BRAK!!
Suara pintu terhempas begitu kerasnya ke dinding ruang tamu. Seorang wanita dengan badan gembrotnya masuk ke dalam rumah kami. Tangannya berkacak pinggang dengan sepasang mata yang melotot, seakan kedua biji matanya hendak melompat keluar.
“Nilam! Ini sudah sebulan. Dan kamu belum membayar hutangmu sepeser pun!” teriaknya dengan lantang. Kacamata hitamnya melorot, yang semula bertengger di puncak kepalanya kini bertengger di ujung hidung peseknya. “Ingat! Semakin lama kamu nunggak, semakin banyak yang harus kamu bayar.”
Mama menghentikan gerakannya mengadon udang yang telah berselimut tepung itu ke atas tepung roti. Tangan kanannya yang masih belepotan tepung basah, tak mengurungkan niatnya untuk meladeni kedatangan tamunya.
“Bukan saya nggak mau bayar, Jeng. Catering juga baru dibuka lagi, setelah seminggu ini berduka,” sahut mamaku dengan sabar.
“Alah! Alesan. Bukannya anak gadis kamu itu foto model. Kalau kalian sedikit saja berusaha, pasti nggak bakalan nunggak, kan!” sambarnya lagi dengan suara yang masih bernada tinggi.
“Jeng, saya tegaskan sekali lagi. Ini hanya antara saya dengan Jeng Vivin saja. Nggak ada sangkut pautnya dengan Tiara. Biarkan anak saya tetap tenang melanjutkan studinya.” Kali ini mama mengatakannya dengan sangat tegas.
Wanita gemuk itu hanya mengedikkan pundaknya. “Terserah sama kamu. Aku cuman mengingatkan. Jangan sampai kamu terus nunggak dan akhirnya kabur dari tanggung jawab ini. Toh kamu sudah aku kasih jalan keluar. Anakmu bisa ….”
“Cukup Jeng! Sekali lagi Jeng Vivin bawa-bawa Tiara, saya bakal kabur beneran dan nggak bayar hutang saya sepeser pun!” gertak mamaku dengan berani.
“Dih …. Makin gila aja dunia. Yang hutang lebih galak dari yang minjemin!” seloroh wanita itu sebelum dia pergi meninggalkan kami.
Hmm … mungkin saja dia gentar melihat tangan mamaku yang belepotan tepung basah itu. Bisa-bisa wajahnya yang sudah dilapisi alas bedak dengan begitu tebalnya itu, menjadi lebih tebal karena tepung di tangan mama.
Aku hanya bisa melihat semua kejadian yang berlangsung di depan mataku tanpa dapat berkata apa pun. Tentu saja tidak semua yang dikatakan oleh tante Vivin itu keliru. Iya, seharusnya aku bisa membantu mama meringankan beban biaya rumah sakit yang sudah dipakai sebagai pengobatan almarhum papa.
Aku menatap wajah wanita setengah baya yang kembali sibuk mengolah udang berukuran jumbo itu. Wajah yang tampak lelah, walau tak sepatah kata keluhan pun keluar dari dalam mulutnya.
“Tiara akan kembali ke studio, Ma,” lirihku.
Kugapai sebuah gelas kaca dan mengisinya dengan air dari dispenser. Tentu saja, di saat mama bisa begitu tegar menghadapi semuanya selama ini, aku tak bisa terus tak acuh seolah tak terjadi sesuatu.
“Nggak usah. Kamu fokus aja sama sekolahmu,” sahut mama.
Aku meneguk cairan bening dalam gelas itu hingga tandas. “Tiara bisa melakukan keduanya sekaligus. Tiara janji nggak akan buat Mama kecewa.” Kuangkat kedua jariku membentuk huruf V.
“Tapi ….” Sepasang mata itu menatapku dengan cemas.
“Om Marcel udah hubungi aku berkali-kali. Ada beberapa iklan yang katanya cocok untuk kuperankan,” sambungku tanpa niatan membuat mama merasa khawatir.
Kulihat mama menghela napas dan menarik sudut bibirnya. “Mama tau, kamu ingin membantu. Tapi ingat, Sayang …. kewajibanmu adalah sekolah. Biarkan mama yang menanggung tugas orang tua.”
Aku tertawa pelan. “Tentu saja, Ma. Aku hanya akan bersenang-senang sekaligus menggapai cita-citaku menjadi seorang model dunia.”
