...💓Terimakasih sebanyak-banyaknya atas dukungan dan like para pembaca. Tolong nilai novel ini ya, kak😘...
...Terimakasih...
...Author mau persembahkan penghargaan ini buat kalian💓...
...Selamat membaca🙏...
...----------------...
Nadia Adelia gadis berusia dua puluh satu tahun. Mahasiswa tingkat akhir yang hidup sendiri di Ibukota. Dengan bekerja sampingan paruh waktu di sebuah toko, dia harap bisa mencukupi kebutuhan bulanannya, tetapi hidup tidak semudah yang dibayangkan.
Dompetnya kian hari makin menipis, mengharuskan dia mengencangkan ikat pinggang. Jarak kosnya dari kampus hanya lima ratus meter, dia juga menyambi jualan online dan harus pintar-pintar bagi waktu.
Baru kemarin ibu menelpon agar dia tinggal di rumah bibi dari kerabat jauh ibu, awalnya Nadia terus menolak, karena belum pernah bertemu dengan bibinya. Maklum sejak kecil dia hidup dengan kedua orang tua angkat karena ekonomi keluarganya yang sangat minus.
Nadia membaca secarik kertas lusuh setelah turun dari angkot. Kemudian dia mencari alamat rumah yang tertera di kertas itu. Agak kesulitan memang karena berada di suatu komplek perumahan besar. Akhirnya ia sampai di alamat yang ia tuju. E-12 nomer rumah itu dengan dua lantai dan tembok besar. Nadia meletakan tiga tas besar, mengetuk gerbang, dia tidak tahu cara masuknya.
"Permisi!"
Beberapa kali Nadia berteriak, seseorang tetangga menghampiri Nadia agar menekan bel di dekat angka alumunium E-12.
Tidak berapa lama seorang security membuka gerbang setelah Nadia beberapakali menekan Bel.
Security mengantar Nadia ke dalam rumah sambil membantu mengangkat dua tas besar.
Security itu mengerutkan kening heran menatap gadis itu yang celingukan dengan mata berbinar mengagumi setiap sudut rumah, seakan gadis itu tidak pernah melihat rumah mewah.
"Nadia, kamu baru datang, ponakanku."
Nadia menoleh ke balik sofa yang diduduki, wanita berusia tiga puluh tahunan dengan gaya sangat modis, di rumahpun masih berpakaian mahal.
Tidak lama kemudian Nadia diajak makan. Dia pun makan seraya menatap kagum pada wajah tantenya yang sangat cantik.
Makanannya pun enak, tidak salah ibu menyuruhnya tinggal di sini, pasti dia akan makan enak terus tidak seperti biasanya yang hanya makan mie dan nasi, paling bagus ada telurnya. Sekarang dia bahkan bisa makan ayam goreng sekaligus ikan Bakar.
Baru sepiring dia lahap dan akan menambah lauk lagi, suara sepatu pantofel dan suara yang familiar membuat Nadia berpaling ke sudut ruangan saat sang bibi juga memanggil mesra pada sang suami.
Nadia terbelalak dan terbatuk dengan sendok langsung terlepas dari tangannya, dentingan jatuh ke lantai menimbulkan keributan. Tubuhnya membeku dan gemetar.
Guskov berpaling dari kecupan bibir istrinya menatap keributan di meja makan. Dia mendelik dengan apa yang dilihatnya dan hatinya jatuh ke bumi.
"Mas, kenalin ... dia keponakanku," kata Mila Felixia. Wanita berusia tiga puluh itu mendorong lembut punggung suaminya ke dekat meja.
Petir bagai menyambar kepala Guskov Adhitama. Bagaimana mungkin gadis yang didekatinya setahun terakhir adalah keponakannya. Sudah sebulan sang istri bercerita akan membawa keponakannya tinggal di sini, tetapi dia tak pernah mengira gadis itu adalah ...
Bibir Guskov gemetar pada tatapan terbelalak dan malu Nadia. Habislah sudah, dia tidak akan bisa dekat-dekat dengan gadis yang dikaguminya itu.
"Sudah-sudah ayo Mas, makan dulu." Mila menarik kursi di tempat biasa suaminya duduk. "Apa kamu tidak sehat? wajahmu pucat, sayang?"
