Sepasang kekasih terlihat tengah duduk di salah satu Restoran ternama yang ada di kota tersebut. Menikmati makan siang mereka dengan canda tawa, seperti biasanya.
“Oh iya, Sayang. Aku ingin bicara serius sama kamu,” ucap laki-laki tersebut seraya menghentikan aktifitas makannya, lalu menggenggam tangan wanita yang ada di hadapannya.
“Bicara saja.” Wanita itu tersenyum manis pada laki-laki yang menjadi kekasihnya tersebut.
“Tentang hubungan kita--”
“Tris, ayolah. Aku tau apa maksud pembicaraanmu, dan jawabanku tetep sama. Aku belum siap, aku masih ingin menikmati kehidupan yang sekarang, kamu tau, 'kan?” sela wanita itu dengan cepat.
“Aku tau Key, memang tak muda bagi kamu berada di posisi saat ini, tapi aku tidak bisa terus menjalani hubungan seperti ini. Aku mencintai kamu, menikahlah denganku,” ucap Tristan penuh harap, berharap kali ini kekasihnya itu mau menerima ajakannya untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Sebenernya ini bukan kali pertamanya Tristan meminta agar Keysa—sang kekasih menerima pinangannya. Saking terlalu sering ngajak wanita itu menikah, kali ini Tristan tidak melakukan persiapan apa pun, membawa sebuah cincin atau cendra mata untuk meminang wanita itu.
Namun sayangnya jawaban selalu sama, Keysa selalu menolak ajakannya. Dengan alasan belum siap, dan selalu banyak alasan yang lainnya, membuat Tristan kali ini benar-benar muak rasanya. Apa Keysa benar mencintai? Untuk masalah karir, Tris rasa itu tidak akan berpengaruh, Keysa masih bisa berkerja sebagai model jika mereka sudah menikah, ia tidak akan melarangnya, ia akan selalu mendukungnya. Jika pun nanti pernikahannya itu berpengaruh pada karir wanita itu, rasanya itu tidak masalah. Tristan masih mampu membiayai hidup wanita itu, keliling dunia pun bisa. Ia sudah punya cukup banyak tabungan untuk kehidupan mereka kelak, bahkan sampai tujuh turunan pun, ia rasa masih mampu.
“Kenapa kamu selalu menolak ajakan aku Key, apa kamu tidak cinta sama aku? Apa kamu menganggap selama ini hubungan kita hanya sebuah permainan saja? Kita sudah menjalani hubungan ini selama dua tahun Key! apa kamu masih meragukan aku? Persetan dengan karirmu itu!” sambung Tristan. Guratan wajah kekecewaan dibaluti amarah terlihat dari wajah tampan laki-laki itu. Tristan langsung melepaskan genggaman tangannya pada Keysa.
“Apa kamu tidak bisa bersabar sedikit Tristan? Aku hanya belum siap! aku mencintaimu, aku tidak pernah menganggap hubungan kita ini main-main, aku serius. Hanya saja untuk saat ini aku masih ingin fokus dengan karir aku, kamu tau sendirikan bagaimana perjuangan aku selama ini? Menjadi model itu impian aku Tris, aku hanya ingin menikmati masa-masa kejayaanku ini. Apa aku salah? Aku mohon mengertilah posisiku saat ini, aku belum siap menikah, tapi bukan berarti aku tidak mencintai kamu. Lagian menikah itu tidak gampang Tris! setelah menikah pasti kamu akan menginginkan seorang anak, aku belum siap menjadi seorang ibu, terlebih nanti setelah melahirkan bentuk tubuhku pasti tidak akan bagus seperti ini lagi, itu pasti akan mempengaruhi karirku, aku tidak mau karir yang selama ini aku bangun, hancur begitu saja. Itu semua mimpi buruk!” ungkap Keysa tanpa jeda.
