NovelToon NovelToon

GAIRAH ISTRI PERAWANKU

Episode 01

Dilla telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman, setelah kembali ke Indonesia dia langsung datang ke kantor kekasihnya Reno Bastian putra dari Marteen Bastian dan Farah Bastian.

Reno mendapat pelukan erat dari belakang, aroma parfum tercium oleh Reno membuat nya langsung mengetahui wanita yang mendekapnya adalah Dilla Anindita kekasih yang sangat di cintai ya .

Namun, tersadar oleh Reno kekasihnya bukanlah istri nya, karena pekan lalu Reno terpaksa menikah dengan gadis kampung bernama Mala purnama jodoh yang di pilihkan oleh kakeknya .

jika Reno menolak perjodohan itu maka dia tidak akan mendapatkan harta warisan sepeserpun dari kakeknya .

"Reno sayang kamu kenapa diam saja, biasanya kamu selalu membalas pelukanku dengan ciumanmu."

"Maaf sayang, aku harus pergi karna aku ada acara kumpul keluarga besar di rumah suami ku. jika aku tidak datang maka keluargaku akan tau apa yang aku sembunyikan selama ini sayang.Aku baru pulang dari Jerman dan buru - buru kesini karna aku kangen banget sama kamu."

Reno lalu mencium Dila, tapi Dila menghindar .

"jangan sayang, kita bisa melakukanya di lain waktu Aku mohon Percayalah !!"

Reno mendengus pelan dan berbalik arah mendekati kursi.

Dilla mengejar Reno dan mengalungkan tangannya di leher Reno.

"kenapa kamu gak langsung pulang kerumah sayang, kan di rumah ada istri tersayang kakekmu ?"

"Aduh Dila harus berapa kali aku bilang?"

"aku tak pernah suka dengannya apalagi sampai tertarik pada wanita kampung lusuh sepertinya !"

"Dia dirumah selalu saja memakai baju yang besar - besar dan selalu memakai hijab, seolah aku ini bukan suaminya tapi orang lain baginya . Lebih dari itu aku tak pernah mencintainya, aku hanya mencintaimu."

Dilla tersenyum singkat, itu yang dia inginkan, karena sebentar lagi dia akan bercerai dengan suaminya dan setelah itu dia akan menunggu perceraian Reno dan istrinya.

" Yasudah, Aku harus segera pergi, by love. see you!" Dila pun berlalu pergi.

Reno merasa sangat kesal dia yang telah meng cancel meeting nya dengan client demi Dila, tapi Dila malah meninggalkannya . dia malah memilih pergi ke acara Hendra temanya .

Reno memutuskan untuk pulang ke Rumah.

satu Minggu dia tidak melihat wajah Mala yang berhijab itu, satu Minggu tak bertemu Mala membuatnya merasa tenang dan nyaman.

saat sampai dirumah, Reno langsung membuka pintu rumahnya, karna Reno memegang kunci rumahnya juga.

Reno dan Mala tinggal di kamar yang terpisah, membuat Reno merasa lebih tenang .

saat dia melangkah menaiki tangga, dia tak sengaja melihat ke arah dapur. seketika jantungnya berdebar lebih kencang dan menghentikan langkah nya itu .

"Mala...? kamu ngapain disitu?"

Mala yang sama kagetnya dia pun menjatuhkan gelas yang dia pegang pun pecah .

Malam itu kali pertama, Reno melihat Mala yang tak berhijab dan memakai pakaian yang membentuk tubuhnya.

Belahan dada yang terlihat jelas, dan Payudara yang nampak terlihat sangat besar, belum lagi ukuran baju yang di atas lututnya menutup tubuh Indah mala yang enak di pandang.

"Mas, Mas Reno kapan tiba? " tanya mala gugup, dan dia pun langsung mengambil sapu untuk membersihkan pecahan gelas tadi

" Kenapa , Kamu berpakaian seperti itu Mala ? apa maksudmu ?...."

"saya tak bermaksud apa-apa mas, saya baru saja selesai mandi dan ingin membuat susu, tapi Mas Reno tiba - tiba datang."

" Tiba - Tiba kamu bilang ? Ini rumahku Mala kamu lupa siapa pemilik rumah ini?" ucap Reno dengan tegas, Tapi matanya masih tak beralih dari belahan dada mala yang terlihat jelas dari balik daster Sexy nya.

