Tring! Tring!
Berulang kali ponsel Reddick berbunyi. Itu adalah suara notifikasi sebuah pesan. Pesan dari anonim yang tidak di kenalnya.
Awalnya pria berkaca mata ini akan memblokir tanpa membuka apa isi pesan itu. Karena bisa di pastikan pesan itu terus saja memberi informasi tentang Bellina istrinya. Dan Red yakin itu adalah sebuah foto. Sama seperti hari-hari yang lalu. Foto istrinya yang sedang berselingkuh. Perempuan itu selalu terlihat bahagia bersama pria lain. Padahal di depannya wanita itu begitu dingin.
Brak! Red melempar ponselnya dengan marah. Tidak terasa air matanya mengalir. Jika ada yang melihat, ini akan sangat memalukan. Seorang lelaki menangis karena terluka hatinya. Meski memalukan karena menangis, tidak bisa di pungkiri bahwa ia tidak tahan dengan perselingkuhan istrinya. Ia marah tapi tidak bisa. Pecundang.
Dia bukan orang biasa. Reddick adalah CEO sebuah perusahaan yang bergerak di banyak bidang. Namun ia tidak bisa menemukan wanita yang tepat karena dirinya yang terlalu fokus pada pekerjaan. Juga ketakutan akan di khianati karena silau akan harta miliknya, bukan hatinya.
Red yang tidak pernah melibatkan perasaan dengan wanita mana pun, jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia Bellina. Putri sekretaris ayahnya. Biarpun mereka diikat tali pernikahan tanpa cinta, bukan berarti wanita itu berhak menginjak-injak harga dirinya dengan bersenang-senang dengan pria lain. Reddick tidak terima. Ia yang terlalu cupu dalam hal percintaan tidak bisa mengungkap kemarahan.
Pilihan pertama adalah ... bunuh diri! Reddick merasa bunuh diri satu-satunya cara menyelamatkan hatinya dari rasa sakit. Karena sudah tidak mungkin ia bersama Bellina jika wanita itu terus saja berselingkuh. Ia ingin mengakhiri hidupnya.
Bicara. Reddick punya sifat tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya dengan mudah. Apalagi itu bukan soal pekerjaan. Jadi bicara bukan menjadi pilihan pertama pria ini. Semua rasa sakit akibat kelakuan istrinya tidak bisa di pertanyakan langsung pada wanita itu. Ia memilih diam dan menyimpulkan sendiri. Hingga rasa muak, marah, benci dan sepi membuatnya memilih bunuh diri malam ini.
Ia sudah memberi semua keluarga pesan terakhir. Bahkan pada wanita itu. Bellina istrinya.
Kepala Reddick menunduk. Melihat begitu curamnya di bawah sana, ia tidak gentar sedikit pun. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Membuat rambutnya bergerak-gerak tanpa tujuan. Bibirnya bungkam dengan sorot mata sendu penuh luka.
Kacamata yang menempel di wajahnya jatuh lebih dulu ke bawah gedung tinggi ini saat ia menunduk tadi.
"Reddick kembali!!" teriak mama dan adiknya di belakang. Satu persatu dari mereka muncul untuk menyaksikan dirinya terjatuh dengan mengenaskan dari gedung tinggi ini. Gedung perusahaan miliknya sendiri.
"Ayo kakak, kembalilah!" teriak Amber adiknya. Reddick melihat ke arah mereka, tapi sorot matanya seakan kosong tidak terpengaruh kata-kata mereka.
Kepala Reddick melihat ke langit-langit sebentar. Lalu mendesah lelah. Di dalam banyaknya keluarganya yang muncul untuk mencegahnya bunuh diri, tidak terlihat batang hidung wanita itu. Bellina istrinya. Wanita yang sangat di cintainya itu tidak muncul.
"Bahkan di akhir hidupku pun ia tidak sudi melihatku. Wanita itu memang tidak menginginkan aku. Dia menyukai kemewahan hartaku tanpa peduli hatiku. Tidak apa-apa. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan sakit. Aku akan terbebas dari rasa menyakitkan ini," gumam Reddick getir.
Brak! Pintu atap gedung terbuka dengan keras. Saat itu muncullah Bellina dengan tergesa-gesa. Wajahnya panik.