Kupeluk pinggang wanita yang telah melahirkan aku itu dan mencium pipinya. Mungkin sebaiknya aku mengucapkan hanya hal-hal manis untuk menghiburnya. Bukan hanya aku yang kehilangan semangat dan bersedih sepeninggal papa.
“Sore Tante ….”
Tiba-tiba saja tiga orang temanku muncul di depan pintu dapur. Shinta, Raka dan Daren sudah terbiasa keluar dan masuk begitu saja di rumahku.
“Iya, sore,” sahut mamaku tanpa menghentikan pekerjaannya. “Sana gih, temui teman-temanmu.”
Aku melepaskan pelukan di pinggangnya dan meninggalkan dapur bersama teman-temanku.
Entah kenapa dan mulai kapan, aku tidak tau tepatnya. Rumahku terlihat seperti markas mereka. Kami berempat bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bercakap dari timur ke barat tanpa arah pembicaraan yang jelas.
“Eh, kamu tahu nggak sih. Pak Seno guru matematika kita. Katanya kemarin kedatangan tamu di sekolah.” Shinta mengawali topik pembicaraan hangat kami sore ini.
“Ih! Kamu ini. Kayak reporter berita deh.” Aku mengerutkan keningku. Sungguh mengherankan, temanku yang satu ini sangat handal untuk menyajikan sebuah berita yang menggelitik rasa ingin tahuku. “Memang siapa tamunya?”
“Cewek. Cantik dengan body yang wow banget,” sahut Shinta.
“Pacar Pak Seno?” tanyaku setengah penasaran.
Daren berdehem pelan. Tatapan matanya terlihat begitu tak nyaman setelah aku megucapkan pertanyaan terakhir yang kutujukan pada Shinta.
“Peringatan, peringatan!” ucap Raka sambil terkekeh. Siku tangannya dengan sengaja disenggolkan pada pinggang Daren.
“Sepertinya, sih,” ucap Shinta. Wajahnya cemberut, memperlihatkan perasaan kecewa yang ada di dalam hatinya. “Seandainya aku punya wajah dan body seperti kamu. Udah kugaet itu guru killer!”
“Eh! Apaan sih,” ucap Daren.
Shinta dan aku sudah lama bersahabat dan berbagi cerita. Berbeda dengan Raka dan Daren. Walaupun kami selalu jalan bersama, tapi aku belum bisa membaca dengan baik apa yang ada di dalam pikiran dan hati mereka. Ah … pria memang misterius.
“Aku akan balik ke studio om Marcel, Shin,” ucapku tanpa ragu. “Kurasa aku harus belajar dan bisa membagi waktuku antara sekolah dan pekerjaanku.”
Shinta tampak terkejut dengan keputusan yang aku buat secara tiba-tiba ini. Tentu saja karena dia selalu mendengarku menolak setiap tawaran yang diberikan om Marcel untuk membintangi suatu produk.
“Beneran, Ra? Kamu yakin mau nerima tawaran itu lagi?” Shinta mengulangi pernyataanku, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Aku menarik sudut bibirku dan mengangguk dengan yakin. “Anggap saja, aku sedang curi start untuk memulai karirku.”
“Nah lo!” seru Raka membuat kami bertiga terkejut. “Kalau kamu udah start karir kamu, berarti kita bertiga nggak bisa main ke sini lagi dong?”
Daren terlihat cuek. Aku melihatnya mengeluarkan ponselnya dan mulai fokus dengan benda pipih di tangannya itu.
Aku melempar bantal sofa yang sedang kupegang. “Eh, Raka. Kamu pikir aku pindah ke planet Mars gitu? Kenapa juga kamu berlagak nggak bisa ketemu aku lagi? Bahkan kita bisa ketemu tiap hari di sekolah.”
Pria muda itu menangkap bantal yang kulemparkan padanya. Tapi gerakan itu membuat siku tangannya kembali bersentuhan keras dengan Daren.
Daren yang sedang asik bermain dengan ponselnya itu pun terlihat kesal.
“Yah…. Kan! Aku kalah gara-gara kamu. Emang temen nggak ada akhlak!” kicaunya dengan perasaan kesal.
“Ra, kamu dipanggil sama pak Seno!” ucap Reny. Wajahnya tampak kusut seperti selembar kertas yang diremas.
Aku menyatukan kedua alisku karena heran.”Ada apa sih?”
