MHON DUKUNGANNYA MESKIPUN STORY INI UDAH TAMAT, KARENA DUKUNGAN KALIAN BIKIN SYA SEMANGAT BERKARYA LEBIH BAIK LAGI KE DEPANNYA, THANKYOU💙
Selamat membaca!
^^^©️Andromeda61^^^
...••••••...
Umpatan dan makian tidak cukup menggambarkan perasaan kecewa Joanna malam ini.
Wanita itu tidak bisa berpikir jernih setelah mengetahui jika Kekasihnya berselingkuh.
Bermain api dengan wanita lain dan membuat hatinya hancur seketika. Meluruhkan semua rasa cinta Joanna untuk Ethan dalam sekejap saja.
"Dasar bajingan!"
Kedua tangan Joanna berkali-kali memukul kemudi, berharap bisa mengurangi sakit hatinya namun justru bayangan itu terus berputar di kepalanya.
Hingga Joanna menambah kecepatan mobilnya dan menyetir secara ugal-ugalan. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya sendiri dan pengendara lain.
"Aku membencimu, Ethan! Sangat membencimu!" ucapnya sambil menitihkan airmata.
Tujuan utamanya malam ini hanya satu, mendatangi sebuah Kelab untuk bersenang-senang sekaligus menghilangkan kekecewaan yang terasa meremukkan hatinya.
"Hai! Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Member baru, huh?"
Tatapan tajam Joanna berhasil mengatupkan kembali bibir pria Bartender itu agar tidak banyak bertanya dan bersikap sok akrab padanya sebab saat ini, Joanna tidak butuh teman mengobrol.
Setelah menunggu beberapa menit, si Bartender menyodorkan segelas minuman alkohol berkadar tinggi.
Sialan.
Joanna bukan alkoholic atau semacamnya, yang memiliki toleransi tinggi terhadap cairan pahit itu namun suasana hatinya sangat mendukung Joanna untuk langsung meneguk minuman itu sampai habis.
Hingga pada gelas kedua— tubuh Joanna mulai bereaksi. Wajahnya memerah padam, menahan sesuatu.
"Ssh! Kenapa tiba-tiba tubuhku terasa panas?" gumamnya sendiri.
Yang masih bisa didengar oleh Bartender di hadapannya tersebut. Pria itu menyeringai puas setelah berhasil mengerjai Joanna karena kesal dengan sifat angkuhnya di awal pertemuan mereka tadi.
Satu tangan Joanna terayun di depan wajah. Buliran peluh membasahi pelipis. Membuat Joanna mulai berdiri meninggalkan kursi Bar menuju toilet.
"Lurus saja, sebelah kiri." kata Bartender itu menjelaskan santai.
Tidak ada perasaan bersalah.
Mengingat siapa pun yang datang ke tempat ini, pasti memiliki tujuan ingin bersenang-senang, termasuk Joanna.
Tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya itu, bisa merugikan orang lain di kemudian hari.
...••••••...
"Om David tidak mungkin sekejam itu pada Putranya sendiri! Bekerja siang dan malam bagai kuda ... Sekali-kali, kamu harus menikmati hidup, Jean! Absen satu hari dari pekerjaan, tidak akan membuatmu bangkrut dan jatuh miskin."
Sementara pria bernama Jean itu mendengus kesal saat melihat Jordan— Sahabatnya, sedang menggoda salah satu gadis penjaja yang tidak sengaja melewati meja mereka.
"Lalu aku harus hidup seperti kamu? Suka bermain dengan banyak wanita dan berakhir terkena penyakit menular nantinya karena kebiasaan celup sana-sini, begitu maksudmu?"
"Setiap orang bisa berubah, Je! Kurasa, kamu perlu mencoba sesuatu ..." Tangan Jordan begitu cepat memasukkan bubuk putih ke dalam minuman Jean tanpa sepengetahuan pemiliknya sebab mata Jean sedang fokus menatap seseorang yang berjalan sempoyongan menyusuri lorong Kelab, "Ayo bersulang!"
"Bersulang!"
"Untuk si pria sok suci— Arjean Soenser!"
Jean tidak sakit hati mendengar ejekan Jordan karena keduanya sudah berteman cukup lama.
Saling mengejek satu sama lain adalah hal yang biasa mereka lakukan selama ini.
Bukan hanya sekali mereka mengunjungi Kelab malam. Jean hanya datang saat dirinya merasa penat dan butuh hiburan sebentar, berbeda dengan Jordan yang hampir setiap malam tidak pernah absen untuk melakukan ONS bersama para gadis penjaja di sana.
"Kenapa wajahmu memerah?"
Bohong.
Jordan tahu, itu adalah reaksi obat yang sempat ia masukkan ke dalam gelas vodka milik Jean tadi.
"Entahlah! Aku mau ke toilet dulu."
Setelah Jean pergi, Jordan menyeringai senang lalu mendial nomor seseorang dan menyuruhnya membawakan gadis yang masih tersegel untuk menemani Jean tidur malam ini.
