NovelToon NovelToon

Tatas

Bab 1. Kelulusan

Anak-anak remaja yang beranjak dewasa itu berdiri, berjajar rapi menghiasi tanah lapang. Dengan hati yang diliputi oleh rasa cemas dan degup jantung yang bertalu-talu, mereka menunggu sang kepala sekolah memberikan pengumuman kelulusan. Dengan penuh seksama, mereka mendengar setiap kalimat yang terucap dari lisan sang kepala sekolah.

"Dan dengan ini Bapak selaku kepala sekolah SMA Harapan Bangsa menyatakan siswa-siswi tahun ajaran 2022/2003 lulus seratus persen. Untuk anak-anak semua, Bapak ucapkan selamat!"

"Yeaahh... Hore!!!"

"Tentu tidak hanya itu saja yang membuat Bapak bangga. Dengan kelulusan siswa seratus persen, tahun ini sekolah kita mendapatkan peringkat kedua sebagai SMA terbaik di kota ini."

"Horeee!!!!"

Awan putih yang berarak di langit menjadi saksi kebahagiaan lautan manusia dengan seragam putih abu-abu yang memenuhi lapangan. Meskipun sang raja siang terlihat begitu totalitas dalam mentransfer energi panasnya namun tak sedikitpun menghapus wajah-wajah yang dipenuhi oleh rona kebahagiaan. Tidak hanya rona bahagia dari siswa-siswa yang sebentar lagi akan menjadi alumnus, wajah para dewan guru pun juga turut melukiskan raut penuh kebanggaan.

Layaknya jiwa-jiwa muda yang masih dibalut oleh semangat yang membara, mereka saling melompat. Berteriak kencang, melempar topi tinggi-tinggi untuk melakukan apa itu selebrasi. Selebrasi untuk mengabarkan kepada dunia jika saat ini mereka telah berhasil dan sukses melewati apa itu ujian akhir. Mendapatkan nilai terbaik untuk bisa menjadi amunisi awal untuk meraih kesuksesan. Dan rumput hijau yang membentang di tanah lapang ini pun juga turut menjadi saksi di mana anak-anak didik itu begitu kegirangan.

"Rumi ... Akhirnya kita lulus. Aku benar-benar bahagia Rum!"

Dania memeluk erat tubuh Harumi yang tak lain dan tak bukan adalah sang sahabat. Sahabat dari pertama ia masuk di sekolah ini dan sampai saat ini masih terjalin begitu erat. Pelukan yang mengekspresikan rasa bahagia sekaligus rasa syukur karena memiliki sosok yang selalu ada untuknya.

"Aku juga Dan. Aku juga bersyukur akhirnya kita bisa menyelesaikan pendidikan kita di sini dengan baik."

Dania merenggangkan pelukannya. Ia tersenyum simpul di hadapan Rumi. Bingkai mata gadis beranjak dewasa itu tiba-tiba saja berembun dan membentuk titik-titik air di sana.

"Dan ... ada apa? Mengapa matamu memerah? K-kamu menangis?"

Kening Rumi sedikit mengernyit dengan kelopak mata yang menyipit. Ia dibuat penasaran akan apa yang terjadi pada diri sahabatnya ini.

Dania menghela napas dalam-dalam dan ia hembuskan perlahan. Ia mencoba tersenyum meskipun senyum itu terlihat begitu getir.

"Mungkin hari ini merupakan hari terakhirku bisa berjumpa denganmu Rum."

Rumi terkesiap dengan tubuh yang sedikit melonjak. "Apa Dan? Hari ini terakhirmu berada di sekolah ini? Apa maksudmu Dan? Kamu mau kemana?"

Dania memegang pundak Rumi dengan erat. Ada gejolak emosi dalam diri yang muncul ke dasar hati. Dan itu semua tersirat dalam raut wajahnya yang sedikit sendu.

"Setelah ini aku akan ikut papa dan mama ke Jakarta, Rum. Aku akan pindah dan melanjutkan kuliah di sana. Jadi, hari ini merupakan hari terakhir kita bisa bertemu."

Kedua bola mata Rumi terbelalak dan membulat sempurna. Ia teramat terkejut mendengar kabar yang disampaikan oleh Dania. Karena sejauh ini Dania tidak pernah berbicara apapun tentang hal ini.