"sial!! Tidak!!!"

pikiran Kacau apa ini, Reno pun menggelengkan kepalanya . Tetapi dia bukan lelaki lemah yang mudah jatuh hati pada wanita yang berpenampilan sexy, karena Alan sering mengajaknya pergi ke Club' dan melihat Wanita penghibur disana, Bahkan yang hanya menggunakan dalaman saja tapi dia menolaknya karena dia hanya mencintai Dilla.

" Tapi ini Istri sah mu bodoh, Kamu yakin tak ingin menjamah tubuh indah istrimu, reno mendapat bisikan dari dalam benak nya."

Kalau bukan karna perjodohan, Reno tak akan mau di jodohkan dengan wanita itu .

Pertemuan singkat lalu menikah, bagaikan membalik telapak tangan saja.

Dirumah itu tak ada yang tinggal kecuali mereka berdua saja, karena Reno tak ingin Keluarganya tau bagaimana kehidupan pernikahan mereka yang sebenarnya

"Mala" panggil Reno dengan lembut .

" iya Mas"

"Tinggalkan sapu itu disitu, biarkan aku saja yang membereskan nya , lebih baik kamu kembali ke kamar, bisa-bisa nya kamu mengenakan baju seperti itu, kalau ada yang melihatmu bagaimana?"

"Maaf mas, saya tidak tahu jika mas Reno tiba hari ini, jadi saya santai saja ... lagi pula rumah selalu saya kunci jadi tidak mungkin ada yang melihat saya."

reno meletakkan koper nya, dan mendekati mala, jantungnya berdebar pelan, dan matanya masih saja tak lebar dari belahan bukit kembar milik Mala yang terlihat padat, kencang putih dan mulus " SEMPURNA"

"Sekarang pergi ke kamarmu, biarkan aku membereskannya ucap Reno dengan Nada lembut tapi tegas."

Mala pun bergegas berlalu dari sana, dan Reno pun kembali Memejamkan matanya sambil bergumam, dia tak menyangka wanita kampung yang biasa mengenakan hijab dan pakaian syar'i itu memiliki kemolekan tubuh yang begitu indah milik istrinya .

Harus dia akui, milik mala lebih indah dari milik Dilla, meskipun kecantikan Dilla lebih cantik dari mala, tapi bentuk dan lekuk tubuh Mala lebih menggoda iman nya dari pada bentuk tubuh Dilla

Dengan Hasrat yang tak tersalurkan di apartemen yang dia berikan untuk Dilla,

sekarang gairah itu kembali menggelora .

"Kenapa kamu menutupi Keindahan itu selama ini Mala? Apa kamu sengaja agar aku tak menyentuh tubuhmu."

Dia mengusap-usap mukanya dan segera mandi dan berganti pakaian. dia butuh waktu untuk tidur dan istirahat. Urusan proyek yang dia kerjakan, membuatnya merasa penat, dan pertemuannya dengan Dila tadi, ia kira bisa mengobati lelahnya, tapi Dila lebih Mementingkan pergi di bandingkan dirinya .

Mala sudah selesai berganti pakaian, Mala pun keluar kamar dengan rambut yang masih sedikit basah terlilit handuk kecil di kepalanya. Sementara itu, dia hanya menggunakan daster tipis yang membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas.

"Astaga Mala, apa lagi ini?"

suara keras itu mengagetkan mala

"apa lagi ini? Apa dia sedang menggodaku?"

jantung akan semakin tak terkontrol, penampilan mala benar - benar berbeda dari perempuan kampungan yang dia nikahi itu .

"Kenapa dia memakai daster Tipis yang pendek itu, Kemana daster emak - emak yang biasa dia kenapa gumam Reno menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Mas Reno baik - baik saja ? Tanya Mala yang mendekati Reno

Arghh! Reno menjerit pelan, tangannya terkena serpihan beling hingga melukai ujung jarinya . darah segar pun mengalir dari jari Reno.

Melihat itu, Mala langsung bergegas menarik jari Reno dan langsung menghisap jarinya agar darahnya segera berhenti, kejadian refleks itu membuat Mala tak izin lagi menyentuh jari suaminya .

sekarang malah darah dalam tubuh reno yang berdesir. "ada apa ini ?"