"A-aku ya aku, sedang tidak enak badan."
Guskov duduk dengan keringat dingin membasahi punggungnya, melirik Nadia dan sempat bersitatap dalam kecanggungan. Dia tidak tahu apa harus menyapa gadis itu yang diam saja. Guskov melirik istrinya yang tersenyum membuka piring dan mengambilkan nasi.
"Tante, aku sudah kenyang, dimana bak cucinya?"
Nadia dengan suara tertahan, tangannya mengepal di atas pangkuan. Pria itu membohonginya, seharusnya dulu dia tak percaya, bagaimana bisa selama ini dia berkencan dengan pamannya sendiri. Bilangnya hidup sendiri tetapi justru .... Ah ini sangat gila.
Hatinya terasa rontok dan sakit di titik bawah tulang rusuk, dia cepat menuju bak cuci dengan tertih dan kepalanya terasa berputar hingga di berpegangan pada meja dapur dan merosot. Kini dia bahkan harus memanggil pria itu dengan sebutan Paman.
Di kamar Nadia menelpon mamanya dengan suara serak akibat habis menangis di bawah bantal. Dia mengabari bahwa sudah tiba di rumah Bibi dan bilang bahwa ia sedang batuk karena ibu menanyakan suara seraknya.
Dua hari di rumah bibi kecanggungan sungguh terjadi, berkali-kali Nadia berpapasan dengan Guskov. Keringat dingin terus membanjirinya acap kali menjumpai Guskov. Sungguh hatinya tersiksa.
Baru enam bulan lalu Guskov menyatakan cintanya dan setelah itu sering menonton dan pergi bersama, bahkan Nadia sempat optimis pada hubungannya. Pria itu yang sangat sopan dan santun. Nyaris, saja dia akan membawa pria itu untuk mengenal kedua orang tuanya. Bukankah ini justru hal memalukan, jika pria itu ternyata pamannya sendiri.
Pagi itu Nadia hendak pergi ke panti, saat itu Guskov juga akan pergi bekerja, awalnya Nadia menolak tetapi sang Bibi justru menyuruh Guskov untuk mengantarnya, dan sialnya pria itu tidak menolak.
Dalam perjalanan, Nadia terus menatap ke luar jendela, bahkan bibinya menyuruh dia duduk di kursi depan.
"Nadia."
Guskov membuka suara setelah beberapa kali membuang nafas sambil mengemudi, terasa begitu sesak, beberapa kali akan berbicara tetapi tak siap menghadapi respon Nadia. "A-pa kamu marah?"
Nadia mendelik dan menekan keras rahangnya. Siapa yang tidak akan marah dengan kebohongan besar doi. Yang benar saja doi! dia benar-benar geli pada diri sendiri. Enggan dia melihat pria itu, tetapi lehernya sudah pegal akibat menoleh ke kiri terus.
"Pa-man," suara Nadia penuh kegetiran.
Ini sangat aneh, rasanya ia mulai gila saat teringat kemesraan setengah tahun belakangan dengan pria yang ternyata telah menikah. Nadia tertawa getir dan mengapa rasanya sakit bukan main.
"A-apa?" Guskov tergagap dan terkesiap dengan panggilan itu, dia meremas stir mobil berusaha tetap fokus. "Tidak perlu memanggil begitu. Maafkan aku, Nadia."
"Seharusnya Paman minta maaf pada bibi bukan minta maaf padaku." Suara Nadia tertahan, tenggorokannya panas seakan tengah dicekik seseorang.
"Nadia ... "
"Tolong hentikan mobilnya," lirih Nadia dan matanya telah memanas, dia tidak sanggup lagi.
"Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Guskov meraih tangan Nadia dari pangkuan tetapi langsung ditepis wanita itu yang tampak begitu jijik dengannya.
"Jangan lagi menyentuh saya," pekiknya, dan air mata telah lolos tanpa permisi. Nadia menggoyang-goyangkan gagang pintu yang terkunci, dia menggebrak pintu yang tak mau membuka.
"Buka! buka Guskov!" tangisan Nadia akhirnya pecah. Dia merasa dikhianati pria itu. Betapa jijiknya dia walau hanya bernafas di udara yang sama dengan Guskov.
