Awan hitam pekat terlihat menghiasi langit di siang hari ini, menandakan jika hujan akan turun.
Sekumpulan orang yang tengah menghadiri pemakaman tersebut, terlihat satu persatu mulai meninggalkan tempat pemakaman, hanya tersisa keluarga dari almarhum yang mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.
Isakkan pilu terdengar dari mereka, menangisi orang yang sangat mereka cintai dan sayangi. Seakan mereka tak percaya, seakan mereka tak rela jika salah satu keluarga mereka akan pergi secepat ini kepada pangkuan sang Illahi.
Begitu juga dengan seorang laki-laki yang kini tengah berjongkok di samping batu nisan istrinya, ia terlihat begitu hancur, hancur-sehancurnya. Istrinya—Melati begitu cepat meninggalkannya, bahkan ia tak sempat mengucapkan kata maaf pada mendiang istri tersebut, atas apa yang sudah ia lakukan selama ini.
“Mas kepalaku sakit, minta tolong di pijitin dong.”
“Apaan sih gitu aja manja, minum obat saja sana kalau sakit, aku capek!”
“Tapi wanita hamil gak boleh minum obat Mas. Ya udah aku minta tolong ambilkan air hangat aja Mas, aku haus.”
“Ambil aja sendiri sih. Aku itu capek! Seharian kerja, sementara kamu? Kerjaannya cuman di kasur aja, rebahan. Ambil sendiri saja sana!”
Aditia mengingat permintaan terakhir istrinya semalam. Ia sungguh menyesal tidak menuruti permintaan Melati, padahal permintaan tersebut hanya permintaan yang sederhana. Memang kala itu ia baru pulang kerja, badannya terasa lelah.
Andai saja waktu bisa ia putar kembali, Aditia akan memutarnya. Ia akan mengabulkan permintaan mendiang istrinya. Namun sayangnya itu tidak mungkin, Melati sudah pergi, pergi untuk selama-lamanya. Meninggal sejuta rasa penyesalan di hatinya.
Aditia memang tidak pernah menyakiti Melati secara pisik, tapi tanpa ia sadari selama ini ia sudah menyakiti istrinya secara batinnya, Melati tersiksa, Melati menderita, dengan segala sikap dan keegoisannya selama ini. Padahal selama ini Melati selalu bersikap baik padanya, tidak menuntut hal yang tidak-tidak padanya.
Perasaan nyaman dan kekaguman selama ini selalu ia tepis, ia menepis jika ia mencintai Melati, ia selalu mengira jika kasih sayangnya yang ia rasa pada Melati hanyalah sebatas kasih sayang kepada seorang sahabat.
Namun nyata kini, separuh jiwanya terasa pergi, ikut terkubur bersama mending istrinya tersebut. Melati yang selama ini selalu membuat hari-hari terasa berbunga-bunga, ia sudah menyia-nyiakan wanita itu. Melati—nya kini sudah pergi, bunga di hatinya terasa layu. Lalu bagaimana setalah ini ia menjalani hari-harinya tanpa wanita itu?
‘Kenapa kamu pergi secepat ini Melati? Bahkan kamu tidak memberikan aku kesempatan untuk mengucap maaf padamu. Aku mencintaimu Melati,’ batin Aditia menjerit.
Andai bisa meminta pada Sang Pencipta agar menghidupkan kembali mendiang istrinya, ia akan menjadikan Melati sebagai istri yang paling bahagia di dunia. Andai saja ada kesempatan kedua, ia tidak akan membiarkan Melati—nya pergi dengan sejuta luka yang ia torehkan semasa hidupnya wanita itu.
Namun penyesalan hanya tinggal penyesalan, semua itu mustahil baginya. Jasad sang istri sudah tertimbun tanah bersama luka yang ia sayat dihatinya.
“Kenapa kamu bunuh anakku?” Parau seorang wanita pada Aditia. Dia adalah Reni—Ibu mertuanya. Ibu dari mendiang istrinya—Melati.
“Maafkan Aditia Bu...” lirih Aditia penuh menyesal, ia bersujud di kaki Ibu mertuanya itu.