Reno dan Mala berada dalam jarak yang begitu dekat. Busana yang dikenakan Mala tampak memikat, ditambah aroma parfum lembut yang menyelimuti udara. Kejadian beberapa menit lalu masih terbayang jelas di benak Reno, saat tanpa sengaja ia menangkap Pemandangan yang seharusnya tak dilihatnya.

"laki - laki mana yang tak tergoda?" Ujarnya

Reno, seperti kebanyakan pria lainnya, tentu memiliki hasrat.

Namun rasa benci yang tertanam dalam hatinya terhadap Mala membuatnya menghentikan gerakannya. Ia menarik jari dari mulut wanita itu, menatapnya dengan sorot dingin.

“Siapa yang mengizinkanmu melakukan itu?” tanyanya tajam.

“Ingat baik-baik, aku tidak akan tergoda. Bahkan jika kau berdiri di hadapanku tanpa sehelai benang pun, aku tetap tidak akan tertarik.”

Reno segera melangkah pergi, meninggalkan Mala seorang diri di dapur.

Di kamar, ia menyandarkan kepalanya di balik pintu. Napasnya terengah, naik-turun seperti habis berlari keliling kompleks.

Pikirannya terus tertuju pada Mala. Wajahnya tegang, jemarinya mengepal. Ia seperti pria yang dilanda badai keinginan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Hasrat membakar, namun ego menahannya di ambang batas.

Reno merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Matanya terpejam, namun pikirannya justru tak tenang. Ia bergumam pelan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Kenapa Mala memiliki tubuh seindah itu…”

Ia menghela napas panjang, membiarkan dirinya larut dalam gejolak yang tak bisa ia akui, bahkan pada dirinya sendiri.

Episode 02

Reno baru saja selesai mandi. Ia keluar kamar hanya dengan handuk yang terlilit di pinggang.

Dengan langkah santai, Reno berjalan menuju dapur. Ia merasa lega karena tak menemukan Mala di sana.

Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya—bagaimana mungkin istrinya yang dulu begitu tertutup, kini tampil dengan busana yang justru membangkitkan hasratnya?

Kenapa bisa muncul rasa itu... hanya karena melihat Mala?

“Mas Reno, sedang apa melamun di situ?” tanya Mala tiba-tiba, membuat Reno terkejut.

“Astaga! Bisakah kamu tidak mengejutkanku seperti itu?” Reno refleks memegangi dadanya. Jantungnya serasa mau copot.

Ia kini menatap Mala yang sedang berdiri di hadapannya... mengenakan mukena putih yang bersih dan sederhana.

“Aku nggak ngelakuin apa-apa. Apa pun yang kulakukan di sini bukan urusanmu, paham?!”

“Maaf… maaf, Mas,” ucap Mala pelan sambil menunduk.

Mala menatap Reno dengan mata yang berkaca-kaca. Ia sendiri tak mengerti, bagaimana caranya bisa meluluhkan hati suaminya yang terasa sekeras batu itu?

Berbulan-bulan sudah Mala berusaha meluluhkan hati Reno, namun semuanya sia-sia.

Bahkan cara-cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya sudah ia coba.

Mala, yang sejak dulu dikenal sebagai wanita tertutup, akhirnya terpaksa membuang rasa malunya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia mencoba tampil berbeda—lebih berani.

"Kamu harus lebih berani dan agresif. Kalau dia terus pasif, kamu yang harus aktif!"

Sarah, sahabat baiknya, berkata tegas.

"Kalau nanti Reno pulang, kamu pakai baju ini. Buang rasa malumu, Mala. Bagaimanapun, dia itu suami sah kamu, bukan orang asing. Mengerti?"

Mala hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya masih ada keraguan, tapi Sarah benar dia tak bisa terus menjadi istri yang hanya diam dan berharap.

Sekarang bagaimana? Reno bukannya tertarik, malah mengusirku dari hadapannya.

Padahal, aku sudah memberanikan diri memakai daster tipis pemberian Sarah.

Kupikir dia akan sedikit melirik, atau sekadar menyapaku dengan lembut. Tapi tidak…

Yang kudapat hanyalah tatapan dingin dan suara tegas yang menyayat hati.