"Tenanglah Nadia." Guskov menekan kata-katanya, kepalanya sudah mau pecah, dia tidak suka ditekan seperti ini. "Sudah kubilang kita harus bicara."
"Apa ada yang harus kita bicarakan lagi?!" Nadia meringis dan menoleh tajam menatap
Guskov yang langsung menepikan mobil mendadak di area larang parkir hingga suara decitan rem terdengar. "Cepat buka!" pekik Nadia dan dia menjauh dari tangan Guskov yang memegang dagunya.
"Tenanglah Nadia, aku menyayangimu aku tak bohong!" Mata Guskov memanas.
"Omong kosong! Kau itu pamanku sekaligus suami dari bibiku. Teganya kau membohongiku, Guskov! Kau itu sudah menikah dan bukan pria lajang!"
"Sayang, maafkan aku."
"Berhenti memanggilku seperti itu, menjijikan! dan aku takkan tinggal di rumah itu."
"Tidak. Kau harus tetap tinggal di rumah." Bentak Guskov seketika dengan mata berapi-api. Tubuh Nadia gemetar ketakutan mendapati wajah merah padam itu dan tak pernah mendapati Guskov berlaku kasar. Pipi Nadia yang berlinang diusap perlahan oleh Guskov yang mendesis. Guskov menarik dirinya dan duduk lebih tegap, tak tega mendapati air mata itu lalu menekan tombok kunci.
Klik!
Nadia langsung keluar dari mobil dan Guskov meninju setir berkali-kali menatap nanar pada punggung Nadia yang lalu menyetop angkot di depan.
Dua hari sudah Nadia masih tinggal di rumah bibi, karena kosnya keburu ditempati orang baru. Dia harus mencari kos yang lebih murah. Beberapakali Guskov juga tidak pulang, kata bibi jika Guskov sedang di luar kota selama seminggu kedepan. Baguslah, dia harus cepat-cepat mencari kos sebelum Gudkov pulang.
Di hari ketiga bibinya juga ke luar kota untuk arisan. Pembantu sedang diliburkan, Nadia diminta untuk menjaga rumah. Malam itu Nadia begitu haus dan menutup tugas kuliahnya, matanya sudah tidak kuat tetapi perutnya lapar.
Dia menjijit meraih mie instan di nakas dapur, "kenapa menempatkan tinggi-tinggi."
Sebuah tangan meraih mie, dan Nadia langsung berbalik terkejut. Guskov yang membantunya mengambil mie, tubuh Nadia membeku bukankah belum waktunya pria itu pulang. Aroma citrus familiar menguar dari tubuhnya.
Tanpa sadar Guskov telah memagut bibir Nadia, wanita itu yang masih bingung dan terkesiap masih tak bisa mencerna dan begitu kewalahan dengan pagutan kalap Guskov.
Guskov merengkuh kekasihnya, sudah dua minggu lebih dia tak memeluk Nadia, kerinduannya telah membuncah terlebih karena kemarahan wanita itu yang membuatnya semakin gila. Akan tetapi dia kembali teringat pada bayang wajah istrinya dan langsung melepas tubuh Nadia yang masih membeku.
Nadia memegang bibirnya menatap kepergian Guskov, ciuman pertamannya telah dirampas meski dia merindukan itu, tetapi gejolak amarah dari dalam mengutuk dirinya sendiri. Tidak menyangka dirinya begitu menjijikan dan tak melawan perlakuan Guskov.
"Lupakan dia, Nadia. Kau tak bisa begini," desahnya dengan satu tetes air mata jatuh ke pipinya. Mengapa dia harus memiliki rasa pada pria pembohong itu.
**
Malam itu, Guskov mondar-mandir di ruang tamu menunggu. Dari sore dia menghubungi Nadia tetapi ponselnya tidak aktif. Istrinya juga barusan menelpon untuk menanyakan kenapa Nadia belum kunjung pulang.
"Apa Nadia marah karena ciuman semalam? Hingga dia pergi sangat pagi dan tak ada kabar lagi. Bagaimana bila terjadi sesuatu. Sebenarnya dimana dia?" Gumam Guskov dengan hati resah dan gelisah, merasa bersalah, sepertinya dia terlalu memainkan hati Nadia. Wajah Guskov merah padam dan menggaruk wajahnya dengan kasar dan tubuh itu terhempas ke sofa.