"Mengapa kamu tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku Dan? Mengapa baru kali ini kamu mengatakannya? Dan mengapa serba dadakan seperti ini?"

Dania hanya bisa mengulas sedikit senyumnya. Lagi-lagi, ia menggenggam erat jemari Rumi untuk mengikis segala kesedihan yang mungkin bersemayam dalam hati.

"Maaf ya Rum. Ini semua memang serba mendadak. Baru satu minggu yang lalu papaku dipindahkan tugaskan ke Jakarta. Bahkan papa dan mama sudah lebih dulu terbang ke sana. Dan nanti aku akan menyusul."

"Apakah harus malam ini kamu terbang ke Jakarta, Dan? Apakah kamu tidak bisa menghadiri acara perpisahan yang akan diselenggarakan lusa?"

Meskipun serba mendadak, Rumi tetap berupaya untuk bisa mengerti keadaan Dania. Namun, ia masih berharap agar sahabatnya ini bisa menghadiri acara promnight yang akan diadakan lusa. Rumi berharap masih bisa mengukir sebuah kenangan indah bersama sang sahabat.

Dania nampak larut dalam pikirannya sendiri. Seakan menimbang-nimbang apa yang diucapkan oleh Rumi. Hingga pada akhirnya gadis itu mengangguk pelan seraya tersenyum manis.

"Baiklah Rum, aku akan menunda keberangkatanku setelah acara promnight. Aku pastikan akan datang ke acara itu."

Raut wajah yang sebelumnya sendu, kini berubah menjadi semburat rona bahagia yang tiada terkira. Tanpa banyak kata, Rumi menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Dania.

"Aku sungguh bahagia mendengarnya Dan. Terima kasih karena kamu bersedia mengundur keberangkatanmu."

Dania mengusap-usap punggung sahabatnya ini. "Sama-sama Rum."

Rumi mengurai pelukannya dan menyunggingkan senyumnya. "Kalau begitu, ayo kita ke warung mie ayam pak Kliwon. Mumpung kita masih berada di sekolah ini. Aku rasa setelah ini kita akan jarang bahkan tidak akan pernah lagi menikmati lezatnya mie ayam langganan kita."

"Ide yang bagus Rum. Ayo kalau begitu kita ke sana!"

Dua gadis remaja itu berjalan beriringan dengan bergandengan tangan. Menuju warung mie ayam terbaik yang berada di almamaternya ini.

***

"Kamu masih menunggu Bima, Rum?"

Dua mangkuk mie ayam telah tandas tanpa bekas. Hanya nampak sedikit kuah yang masih tersisa di permukaan mangkuk bergambar ayam jago itu.

Rumi menganggukkan kepala seraya menyeruput es jeruk yang juga hanya tinggal sedikit. Bahkan es batu yang masih ada di gelas, ia ambil untuk kemudian ia kunyah. Melihat sang sahabat yang mengunyah es batu ini, hanya membuat barisan gigi putih Dania terasa ngilu.

"Iya Dan, Bima memintaku untuk menunggunya sebentar. Ia sedang berbincang dengan panitia promnight untuk mengisi acara."

"Oh begitu." Dania beranjak dari kursi panjang khas warung mie ayam. Ia ambil tas gendong yang ia bawa. "Aku duluan ya Rum. Sopirku sudah menunggu di depan. Tidak apa-apa kan kalau aku pulang duluan?"

Rumi ikut beranjak seraya menggeleng pelan. "Tidak apa-apa Dan. Pulanglah dulu. Nanti aku pulang bersama Bima." Rumi menggamit lengan tangan sang sahabat. "Ayo kita keluar sama-sama. Aku akan menunggu Bima di pinggir lapangan sepak bola."

Keduanya berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah. Sembari bercerita dan tertawa lepas. Larut dalam tawa yang entah kapan lagi akan terulang kembali. Mengingat sebentar lagi keduanya akan berpisah.

"Aku duluan ya Rum. Dadah!"

Dania melambaikan tangan ke arah Rumi kala mobil jemputannya sudah menunggu di depan pintu gerbang. Ia masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil yang ia naiki bergerak pelan.

"Hati-hati Dan!"

Mobil yang dinaiki oleh Dania mulai menghilang dari pandangan Rumi. Ia mengayunkan tungkai kakinya untuk menuju pohon beringin yang berada di pinggir lapangan. Seperti biasa, ia mendaratkan bokongnya di bawah pohon rindang itu sembari menatap hamparan rumput hijau yang memenuhi lapangan sepak bola.