"Akhirnya kamu muncul juga Bellina," desis Reddick dengan mata muak lirih. "Namun aku tidak bisa berharap banyak darimu. Ini pasti keinginanmu. Melihat aku lenyap dari muka bumi dan menjalani hidup dengan kekasih mu, Lionel," gumam Reddick.juga.
Bellina mendekat dengan wajah kaku dan terkejut. Langkahnya lambat seraya menatap syok ke arah Reddick. Bola mata pria ini terus menatap wanita itu dengan tajam. Seperti ingin membawa wanita itu ke alam lain saat ini juga.
"Pak Reddick, turun! Jangan lakukan itu!" teriak semua orang di sana. Reddick tidak memperhatikan mereka. Pandangannya hanya tertuju pada wanita itu. Bellina. Seakan-akan ingin mencibir bola mata syok yang di tunjukkan Bellina padanya. Wanita itu tidak mendekat. Bahkan ia hanya melihat dari belakang keluarganya.
"Ekspresi itu palsu. Kamu pasti tidak benar-benar terguncang. Kamu tidak mungkin memikirkan aku. Kamu akan pergi meninggalkanku dengan pria lain. Jadi sebentar lagi aku akan kabulkan permintaanmu, Bellina," lirih Reddick. Kakinya melangkah ke belakang. Hingga tubuhnya melayang dan jatuh ke bawah di iringi teriakan nyaring dan menyayat milik semua orang di atap yang menyaksikan bunuh diri ini.
"Reddick ...," lirih Bellina sesaat sebelum tubuh itu jatuh terhempas ke bawah. Air matanya jatuh berderai. Namun suaranya tercekat hingga tidak mengeluarkan suara isak tangis seperti yang lainnya.
...***...
Saat membuka mata, Reddick terkejut bahwa ia masih bisa melihat dan merasakan. Namun sekarang kakinya bukan berpijak pada tanah. Jiwa Reddick melayang-layang. Entah dia ada dimana. Yang jelas bukan di dalam dunia manusia. Karena sekitarnya terlihat berwarna biru dan hitam menjadi satu. Tidak jelas apa yang sebenarnya ada di sekitarnya itu. Dinding kah? Tirai kah?
"Tempat apa ini?" tanya Reddick kebingungan. Ia mencoba berpikir lagi. Seingatnya ia meloncat dari gedung dengan tujuan bunuh diri. Lalu ini apa? Tempat asing yang tidak pernah di lihatnya. "Dimana aku? Aku hidup atau mati?"
"Huh, masih saja bertanya," dengus sebuah suara di belakangnya. Reddick terkejut. Tubuhnya berbalik dengan cepat. Ada seorang pria memakai pakaian serba hitam berjalan melayang seperti dirinya. Sorot matanya tajam membuat bulu kuduk merinding.
"Sungguh lucu kau masih bertanya, kau itu hidup atau mati. Bukankah tujuanmu memang mengakhiri hidupmu? Jadi itu artinya kamu itu sudah mati." Pria memakai pakaian hitam itu tersenyum miring mencemooh.
"S-siapa kamu?"
"Aku? Aku malaikat yang bertugas mengirim mu ke neraka ...," desisnya menakutkan. Reddick mengepalkan tangannya. Menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyerang sendi-sendinya. "Namun sayang sekali kau masih belum masuk daftar ku. Jadi aku tidak bisa mengirim mu ke sana," lanjut malaikat yang bertugas itu kecewa.
"Lalu apa ini?" Reddick melihat ke sekelilingnya. Kebingungan.
"Karena kau belum waktunya mati, aku akan melempar mu kembali ke dunia. Namun jangan pernah berpikir untuk bisa kembali pada apa yang sudah kau miliki dulu. Karena harus ada hukuman bagi manusia sepertimu. Mengakhiri diri sendiri bukanlah tindakan yang tepat. Kau manusia bodoh!!" hardik pria dengan pakaian serba hitam itu marah.
Seketika, tubuh Reddick bagaikan di dorong ke jurang paling dalam. Berputar-putar dan melayang tanpa tujuan. Mau kemanakah tubuh itu sekarang? Reddick hanya bisa berteriak dalam kepanikan.
..._____...