Keesokannya Guskov mendatangi sebuah toko, setelah siang tak mendapati Nadia di kampus. Begitu dia membuka pintu kaca toko, sambutan ramah Nadia menggema tetapi terputus begitu menyadari dirinya yang datang.
Guskov membawa sekeranjang belanjaan ke kasir, kebetulan sepi pengunjung. "Kenapa tak pulang?" Suara Guskov terdengar memohon.
Nadia tertunduk dengan wajah tertekuk, pria itu mengapa masih ke sini. Oh mungkin hanya tanggung jawabnya sebagai seorang paman. dengan gerakan cepat Nadia memproses belanjaan.
"Kenapa tak menjawab? kenapa diam saja? kenapa ponselmu mati. Hah!" Guskov menghela nafas kasar, kekesalannya sulit terkendali bila Nadia mengabaikannya.
"Semuanya 345.200 rupiah," kata Kamila sambil menatap perut six pack berkemeja ketat itu.
"Tatap aku, Nadia," geram Guskov setelah mendorong kartu atmnya.
"Pinnya ... " Nadia mendorong mesin debit.
"Bukannya kau sudah tahu, berhentilah seperti ini." Guskov berdecak sampai membuatnya ingin menangis sendiri.
"Pinnya ... " Nadia mengulangi lagi, dengan hati berdebar. Memang jika dulu makan di luar, Nadia yang membayar ke kasir dengan atm Guskov dan dia hafal pinnya.
Guskov memasukan pin dan meraih kasar belanjaan meninggalkan Nadia yang beteriak memberitahu atm yang tertinggal, tetapi mobil pria itu langsung tancap gas. Tubuh Nadia merosot ke lantai dan memeluk lututnya merintih meremas atm Guskov. Mengapa dia harus mencintai suami dari bibinya.
"Hei, kau menghalangi jalan."
Nadia mendongak dan mengelap pipinya yang basah dengan bahunya. Bergegas kembali ke kasir.
"Rokok mentol dua, hei kau melamun ya!" Pria itu berdecak, mana ada penjaga toko bersikap seperti itu, baru kali ini dia menjumpainya. Eh tapi ada apa wajah itu, apa perempuan ini habis putus dari pacarnya?
Brak!
Nadia terkesiap pada pria jangkung di depannya yang baru menggebrak meja aluminum kasir. Menatap si jangkung yang mengeluarkan dompet panjang dari ranselnya.
"Maaf." Nadia langsung mengambil rokok di belakangnnya dan memproses belanjaan. "85.700."
Pria itu memberikan uang seratus, dan ponselnya berdering hingga langsung menerima telepon.
"Kembaliannya mas!" pekik Nadia.
"Ambil saja," pria itu hilang di balik pintu dan menaiki motor sport.
Lama Nadia termenung, matanya baru menyadari sebuah dompet hitam panjang milik pria tadi tertinggal. "Astaga, aku terlalu banyak melamun."
Nadia membuka dompet pria itu dan meneliti kartu mahasiswa. "Satu kampus denganku? Ernest Wijaya ... ehm lucu juga wajahnya di sini ya."
Nadia menyimpan dompet itu, siapa tahu pria itu kembali lagi.
Nadia yang harusnya menutup toko jam sembilan masih juga belum mendapati batang hidung pria itu, bahkan ini sudah jam sepuluh malam. Dia menutup toko, dan masuk ke dalam, menumpang tidur di ruang kecil. Tidak mau dia pulang lalu bertemu Guskov.
Sebuah panggilan dari bibinya, Nadia menerima lalu beralasan tidur di rumah teman karena tugasnya banyak.
Nadia mengamati timbunan riwayat chat Guskov, bahkan sejak chat pertama kali saat Guskov memesan daftar belanjaan yang akan di ambilnya kala sore. Sejak malam pertama di rumah bibi, dia langsung memblokir nomer itu.
Guskov yang awalnya sering berbelanja, dan dua minggu setelah itu lalu mengajaknya makan mie di toko sebelah sebagai rasa terimakasihnya karena Nadia menyiapkan semua belanjaan tanpa perlu pria itu susah-susah memilihnya.