"Rumi!"

Gelombang suara yang tidak begitu asing terdengar merembet ke dalam indera pendengaran. Rumi menoleh ke arah sumber suara dan senyum manis pun terukir di bibirnya.

"Bima!"

.

.

.

Bab 2. Menikmati Hari

Sekuter matic warna merah keluaran terbaru itu melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan beraspal yang terlihat sedikit lenggang. Sang bayu pun juga terasa berhembus sedikit kencang. Memberikan sensasi rasa sejuk bagi manusia-manusia yang tengah berlalu lalang. Meskipun hawa panas tak dapat terhindarkan.

"Pegang yang erat. Nanti jatuh!"

Rumi sedikit terhenyak kala tiba-tiba tangan kiri Bima meraih lengan tangannya. Ia yang sebelumnya meletakkan kedua tangan di atas paha, seketika berubah. Kini lengan tangannya memeluk pinggang kekasihnya ini.

"Ihhhh .... malu dilihat orang-orang Bim!"

Rumi mencoba untuk melepaskan tangannya dari pinggang Bima. Namun secepat kilat tangan kekasihnya ini menahannya. Alhasil sia-sia saja yang dilakukan oleh Rumi ini. Bahkan kepala gadis itupun juga mendarat di atas pundak Bima.

"Kenapa harus malu? Kita ini sepasang kekasih dan aku rasa tidak ada salahnya seperti ini. Dan lihatlah muda-mudi di sekeliling kita, mereka juga biasa saja melakukan hal seperti ini."

Rumi mencoba menoleh ke kanan dan ke kiri. Benar saja, banyak para remaja yang berboncengan dengan posisi begitu intim. Sama persis dengan posisinya. Meskipun sudah satu tahun menjalani hubungan dengan Bima, namun ini merupakan pengalaman pertamanya membonceng sang kekasih dengan posisi seintim ini. Ia yang biasanya bisa menjaga jarak ketika dibonceng oleh Bima, hari ini terlihat sebaliknya. Posisinya begitu dekat dan begitu rapat.

"Tapi itu sungguh berlebihan Bim. Padahal mereka juga tidak akan jatuh bukan meskipun tidak memeluk pinggang kekasihnya?"

"Betul. Tapi tidak ada salahnya bukan jika aku melakukan upaya antisiapsi? Aku hanya khawatir jika kamu tiba-tiba jatuh atau terbang tertiup angin. Hahahaha."

"Iihhhhh ... Kamu ini malah bercanda loh Bim. Tidak lucu, tahu!"

"Aduh, aduh, kok nyubit sih Rum? Sakit tahu!"

"Biar saja. Kamu sih sukanya bercanda!"

Masih fokus dengan motor yang ia bawa, Bima hanya bisa tergelak pelan. "Tapi perasaan cintaku ke kamu tidak pernah bercanda, Rumi. Aku sungguh mencintaimu. Persis lirik lagu milik Seventeen."

"Lagu milik Seventeen? Yang seperti apa itu?"

"Ehemm ... ehem .... Yang seperti ini."

Bima menarik napas panjang dan perlahan ia hembuskan. Nampaknya pemuda ini bersiap-siap untuk bernyanyi.

"Sumpah ku mencintaimu, sungguh ku gila karenamu. Sumpah mati hatiku untukmu, tak ada yang lain. Mati rasaku tanpamu, henti nafasku karenamu. Sumpah mati, aku cinta."

Rumi hanya bisa tersipu malu dan tak mampu berucap sepatah katapun kala mendengar sang kekasih menyanyikan lirik lagu ini. Hatinya seakan dihujani oleh kelopak-kelopak bunga asmara yang membuatnya bahagia tiada terkira. Meskipun hanya sebuah lirik lagu, namun sungguh bisa membuatnya merasa begitu sempurna.

"Ah kamu ini benar-benar raja gombal Bim!"

"Meskipun raja gombal, tapi kamu suka kan? Nyatanya kamu menerima cintaku dan sekarang kita sudah menjalin sebuah hubungan."