Ia memang merasa jika dirinya-lah yang sudah membuat Melati meninggal. Andai saja ia tahu Melati mengandung anaknya dengan mengidap penyakit yang terus menggerogoti tubuh mendiang sang istri. Aditia pasti akan membawa Melati untuk menjalankan pengobatan yang terbaik, agar wanita itu sembuh. Tapi nyatanya? Ia sama sekali tidak tahu jika Melati mengidap penyakit yang serius, sehingga ia selalu menganggap remah dan acuh, jika saat Melati mengeluh dia sakit kepala. Ia pikir Melati sakit kepala biasa, atau bawaan bayi yang sedang ia kandung. Tapi nyatanya ia salah, salah besar.
Bersambung...
“Kenapa kamu membuat anakku tersiksa? Kenapa kamu membiarkan Melati—ku pergi dengan sejuta luka! kenapa Aditia?”
“Maafkan Aditia, Aditia sungguh menyesal. Maafkan Aditia, Bu.” Hanya kata maaf yang bisa Aditia ucapkan, tidak ada alasan untuk dirinya membela diri, kerena memang ia mengakui kesalahannya.
“Maaf kamu tidak gunanya Aditia! maaf kamu tidak bisa membuat Melati kembali padaku! Aku, aku yang sudah melahirkan dan membesarkan Melati dengan segenap jiwaku, tapi kamu malah menyia-nyiakan putriku! Aku membencimu!” pekik Reni, menunjuk Aditia yang berada di bawah memeluk kakinya, sorot mata wanita parubaya itu menyimpan kebencian yang teramat dalam pada menantunya itu.
“Sudah Bu, jangan menyalahkan semua ini pada Aditia, ini semua atas kehendak takdir! percuma Ibu memarahi dia, menyalahkannya. Itu semua tidak akan membuat Melati kembali hidup!” ucap Reno—suaminya. Mencoba menenangkan sang istri.
“Aditia lepaskan kaki istri saya, berdirilah jangan seperti ini!” lanjut Reno pada Aditia.
Perlahan Aditia pun melepaskan pelukannya pada kaki Ibu mertuanya itu, di bantu oleh kedua orang tuanya Eva, Ibunya dan Irwan, Ayahnya.
Reno langsung mengajak istrinya pergi meninggalkan tempat peristirahatan putri mereka itu. Walau awalnya sangat susah, Reni menolak dan ingin tetap di sana.
“Ibu gak mau pulang Yah, Ibu mau nemenin Melati, Yah. Melati anak kita kasian dia sendiri Yah,” tolaknya sambil terisak tangis.
Aditia dan kedua orang tuanya hanya menyaksikan hal tersebut dengan hati yang pilu, melihat Ibu Reni yang terlihat masih tidak rela Melati meninggalkannya. Karena sesungguhnya mereka pun merasakan hal yang sama, tapi mereka bisa apa? Kematian adalah takdir yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia.
“Bu, jangan seperti ini. Kasian Melati, ikhlas dia Bu, Melati sekarang sudah bahagia di tempat yang paling indah di sana bersama sang penciptanya. Dia sudah tidak merasakan sakit lagi. Kita pulang ya,” bujuk Reno. Sebisa mungkin ia menguatkan sang istri, walau nyatanya dirinya pun merasakan hal yang sama. Tidak rela, namun sebagai kepala rumah tangga, ia harus bisa kuat.
Akhirnya Reni pun menurut, kedua mertua Aditia itu pun berlalu meninggalkan pemakaman tersebut.
“Sebaiknya kita juga pulang Adi, hujan akan segara turun,” ajak Eva sang Ibu. Usai kedua besannya itu berlalu. Apa lagi kini tetesan air dari langit sudah mulai menetes ke bumi.
“Ibu sama Ayah duluan saja, Aditia masih ingin di sini,” tolak Aditia dengan lirih.
“Ikhlas istrimu, Nak. Jangan seperti ini, ingat masih ada Melati kecil di rumah yang sangat membutuhkan kamu.”
Ucapan orang tuanya itu membuat Aditia sadar. Ya, ia tidak mungkin seperti ini. Ini bukan akhir dari segala, tapi ini adalah awal dari semuanya.
Aditia kembali berjongkok di samping gundukan tanah yang masih basah itu. Lalu ia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama sang istri.
‘Aku sudah Ikhlas, tenanglah di sana, bahagialah istriku. Aku berjanji akan menjaga anak kita, aku mencintaimu Melati—ku,’ ucap Aditia dalam hatinya, seraya mencium batu nisan sang istri.