Tak lupa!
Kamar VVIP, sudah dipesan juga agar wanita itu bisa menunggu Jean di sana.
"Kamu butuh pelepasan dan itu tidak bisa dilakukan sendirian, Jean."
Jahat?
Tidak.
Jordan hanya ingin mengajari Jean agar hidupnya tidak terlalu monoton dan tidak menjadi pria workaholic yang membosankan di usianya yang masih terbilang muda.
Jangankan bercinta, memiliki kekasih saja, sama sekali tidak terpikirkan oleh Jean.
"Sepertinya aku juga harus ikut bersenang-senang malam ini!"
...••••••...
BRAK!
"Sial! Kepalaku pusing sekali!"
Keributan di toilet wanita membuat Jean merasa penasaran dan ingin memeriksa keadaan di sana.
Jean takut ada kejadian buruk yang bisa menyeret namanya, mengingat tidak ada pengunjung lain selain dirinya di sekitar toilet tersebut.
Bisa jadi ada percobaan pembunuhan dan semacamnya 'kan? Jean tidak mau disuruh menjadi saksi, itu berat!
"Astaga, Nona! Bangun! Kamu bisa mendengarku, hey!"
"Lepas, ish! Kenapa tubuhku semakin panas saat kamu sentuh, eum?"
Tanpa aba-aba, Joanna mengikis jarak diantara mereka. Tubuh Jean menegang di tempat.
Merasakan sensasi aneh pertama kalinya padahal semenjak tadi, Jean berusaha mati-matian menahan gejolak hormon prianya agar tidak sembarangan menyentuh wanita yang ada di tempat tersebut.
Iya. Jean tidak senaif yang dipikirkan orang-orang selama ini. Tentu saja Jean tahu soal **** meski ini pengalaman pertamanya.
Dan maaf!
Jean tidak suka berbagi, apalagi dengan wanita yang telah disentuh oleh banyak pria.
"Hey! Apa yang–"
"Berisik! Tolong bantu aku, eum ... Sepertinya, Bartender tadi memasukkan sesuatu diminumanku sampai tubuhku terasa panas, Tuan."
Dengan pencahayaan yang minim, Jean masih bisa melihat wajah memerah wanita cantik itu, yang terus bergerak tak nyaman di hadapannya.
Tubuhnya juga sudah berkeringat, persis seperti yang dirasakan oleh Jean saat ini.
"Tsk! Kamu membuang waktuku, minggir!"
Lengan wanita itu ditahan oleh Jean, "Sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama denganmu."
"Lalu tunggu apalagi, bodoh? Cepat pesan kamar untuk kita!"
Keduanya pun terlarut dalam permainan panas hingga menjelang pagi. Melupakan fakta bahwa mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
...••••••...
Hari telah berganti.
Joanna terbangun dan mendapati seorang pria terlelap di sampingnya.
Kondisi kamar itu sangat berantakan dan membuat perut Joanna terasa mual.
"Dimana aku?"
Dengan seluruh sisa kesadaran yang dimiliki, Joanna bangun lalu memakai kembali pakaiannya. Mengabaikan eksistensi pria itu.
"Tidak mungkin dia pria bayaran? Wajahnya tampan dan kulitnya juga terawat. Aku bahkan tidak melihat pori-pori di wajahnya? Ish! Merepotkan sekali! Kenapa aku harus mabuk dan berakhir bercinta dengan dia, ck!"
Sekali lagi, Joanna memperhatikan wajah Jean yang masih terlelap nyaman dengan selimut yang mulai melorot hingga memperlihatkan perut kotak-kotaknya dengan jelas.
"Badannya juga bagus! Tsk! Tetap saja kamu harus periksa ke Dokter setelah ini, Joanna! Jangan sampai aku terkena penyakit menular karena melakukan itu dengan pria asing!" gumamnya pada diri sendiri.
Bukan resiko kehamilan yang dipikirkan oleh Joanna sekarang, melainkan ia takut terkena penyakit HIV jika bercinta dengan sembarang orang apalagi di Kelab malam.
Selama ini Joanna hanya berhubungan dengan Ethan, pria yang baru saja diputuskan Joanna semalam.
"Dasar brengsek! Semua pria sama saja!" umpatnya sembari memasang antingnya lagi.
Joanna keluar setelah memastikan tidak ada satu pun barang miliknya yang tertinggal di kamar itu lalu mendatangi petugas keamanan bagian cctv dan menyuruh mereka menghapus seluruh rekaman yang memperlihatkan Joanna digendong menuju salah satu kamar VVIP oleh pria tadi.
"Terimakasih atas kerjasamanya."
Tentu dengan kekuatan uang yang Joanna miliki, semua urusannya di Kelab itu bisa diatasi dengan mudah tanpa diketahui oleh siapa pun, termasuk Jean.
...••••••...
Cahaya matahari semakin naik.