Semburat warna merah jambu terlukis jelas di tulang pipi gadis berusia delapan belas tahun itu. Ingatannya tetiba tertuju pada masa-masa Bima melancarkan aksinya untuk mendekatinya. Setiap hari ada saja selembar kertas yang masuk ke dalam tas yang ia bawa. Selembar kertas dengan bait-bait puisi indah yang membuat hati wanita manapun luluh dibuatnya.

"Itu karena kamu pantang menyerah untuk mendekatiku Bim. Jadi terpaksa aku terima."

"Oh, jadi kamu terpaksa menerimaku? Tidak tulus dari dalam hatimu? Baguslah kalau begitu!"

Intonasi suara Bima sudah berubah tidak seperti sebelumnya. Dari suara pemuda itu terdengar sebuah kekecewaan akan jawaban yang diberikan oleh Rumi. Sedangkan Rumi hanya terkikik geli melihat perubahan mood kekasihnya ini.

Rumi mengeratkan pelukannya di pinggang sang kekasih.

"Tidak ada keterpaksaan dalam menerimamu. Kamu adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta. Dan membuatku ketergantungan dengan bait-bait puisi yang setiap hari selalu kamu tuliskan untukku. Terima kasih sudah memilihku, Bim. Aku harap selamanya kita bisa seperti ini."

Bima mengusap-usap lengan tangan sang kekasih yang melingkar di pinggangnya. Ia tersenyum lebar seakan mengabarkan kepada dunia jika ia teramat bahagia.

"Aku berjanji selamanya kita akan seperti ini, Rumi. Bahkan untuk masa depan, aku hanya ingin menjalani kehidupan bersamamu. Bukan dengan yang lain."

Hati Rumi menghangat. Satu tahun menjalin hubungan dengan Bima sudah cukup membuatnya yakin bahwa Bima adalah lelaki terbaik yang nantinya akan menjadi pendamping hidup. Terlebih kedua keluarga sudah sama-sama saling mengenal, sehingga membuat Rumi semakin yakin untuk menjalani hubungan yang lebih serius dengan lelaki ini.

"Aku pegang ucapanmu ini Bim. Dan aku akan senantiasa bersabar untuk menunggu sampai tiba waktu itu."

"Aku akan membuktikannya ketika mimpi dan anganku sudah bisa aku raih semua. Aku harap kamu bisa sabar menantinya."

***

Puas berkeliling kota, Bima menghentikan motornya di salah satu kedai es krim yang berada di kota ini. Setelah parkir, keduanya memasuki outlet dan memesan variant es krim yang mereka inginkan.

Satu cup es krim ukuran sedang varian mint sudah tersaji di depan mata. Membuat cairan saliva seketika berkumpul di ujung indera perasa. Tak butuh waktu yang lama, buru-buru Rumi mulai mencicipinya.

Tekstur lembut dan nikmatnya es krim ini sudah mulai melaju membasahi kerongkongan. Memang benar kata orang bahwa dengan menikmati es krim, mood yang tadinya hancur perlahan bisa pulih kembali. Entah zat apa yang terkandung dalam satu cup es krim ini sehingga bisa membuat suasana hati siapapun yang menikmati jauh lebih tenang dan rileks.

"Tadi kamu bertemu dengan panitia promnight? Memang apa yang dibahas? Apa kamu akan perform di acara promnight nanti?" tanya Rumi membuka obrolan sembari menikmati es krim yang ia pesan.

Sama halnya dengan Rumi, Bima pun juga nampak begitu menikmati sajian es krim variant cokelat yang ia pesan. Pemuda itu menganggukkan kepala.

"Iya, aku akan perform di acara promnight nanti. Dan apakah kamu tahu, bahwa ada satu hal yang membuatku teramat bahagia?"

Dahi Rumi berkerut seraya ia gelengkan kepalanya. "Memang apa yang membuatmu bahagia Bim? Bukankah sudah menjadi hal yang biasa jika kamu perform di acara-acara sekolah?"

"Bukan itu Rumi, tapi di acara promnight nanti akan ada guest star. Dan aku akan berkolaborasi dengannya. Tahukah kamu siapa yang menjadi guest star itu?"

Rumi semakin dibuat penasaran. Gadis itu juga dibuat begitu antusias untuk mendengar cerita yang disampaikan oleh kekasihnya ini.

"Memang siapa Bim? Apakah salah satu group band yang tengah naik daun saat ini?"

Wajah Bima nampak begitu gembira. Binar kebahagiaan itu tergambar jelas membingkai wajah tampannya.