Gadis itu mengedikkan pundaknya. “Tauk!” sahutnya dengan ketus dan berlalu dari hadapanku.
Aneh aja, kenapa sih dia kelihatannya nggak seperti biasanya. Gadis yang biasanya terlihat ramah, genit dan centil ini mendadak bersungut-sungut. Seperti ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya. Aku yakin, pasti ada sesuatu.
Aku masih menatapnya dengan keheranan. Sekali pandangan kami bertemu, dia sedang menatapku dengan sudut matanya. Tatapan yang ketus dan begitu mengintimidasi, seolah aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar padanya. Apa dia sedang marah sama aku? Ah, sudahlah. Bisa jadi dia sedang PMS, jadi lagi peka aja perasaannya.
Sebaiknya aku segera menemui Pak Seno. Tentu saja aku nggak berani buat guru killer itu marah karena menganggapku mengabaikannya dan membiarkannya menunggu lama.
“Ra, mau kemana?” Shinta dengan tergopoh-gopoh berlari mendekatiku. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depanku. Perlahan diaturnya napasnya yang masih memburu.
“Itu …. Si Reny bilang, Pak Seno lagi nyari aku.” Aku menjawab seadanya. "Nggak biasanya sih."
“Kamu dah denger belum?” tanya Shinta setelah berhasil mengatur kembali napasnya.
“Heh! Denger apaan?” sahutku kembali dalam bentuk sebuah pertanyaan. Aku tahu, sahabatku yang satu ini layaknya seorang reporter berita televisi. Dia selalu update setiap hal yang terjadi di lingkungan sekolah kami.
“Ng … Gimana ya cara ngomongnya.” Shinta terlihat mulai ragu untuk menceritakan berita yang didapatnya.
“Ya … ngomong aja. Memangnya ada apa sih? Kamu di skors?” tebakku.
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Aku yang diskors?” tebakku sekali lagi.
Sekali lagi gadis manis itu menggelengkan kepalanya, membuat rambut ekor kudanya berayun dengan lincah.
“Lah, berarti nggak ada masalah, kan? Kenapa sih kamu nggak seperti biasanya?” Aku mulai merasa ada kejanggalan di balik sikap Shinta. Gadis itu tak biasanya menyembunyikan sesuatu dari aku.
“Ehm … Pak Seno kena kasus,” bisiknya.
"Kasus? Pak Seno si guru killer itu?" Aku benar-benar terkejut dan kutatap Sinta tak percaya. "Guru killer itu terkena kasus apa? Apa dia main pukul?"
Aku tak sabar sekali mendengar Sinta memberikan jawaban.
"Bukan kekerasan fisik, ini lebih parah. Aku saja sampai ilfeel sama dia."
Lagi-lagi Shinta menghentikan ucapannya dan membuatku semakin penasaran.
"Buruan cerita ... aku kan jadi penasaran." Kulirik arlojiku sambil menanti Sinta bercerita lebih lanjut, tapi .... Astaga! Istirahat hampir berakhir dan aku masih belum menemui Pak Seno.
"Shin, aku harus menemui Pak Seno. Ini istirahat sudah mau habis, lanjut nanti ya ceritanya."
Tak ada waktu lagi untuk meladeni Shinta. Mungkin saja Pak Seno ingin menitipkan lembar jawaban tes minggu lalu yang sudah dikoreksi olehnya. Jika aku terlalu lama, bisa-bisa aku terlambat masuk ke mata pelajaran selanjutnya.
Shinta seperti merasa berat melepaskan aku. Bahkan sayup aku masih bisa mendengar suaranya memanggil namaku. Nggak masalah, dia masih bisa melanjutkan ceritanya nanti, walaupun sebenarnya rasa penasaran mulai menggelitikku.
Meskipun aku sebentar lagi akan bertemu Pak Seno, toh … aku tak mungkin bertanya tentang kasus yang dikenakan padanya.
Aneh saja … setelah kemarin Shinta menceritakan tentang seorang gadis yang datang ke sekolah, yang mungkin adalah kekasih Pak Seno. Kenapa tiba-tiba hari ini muncul berita kasus yang membuatnya ilfeel? Jika bukan tentang tindak kekerasan, bisa jadi ini tak ada hubungannya dengan studi. Bagiku itu saja sudah cukup melegakan.
Aku mengetuk pintu ruangan kerjanya. Pak Seno memiliki sebuah ruangan khusus, karena pekerjaannya yang sekaligus adalah pengampu kesiswaan di sekolah kami.