Di bulan kedua, Guskov menjadi datang tiap malam untuk mengantarnya pulang, di sela kerja Guskov yang kerjanya sampai larut malam.
Di bulan Ketiga, Guskov mulai mengajaknya menonton bioskop, itupun karena alasan teman dari Guskov memberikan dua tiket dan dari pada sayang mubajir, Nadia mau ikut menonton.
Di bulan ke empat, Guskov mulai rajin menggodanya, dan menunjukkan ketertarikannya. Nadia rasa semua perempuan tahu akan kode itu, tetapi Nadia menjaga jarak karena sadar posisinya, dia hanya perempuan bergaji pas-pasan, sedangkan Guskov tampaknya dari kalangan berada. Dan usianya juga selisih sembilan tahun, itu terasa aneh bagi Nadia.
"Ah kenapa aku mikirin dia sih!!!" Nadia menutup kepala dengan bantal dan bolak -balik memejamkan mata tetapi tak berhasil.
Di tempat lain, Guskov masih menunggu Nadia di sofa ruang tamu, gadis itu masih tak pulang ...
Besok dia harus datang lagi ke toko. Sebetulnya, dia tidak ingin menyakiti Nadia, tetapi juga tidak bisa melupakan wanita itu yang selalu mewarnai satu tahun belakangan.
Bab 3.
"Fitria, apa belum ada yang mencari dompet?" Nadia yang baru ganti seragam toko, berjalan di samping pegawai lain yang jaga pagi.
"Belum, Nad. Aku pulang dulu ya, Bye."
Kepergian Fitria di jam tiga sore itu, tidak lepas dari pandangan Nadia. Sambil menyambi menjaga toko, Nadia mengerjakan tugas kuliahnya. Beruntung, dia memiliki majikan yang baik hati.
Haripun telah malam, ketika dia menutup rolling dor. Sebuah tangan datang dari belakang memeluknya.
"Paman!" Nadia memekik melepas tangan besar itu dari peruntya dan mendongak, "jangan asal sentuh atau aku akan berteriak!" tergagap karena kehangatan dada Guskov di punggungnya.
"Teriak saja. Kau mau menghindariku lagi?"Guskov memutar tubuh gadis itu dan berhadapan. "Ayo pulang."
"Tidak! menjauhlah dariku." Nadia mendesis dengan nafas cepat pendek, dan tangan mendorong dada bidang itu.
"Kau masih menyayangiku, kan, Nadia?"
"Tidak. Aku tak mau melihatmu lagi." Nadia mendorong dagu Guskov tak mengijinkan pria itu menyentuhnya lagi.
BUGH!
Nadia dan Guskov terkejut.
"Lelaki mesum!"
Nadia mendelik, menatap tak percaya pada pria yang baru datang itu, Ernest pasti berniat mengambil dompetnya.
"Siapa kau?" Guskov akan main tangan tetapi Ernes menghindar, keributan tak terhindarkan dan dua pria itu saling adu jotos. Nadia mencoba memisahnya tetapi kesulitan.
"Aku akan menelpon polisi!!!!!" teriak Nadia, bahkan orang disekitar hanya menonton tak ada yang berani melerai karena sadar dua orang itu pandai berkelahi.
Di depan toko, Nadia membawa kotak P3Kmenatap dua orang itu yang babak belur duduk di kursi besi dengan saling menatap tajam.
"Bisakah kalian mengobati diri sendiri?" Nadia membuka betadin dan menuangkan di kapas dan memberikan pada Ernest yang terus mengumpat.
Orang-orang telah pergi karena keseruan telah berakhir.
"Ayo pulang, Nadia." Guskov menerima kapas dan yang telah dibubuhi betadine dan menatap cermin untuk mengolesi betadine cair di wajahnya.
"Tidak mau." Nadia lirih, karena tatapan tajam Ernes.
"Kamu harus pulang," sentak Guskov dan menatap tajam pada Nadia yang menggigil karena cuaca dingin sisa hujan.
"Apa kau tidak dengar, dia tidak mau!" Sentak Ernest mengejutkan Nadia dan Guskov.
"Kau orang luar, diamlah," geram Guskov pada pria yang tak kunjung pergi di depannya.