“Aku tidak tertarik padamu, Mala. Jangan paksa aku.”

Kalimat itu terus terngiang di kepalaku, bahkan setelah ia pergi meninggalkanku di ruang tamu.

Sebenernya... masih ada satu lingerie berwarna merah—hadiah dari Sarah juga—yang belum pernah ku kenakan di hadapan Reno.

Tapi hati ini terlalu ciut untuk mencobanya.

Lingerie itu terlalu terbuka, hanya menutupi bagian-bagian yang benar-benar perlu. Dan aku... aku belum siap memperlihatkan diriku sejauh itu—bahkan untuk suamiku sendiri.

"Aku malas berdebat denganmu, Mala. Aku capek. Aku lelah."

Reno berkata datar sambil menyeduh kopi buatannya sendiri.

"Tolong... pergilah. Jangan memancing amarahku."

Mala berdiri di ambang dapur, berusaha tetap tegar.

“Mas... aku akan siapkan sarapan untukmu,” ucapnya pelan, mencoba menawarkan sedikit perhatian.

“Tidak.”

Jawaban Reno terdengar dingin dan tajam.

“Aku tidak akan pernah makan atau minum apa pun yang kau buat. Dan sejak kapan kamu berani bicara seperti ini padaku?”

Ia menoleh dengan tatapan menusuk.

“Kau masih ingat kan, dengan kesepakatan yang sudah kita buat? Perempuan kampung sepertimu… tidak akan pernah mendapatkan perhatianku, apalagi simpati.”

Mala terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap mengatup.

Kalimat itu seperti palu yang menghantam harga dirinya—berulang kali, tanpa ampun.

Reno tampak sangat kesal.

Ia bahkan lupa bahwa beberapa menit lalu, Mala sempat membuatnya bergairah—membangkitkan hasrat yang selama ini dikuburnya dalam-dalam.

Tapi Reno tak peduli.

Di matanya, Mala tetaplah gadis kampungan yang tak pantas mendapat tempat di hatinya.

Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah satu hal:

Bagaimana cara menceraikan perempuan itu secepat mungkin.

Mala masih berdiri di hadapannya.

Ia tak bergerak, tak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi Reno tetap tak memperdulikannya. Ia memilih menikmati kopi yang dibuatnya sendiri, seolah Mala tak pernah ada.

Dengan cepat, Reno meneguk habis kopinya. Ia ingin segera kembali ke kamar sebelum emosinya benar-benar meledak dan membuatnya kehilangan kendali.

Namun tiba-tiba, langkah Reno terhenti.

Mala memeluknya dari belakang, erat dan penuh harap.

Tubuh Reno seketika menegang. Bukan karena ini kali pertama ia dipeluk wanita, tapi ada sesuatu yang membuat pikirannya kacau sentuhan lembut namun menonjol di punggungnya.

Apakah... dia tidak memakai pakaian dalam?

Pikiran Reno langsung melayang.

Bayangan kejadian beberapa waktu lalu kembali menari dalam benaknya. Ia mencoba menepisnya, tapi gagal.

“Mas...” suara Mala lirih, nyaris bergetar.

“Berikan aku satu kali saja kesempatan. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi istri yang baik untukmu. Aku rela melakukan apa pun… asal kau bisa menganggap ku sebagai istrimu. Sebagai istri dari Reno Sebastian.”

“Mas… lakukan apa pun padaku. Aku istri sah mu,” bisik Mala penuh keberanian, suaranya bergetar namun tulus.

Reno tersentak, buru-buru mencoba melepaskan pelukan itu.

“Mala, apa yang kamu lakukan?” tanyanya, suaranya terdengar panik sekaligus bingung.

Namun justru di saat itu, Reno semakin yakin akan sesuatu yang tak biasa.

Meskipun Mala terlihat mengenakan mukena, ia sadar… wanita itu tidak memakai pakaian dalam sama sekali.

Dekapan itu meninggalkan jejak nyata—sentuhan lembut namun menggoda.

Dan saat Reno tak sengaja menoleh ke arah Mala, ia menangkap sekilas pemandangan yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.

Sebuah godaan yang tak bisa dihindari, tapi juga tak bisa ia terima.