Menerobos masuk melalui celah jendela kaca yang ada di ruangan tersebut.
Aroma khas percintaan masih tercium di sana.
Jean menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan menyadari jika ini bukan kamarnya.
"Sial! Kepalaku benar-benar pusing sekali!"
Kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
Tiga puluh panggilan tidak terjawab dan dua puluh tujuh pesan dari Sean dan Ayahnya.
Sebab nama Tuan David berada di urutan paling atas pada daftar notifikasinya saat ini.
"Jean, dimana kamu? Kenapa baru mengangkat telepon dari Papa? Kamu lupa jika pagi ini kita ada rapat penting untuk proyek Hotel di Malang?"
"Maaf, Pa. Marahnya nanti saja! Lima belas menit lagi Jean sampai kantor! Jean tutup!"
"Tapi Je–"
Panggilan dimatikan sepihak oleh Jean.
Kepalanya masih pusing, Jean bisa mengurus masalah rapat itu nanti.
Jean ingin mandi untuk menghilangkan lengket di sekujur tubuhnya. Berharap sakit kepalanya bisa mereda setelah diguyur air dingin.
Semalam Jean benar-benar mabuk dan tidak mengingat jelas wajah wanita itu namun Jean yakin, dia cantik.
Ragu.
Jean tidak menyebut perasaannya saat ini adalah sebuah cinta pada pandangan pertama, hanya saja, Jean merasa tertarik dengan pemilik rambut sehitam jelaga yang berhasil membuatnya menggila semalam hingga Jean lupa berkenalan.
"Apa aku suruh saja Sean untuk mencari tahu tentang wanita itu?"
...••••••...
"Bagus! Semalaman tidak pulang dan lihat penampilanmu itu!"
Kedua mata Joanna berotasi malas ketika langkahnya dihadang oleh Anne, Ibu Tirinya.
"Tante, minggir! Aku sedang malas ribut."
"Malas ribut katamu? Kamu–"
Ucapan Nyonya Anne terhenti saat mendengar bunyi deru mesin mobil Suaminya memasuki halaman depan. Membuat Joanna kembali mendengus kesal sebab ia sudah paham dengan yang akan terjadi selanjutnya.
"Ya Tuhan! Maafkan Mama, Joanna! Mama ... Hiks! Mama merasa gagal mendidikmu menjadi anak baik-baik."
Belum selesai urusan Joanna dengan wanita itu, si Ratu Drama datang dan langsung ikut menyela, "Astaga, Joanna! Jadi begini kelakuanmu jika Papa dinas keluar kota?" sindir Rosa dengan suara dibuat agak keras.
Supaya Tuan Dery mendengar ucapannya dan memarahi Joanna.
Tak sampai di situ saja, Rosa berjalan menghampiri Ayah Tirinya yang menatap bingung pada ketiga wanita itu.
"Semalam Joanna pergi ke Kelab dan tidak pulang, Pa! Lihat! Bajunya saja kekurangan bahan begitu." adunya lagi.
Beruntung, sebelum pulang Joanna sempat mampir ke rumah salah satu Temannya lalu menumpang mandi dan menyemprot banyak parfum untuk menghilangkan jejak.
Meski Joanna lupa mengganti baju, yang paling penting, ia bisa sedikit mengurangi kecurigaan Ayahnya.
Merasa dipojokkan, jelas Joanna tidak terima dan langsung mengangkat dagu, seolah menantang Rosa dan Ibunya yang tampak bersemangat membuat namanya buruk di depan Tuan Dery, meski sebenarnya itu memang fakta.
"Punya bukti jika aku pergi ke Kelab, huh? Kalau tidak, sebaiknya tutup mulutmu dan tinggalkan kami berdua sekarang!"
"Joanna! Jangan kurang ajar pada Kakakmu."
"Aku anak tunggal mendiang Mama Jasmine jika Papa lupa! Oh ya ..."
Tanpa permisi, Joanna mendorong kasar tubuh Rosa menyamping hingga kedua tangan Rosa yang mengapit lengan Tuan Dery pun ikut terlepas.
"Tidak usah terhasut ucapan mereka, Papa! Ada yang ingin aku bicarakan sekarang, ini penting!"
"Okay! Papa akan bersikap netral. Tidak memihak siapapun sebelum Papa melihat sendiri kesalahan itu. Termasuk tidak langsung percaya ucapan Mamamu dan Rosa."
"Ya, ya! Terserah! Kita bicarakan masalah ini di ruang kerja Papa, hanya berdua ..."
Melihat Nyonya Anne dan Rosa berjalan mengikuti di belakang sana, membuat bibir Joanna mendesis tak suka, "Aku yakin, kalian pasti paham dengan ucapanku barusan!"
Hingga kedua wanita itu mematung di tempat dengan seluruh emosi yang tertahan.