Perlahan Aditia pun bangkit, di papah oleh kedua orang tuanya, ia mulai melangkah meninggalkan tempat peristirahatan mendiang sang istri.
Rasanya sangat berat untuk beranjak dari sana.
Kenapa? Kenapa harus Melati yang meninggalkan dirinya terlebih dahulu? Kenapa tidak dia saja? Jika bisa, biarkan dirinya saja yang terkubur di sana, bukan wanita itu.
Ya, ini semua memang takdir. Tapi kenapa ia merasa takdir ini tidak adil untuknya! kenapa Tuhan mengambil Melati secepat ini?
Ikhlas? Apa yakin dirinya bisa mengikhlaskan wanita itu? Kenapa Tuhan baru membuka mata hatinya saat wanita itu sudah tiada! kenapa?
Tidak! tidak seperti itu, tepatnya dirinya-lah yang terlambat menyadari rasa cintanya itu. Tuhan tidak pernah menutup mata hati umatnya, tapi ego umatnya yang membuat hati nuraninya tertutup.
Benar kata pepatah, kita akan merasakan benar-benar kehilangan seseorang, saat orang tersebut sudah tiada. Dan itu semua dirasakan oleh Aditia.
“Ibu tau semuanya sulit Adi, kita juga merasakan hal yang sama. Melati sudah tenang di sana, walaupun sekarang kita tidak bisa melihatnya lagi, tapi percayalah dia selalu bersama kita,” ujar Eva.
Memang tidak mudah merelakan orang yang kita cintai dan sayangi, apa lagi orang itu pergi kepangkuan sang illahi.
Sebenarnya Eva juga kecewa pada putranya itu, atas sikapnya. Tapi, ia bisa apa? Menyalahkan Aditia? Sebagai seorang Ibu buruk, baik anaknya. Ia tetap menyayanginya.
Aditia memang salah, tapi untuk saat ini tidak ada gunanya mempermasalahkan semua ini. Kematian Melati atas kehendakNya. Apa lagi saat ini ia melihat sang putra teramat merasa bersalah dan menyesal.
“Ini semua gara-gara aku Bu, aku memang egois! Aku suami yang tak berguna. Bagaimana aku tidak menyadari jika istriku sakit? Istriku berjuang melawan sakitnya demi anakku, Bu...”
“Kenapa harus Melati, Bu? Kenapa tidak aku saja yang sakit! kenapa tidak aku saja yang mati! Kenapa?” sambung Aditia dengan lirih dan penuh penyesalan.
Bersambung...
Flashback
Malam itu sekitar pukul 11 malam. Aditia baru saja pulang, sebenernya ia sudah pulang dari tempat kerjanya 3 jam yang lalu. Namun, ada suatu hal yang penting sehingga ia pulang terlambat.
Sesampainya di rumah, keadaan sudah terlihat sangat sepi. Aditia pun bergegas menuju kamarnya.
Ceklek!
“Ya ampun Mas, kenapa jam segini baru pulang?” Tanya seorang wanita yang kini tengah bersandar di atas ranjang. Raut wajahnya terlihat dipenuhi kekhawatiran.
“Aku ada urusan.” jawabnya acuh, lalu berjalan begitu saja menuju kamar mandi.
Wanita itu hanya menghelai napas beratnya. Entah sudah berapa kali suaminya itu pulang larut seperti ini. Yang pasti belakang ini Aditia memang selalu pulang telat bahkan pernah satu malam suaminya itu tidak pulang.
Sebenarnya ia tahu apa yang membuat suaminya itu pulang telat, namun rasanya sakit jika harus diceritakan.
‘Kenapa kamu berubah secepat ini, Mas? Apakah sudah tidak ada harapan untukku? Tidak kah kamu sedikit pun mengkhawatirkan kondisiku? Setidaknya anakmu, Mas. Anakmu yang ada di rahimku ini,’ ucap Melati dalam hatinya, seraya mengelus perutnya yang sudah membesar itu. Jika bukan kerena bayi yang ada dikandungnya itu, mungkin ia sudah pergi dan mengakhiri pernikahan yang menyiksa batinnya ini.
15 menit kemudian, Aditia terlihat sudah menyelesaikan ritual mandinya, laki-laki keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Melati segara menyerka air matanya yang sedari lolos begitu saja. Padahal sebelumnya ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, jika ia tidak akan menangisi nasib malangnya ini.