"Bukan hanya group band yang naik daun tapi bagiku group band ini merupakan the legend. Karena pesonanya tidak lekang oleh waktu."

"Oh ya? Siapa itu Bim?"

"Sheila on 7, Rumi. Di promnight nanti aku akan berkolaborasi dengan mereka. Aku benar-benar bangga bisa berada satu panggung dengan group band favoritku. Satu panggung dengan Sheila on 7 adalah salah satu mimpi dan anganku."

Tatapan mata Bima sedikit menerawang, namun sama sekali tidak memudarkan rasa bahagia sekaligus bangga yang ia rasakan. Bahagia karena lusa, apa yang ia impikan benar-benar bisa terwujud.

Tak jauh berbeda dengan Bima, Rumi pun turut bahagia dan bangga mendengar berita yang disampaikan oleh kekasihnya ini. Ia raih telapak tangan Bima dan ia genggam dengan erat.

"Aku ikut bahagia Bim. Doaku, semoga kamu bisa meniru jejak-jejak keberhasilan group band idolamu itu. Dan semoga suatu hari nanti kamu bisa menjadi seorang vokalis sebuah group band terkenal yang dielu-elukan para penikmat musik."

Tatapan mata Bima yang sebelumnya terlihat begitu menerawang, kini ia fokuskan ke arah sang kekasih. Senyum manis pun terlukis di bibirnya.

"Aamiin, aamiin, aamiin ... Terima kasih banyak untuk doa-doamu, Sayang!"

.

.

.

Bab 3. Siapakah Gerangan?

Motor yang dikendarai oleh Bima tiba di halaman rumah. Ia matikan mesin motor dan memilih untuk terdiam sejenak. Senyum tipis terbit di bibirnya kala dari kaca spion terpantul wajah sang kekasih yang ketiduran. Rumi terlihat begitu nyenyak tertidur di mana kepalanya berada di atas pundak Bima. Ingin rasanya Bima membangunkan sang kekasih. Namun ada rasa tidak tega hingga ia memilih untuk mengurungkan niatnya.

"Loh Bim, mengapa kamu hanya terdiam di sana? Ayo masuk!"

Tami, yang tak lain adalah ibunda Bima sedikit berteriak lantang kala melihat sang putra hanya terdiam di atas motor. Wanita berusia empat puluh tiga tahun itu hanya bisa menatap keheranan di ambang pintu akan sikap sang putra yang terdiam dan terpaku.

"Sssstttt .... Rumi tertidur Bu, aku merasa kasihan jika harus membangunkannya."

Bima menempelkan jari telunjuknya di bibir. Memberi sebuah isyarat agar sang ibu tidak terlalu kencang dalam bersuara. Ia khawatir jika akan mengganggu Rumi.

Tami menggeleng-gelengkan kepala seraya berkacak pinggang. Ia mengayunkan tungkai kaki untuk menghampiri sang putra.

"Kalau seperti ini kasihan Rumi. Biar dia istirahat di dalam." Tami dengan pelan menggoyangkan pundak Rumi, berharap kekasih putranya ini terbangun dari mimpi. "Nak, ayo bangun. Istirahat di dalam. Nak, bangun!"

Apa yang dilakukan oleh Tami membuat tidur Rumi sedikit terusik. Gadis itu merasa ada yang menggoyang-goyangkan pundaknya. Mata yang terpejam perlahan mulai terbuka. Dan ia pun mengerjapkan mata berupaya untuk bangun dari tidurnya.

"Astaga, aku ketiduran!"

Saat kesadaran itu bisa ia raih, tubuh Rumi sedikit terperanjat. Ia mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling dan sadar jika ia sudah berada di kediaman sang kekasih.

Rumi tersenyum kikuk seraya menggaruk telinganya yang tiada gatal. Rasanya ia teramat malu karena di depan matanya berdiri sang calon mertua.

"Maafkan Rumi ya Tante. Rumi sampai ketiduran."

Tami hanya terkekeh lirih dan mengusap pundak Rumi. "Tidak apa-apa Nak. Ayo kita masuk. Jika kamu masih mengantuk, kamu bisa beristirahat di dalam."

"Eh, iya Tante!"

Tami berbalik arah untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sedangkan Rumi sedikit mendengus kesal karena Bima tidak membangunkannya. Dan justru sang calon ibu mertua lah yang melakukan hal itu.