Jawab dari kekasihnya itu kali ini cukup membuat Tris tercengang. Sudut bibir laki-laki itu terangkat, menyimpulkan senyuman sinis. “Baiklah, sekarang aku mengerti,” kata Kris, ia berdiri dari tempat duduknya itu, “ternyata aku selama ini salah menilai kamu! semua kata cintamu itu hanya bualan saja, kamu lebih mencintai karirmu itu dari pada aku, kita akhirnya saja hubungi ini!” tegas Tris. Setalah itu ia pun berlalu dari hadapan wanita itu.
Namun Keysa nampak tenang, ia tersenyum meremehkan kekasihnya itu. Keysa menganggap ucapan Tris hanya candaan semata, kekasihnya itu hanya tengah emosi, pikirnya. Ia menghiraukannya Tris yang meninggalnya.
“Tristan, Tristan, kamu selalu saja seperti ini, seperti anak kecil saja!” gumam Keysa, “baiklah kita lihat sampai mana kamu sanggup tanpa aku? Aku yakin kamu tidak bisa lama-lama tanpa aku. Beberapa jam kemudian juga kamu pasti akan memohon-mohon padaku.”
Bersambung...
Keysa menganggap enteng permasalahan kali ini bersama kekasihnya itu, Tristan yang cinta mati padanya, mana mungkin mau melepaskan begitu saja. Seperti Keysa sangat percaya diri, padahal tanpa ia ketahui kali ini Tristan bener-bener serius. Jika yang sudah-sudah Tristan memang selalu seperti itu, hubungan mereka selama dua tahun ini memang selalu putus nyambung.
Tristan kini sudah berada di dalam mobilnya, perasaan kini tidak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Padahal harapan menikah dengan wanita yang ia cintai itu sangat besar, tapi kenyataannya? Keysa selalu menolak ajakannya itu mentah-mentah.
Sebenernya Tristan juga belum siap menikah, hanya saja kedua orang tuanya terus mendesak dirinya untuk segara menjalani rumah tangga, dengan alasan usianya yang sudah matang.
Bahkan ini adalah kesempatan Tristan terakhir yang diberikan oleh kedua orang tuanya, Tristan harus berhasil mengajak Keysa menikah, jika tidak, maka kedua orang tuanya akan memilihkan wanita untuk dirinya.
Dan seperti semua harapan itu saat ini pupus, mungkin ini saatnya Tristan menuruti permintaan kedua orang tuanya. Keysa sudah tidak bisa diharapkan lagi! terlebih alasannya kali ini bener-bener membuat Tristan kecewa pada wanita yang sudah sejak lama bertahta dihatinya itu.
Tristan pun melajukan mobilnya meninggal tempat tersebut, pikirnya bener-bener kalut, seperti saat ini ia butuh ketenangan. Namun sayangnya, masih ada tanggung jawab yang harus ia laksana. Dengan terpaksa Tristan pun kembali ke Kantornya, karena ia baru ingat lepas jam istirahat makan siang, ia ada pertemuan dengan klien.
***
Sementara itu seorang wanita terlihat tengah bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerjanya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, jika orang-orang pada umumnya di jam saat ini waktunya mereka untuk beristirahat, tapi ia baru saja akan memulai aktifitasnya mencari pundi-pundi rupiah untuk menyambung hidupnya.
Kehidupannya terbalik, malam dijadikan siang, siang dijadikan malam, namun semangat tidak pernah pudar, walau pun hidup ini terasa sangat ia berat jalani, ia tidak pernah mengeluh. Masih banyak tanggung jawab yang harus ia pikul.
Wanita itu bernama Anjani Putri, atau biasa di sapa dengan Jani, gadis yatim piatu yang di besarkan di panti asuhan. Ia berkerja di salah satu Bar yang ada di kota tersebut, karena minimnya pendidikan yang ia tempuh, ia hanya lulusan SMA, terpaksa ia menjalani profesi tersebut. Karena di jaman sekarang ijazah yang ia punya, tidak bisa membantunya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ia sudah berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik, namun sayangnya lamaran yang pernah ia kirimkan ke beberapa Perusahaan tidak kunjung mendapat hasil sampai saat ini, padahal menjadi office girl ia tidak masalah. Hingga akhirnya ada seorang teman yang menawarkannya perkerjaan ini, Jani yang saat itu bingung dan sudah tidak punya bekal lagi untuk melanjutkan hidupnya, akhirnya terpaksa menerima tawaran temannya, dan sudah dua bulan Jani berkerja di Bar tersebut.