Jika ada kesempatan untuk hidup kembali, Reddick ingin menjadi orang yang baru. Mungkin itulah yang bisa ia pikirkan saat malaikat berpakaian serba hitam itu mengatakan itu. Bukan dirinya, si kacamata Reddick. Pecundang yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkap rasa amarah. Reddick ingin menjadi sosok yang berbeda jauh dari dirinya yang dahulu. Namun, bukan berarti berubah menjadi orang lain secara drastis seperti sekarang.
Saat ini Reddick sedang tertegun mendapati wajah tidak asing di depan cermin. Manik matanya mengerjap tidak percaya. Sangat mengejutkan jiwanya sekarang ada pada tubuh selingkuhan istrinya, Lionel.
"Lionel? Kenapa dari sekian banyak orang, aku harus menjadi Lionel?" tanya Reddick seraya meraba wajah tampan milik cassanova ini. Tangannya mengepal memukul meja. Seketika ia merasa frustasi. Bagaimana mungkin jiwanya masuk ke dalam tubuh manusia yang paling di bencinya setelah Bellina. "Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin ..." Reddick menatap wajah di depan cermin dengan perasaan terguncang.
Mungkin ini adalah hukuman untuknya, seperti yang ia dengar tadi? Hukuman karena dirinya menyalahi aturan alam dengan memilih jalan bunuh diri padahal belum waktunya mati?
Tidak. Aku tidak bersalah. Bellina lah yang punya dosa besar dengan berselingkuh. Mengkhianati aku yang tidak pernah tertarik pada perempuan selain dia.
Reddick kembali menatap ke arah cermin dengan wajah kecewa dan marah.
"Haruskah aku menjadi pria brengsek ini?" Matanya terpejam teringat pria yang selalu menghiasi kiriman gambar pada ponselnya. Dia dan Bellina istrinya. Mereka berdua. Tangan Reddick mengepal keras. Kelopak matanya terbuka.
Pyaar!!! Tangannya memukul cermin. Rupanya, masuk ke dalam tubuh ini membuat Reddick punya banyak tenaga untuk mengekspresikan diri. Dia bisa mengungkapkan marah tanpa harus menahan diri. Dia memang berubah. Bukan lagi Reddick yang dulu.
Darah mengalir dari buku-buku jarinya. Cermin itu tidak lagi merefleksikan dirinya yang baru. Tubuh tegap dan wajah tampan Lionel. Ia tidak perlu lagi merasa aneh menghadapi takdir baru yang di pilih untuknya.
Tok! Tok!
Kepala Reddick beralih ke arah pintu. Membiarkan darah itu dialiri air hingga bersih. Ia tidak tahu siapa saja yang berada disini. Jadi ia tidak langsung mendekat untuk membuka pintu.
"Lion! Kamu tidak apa-apa? Aku mendengar suara pecahan kaca!" Suara perempuan menyahut dengan manja. Kening Reddick mengerut. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Bola matanya tengah mengamati dimana dirinya sekarang. Ia sedang berada di dalam kamar mandi. Tubuhnya tengah di balut handuk sepinggang. Kemungkinan ia berada di dalam kamar. Namun mengapa ada seorang wanita di sini?
"Siapa?!" tanya Reddick.
"Clara."
"Siapa kau?" tanya Reddick lagi. Handle pintu bergerak-gerak.
Klak!
"Hei, kamu jahat bertanya siapa aku. Padahal kita sudah melakukannya tadi malam." Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka dan muncul seorang perempuan. "Ah Lion! Ada apa? Kenapa cermin itu pecah?" Manik mata Reddick menyipit. Merasa risih dengan penampilan perempuan itu. Dia hanya memakai bra dan CD. Dengan tubuh sintal itu, ia tidak sungkan bicara tanpa menutupi tubuhnya. Reddick melempar pandangan ke arah lain. "Tutup pintunya," pinta Reddick tanpa menoleh.
"Oh, kamu mengajakku bermain lagi?" tanya perempuan itu gembira seraya melangkah masuk dan hendak menutup pintu. Reddick terkejut dan menoleh sekejap.
"Bukan. Tutup pintu dan keluar," kata Reddick menahan marah.
"Keluar? Kamu bukan mengajak aku bermain di dalam bathub itu?" tunjuk wanita itu ke arah bathub bermotif marble di sebelahnya.
"Tutup pintu dan keluar!" hardik Reddick marah. Perempuan itu terperanjat kaget. Suara menggelegar Reddick membuat perempuan itu berhenti melangkah. Ia memilih tidak memaksakan diri untuk tetap masuk lebih dalam ke kamar mandi.