“Mas… apa yang harus aku lakukan agar kamu menganggap keberadaan ku di sisimu? Bahkan di rumah ini pun aku merasa asing…”

Suara Mala bergetar. Air matanya hampir jatuh.

“Aku lelah, Mas. Aku ingin menjadi istrimu seutuhnya. Bukan hanya di atas kertas…”

Reno terdiam.

Jantungnya berdebar-debar, pikirannya kacau. Belum lagi tubuhnya pun mulai bereaksi—adik kecilnya seakan tak bisa berbohong terhadap apa yang baru saja terjadi.

Refleks, Reno membalikkan tubuhnya.

Gerakan itu membuat Mala mundur beberapa langkah, kaget dan bingung melihat ekspresi suaminya.

“Beraninya kamu lakukan ini padaku?”

Suara Reno terdengar tajam. Matanya menatap Mala dengan kemarahan yang tak bisa disembunyikan.

"Sejak kapan kamu jadi selancang ini, hah?"

Ia menarik napas berat, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih dingin dan menusuk.

“Jangan pernah ulangi perbuatanmu tadi. Itu menjijikkan.”

Ia mendekatkan wajahnya, menatap Mala yang mulai gemetar.

“Kalau sampai kamu mengulanginya… aku akan memberimu pelajaran yang tak akan pernah kamu bayangkan.”

“Mengerti?!” bentaknya tegas.

Tanpa menunggu jawaban, Reno buru-buru pergi, meninggalkan Mala yang masih berdiri membeku. Ia harus segera menjauh sebelum adik kecilnya benar-benar bangun dan membuat segalanya makin tak terkendali.

Mala menunduk, namun matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku sejenak—tonjolan samar di balik boxer yang dikenakan Reno.

Apakah... Reno mulai berhasrat padanya?

Reno masuk ke kamar dengan langkah cepat dan langsung mengunci pintu dari dalam.

Tanpa ragu, ia melepaskan handuk yang sejak tadi melilit pinggangnya, membiarkan dirinya bebas… meski pikirannya justru terkurung oleh gejolak yang tak biasa.

Ia menghembuskan napas panjang.

Seharusnya perasaan seperti ini hanya muncul saat bersama Dilla.

Tapi kenapa… justru saat bersama Mala beberapa menit lalu, tubuhnya terasa tegang, pikirannya kacau, dan jantungnya berdetak begitu cepat?

“Dilla… kamu kejam, ya?” gumam Reno pelan, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya.

“Kamu tega membiarkanku tersiksa seperti ini…”

Sementara itu, di tempat lain…

Dilla tengah berada di kamar bersama suaminya, Candra.

Candra menatap istrinya dengan sorot penuh rindu. Sudah lama ia tak melihat Dilla secantik malam ini—dengan balutan dress putih yang lembut, sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan lekuk tubuh yang selama ini hanya miliknya.

Penampilan Dilla malam itu membuat Candra tak kuasa menyembunyikan hasratnya.

Rasa rindunya yang tertahan sekian lama kini perlahan berubah menjadi gejolak yang menghangatkan kamar itu.

“Apa… apa yang kamu lakukan?”

Dilla berusaha mendorong tubuh Candra, tapi tenaganya kalah jauh. Pelukan suaminya begitu erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

“Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Dilla,” bisik Candra dengan suara dalam.

“Kau istriku… aku berhak atas cinta dan kehadiranmu.”

Ia menatap wajah Dilla dalam-dalam, lalu mendekatkan wajahnya perlahan.

Tangannya menyentuh lembut sisi bahu Dilla yang terbuka, sementara matanya terpaku pada leher jenjang yang tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.

Dila.. " Aku kangen melakukan ini denganmu sayang" ucap Candra

Dan Malam ini kau terlihat sangat cantik dan menarik, malam ini kau harus membayar penghianatan mu

Tidak....... aku tidak merin.....Du...kan...mu

" Omong kosong, kamu saja menikmati permainanku bukan ? Aku tidak perduli kau selingkuh dengan Atasanmu, kau tetap saja istriku .

" Kamu adalah istriku, Jadi kamu harus Memenuhi keinginanku, Paham !!! Ucap Candra lalu merobek Dress yang di kenakan Dila , dengan buasnya dia melahap bukit kembar Dila secara bergantian .