Usai berganti pakaian, Aditia langsung membaringkan tubuhnya di samping Melati, tidak ada kata yang terlontar dari mulut laki-laki itu.
Tiba-tiba saja Melati merasakan kepalanya sakit, sejak tadi memang kondisinya kurang baik. Wajahnya pun kini terlihat pucat.
“Mas kepalaku sakit, minta tolong di pijitin dong,” pinta Melati pada suaminya itu, Aditia yang baru saja memejamkan matanya pun, langsung menatap padanya dengan tatapan kesal.
“Apaan sih gitu aja manja, minum obat saja sana kalau sakit, aku capek!” tolaknya.
“Tapi wanita hamil gak boleh minum obat Mas. Ya udah aku minta tolong ambilkan air hangat aja Mas, aku haus.”
“Ambil aja sendiri sih. Aku itu capek! Seharian kerja, sementara kamu? Kerjaannya cuman di kasur aja, rebahan. Ambil sendiri saja sana!” ketus Aditia, ia langsung membelakangi Melati, tanpa memperdulikannya laki-laki itu langsung memejamkan matanya kembali. Tubuhnya memang terasa sangat lelah, seharian ia berkerja setalah itu ia menemani kekasihnya belanja di Mall.
Melati hanya menatap punggung suaminya itu, sakit, perih terasa menggema di dadanya. Tapi ia tidak bisa apa-apa, tidak mungkin ia memaksa Aditia menuruti permintaannya itu. Ia tahu betul bagaimana sikap suaminya itu, jika laki-laki itu bilang ‘tidak’ ya tidak!
Perlahan Melati pun beranjak dari ranjang, menahan sakit di kepalanya yang terasa semakin berat, terlebih sedari tadi ia merasakan perutnya mules dan pinggangnya terasa panas.
Kehamilan saat ini memang sudah memasuki bulan ke-9, apa mungkin ia akan melahirkan malam ini?
Entahlah, Melati tidak terlalu memikirkan hal itu, kerena sakit yang dirasakannya kini sering terjadi belakangan ini. Biasanya jika ia minum air hangat, sakitnya itu sedikit berkurang.
Perlahan Melati pun bergegas menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun saat ia hendak mengambil gelas, tiba-tiba pandangan menjadi buram, dan detik kemudian semuanya terasa gelap.
Prang!
Aditia yang baru saja memejamkan matanya, langsung terkejut. Ia membuka matanya saat mendengar seperti ada sesuatu benda yang pecah.
“Ck! Apa lagi sih!" gerutunya. Dengan wajah yang kesal, ia bangun dan beranjak dari tempat tidurnya itu. Lalu berjalan keluar, untuk melihat apa yang terjadi.
“Melati!” teriak Aditia. Ia terkejut saat melihat Melati yang tergelatak tak sadarkan diri di lantai.
Aditia langsung menghampiri dan mencoba menyadarkan istrinya itu.
“Melati bangun...”
“Melati, kamu kenapa?” Aditia menepuk-nepuk pipi istrinya itu.
“Mas, sakit ...” ucap Melati lirih, dengan mata sedikit terbuka.
“Kita ke Rumah Sakit sekarang, bertahanlah.” Tidak ada jawaban dari Melati, Aditia langsung memangku wanita itu dan membawanya menuju mobil.
Usai memasukan Melati ke dalam mobil, ia pun bergegas masuk ke dalam mobil, duduk di kursi pengemudi dan mulai melajukan mobilnya.
“Mas cepat! perutku sakit," pinta Melati. Ia benar-benar sudah tak tahan lagi. Perutnya semakin terasa mules, bahkan wanita itu kini terlihat sudah berkeringat dingin.
“Aku akan berusaha secepat mungkin, tahan ya. Apa kamu mau melahirkan?” tanya Aditia tanpa menoleh kearah istrinya itu, pandangan lurus ke depan memperhatikan jalanan.
“Sepertinya iya, Mas," jawab Melati pelan, sambil menahan sakitnya itu.
Aditia terlihat begitu bersemangat saat mendengar jawaban istrinya, ia menambahkan kecepatan mobilnya itu.
Seulas senyuman terlihat dari bibir laki-laki itu.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!