“Siang Pak,” sapaku sesaat setelah guru muda itu mengangkat wajahnya.
Guru muda itu menarik sudut bibirnya. Entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa dia terlihat lebih ramah daripada biasanya. Seulas senyuman itu sangat jarang terlihat di wajahnya yang kaku.
“Masuklah!” perintahnya.
Aku menarik kursi di hadapannya dan duduk dihadapan pria yang sedang mengatupkan kedua tangannya di atas meja, di depanku.
“Apa Bapak memanggil saya?” tanyaku tanpa ragu.
Pria itu menganggukkan kepalanya. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
Senopati Aksara, name tag itu terlihat gagah tersemat di dada bidangnya. Guru muda yang merupakan momok bagi siswa siswi yang membenci pelajaran berhitung itu sebenarnya terlihat cukup gagah. Terbukti beberapa siswi, termasuk Shinta ikut merasa patah hati ketika mendapati kenyataan bahwa guru yang disukainya itu telah memiliki pasangan.
Guru muda itu terlihat menyembunyikan kegelisahannya. Aku bahkan bisa melihat gelagatnya saat jari jemari tangannya mengetuk meja kayu tempatnya biasa menghabiskan waktu sepanjang hari. Senyum itu bahkan tak bisa menyembunyikan kegelisahannya dengan baik.
“Apa ada sesuatu yang penting, Pak?” tanyaku yang ikut merasa gelisah. Sepertinya sesuatu itu juga menyangkut diriku. Tapi … aku sama sekali tak merasa melakukan sesuatu yang salah. Tidak dengan pelajaranku, tidak juga dengan kehidupan belajarku di sekolah.
Pria itu menganggukkan kepalanya perlahan. Sepasang matanya menatapku dengan tajam. Seolah ada sesuatu yang salah di wajahku dan dia sedang mengoreksinya. Tentu saja tatapan itu membuatku sangat canggung. Sangat tak biasa.
“Aku rasa kamu juga sudah mendengar selentingan berita di seputar sekolah kita ini. Kabar-kabar burung yang entah dari mana sumbernya,” ucap guru muda itu.
Kudengar helaan napasnya. Terdengar begitu berat dan panjang, seolah beban berat sedang menimpanya.
“Euu … anu, Pak,” sahutku. “Sebenarnya saya tidak begitu banyak mendengar kabar-kabar seputar sekolah. Saya bukan siswi populer, jadi … saya juga tidak terlalu banyak mempunyai teman.”
Aku menelan kasar salivaku. Apakah aku seharusnya juga mendengar kabar-kabar miring seperti Shinta? Ah … kurasa ini tidak mudah karena aku terlalu introvert. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan belajar dan membaca buku.
“Syukurlah,” ucapnya kemudian. “Semoga kamu tidak akan menelan mentah-mentah semua berita yang nantinya sampai di telinga kamu.”
“Berita apa, Pak?” tanyaku.
Ah … sekarang aku mulai menyesal. Seharusnya aku mendengar semua cerita Shinta terlebih dahulu sebelum menemui Pak Seno. Setidaknya aku mempunyai amunisi sebelum kemari. Tidak seperti sekarang, aku terlihat seperti seorang tentara yang maju perang tanpa amunisi yang memadai.
“Sepertinya tidak tepat jika aku menceritakan semuanya padamu. Tapi … kurasa kamu juga harus memahami posisiku saat ini.” Pak Seno sepertinya sedang mencari sebuah kalimat yang tepat untuk disampaikannya kepadaku.
“Ini semua karena kesalahanku.” Pak Seno melemparkan punggungnya ke bantalan punggung kursinya. "Bagaimanapun juga, guru hanyalah seorang manusia biasa."
Astaga, ada apa sih sebenarnya? Kenapa semua orang yang kutemui hari ini terasa aneh dan semua perkataannya berbelit seperti ini?
Halo readers ....
Masih ingatkah dengan kisah Alfred dengan Tiara?
Author mau berkisah lagi tentang salah satu teman dekatnya. Bisa tebak nggak sih, siapa yang cintanya nggak kesampaian?
Nah ... Ini nih, kisah Tiara yang lain, yang menjadi bayangan Tiara masa lalunya. Kali ini author butuh support agar bisa menamatkan kisah ini di platform ini.
Yuk ... Tinggalin jejak dan kawal kisah mereka sampai tamat, ya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!