"Ihhhh ... Bima, mengapa kamu tidak membangunkan aku sih? Aku malu tahu, karena tante Tami yang membangunkanku!" protes Rumi sedikit kesal.

Melihat sang kekasih merajuk hanya membuat Bima semakin gemas dibuatnya.

"Kamu tidur terlalu nyenyak Rumi, jadi aku tidak tega membangunkanmu."

"Isshhhh kamu ini buat aku malu saja di depan tante Tami!"

Dahi Bima sedikit berkerut tidak terlalu paham dengan apa yang diucapkan oleh kekasihnya ini. "Malu? Kenapa harus malu, Rumi? Bukankah ketiduran itu merupakan hal yang manusiawi dan wajar?"

"Ckkckkckkk ... ya aku malu kalau tanpa sadar aku tertidur sambil ngiler. Reputasiku di depan calon mertua bisa jatuh kan?" seloroh Rumi sedikit asal.

Bima tergelak seketikam. Mendapati sang kekasih yang jauh lebih khawatir perihal reputasinya daripada keselamatannya jika sampai ia terjatuh dari motor.

"Hahahaha ... Kamu ini ada-ada saja Rum. Tapi, apa kamu sering ngiler ketika tidur?" tanya Bima dengan gelak tawa yang masih membahana.

"Eh!" Rumi sedikit terkejut dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. Buru-buru ia cubit pinggang kekasihnya ini.

"Ahhhh ... Sakit, Rumi! Hari ini sudah dua kali loh kamu mencubit pinggangku. Itu karena kamu kesal atau gemas sih!" pekik Bima sedikit kesakitan setelah pinggangnya kembali dicubit oleh Rumi.

"Hmmmm... itu akibatnya kalau kamu bicara sembarangan Bim. Mana pernah aku ngiler saat tidur!"

"Ya, entah siapa yang tahu kan? Barangkali saja, kamu memang sering ngiler kalau tidur. Hahahaha."

"Bima!"

***

Rumi duduk di sebuah sofa yang berada di ruang keluarga kediaman Bima. Netranya mengedar ke arah sekeliling dan seketika terhenti pada sebuah pigura besar di mana di sana ada sebuah lukisan anggota keluarga kekasihnya ini. Entah mengapa setiap ia bertandang ke rumah Bima, ia selalu dibuat takjub dengan lukisan itu.

"Itu yang melukis ayah, Kak. Pasti kak Rumi terkesima ya melihat lukisan itu?"

Netra yang sebelumnya fokus menatap lukisan yang menempel di dinding, kini beralih kepada sosok gadis remaja berusia tiga belas tahun. Dialah Siwi, adik semata wayang Bima.

"Benarkah itu Wi? Kak Rumi malah baru tahu jika om Arya yang membuat lukisan itu. Abangmu bahkan tidak pernah bercerita perihal siapa yang melukis lukisan itu."

"Ya, seperti itulah bang Bima, Kak. Dia selalu saja tertutup terlebih perihal ayah," cicit Siwi dengan suara lirih. Hal itulah yang justru membuat Rumi semakin dibuat penasaran.

Satu tahun menjalani hubungan bersama Bima, lelaki itu memang tidak pernah membuka obrolan tentang sang ayah. Bahkan setiap kali ia bertandang di rumah Bima tidak pernah sekalipun ia berjumpa dengan sosok ayah dari kekasihnya ini. Yang ia tahu hanya sebatas namanya saja.

"Memang ada apa Wi? Mengapa abangmu sampai tertutup perihal ayahnya sendiri?"

Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibir Rumi. Kali ini ia benar-benar ingin tahu tentang ada cerita apa sampai Bima selalu menutup pembicaraan perihal sang ayah. Ia berpikir akan banyak mendapatkan informasi dari gadis remaja yang duduk di kelas dua SMP ini.

"Itu karena ayah pu....."

"Heh, anak kecil! Bicara apa kamu?"

Ucapan Siwi terpangkas kala terdengar suara bariton yang tiba-tiba memenuhi langit-langit ruangan. Suara itu tidaklah asing. Rumi dan Siwi bahkan bisa langsung paham suara siapakah itu. Kedua gadis berbeda usia itu menoleh ke arah sumber suara. Dan benar saja bahwa Bima sudah berjalan mendekat ke arah mereka.