Nikmat sekali, ini milikku dan sampai kapanpun akan tetep menjadi milikku ,

ucap Candra lalu melepaskan kacamata yang masih melekat di gunung kembar itu .

Dila Merasa kaget, dengan apa yang di lakukan suaminya itu, Malam ini dia sangat kasar sekali.

Candra dengan liar memainkan drum kembar itu, pijatan -pijatan Membuat Dila menikmati alunan pijatan drum dan Dila menjambak rambut Candra menarik wajahnya untuk terus memainkan drum kembarnya .

Sayang, kamu suka kan?

" Tidak, aku tidak menyukainya"

Terserah apa tanggapan mu, yang jelas aku melakukan ini kepada istriku sendiri, dan kamu pun menikmatinya, Candra pun terus ngemut permen, dan tangan satunya memainkan drum ...

" Dila semakin tak terkendali

Apalagi saat jemarinya memetik - metik mawar milik Dila, Dila pun terbuai akan perilaku suaminya itu.

kamu mau sekarang atau nanti, ucap Candra menggoda.

" Sekarang, ... ucap Dila menjerit sekencang - kencangnya .. sambil mendorong Drum lebih dalam di mainkan

" Candra tak menunggu lebih lama lagi, karna sudah cukup lama iya menginginkan istri cantiknya itu ...

Dia membawa Dila ke tempat tidur , lalu dengan cepat dia melepas kelopak yang membungkus mawar milik Dila itu .

Astaga Dila, kamu sudah basah .. ucap Candra sambil memainkan petikan gitar di sana ..

Argh !!! kamu lihai sekali memainkan jemari dalam mawar sayang . .

Sekarang Candra Petik lah mawar ini !!!

pinta Dila, dia tak dapat lagi rangkaian mawar warna warni menghiasi malam nya ..

Sabar ya Penulis bakal segera Up lagi, karna penulis perlu merangkai kata yang bakal bikin lebih baper lagi . jangan lupa Komentar ya ☺️

episode 3

Malam telah berlalu. Keesokan paginya, Reno memutuskan mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia ingin beristirahat dan menenangkan pikirannya.

Pagi itu, Reno melakukan olahraga ringan di taman belakang rumah. Sejak tadi, ia tak melihat Mala.

“Ah, masa bodohlah dia di mana. Memang lebih baik begitu,” batinnya. “Asal dia tidak merusak mood-ku yang sudah cukup berantakan. Bahkan jika dia meminta cerai sekarang juga, aku akan mengabulkannya dengan senang hati.”

Setelah tubuhnya terasa segar dan berkeringat, Reno menyudahi aktivitasnya. Ia segera masuk ke ruang kerja. Di sana, pikirannya melayang pada seseorang — kekasihnya — yang hingga saat ini belum juga memberi kabar.

Reno mencoba menelepon Dila sekali lagi. Tapi hasilnya tetap sama, tak ada jawaban.

Ia menggerutu dalam hati.

“Kenapa Dila seperti ini? Biasanya dia yang paling rajin menghubungiku, dia nggak pernah mengabaikan pesanku seperti sekarang.”

"Dila... kamu ke mana sih? Aku cemas. Kamu nggak kasih kabar sejak malam dari Karin..." gumam Reno, gelisah di ruang kerjanya.

Tak tahan dengan pikirannya sendiri, Reno lalu menelepon salah satu karyawan di kantornya.

"Hallo, selamat pagi, Pak Reno. Ada yang bisa saya bantu?"

"Apakah sekretaris saya sudah sampai kantor?"

"Bu Dilla maksud Bapak? Belum datang, Pak," jawab si karyawan sopan.

"Oo... baiklah kalau begitu."

Tut... tut... tut...

Reno menutup telepon dengan perasaan yang makin tak menentu.

Reno semakin curiga dengan Dila.

“Ke mana dia? Nggak biasanya begini...” pikirnya gusar.

Seluruh karyawan sudah tiba di kantor, tapi sampai jam segini Dila belum muncul.

“Apa dia ambil cuti juga? Tapi kenapa tanpa kabar?” Reno makin bingung.

Di tempat lain, Dila masih tertidur pulas. Di sampingnya, Chandra memeluk tubuhnya erat dan menatapnya penuh manja.