"B-baik, Lion. A-aku akan keluar." Suaranya terbata-bata. Perempuan itu segera membalikkan tubuh dan menutup pintu.
"Brengsek," umpat Reddick marah dan kesal. Ia kembali menatap wajah tampan itu di sela-sela cermin yang pecah. "Sungguh takdir yang buruk. Aku tidak bisa terima ini. Aku tidak ingin menjadi Lionel. Aku ingin menjadi seseorang yang lain." Kepala Reddick menunduk. Seakan kembali hidup menjadi bebannya.
Dengan masih berlilit handuk di pinggangnya, Reddick keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya keruh lagi saat melihat perempuan yang masuk ke dalam kamar mandinya tadi masih ada di sana.
"Kamu sudah selesai mandi, sayang?" Perempuan bernama Clara itu mendekat. Dia masih belum memakai pakaiannya. Hanya satu set bra dan CD yang menempel di tubuhnya.
"Apa aku belum bilang kalau kau harus keluar?" tegur Reddick.
"Kamu bilang ..."
"Keluar ...," desis Reddick menyuruh perempuan itu pergi.
"Tapi sayang ..."
"Keluar!!! Jika kau tidak keluar sekarang, aku yang akan mengeluarkan mu. Aku akan menyeret mu," ancam Reddick dengan wajah merah dan ingin membunuh.
"I-iya. A-aku akan keluar. Tenang ... Tenanglah ..." kata Clara takut-takut.
"Jangan banyak bicara. Cepat keluar sekaranggg!!!" hardik Reddick. Perempuan itu tidak lagi punya kesempatan memakai pakaiannya. Ia langsung menyambar selimut di atas ranjang king size dan berlari keluar kamar. "Argggh ..." Reddick menggeram kesal.
Mata Reddick mencari-cari pakaian. Ia menemukannya di atas sofa.
Bruk!
Setelah berpakaian, Reddick duduk di atas sofa. Mendesah kesal dan menutup mata sebentar. Rupanya ia bukan berada di rumah. Tubuh ini sedang menginap di hotel. Dan Reddick paham apa yang terjadi antara tubuh ini sebelum jiwanya masuk ke dalamnya dengan perempuan tadi.
Kenyataan bahwa Lionel adalah player terbukti. Reddick berdecih dan merasa muak dengan tubuh yang dipakainya.
"Tubuh ini juga pasti sudah meniduri Bellina. Aku yakin," gumam Reddick dengan senyum getir. Manik matanya beredar melihat ke sekitar kamar hotel ini. Menghela napas. "Mungkin juga Lionel pernah mengajak Bellina ke sini." Lagi-lagi ada senyum pedih yang terlukis. Teringat lagi soal foto-foto yang memperlihatkan bahwa Bellina terlihat berdua dengan pria ini. Tersenyum dengan sorot mata bahagia. Itu membuat jari-jarinya mengepal.
Tiba-tiba terdengar suara bel pintu kamar. Kepala Reddick menoleh. Siapa? Wanita itu kembali lagi? Ia tidak kapok sudah di bentak? Dengan langkah tegap, Reddick berjalan menghampiri pintu. Mulutnya sudah menyiapkan kata-kata kasar saat perempuan yang menemani tubuh ini muncul lagi.
"Selamat pagi, Lionel. Oh, ini bukan pagi. Ini sudah siang." Seorang pria muncul di depan pintu dengan setelan jas yang rapi. Reddick menatap lurus pria ini. Sedikit berpikir tentang siapa pria ini. "Jangan bilang, kau lupa denganku karena sudah mengalami malam yang hebat dengan Clara?" Reddick masih menatap dengan tatapan jiwanya belum terkumpul karena terkejut bertemu dengan orang ini.
"Aku ingat denganmu. Masuklah Delvin." Reddick mempersilahkan pria itu masuk ke dalam kamar hotel.
..._____...
"Rupanya malam tadi begitu memabukkan hingga kau tidak ingat lagi denganku." Pria itu mendesah kecewa karena merasa di lupakan. Bukan benar-benar terluka. Hanya sekedar berakting saja untuk mencibir kawannya.