Siwi nyengir kuda. Ia yang sebelumnya terlihat menggebu untuk bercerita mendadak kicep. Bahkan ia nampak seperti anak kecil yang ketakutan.

"Hehehe, tidak Bang. Aku tidak bercerita apapun kok. Piss ya Bang," ucap Siwi seraya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.

"Kamu ini masih kecil Wi. Jangan ikut campur masalah orang tua!" ujar Bima memperingatkan. "Lebih baik kamu kembali ke kamar daripada bikin ribet di sini!" sambung Bima dengan nada mengusir.

"Tidak mau Bang. Aku masih ingin duduk di sini menemani kak Rumi." Siwi mengedarkan pandangannya ke arah Rumi. "Kak Rumi memintaku untuk tetap di sini kan kak?"

Rumi terkikik geli melihat ekspresi wajah Siwi di mana matanya berkedip-kedip. Tanpa pikir panjang, ia menganggukkan kepala.

"Iya Bim, biarkan Siwi tetap di sini. Kasihan kalau dia tidak punya teman bermain."

"Tuh dengar sendiri kan Bang, kalau kak Rumi ingin aku temani di sini," ucap Siwi terdengar begitu puas. Bahkan sesekali ia menjulurkan lidahnya ke arah sang kakak.

"Ckkckkckkk .... Kalau ingin tetap di sini jangan bicara sembarangan!" decak Bima kesal.

"Iya Bang, iya."

"Wah, wah, wah, ngobrolin apa ini? Kedengarannya kok asyik sekali?" Sembari meletakkan sepiring bakwan jagung dan tiga gelas jus jambu, Tami datang menghampiri anak-aaknya. "Ini Ibu bawakan bakwan jagung dan jus jambu kesukaan kalian. Dimakan ya!"

"Wah, terima kasih banyak Tante. Bakwan jagung buatan tante Tami favorit banget," ucap Rumi kegirangan. Bagi gadis itu, bakwan jagung buatan sang calon mertua memang nikmat.

Tami hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum simpul. Wanita paruh baya itupun juga turut mendaratkan bokongnya di atas sofa.

"Kabar keluarga bagaimana Nak? Tante minta maaf karena beberapa bulan ini jarang main ke rumahmu."

"Semua baik Tante. Ibu saat ini juga sedang sibuk di warung makan. Akhir-akhir ini banyak sekali pesanan nasi kotak."

"Syukurlah kalau begitu Nak." Tami menjeda sejenak ucapannya dan menghela napas panjang. "Oh iya, Tante dengar kamu sudah diterima di salah satu universitas negeri di kota ini ya Nak?"

"Iya Tante, Rumi memakai jalur prestasi. Dan diterima."

"Kamu benar-benar hebat Nak. Tante ikut bahagia dan bangga mendengarnya." Tami menoleh ke arah sang putra. "Lalu, kamu sendiri bagaimana Bim? Mau melanjutkan di mana?"

Bima yang sebelumnya fokus dengan layar ponsel di tangan, seketika ia alihkan perhatiannya. Ia membuang napas sedikit kasar. "Seperti yang sudah pernah aku katakan, Bu. Aku ingin melanjutkan studi di ISI. Yang sesuai dengan bakat dan juga minatku."

"Ibu kenapa masih bertanya sih? Nilai akademik bang Bima kan pas-pasan jadi tidak mungkin mengikuti jejak kak Rumi," timpal Siwi dengan nada mengejek.

Kedua bola mata Bima membulat sempurna. Ingin rasanya ia membungkam mulut adiknya ini namun ia urungkan.

"Dasar, adik tidak ada akhlak. Abang doakan besok nilai ujian kamu juga jeblok!"

"Ye... Tidak mungkin itu Bang. Aku selalu masuk sepuluh besar. Beda sama Abang!" sanggah Siwi tidak terima.

"Tapi semua tidak ada yang ti..."

Dug.... Dug.... Dug....!!!

"Arya, keluar kamu! Jangan lagi kamu bersembunyi dan lari dari tanggung jawabmu!"

Perkataan Bima terpangkas kala suara gaduh dari pintu depan mulai terdengar memekak telinga. Orang-orang yang berada di ruangan ini saling bertatap netra dan bertanya-tanya ada apakah gerangan ribut-ribut di luar sana. Empat orang itu sontak berdiri seketika dan mulai berjalan ke arah depan.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!