Sejak subuh tadi, Chandra tak henti-hentinya melampiaskan rasa rindunya.

"Dila..." bisik Chandra lembut, menelusuri lekuk wajah perempuan itu.

"Chandra, lepaskan... Aku harus ke kantor sekarang. Aku bisa terlambat..." ucap Dila dengan suara lemah, mencoba melepaskan diri dari pelukannya.

"Sayang, kenapa sih kamu nggak ngerti perasaanku? Lagi pula, kalau pun kamu pergi ke kantor sekarang, sudah terlambat. Ini sudah jam sepuluh. Mana ada pegawai datang jam segini?"

Suara Chandra terdengar lembut tapi penuh tekanan.

"Lupakan dulu pekerjaan itu. Nikmatilah pagi yang sejuk ini bersamaku. Sudah lama kita nggak seperti ini, bukan?"

Dila mencengkeram sprei dengan kuat, menahan konflik di dalam dirinya. Tubuhnya terpaku, tapi pikirannya berantakan. Chandra, yang sudah lama memendam rindu, terus menunjukkan betapa ia masih menginginkan Dila — wanita yang sejak dulu ia cintai, wangi dan selalu memesona di matanya.

Dila pun tak bisa lagi menahan desah lirih dari bibirnya.

Suara itu membuat Chandra semakin hanyut.

Namun, di balik semua itu, hati Chandra terluka. Ia tahu istrinya kini punya hubungan dengan orang lain. Bahkan dengan atasannya sendiri — CEO tempat Dila bekerja.

Dan meskipun hatinya hancur, Chandra masih mencoba mempertahankan rumah tangga mereka.

"Aku masukin sekarang aja atau nanti, Sayang?"

Nada suara Chandra menggoda, sementara Dila hanya tersenyum malu.

"Iya, Chandra... Aku juga rindu kamu," bisiknya.

"Kamu mau bermain-main dulu, atau kita... tukar posisi?"

"Tukar posisi? Maksudnya gimana?" tanya Dila, menatapnya heran.

Chandra tertawa pelan, lalu membimbing Dila ke atas ranjang, memperlakukan tubuh istrinya seperti sebuah permainan indah. Seolah mereka sedang bermain ayunan —naik turun mengikuti irama rindu yang tertahan begitu lama.

Ketika keintiman itu mulai reda, mereka saling berpandangan, masih dalam pelukan.

"Sayang... apa kamu ingin main yang lain?" bisik Chandra, suaranya serak menahan hasrat.

Dila tak menjawab. Ia hanya menatap mata suaminya dalam-dalam. Tangannya kemudian bergerak, seolah meraih sesuatu yang tak terlihat — sebuah simbol panah yang perlahan ia arahkan ke hatinya sendiri.

Dan permainan itu pun berlanjut… lembut dan dalam, seakan mereka sedang melayang menuju langit ke tujuh.

Dalam bawah sadarnya, Dila teringat Reno — kekasihnya.

“Reno… jangan sampai dia tahu kalau aku bermain 'anak panah' dengan Chandra. Bisa-bisa dia benar-benar pergi meninggalkanku…” pikirnya cemas.

----

Sementara itu, Reno masih berada di tempat yang sama. Ia duduk santai di balkon, menikmati segelas jus stroberi dan sandwich. Namun, tatapannya kosong. Pikirannya berantakan.

Ia tidak menyadari bahwa Mala sudah memperhatikannya sejak tadi.

Mala berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan dress merah yang membuatnya tampak anggun dan memikat. Tapi seperti biasa, Reno tak pernah benar-benar melihatnya sebagai wanita.

Ia justru sering mencemoohnya, bahkan tanpa sadar melukai hati Mala dengan ucapan-ucapan yang pedas dan merendahkan.

(Teringat ucapan Reno yang dulu...)

"Kamu tuh nggak akan pernah bisa seperti Dila... Jangan harap."

Mala menarik napas dalam. Meski hatinya rapuh, ia memberanikan diri untuk mendekatinya perlahan.

"Mas...?"

Terdengar suara lembut memanggil Reno. Ia menoleh, mencari sumber suara itu. Dan begitu matanya menangkap sosok Mala, ia benar-benar terpaku.