Sebelum jiwanya berpindah menjadi Lionel, Reddick mengenal siapa pria ini. Dia adalah tangan kanan tubuh playboy yang sedang ia tinggali. Pria yang selalu mendampingi Lionel kemana saja. Sosok orang terpercaya yang ingin dimilikinya dulu. Bisa menjadi teman, sekaligus rekan.
"Oh, aku pikir aku akan di depak dari perusahaan mu karena kau tidak lagi mengingatku." Pria itu menyindir lagi. Reddick tidak menyahut. "Baru bangun?" Kepala Delvin melihat ke samping. Ke arah ranjang. "Bahkan sisa percintaan kalian tadi malam masih ada. Sangat berantakan. Bagaimana bisa kau punya begitu banyak stamina untuk melakukan 'itu’ setiap hari, Lion? Aku iri."
"Tidak perlu iri. Karena aku tidak mengingatnya," sahut Reddick jujur. Bagaimana bisa ia ingat. Karena kemungkinan Lionel masih di dalam tubuh ini saat melakukannya. Dan sekarang, tubuh ini berisi jiwanya.
"Kamu tidak ingat? Clara?" tanya Delvin heran.
"Apa hebatnya dengan perempuan itu?" tanya Reddick mendengus. Tangannya meraih kemeja di atas sofa yang sempat ia lempar lagi karena kesal dan mengancingkan kemejanya.
"Dia tidak hebat? Dengan tubuh sintal dan menggemaskan itu? Kau menyebutnya sempurna, Lion." Delvin terkejut mendengar kalimat yang dikatakan Reddick. Rupanya mulut playboy ini mengatakan banyak hal indah untuk perempuan itu. Sepertinya perempuan itu favorit Lionel.
"Mungkin aku benar-benar mabuk hingga perempuan seperti itu ku sebut sempurna." Reddick mendengus lagi. Ia sangat tidak setuju perempuan itu di sebut sempurna.
"Jadi ... Masih Bellina mengalahkan semuanya?" tanya Delvin mengejutkan.
Deg, deg, deg. Jantung Reddick berdebar. Nama perempuan itu masih mampu membuatnya kacau. Sepersekian detik, detak jantungnya berubah cepat. Jadi Reddick memang pernah mengajak Bellina ke kamar hotel? Kenyataan ternyata lebih menyakitkan daripada sekedar informasi.
“Apa yang kau tahu tentang Bellina?” tanya Reddick masih dengan dengusan kesal.
“Aku tentu tidak tahu. Aku hanya tahu dari mulutmu.”
Ternyata mulut ini memang seringkali membicarakan Bellina.
...***...
Demi menjalani kehidupan sebagai Lionel, Reddick tetap berangkat kerja seperti biasa. Ya. Jika ingin tetap hidup normal, ia harus terbiasa dengan hidup menjadi Lionel. Walaupun sulit menerima takdir aneh di kehidupan keduanya, ia terpaksa menerima kenyataan bahwa dia adalah pria yang begitu di bencinya.
Cassanova ini juga punya perusahaan meskipun terlihat tidak mumpuni. Dia kaya. Maka dengan mudah mendekati banyak wanita. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru mendekatinya tanpa di minta.
"Jadi pekerjaan mu banyak, sementara aku duduk dengan bersantai?" tanya Reddick dengan maksud mencemooh keadaan ini. Ia terkejut karena Delvin hanya menyuruhnya santai. Sementara pria itu tampak rajin mengerjakan sesuatu.
"Kenapa? Kau lagi dalam mood buruk? Atau kau sedang ingin terlihat sibuk?" tanya Delvin tanpa menoleh ke arahnya. Ia masih mengerjakan sesuatu di sofa.
"Jadi di sini atasan perlu mood baik untuk melakukan sebuah pekerjaan ya?" Masih dengan sindiran tajam. Reddick tidak paham konsep dalam hubungan pekerjaan mereka. Kali ini Delvin menoleh dan menatap lurus Reddick.
"Aku baru sadar bahwa kamu lebih manusiawi sekarang. Ada apa?" tanya Delvin menunjukkan sikap sebagai kawan. "Kau butuh nasehat soal wanita? Bukannya kau ahlinya,” lanjut Delvi. Reddick pikir Delvin akan terkejut dan mengatakan hal lain. Sepertinya dirinya yang berubah menjadi orang lain, tapi ternyata Delvin berpikiran lain.