Mereka takut jika Joanna membicarakan masalah pembagian harta warisan dan menghasut Tuan Dery agar tidak mencantumkan nama mereka sebagai salah satu ahli waris keluarga Percy.
"Aku benar-benar membenci Joanna!"
"Ya, Mama juga. Tapi kita tidak boleh gegabah! Biarkan dulu! Kita turuti keinginan wanita arogan itu!"
...••••••...
TOUCH VOTE, LIKE AND COMMENT!
Ketegangan di ruangan itu semakin terasa ketika seorang pria berjas abu-abu berjalan tergopoh memasuki ruangan tersebut.
Jean— menarik kursi yang ada di depan meja kerjanya. Duduk berhadapan dengan pria lain yang kini menatapnya tajam.
"Maaf, aku terlambat."
Pria termuda berkulit tan yang duduk di sampingnya berdehem pelan, seolah mengingatkan bahwa Jean terlambat lebih dari semestinya jam masuk kantor.
"Sean, tolong keluar dulu. Aku ingin bicara berdua dengan Papa."
"Baik, Pak Jean. Saya permisi dulu."
Setelah Sean pergi, raut wajah Jean seketika berubah. Merasa bersalah sebab baru datang ke kantor di jam makan siang.
Namun tidak membuat keberanian Jean menciut, "Pa–"
BRAK!
Kening Jean mengkerut bingung, menatap sebuah amplop coklat yang baru saja dilempar Ayahnya ke atas meja.
Jika melihat ekspresi kemarahan sang Ayah, Jean yakin, isi dari amplop itu bukan sesuatu yang baik.
"Papa menyuruh orang mengawasiku lagi?" tanya Jean dengan suara tenang.
Memasukkan kembali beberapa lembar foto yang memperlihatkan dirinya dan Jordan pergi ke Kelab semalam.
"Papa kecewa padamu, Jean!"
Jean masih tak bergeming. Membiarkan Ayahnya kembali bersuara.
"Papa akan mengirimmu ke Amerika untuk mengurus salah satu Hotel kita yang ada di sana! Sementara pekerjaanmu di kantor ini, biar Sean yang mengurusnya ..."
Tuan David beranjak dari kursi, mengaitkan kembali kancing jasnya yang terlepas, "Lusa kamu akan berangkat! Papa sudah mengurus semua keperluanmu selama tinggal di sana dan Papa ingin kamu fokus bekerja, Je! Jangan jadikan rasa bosan itu sebagai alasan untuk kamu bisa bebas mendatangi Kelab karena Papa tidak mengizinkan Pewaris DS Group melakukan hal buruk yang bisa merusak citra keluarga Soenser dan Papa juga sudah menyuruh seseorang menemanimu di sana."
"Papa pikir aku anak kecil? Aku hanya mampir sebentar, Pa. Tidak! Maksudnya, aku jarang pergi ke Kelab! Kenapa Papa tidak pernah mengerti bahwa usiaku sudah legal untuk pergi ke tempat itu dan–"
"Dan kamu melakukan one night stand bersama salah satu gadis penjaja di sana tanpa memikirkan akibatnya, Arjean Soenser?"
"Dengarkan Jean dulu, Pa!"
"Kamu yang harus mendengarkan Papa, Je! Satu-satunya pewaris DS Group itu kamu! Dan harapan terbesar Papa itu juga kamu! Papa hanya ingin kamu hidup dengan benar. Fokus dengan perusahaan selama kamu belum ingin menikah."
"Papa!"
Tanpa menyahut lagi, Tuan David meninggalkan ruangan tersebut.
Enggan melanjutkan perdebatan itu lagi yang membuat tensi darahnya naik hingga kepalanya terasa berdenyut nyeri. Memikirkan Putra satu-satunya bermain dengan wanita sembarangan di luar sana tanpa berpikir resiko yang akan dihadapi nantinya.
Tuan David takut, jika suatu hari nanti ada wanita yang mengaku hamil anak Jean dan status keluarga wanita itu tidak jelas.
Ia bukan tipikal orang yang memandang orang lain dari status sosialnya tapi selama ini, Jean tidak pernah berkencan dengan wanita manapun.
Bisa jadi, wanita itu hanya memanfaatkan Putranya demi harta yang dimiliki oleh Keluarga Soenser.
...••••...
"Apa? Connecticut? Itu jauh sekali, Joanna."
"Hm, aku tahu! Tapi kesempatan tidak datang dua kali, Papa. Aku ingin mengembangkan Jo's Bakery supaya bisa go international. Bagaimana menurut Papa soal ideku ini? Bagus 'kan?"
Ada perasaan tidak rela sekaligus khawatir mendengar keputusan yang diambil Joanna secara tiba-tiba.
Jika biasanya Joanna hanya meminta izin pergi keluar kota beberapa hari, maka saat ini, keinginan Joanna membuat Tuan Dery termenung sesaat.
Wajah tuanya diliputi dengan kekhawatiran, apalagi Joanna anak perempuan satu-satunya yang Tuan Dery miliki.