"Cih, kau memaksannya. Kau kira aku akan diam saja?" Ernes memdengus.
"Siapa kau ikut campur?" Guskov kembali akan melayangkan pukulan tetapi di tahan tangan Nadia.
"Kenapa kau main tangan, Paman?"
Ernest tertawa, "Oh paman?" ledeknya.
"Diamlah," dengus Guskov tak terima pada wanita yanh kembali memanggilnya itu, dia menjadi merasa sangat tua.
Nadia masuk ke dalam dan keluar lagi, memberikan dompet Ernest. "Ini milikmu."
Ernest terkekeh. "Terimakasih, siapa namamu?"
"Nadia."
"Kau satu kampus denganku, kan?" Mata Ernest berbinar.
Guskov menekan rahangnya kesal. "Tak usah menggodanya."
"O-o, ini hal biasa dalam kalangan 'anak muda'" Ernest dengan sarkasme.
"Apa kau pikir aku sudah tua?" Geram Guskov.
"Sudah, kalian mau ribut sampai kapan, aku mau tutup toko." Nadia berdiri dan mengumpulkan P3K. "Selamat malam ... "
"Pulang," Guskov meraih tangan Nadia.
"Aku akan menelpon polisi, kau sudah memaksa gadis," decak Ernest.
"Ernest, dia pamanku, terimakasih pertolongannya, bisakah kamu tak menelpon polisi?" pinta Nadia saat menjumpai Ernest telah meraih ponsel. "Paman, aku akan pulang tunggu." Nadia masuk ke dalam rumah, tak mau berdebat lagi.
Sepanjang perjalanan pulang, keheningan terjadi. Tidak ada yang berniat bersuara diantara Nadia maupun Guskov. Hal itu terjadi hingga tiga hari kemudian saat kepulangan Bibi.
Nadia cepat-cepat menyelesaikan sarapannya.
"Bibi, Nadia telah mendapat kos baru dan akan pindah ke kos besok," katanya dengan lembut dan dentingan keras Guskov menyambut, pria itu membanting sendok ke piring dan menahan kesal karena Nadia terus menghindarinya.
Milan tersenyum tipis, menatap suaminya sesaat dan kembali memandang keponakannya. "Nadia sayang, rumah ini sangat sepi, tolong tinggalah di sini ya?"
"Tapi, Bi ... "
"Tidak ada tapi-tapian," titah Milan dan disambut dengusan kesal Nadia.
"Biar Paman mengantarmu, ya," pinta Bibi Milan, setelah Guskov mengecup kening istrinya di depan rumah ketika Nadia yang baru keluar pintu.
"Tidak, bibi, aku naik angkot."
"Sudah ikut saja, kau bisa terlambat," titah Guskov.
Milan tersenyum mengelus dada suaminya. "Kalian kan searah, benar kata pamanmu, Nadia."
PIM! PIM! Bunyi klakson dan gerungan motor di depan gerbang.
Mata Nadia terbelalak, dia baru ingat jika Ernest kemarin akan menjemputnya, dia pikir pria itu tak serius.
"Ah aku ada jemputan! dahh bibi ... "
Milan geleng-geleng pada ponakannya.
"Siapa yang menjemputnya?" tanya Guskov memandang Milan yang mengangkat bahu. "Apa kau tak mau ku antar ke tempat Gym?"
"Tidak sayang, Dilla akan menjemputku sebentar lagi. Kamu hati-hati di jalan ..."
Di depan gerbang, mobil yang dikendarai Guskov berhenti. Tangannya menekan setir. "Nadia, kau bisa jatuh, masuk mobil cepat!" hatinya mendidih melihat Ernes memasangkan helm pada Nadia, tetapi wanita itu tak mau menjawabnya, mengabaikan dan membonceng pria muda itu.
Dengan kesal mau tak mau, Guskov mengikuti dari belakang sampai kampus Nadia, sedikit kelegaan karena Nadia hanya memegang bahu Ernest tak sampai memeluk pinggangnya, tetapi itu cukup membuatnya tak bisa melupakan itu, bahkan hingga sore sepulang kerja.
Guskov menghentikan mobil di seberang jalan toko, dan mengamati Nadia yang melayani pembeli. Dia ingin membeli barang sekadar untuk melihat Nadia, tetapi memikirkan penolakan wanita itu makin membuatnya tak tenang, bahkan tiap malam dia kesulitan tidur karena perasaanya. "Nadiaa!!"