Setalah merias wajahnya dengan make-up tipis, Jani bergegas keluar dari kamar kosannya. Mengendarai kuda besi, ia berangkat menuju tempat kerjanya.
Namun saat di perjalanan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang berlari tertatih-tatih, laki-laki itu berjalan menghampiri motornya, sontak Jani pun langsung menghentikan laju motornya.
“To—tolong sa—saya...” pinta laki-laki tersebut, wajahnya terlihat pucat, darah terlihat berlumuran dari tangannya yang memegangi perutnya.
Jani terdiam, antara terkejut dan takut. Lalu ia melirik kira kanan, jalan terlihat sangat sepi. Apakah benar laki-laki yang ada dihadapan itu manusia? Atau jangan-jangan hantu? Ah tidak mungkin, kakinya saja menapak. Jadi mencoba menepis pikiran buruknya itu, namun ia bingung harus apa? Melihat kondisi laki-laki itu, dia terlihat terluka di bagian perutnya, jiwa kemanusiaannya ingin sekali menolongnya. Tapi, bagaian kalau ternyata laki-laki itu penjahat?
“Tolong saya, tolong antarkan saya ke Rumah Sakit,” ucap laki-laki itu lagi, suaranya terdengar semakin lemah.
‘Bagaimana ini? Aku rasa Bapak-bapak ini orang baik, dilihat dari wajahnya. Tapi, jika aku mengantarkan dia ke Rumah Sakit, aku akan terlambat,’ batin Jani. Ia benar-benar merasa bingung.
Jani langsung turun dari motornya, setelah perkiraan sejenak, ia pun memutuskan untuk menolong laki-laki itu. Jani memapah laki-laki itu menuju motornya.
“Bapak naik dulu,” pinta Jani, ia membantu laki-laki itu untuk naik ke atas motornya. Setalah itu ia duduk di depan. “Pak pegangan ya,” lanjut Jani, sebelum ia melajukan motornya itu. Laki-laki parubaya itu mengangguk, ia memeluk Jani, Jani sedikit risih, tapi ini keadaan darurat, ia tidak terlalu mempedulikan hal itu, ia pun langsung melajukan motornya menuju Rumah Sakit terdekat yang ada di kawasan tersebut.
Sesampainya di Rumah Sakit, Jani langsung meminta bantuan pada petugas Rumah Sakit untuk membantunya. Petugas Rumah Sakit terlihat sigap menghampiri Jani, mereka memindahkan laki-laki itu ke atas brankar. Jani pun mengikuti mereka yang membawa laki-laki itu ke ruang UGD.
Namun sesampainya di ruangan UGD, Jani tidak diperbolehkan masuk.
“Sebaiknya anda tunggu di sini, kami akan menangani pasien,” ujar sang Dokter.
Jani hanya mengangguk pasrah, ia pun menunggu di depan ruangan tersebut. “Semoga Bapaknya baik-baik saja,” gumam Jani, cemas. Mengingat saat mereka sampai tadi, laki-laki itu sudah tidak sadarkan diri.
Bersambung...
Like dulu atuh ya, komen juga jangan lupa🥰
Setalah selesai melaksanakan metting dengan Klein. Tristan pun memutuskan untuk pulang, rasanya ia tidak semangat untuk kembali melanjutkan aktifitasnya.
“Mau kemana Bos?” tanya Sekertarisnya yang bernama Bian.
“Pulang,” jawab Tristan singkat.
“Pulang?” Bian mengulang ucapan atasannya itu. Gampang sekali bilang pulang, “masih ada pertemuan--”
“Batalkan!” pungkas Tristan dengan cepat, lalu ia berlalu begitu saja tanpa menghiraukan Ken yang terlihat kebingungan dan juga kesal.