"Papa harus percaya padaku. Jo's Bakery akan berkembang pesat dalam dua tahun. Tidak usah cemas, Pa! Kalandra yang akan membantu Joanna selama di sana."
Jemari lentik itu menggenggam tangan Tuan Dery yang terasa hangat. Berusaha meyakinkan bahwa kali ini Joanna bersungguh-sungguh dengan rencananya tersebut.
Meski ini hanya alibi Joanna untuk melupakan patah hatinya sekaligus bentuk kewaspadaan Joanna atas kejadian semalam.
"Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"
Joanna mengangguk mantap. Menghilangkan keraguan pada sorot mata Ayahnya sebab tidak berpikir jika Joanna akan mengambil keputusan sejauh itu.
Mengingat bahwa selama ini Joanna tampak enggan mengelola bisnis roti milik mendiang Ibunya dan justru menyerahkan semua tanggung jawab toko pada salah satu orang kepercayaan mendiang Nyonya Jasmine.
Sementara Joanna?
Tidak mau bergabung di perusahaan Ayahnya dengan alasan ada Rosa di sana.
Yang kerjanya hanya menyuruh Asistennya menghandle tugas yang bukan jobdesknya. Sebab Rosa hanya bermodalkan cantik sementara otaknya, minus.
"Tolong jangan meragukan Joanna, Pa. Selama ini, Papa hanya melihat Joanna keluyuran tidak jelas. Pulang larut malam dan ya, Joanna bermain di Kelab–"
Tuan Dery hendak menjewer telinga Joanna namun wanita itu lebih dulu menghindar, "Ish! Papa dengarkan Joanna dulu!"
"Jadi benar ucapan Rosa tadi? Kalau kamu suka pergi ke Kelab malam?"
"Just for having fun, Papa. Aku cuma melepas stres, tidak boleh?"
"Papa tidak suka kamu terjerumus ke dalam pergaulan bebas Joanna, astaga! Anak ini benar-benar!"
"Okay, okay, maaf! Jadi sampai mana tadi pembicaraan kita ..."
Joanna kembali mendudukkan pantatnya di sofa kosong samping Tuan Dery. Memasang ekspresi meyakinkan supaya Tuan Dery percaya jika kali ini, Joanna memang serius ingin mengurus Jo's Bakery dan belajar hidup mandiri juga.
"Aku yakin, orang-orang di luar negeri pasti suka dengan roti buatan Jo's Bakery yang terkenal enak di sini."
Senyum Joanna penuh percaya diri. Membayangkan saat roti buatannya terjual habis dan bisnisnya bisa berkembang dalam waktu singkat.
"Terserah. Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Papa akan dukung. Asal kamu bisa menjaga diri dan tidak membuat masalah apapun, ingat!"
Joanna mengangguk senang lalu berdiri dan memberikan sebuah pelukan hangat untuk Ayahnya.
Tidak lupa dengan uang saku yang nominal angkanya lebih dari enam digit, yang baru saja menambah saldo ATM-nya.
Membuat sudut bibir Joanna tidak berhenti tersenyum.
"Terimakasih! Papa memang yang terbaik!"
"Gunakan uang itu untuk membeli sesuatu yang kamu perlukan! Papa yakin, kamu bisa bijak mengelola uang yang sudah Papa berikan. Papa percaya padamu, Joanna."
Mengingat Connecticut merupakan salah satu kawasan elit, tentu saja biaya hidup di sana cukup tinggi.
Beruntung, secara finansial Joanna serba berkecukupan. Ayahnya memiliki bisnis fashion dan sering menjalin kerjasama dengan banyak agensi yang menaungi artis terkenal sebagai brand Ambasadornya.
...••••••...
Tiga bulan kemudian, Joanna telah berhasil membuktikan ucapannya. Ia sukses mengembangkan Jo's Bakery dan sudah memiliki pelanggan tetap di kota itu.
"Lalu apa rencanamu sekarang? Kamu tidak mungkin menyembunyikan kehamilanmu dari Om Dery terlalu lama, Joanna."
Kalandra duduk di pinggir ranjang, menunggu Joanna selesai memakai skincare malamnya.
Ia heran sebab Joanna terlihat santai dengan kehamilannya. Seolah itu bukan masalah yang serius.
"Aku tidak tahu, Kala! Aku tidak pernah berpikir menggugurkan anak ini karena aku tidak mau hidup dalam bayang-bayang perasaan bersalah ..."
Selesai memakai skincare, Joanna langsung membaringkan tubuhnya lalu menarik selimut hingga sebatas dada. Mengabaikan Kalandra di sampingnya, "Yang penting ada kamu yang selalu membantuku. Tolong jaga rahasia ini sampai Bayiku lahir. Jangan sampai Papa dan dua nenek sihir itu tahu."
Iya. Joanna hamil satu minggu setelah insiden malam itu.