Guskov sadar ini salah, tetapi dia tidak memungkiri hubungannya yang tumbuh selama satu tahun ini mampu mengalihkan hatinya dari sang istri. Terkadang dia juga kesal karena istrinya tak kunjung mau memberikannya seorang anak setelah lima tahun pernikahan, lalu apa fungsinya menikah jika tidak ingin memiliki keturunan. Sedangkan teman-temannya selalu memanas-manasi dengan keberadaan putra-putri mereka, bahkan mereka telah memiliki dua dan ada yang tiga anak.
Dulu, dia sempat berpikiran akan bersatu dengan Nadia dan memilki anak dengannya. Tetapi siapa sangka ternyata pacarnya itu adalah keponakannya.
Guskov sadar dia selalu sibuk kerja dan tak pernah bisa kumpul dengan keluarga besar Milan yang begitu banyak. Lagipula Milan juga sama tipe orang yang susah berkumpul dengan keluarganya dan lebih suka berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Mungkin jika dia dan Milan dulu sering berkumpul dengan keluarganya, hal seperti ini tidak terjadi, dan dia tidak akan tergila-gila dengan Nadia.
Guskov menyipitkan mata, tanpa sadar dia tertidur dan terbangun karena suara ketukan kaca. Dia menurunkan kaca mobil dengan masih terkesiap. "Nad .... "
"Kenapa kau terus di sini." Nadia dengan suara parau, dari sore dia mendapati mobil sang paman yang tak beranjak, awalnya kesal tetapi melihat pria itu tampa letih dan memijat lehernya, membuatnya iba.
"Aku menunggumu." Guskov melonggarkan dasi dan melirik masih jam delapan. "Masuklah dulu ... kau belum selesai kerja, kan?" katanya dengan lemah lembut.
Nadia menelan saliva tertekan dengan sikap pria itu yang tak berkesudahan. Nadia mau tak mau menerima sekotak donat kesukaannya, pria itu masih saja perhatian, menyebalkan. Nadia menenteng sekotak donat ke dalam toko dengan rasa bersalah sekaligus marah dan sakit hati.
Kembali melayani pembeli di kasir, Nadia melirik pria itu yang kini tampak merokok di luar mobil.
"Sejak kapan dia merokok?" gumam Nadia dan menyerahkan struk pada pembeli.
Sampai jam sembilan berakhir, Nadia bersiap-siap pulang, donat itu belum sempat di sentuhnya, dia membawa keluar setelah mengunci toko.
"Kau belum memakannya?" suara Guskov mengejutkan Nadia yang baru berbalik.
"Belum. Bukankah aku telah mengirim pesan, jangan menjemputku." Nadia masih mencoba mengingatkan, meski tahu pria itu tak akan menyerah, dari awal kenal -Nadia telah sadar pria itu sangat keras kepala.
Sebuah genggaman tangan begitu erat datang dari Guskov, dia bahkan yakin tak bisa melepaskan genggaman tangan itu. Hingga dia diam saja sepanjang menuju mobil.
"Aku merindukanmu, sayang!" geram Guskov dengan nada sedikit merengek dan menggaruk kepalanya. Dia kehabisan cara untuk mengungkapkan perasaan rindunya, pada wanita menjadi bersikap dingin.
Nadia diam saja, percuma menjawab hanya akan menjadi perseteruan panjang. Dia sudah tak mau mempedulikan Guskov dan menatap kosong pada jalanan yang dilewatinya.
"Berhenti bersikap perhatian seperti ini. Terlebih pernah berbohong jika paman hidup sendiran." Nadia mendesah, hatinya begitu merasa tertekan terus menerus mendengar helaan nafas kasar Guskov. Dulu dia peka dan sangat perhatian pada pria itu, begitu mendengar helaan nafas kasar, dia lalu berusaha menghiburnya. Sekarang? jangan mimpi!
"Aku juga merindukanmu Guskov! kau tahu!" Nadia berteriak pilu dalam hatinya. Dia sungguh lelah teramat sangat. Berharap pria itu berhenti memberikan harapan kosong padanya.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!