya.
"Saudari, menikahlah denganku dan mari meminang rumah tangga", jajang meraih tangan sani sama seperti yang di kayakan surwa, dada jajang bergetar hebat dia bisa merasakan apa yang di ucapkan surwa apakah ini yang di sebut cinta menurut surwa, kini dia sadar bila dirinya memeng mencintai saudarinya.
Suasana menjadi melow seketika seakan bunga yang di pegang sani bertebaran di sekeliling mereka dengan hembusan angin memberi melodi pada rambut sani yang tergerai dan melambai menerpa wajahnya.
Jajang membantu sani menyibakkan rambut yang menutupi wajah sani dan melihat rona indah di pipi sani.
"Aku mencintaimu sani", jajang mengucapkan kata itu sendirinya merasakan dan mengungkapkan perasaannya.
Mata sani membulat seketika merasakan getaran yang kian menghebat dan rona wajahnya yang kian bertambah, surwa berjingkarak dari kejauhan dia amat sangat ingin berguling guling di tanah dan seperti terbawa melodi yang tercipta.
"Aku juga cinta kamu!, ayolah katakan itu aku menunggu aku menunggu.. Kyaaa...", surwa kegirangan ingin sekali dia bersembunyi di tepi sungai tapi dia juga tak ingin melewatkan kejadian luar biasa itu.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!