Padahal Joanna sudah meminum pil pencegah kehamilan namun Dokter bilang, itu sering terjadi pada beberapa kasus pasangan saat si wanita dalam masa subur maka pembuahan akan berhasil jika kualitas ****** juga bagus.
"Lalu siapa Ayah dari bayi itu?"
Kesekian kalinya, Kalandra menanyakan hal yang sama.
"Siapa Ayahnya itu tidak penting! Aku masih bisa menghidupi anak ini seorang diri, Kalandra."
"Ya Tuhan! Bukan itu maksudku, Joanna! Anakmu butuh nama Ayahnya untuk pembuatan akta kelahiran dan kamu–"
"Terserah! Aku mau tidur dulu! Kepalaku pusing mendengarmu terus mengomel. Good night!"
"Hm, good night! Semoga kamu mimpi buruk!" ketus Kalandra yang sudah terlalu kesal.
...••••••...
TOUCH VOTE, LIKE AND COMMENT!
Tak terasa, waktu terus berputar dengan cepat.
Perut rata Joanna kini mulai terlihat membuncit. Bayi yang diprediksi oleh Dokter adalah seorang bayi laki-laki, membuat Joanna kadang merasa kewalahan sebab bayi Joanna cukup aktif melakukan pergerakan di dalam perutnya dan kadang, Joanna juga merasa nyeri di bagian bawah perutnya.
Meski merepotkan, Joanna jarang mengeluh dan tetap santai menjalani hari-harinya mengurus toko.
Joanna juga menghindari semua nomor panggilan dari Indonesia. Menghilang tanpa kabar dan berjanji akan kembali secepatnya setelah bayi itu lahir.
Bahkan saat Ayahnya menelepon, Joanna beralasan tidak bisa berbicara sekarang karena sibuk melakukan riset untuk memasarkan produk rotinya ke berbagai negara.
Anggap saja Joanna berlebihan tapi hanya itu alasan yang cukup masuk akal menurutnya agar sang Ayah berhenti menghubungi Joanna dan menanyakan alamat rumah barunya.
Iya. Joanna dan Kalandra pindah rumah setelah tahu Joanna hamil satu bulan.
Setidaknya, sampai Joanna siap memberitahu Ayahnya tentang masalah ini.
Apalagi kalau sampai Nyonya Anne dan Rosa tahu dirinya kebobolan sebelum menikah, mereka bisa lebih mudah memprovokasi Tuan Dery agar nama Joanna dicoret dari daftar ahli waris.
"Jo! Papamu telepon!"
Teriakan Kalandra membuat tubuh Joanna menegang. Ia segera menghidupkan alat mixer hingga suara mesinnya terdengar bising.
"Halo."
"Ya Tuhan, Joanna! Sayang! Kenapa nomormu tidak aktif? Jangan bilang kamu kecopetan lagi dan–"
"I'm fine! Papa, apa kabar? Dua bulan tidak mendengar suara Papa, Joanna jadi rindu. Maaf! Akhir-akhir ini Joanna sibuk. Toko sedang banyak pesanan untuk pesta, Papa dengar? Aku bahkan menerima telepon saat membuat adonan roti, hehe."
Joanna tersenyum tipis saat mengingat beberapa pelanggan memuji roti buatan tokonya sangat enak. Mampu menyaingi roti dari Britalk dan Halland.
"Wah? Selamat ya, Nak! Akhirnya usahamu berkembang sesuai harapanmu! Papa bangga! Oh ya, Joanna ..."
Ada jeda sebentar sebelum suara Tuan Dery kembali terdengar.
"Tolong beritahu Papa alamat rumahmu yang baru! Joanna! Papa tidak akan marah jika ternyata kamu menyembunyikan sesuatu dari Papa, sungguh!"
Tubuh Joanna menegang. Rasa panik mulai menyerang sebab tidak menyangka jika Ayahnya mulai bisa menebak ketakutan yang selama ini Joanna rasakan.
Menyembunyikan kehamilan itu dari semua orang terutama dari Ayahnya.
"Joanna? Sayang! Kamu masih mendengar Papa 'kan? Halo–"
"Maaf, Pa. Toko lagi ramai. Aku tutup teleponnya sekarang ya? Bye!"
Selalu akhir yang sama, menjadi penutup percakapan mereka. Joanna benar-benar belum siap menghadapi kemarahan Tuan Dery. Tidak masalah jika dirinya diejek akibat perbuatannya tapi Joanna tidak bisa jika menyangkut tentang keluarga satu-satunya yang ia miliki yaitu Tuan Dery.
Maafkan Joanna, Pa.
"Om Dery menanyakan alamatmu lagi, Jo?"
"Hm, memang apalagi menurutmu ..." Joanna kembali melanjutkan mengadon kue lagi.
Mematikan mixer yang sempat ia nyalakan lalu menarik kursi tinggi di sampingnya, "Papa pasti marah jika tahu aku hamil, Kalandra."