Mala berdiri anggun di bawah sinar matahari pagi, mengenakan dress merah dengan tali setipis senar. Bahunya terbuka, dan kulitnya yang bersih tampak bersinar.

Reno memandangnya tanpa berkedip, seperti tersihir.

"Mas..."

Panggilan kedua itu menyadarkannya dari lamunan.

“Mala... kau cantik sekali...” batinnya nyaris berbisik.

"Ada apa? Kenapa kamu berdiri seperti patung di situ?" tanya Reno, mencoba menutupi kekagumannya.

"Aku sedang memperhatikan Mas, dari tadi kulihat Mas melamun saja," ucap Mala manja, sambil melangkah mendekat, gerak tubuhnya seperti menari ringan di hadapan Reno.

"Emm... Mas Reno habis olahraga pagi, ya? Tapi kenapa sendirian? Kenapa nggak ngajak aku sekalian?"

Nada suaranya genit dan manja, dibarengi dengan gerakan kecil yang menggoda.

Nada suaranya genit dan manja, dibarengi dengan gerakan kecil yang menggoda. Rambutnya melambai pelan tertiup angin, dan senyumnya membuat dada Reno berdebar.

Dan karena ucapan serta sikap Mala itu, Reno... mulai merasakan keinginan yang tak bisa ia tahan.

“Aku ingin... memanah sesuatu,” gumam hatinya pelan, sambil menahan napas.

Mala sempat terkejut saat melihat arah "anak panah" Reno sudah fokus lurus ke depan. Tapi ia cepat menenangkan diri.

“Aku harus berani... Dia suamiku, kekasih halalku.”

Dalam hatinya, Mala meyakinkan diri — bahwa setiap sentuhan penuh cinta di antara mereka adalah bentuk ibadah, yang mendatangkan pahala dari Sang Pencipta.

Ia tersenyum lembut, lalu berkata,

"Mas Reno, ini aku bawakan jus alpukat. Katanya bagus buat stamina."

Mala perlahan meraih gelas yang ada di tangan Reno, matanya menatap mata suaminya dalam-dalam. Reno hanya bisa menahan napas.

"Mas... kenapa kamu kelihatan bergetar dan berkeringat dingin? Kamu sakit? Tapi tadi habis olahraga, kan?"

Mala mencondongkan tubuhnya.

"Biar aku ambil handuk, ya. Aku lapin keringat Mas dulu..."

"Nggak usah, Sayang..." ucap Reno tiba-tiba, tanpa sadar.

Mala menatapnya, terpaku.

"Mas... kamu manggil aku ‘Sayang’?"

Reno langsung membuang muka.

"Masa sih? Kamu halu. Aku manggil ‘Mala’, bukan ‘Sayang’. Jangan kepedean kamu."

Balas Reno dingin, berusaha menutupi rasa gugupnya.

Tapi sorot matanya tak bisa bohong. Ada sesuatu yang mulai tumbuh... atau kembali tumbuh — entah cinta, atau hanya pelarian dari luka yang lain.

(Sabar, Mala...)

Ia menahan napasnya perlahan, lalu mulai meraih pundak Reno. Sentuhan itu membuat Reno merinding — tubuhnya tegang, seolah panahnya sudah siap ditembakkan.

Penampilan Mala pagi itu sungguh menggoda. Dress putih sederhana yang ia kenakan justru membuat pesonanya semakin kuat.

Sekilas memang terlihat seperti gadis kampung biasa. Tapi Reno sadar — istrinya ini begitu menawan. Kulitnya cerah, terawat. Bahkan aroma tubuhnya terasa begitu alami.

"Mas Reno... mau Mala buatin sarapan?" ucap Mala manja, matanya penuh permohonan lembut.

Reno hanya diam. Pandangannya masih menyusuri setiap lekuk tubuh Mala.

"Kalau Mas Reno nggak mau dibuatin sarapan sama Mala..."

Mala mendekat, lalu berbisik pelan di telinga suaminya.

"Mas Reno bakal jadi sarapan buat Mala, deh..."

Di akhir kalimatnya, Mala mengedipkan mata genit.

Reno tertelan ludahnya sendiri. Kali ini, dia benar-benar tak sanggup berpura-pura dingin lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!