"Sungguh konyol jika aku berangkat ke kantor hanya untuk melihatmu mengerjakan semua pekerjaan." Reddick tidak sabar.
"Tidak masalah. Bukannya kau memang menyerahkan semua pekerjaan padaku setiap harinya?" Delvin tersenyum. "Aku sudah terbiasa, Lion. Tenang saja.”
"Aku tidak tenang, Delvin. Beri aku pekerjaan. Kakiku sengaja datang kesini demi menjalani sebuah tugas. Jangan mengerjakan semuanya sendiri. Aku direktur sekaligus pemilik perusahaan ini," tegas Reddick. Delvin diam sejenak. Kegiatannya terhenti. Ia heran.
"Kau mau bekerja?" tanya Delvin seakan itu adalah hal baru bagi tubuh ini. Pertanyaan itu terasa asing bagi Delvin.
"Bukannya itu rutinitas setiap hari?" Reddick balik bertanya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi semalam, tapi pagi ini, kau ... " Delvin berpikir sejenak. Reddick merasa di amati. "Bersemangat bekerja. Itu baik. Ayo, jika kau ingin membantuku." Delvin menggerakkan jarinya, mengajak Reddick bergabung.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya di lakukan pria ini sebelumnya. Dirinya bagai pria bodoh yang hanya mengikuti apa yang di katakan Delvin. Bukan karena sekarang jiwanya yang menghuni tubuh ini, melainkan sejak awal Lionel tidak terlalu memahami pekerjaan perusahaan. Justru pria inilah yang paham dan mengerti semua pekerjaan.
Disini Ia tahu bahwa keberhasilan perusahaan Lionel semata-mata di karenakan Delvin. Ia membaca itu. Ternyata dugaannya benar. Delvin benar-benar orang yang cerdas. Pria itu terlihat sibuk di dalam kantornya, sementara ia duduk bersantai. Reddick memang sempat ingin memiliki pria ini menjadi tangan kanannya.
"Aku mengerti," kata Reddick yakin. Menggeluti pekerjaan adalah kegemarannya. Ia terlalu gila kerja hingga di perlukan sebuah perjodohan untuk memaksanya menikah. Dan itulah ia bertemu Bellina.
"Wow, itu perkembangan yang bagus bagi seorang Lion."
"Itu pujian atau cemoohan?" tegur Reddick kaku.
"Hei. Kau memang sedang bad mood. Tidak biasanya kau sensitif seperti ini." Delvin merasa aneh. Reddick sedang tidak senang. Dia menghela napas. Dering ponsel terdengar. Delvin menerima telepon dengan wajah tegang. Reddick tidak peduli.
" ... Oke." Delvin menurunkan ponsel dan meletakkan di atas meja. "Jadi ... Kau mengusir Clara dari kamarmu?" tanya Delvin. Reddick yang sudah bersandar menoleh.
"Wanita yang tadi malam? Ya. Kenapa?" tanya Reddick enggan. Delvin menatap lurus pria di depannya.
"Bukankah dia primadona klub Expose?"
"Lalu?" tanya Reddick masih enggan.
"Lalu? Bukankah kau sendiri yang menginginkan wanita itu. Hingga Nicholas memberikannya padamu dan mengabaikan tamu yang lain,” jelas Delvin. Reddick menipiskan bibir dan berdecih. Ia malas harus berdebat soal wanita yang tidak penting.
Delvin melihat ke arah kawannya dengan penuh perhatian. Dia merasa ada yang aneh dengan Lionel. Sejak usai bermalam di hotel itu, hingga sekarang. Ia merasa sedang bicara dengan orang lain. Tidak biasanya Lionel malas bicara soal wanita. Ia Cassanova! Setiap harinya adalah bermain dengan wanita!
“Ada apa dengan mu, Lion?” tanya Delvin tampak curiga.
“Apa yang kau tanyakan? Ada apa denganku? Ada apa? Tentu saja tidak ada apa-apa,” elak Reddick.
“Aku merasa sedang bicara dengan orang lain yang punya tubuh Lionel,” ujar Delvin. Sangat tepat. Namun pria ini hanya menebak dengan asal. Bahkan ia tidak sadar bahwa kalimatnya adalah yang sesungguhnya. Fakta.
..._________...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!