"Itu benar tapi kemarahan Om Dery akan mereda seiring berjalannya waktu. Kenapa tidak mencoba bicara dulu?"
"Tidak semudah itu. Aku takut–"
"Takut tidak mendapat warisan?"
Joanna mengangguk pelan.
Menatap sendu pada adonan roti yang ia remas-remas guna menyalurkan perasaan yang ia rasakan saat ini.
Sebenarnya Joanna tidak takut hidup susah jika Tuan Dery tidak memberinya warisan namun Joanna tidak rela kalau sampai seluruh kekayaan Percy jatuh ke tangan orang yang salah.
Tidak perlu dijelaskan, semua sudah tahu siapa orang yang dimaksud oleh Joanna.
Soal modal?
Joanna pikir, dengan omset jutaan dollar perbulan yang dihasilkan Jo's Bakery sudah bisa mengembalikan modal awal yang diberikan oleh Ayahnya.
Dengan sisa tabungan yang dimiliki, Joanna yakin bisa menghidupi kebutuhan dirinya dan calon Bayinya kelak.
"I know! Kalau itu yang kamu takutkan, tenang Jo! Aku bisa bantu membujuk Om Dery supaya kamu tetap dapat bagianmu, gampang 'kan?"
Joanna mendecih, "Mereka licik, Kalandra! Tidak semudah itu menghadapi orang serakah seperti Rosa dan Anne."
"Demi Tuhan! Aku tidak ikhlas jika semua harta Papa jatuh ke tangan mereka!" lanjutnya.
"Lalu sampai kapan kamu seperti ini? Aku sudah pernah bilang soal rencana pernikahanku 'kan?"
Joanna dan Kalandra saling beradu pandang untuk sejenak.
Kalandra memeluk tubuh Joanna yang agak berisi sejak kehamilannya. Mengusap punggung Joanna seraya menggumamkan kata maaf karena Kalandra tidak bermaksud meninggalkan Sahabatnya saat kondisi Joanna seperti ini.
"Sorry!"
"Aku baik-baik saja, Kala! Jangan berlebihan."
"Semua ini karena bajingan itu! Andai dia tidak selingkuh dengan— sudahlah! Awas saja kalau ketemu! Akan aku potong belalainya nanti."
Joanna yang awalnya terharu dan ingin menangis, berubah tertawa kecil mendengar ancaman Kalandra yang begitu mengerikan.
Dibanding beradu otak, Kalandra lebih suka beradu otot saat wanita itu sedang marah.
Ia tipikal wanita keras di luar namun berhati lembut pada orang-orang yang disayang.
Seperti saat ini. Setelah mengatakan kalimat berisi ancaman, Kalandra menangis sesenggukan. Meratapi nasib Joanna dan Bayinya yang lahir tanpa Ayah.
Sementara Joanna sendiri hanya terkekeh geli. Memaklumi kecemasan Kalandra sebab keduanya sudah bersahabat sejak SMP. Tidak heran jika hubungan mereka bak saudara kandung, begitu dekat dan saling peduli satu sama lain.
"Everything will be fine, Kala! Selalu percaya setelah badai, akan ada pelangi yang muncul." gumamnya sambil menepuk pelan punggung Kalandra yang semakin bergetar.
"Joanna, hiks!"
Menyesal pun tidak ada gunanya lagi. Tidak akan mengubah keadaan Joanna yang sudah terlanjur hamil.
Oleh karena itu, daripada meratapi nasibnya, Joanna memilih berpikir logis untuk tujuan hidupnya bersama Anaknya di masa depan.
...••••••...
Tujuh bulan Jean dibuat emosi dengan kinerja para pegawai Hotel yang banyak melakukan kecurangan.
Seperti memanipulasi data keuangan perusahaan serta absensi beberapa pegawai yang sering terlambat masuk hingga mencuri waktu di jam kerja sampai yang paling fatal adalah korupsi dalam jumlah besar, sebanyak lima milyar.
Belum lagi soal wanita yang bercinta dengannya dalam satu malam yang tak kunjung ditemukan informasinya sebab Jean belum sempat menanyakan nama wanita itu.
Semua pegawai di Kelab sudah dibayar untuk tutup mulut dan rekaman telah dihapus. Sean juga ikut frustasi karena tidak bisa menemukan ciri-ciri wanita yang disebutkan oleh Bosnya itu.
"Masuk."
Hazel datang membawa laporan data pribadi pegawai yang melakukan penggelapan dana sejak empat bulan terakhir.
"Minta surat pemecatan pada HRD dan beritahu Alena agar segera membereskan semua barang-barangnya hari ini serta ..." Jean memejamkan mata sebentar saat denyutan di pelipisnya tak kunjung mereda, "Suruh Alena mengembalikan uang lima milyar itu besok pagi. Jika dia menolak, laporkan masalah ini ke polisi atas tuduhan korupsi uang perusahaan."
Setelah mendengar instruksi dari Bosnya, Hazel undur diri.