“Ck!” Bian hanya bisa berdecak kesal sambil menatap kepergian Bosnya itu.
Sementara itu Tristan langsung melajukan mobilnya meninggalkan gedung pencakar langit tersebut.
Namun ia melajukan mobilnya bukan kearah jalan tempat tinggalnya, melainkan ke sebuah tempat, tempat di mana ia bisa melupakan masalahnya sejenak.
***
Sementara itu, Jani baru saja sampai di tempat kerjanya. Saat ia masuk seorang laki-laki dengan wajah yang tidak bersahabat langsung menyambut kedatangannya. Jani langsung menundukan kepalanya.
“Bagus! Jam segini baru datang. Dari mana saja kamu?” ucap laki-laki tersebut, menatap tajam Jani.
“Ma-maaf Pak, tadi saya--”
“Cepat ganti pakaian! Banyak tamu yang datang malam ini,” selanya. Memotong ucapan Jani dengan cepat, raut wajah penuh amarah terlihat jelas dari wajah laki-laki itu, “satu lagi, ada tamu spesial malam ini, kamu harus melayani dia dengan baik!”
“Baik, Pak.” jawab Jani. Gadis itu pun berlalu dari hadapan laki-laki yang tak lain adalah atasannya itu. Dengan cepat Jani menuju ruangan ganti, ia mengganti pakaian khusus yang biasa ia gunakan untuk berkerja di sana. Kali ini ia merasa masih beruntung, walau pun ia datang terlambat datang, Bos-nya itu tidak memecatnya, biasanya jika perkejaan lain, telat sedikit saja tidak ada ampun, dan satu lagi untung Bos-nya tidak memperhatikan penampilan Jani tadi, pakaian yang terdapat bercak-bercak darah.
Usai berganti pakaian, Jani pun mulai melakukan tugasnya. Mengantarkan minuman pada tamu-tamu yang ada di Bar tersebut. Saat ia berjalan, terlihat para mata pengunjung yang ada di sana menatap Jani dengan tatapan yang sulit diartikan, menatap seakan menelanjangi wanita itu. Namun Jani berusaha tidak menghiraukannya, walaupun sebenernya ia sangat risih dengan tatapan para laki-laki itu.
“Antarkan minuman ini pada laki-laki yang di pojok sana, ingat layani dia dengan baik, dia tamu spesial kita malam ini!” pinta sang Bos pada Jani, sambil menunjuk kearah seorang laki-laki yang duduk di sudut Bar tersebut.
Jani hanya mengangguk, setalah itu ia menuruti permintaan sang Bos. Saat Jani menghampiri laki-laki tersebut, tatapan laki-laki itu terlihat berbeda, tidak seperti tatapan para pengunjung lainnya, bahkan terlihat sinis pada Jani. Namun Jani tidak terlalu menghiraukannya, justru ia suka dengan tamu yang seperti itu, dia merasa lebih nyaman.
“Ini minumnya Tuan,” ujar Jani seraya meletakkan minuman beralkohol itu pada laki-laki tersebut.
“Duduklah temani saya minum,” pinta laki-laki tersebut. Jani menghelai nafas beratnya. Ia pikir tamunya itu tidak berbeda, tapi nyatanya? Sama saja!
“Kenapa, kau tidak mau? Kau keberatan? Bukankah tugas kau melayani semua tamu yang datang ke tempat ini? Munafik!” hinanya, seraya tersenyum sinis meremehkan Jani.
Kata-kata yang terlontar dari laki-laki itu sungguh membuat hati Jani terluka. Ya dia memang sadar, ucapan laki-laki itu tidak salah. Pekerjaannya itu memang selalu di pandang sebelah mata, bahkan hina. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan mereka. Terlebih tanggung jawab yang ia pikul sangat berat.
Bersambung...
Jangan lupa like, komen dan votenya.
Terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!