Melakukan perintah Jean secepatnya agar kantor ini bebas dari para pengerat yang tidak punya kredibilitas tinggi, yang bisa merugikan perusahaan lebih dari ini.
"Sepertinya aku butuh udara segar."
Biasanya ada Jordan yang selalu diminta menemani Jean saat pria itu merasa penat dengan semua pekerjaan yang hampir menyita seluruh waktu yang dimiliki.
Mendatangi Kelab malam untuk minum tanpa menyentuh gadis bayaran di sana karena Jean tidak suka melakukan **** dengan sembarang wanita, ingat!
Soal Joanna kemarin?
Anggap Jean sedang sial karena kejahilan Jordan malam itu hingga membuatnya tidak bisa mengontrol diri dan berakhir meniduri seorang wanita asing yang tidak dikenal meski Jean tidak yakin, apa wanita itu termasuk salah satu gadis yang menjajakan diri di tempat itu atau tidak.
Jean mulai menepikan mobilnya dan memasuki sebuah toko yang ada di pinggir jalan.
"Selamat dat— oh, astaga! Tampan sekali!" gumam Kalandra senang.
Memasang wajah ramah sembari menatap kagum pada sosok pria aprodhite di hadapannya itu.
"Kudengar roti di toko ini sangat enak."
"Benar. Karena anda pelanggan baru ... Silahkan cicipi tester yang sudah kami sediakan. Keju dan strawberry adalah isian paling favorit di sini, silahkan!"
Jean mengernyit tak suka pada roti isian strawberry.
"Ini terlalu asam! Aku mau coklat dan keju saja. Masing-masing lima."
Selesai membayar, Jean langsung pergi. Ia tidak suka basa-basi apalagi setelah memperhatikan gestur pegawai toko itu terlihat tertarik padanya.
Jean kesal dan risih, tentu saja.
"Terimakasih. Semoga jadi langganan."
"Sampai jumpa— Mr. Handsome!" lirih Kalandra di akhir kalimat.
Dan kemunculan Joanna beberapa detik setelah pria itu pergi, disambut dengan pukulan kecil di bahunya oleh Kalandra.
"YAK! Sakit, Kala!"
"Kamu telat, Jo!" serunya sambil membayangkan wajah pria tadi.
"Apa?"
"Tadi ada pembeli tampan masuk toko."
Sudah Joanna duga.
Melihat ekspresi menggelikan Kalandra seperti ini, Joanna tidak kaget dengan tabiat Sahabatnya itu, yang menjadi bagian dari wanita pecinta visual.
Padahal Daren— calon Suaminya, tak kalah tampan juga.
Seperti aktor barat Robert Patinson, meski hanya sekilas.
Tapi menurut Joanna, Daren termasuk pria tampan yang pernah ia temui.
"Lesung pipi, kulit putih dan bibir bawahnya yang penuh— GILA! Dia tipeku sekali, Joanna!"
"Lalu bagaimana dengan Daren, huh? Ingat! Kalian mau menikah, Kal! Jangan aneh-aneh!"
Kalandra mendengus kecil, "Tidak usah diingatkan! Itu masih beberapa bulan lagi, okay!"
Ia mengikuti Joanna yang duduk di salah satu kursi yang ada di depan etalase sebab toko itu memiliki lima kursi dan meja khusus untuk para pelanggan yang ingin dine in; makan di tempat.
"Seharusnya kamu juga melihat pria itu, Jo! Setelah kupikir lagi ... Pria itu cocok jadi Ayah untuk Bayimu."
Kalandra mulai membayangkan Joanna dan pria itu menikah hingga memiliki anak-anak yang lucu dan bervisual luar biasa, yang mewarisi gen dari kedua orangtuanya.
Sempurna sekali!
"Pokoknya dia tampan, sangat tampan! Aku sampai melongo menatap senyum tipisnya tadi!"
Padahal saat pertama kali masuk, pelanggan itu sama sekali tidak menunjukkan senyum ramah padanya.
"Bersyukur, Kal! Kurang tampan apalagi Daren, huh? Masih sempat-sempatnya kamu mengagumi pria lain, tsk!"
"Serius, Joanna! Andai kamu bertemu dengannya tadi, aku yakin ... Kamu akan menjadikan pria itu sebagai Papa dari Bayimu." serunya lagi.
"Papa your head! Berhenti melantur! Lebih baik kamu ke Minimarket membeli keperluan yang habis! Aku tidak mau Bayiku kekurangan gizi karena Aunty-nya malas belanja mingguan, sana!"
"Ck! Dasar bulol! Tidak asyik!"
Iya. Sebutan bulol memang cocok untuk Joanna yang belum move on dari mantan Kekasihnya yang brengsek itu hingga membuat Joanna tidak mau menjalin hubungan dengan siapa pun dan beralasan ingin fokus dengan Bayinya saja.
...••••••...
TOUCH VOTE, LIKE AND COMMENT!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!