“Asatagfirullahalazdim. Istigfar, Rindu! Kamu tau apa yang dimaksud dengan ibu pengganti? Itu haram, tidak diperbolehkan oleh agama kita,” seru Adjat dengan marah.
Rindu hanya diam sambil menundukkan kepalanya.
“Walaupun kau menjadi istri siri tapi tetap saja anak yang akan kamu kandung bukan benihmu dan suamimu. Tapi benih dari suamimu dengan istri sahnya. Itu haram, Rindu,” kata Pak Adjat.
“Tapi bukankah ada sebagian ulama memperbolehkan asalkan ada kesepakatan satu dengan yang lain,” kata Rindu membela diri.
“Walaupun ada ulama yang memperbolehkan, tetap saja Paman tidak mengijinkanmu untuk menjadi ibu pengganti! Walaupun alasanmu menjadi ibu pengganti karena untuk menyelamatkan rumah ini,” kata Pak Adjat.
“Paman.”
Rindu belum menyelesaikan kata-katanya namun bibi menahannya.
“Sudah, Rindu. Dengarkan apa kata pamanmu, ini semua demi kebaikanmu,” kata Ibu Emin.
“Tapi, Bi,” ujar Rindu.
“Bibi tau maksudmu baik. Tapi yang kamu lakukan itu salah,” kata bibi.
Rindu menghela nafas. Ia tidak bisa berkata lagi.
Terdengar suara adzan magrib dari masjid.
“Sudah magrib. Paman mau bersiap-siap ke masjid,” kata Pak Adjat.
Pak Adjat pergi ke kamar untuk bersiap-siap ke masjid. Tak lama ia keluar dari kamar dengan menggunakan baju koko dan sarung.
“Bu, Ayah ke masjid dulu. Assalamualaikum,” ucap Pak Adjat.
“Waalaikumsalam,” jawab bibi dan Rindu.
Pak Adjatpun keluar dari rumah dan pergi ke masjid.
“Sekarang kamu sholat dulu agar pikiranmu tenang,” kata Ibu Emin.
“Iya, Bi,” jawab Rindu.
Rindupun menuju ke kamarnya untuk sholat. Ibu Emin memperhatikan keponakan suaminya. Ia ingat dua puluh tahun yang lalu ketika ia dilamar oleh Pak Adjat. Pak Adjat datang melamar sambil membawa dua keponakan perempuannya yaitu Rindu dan Rida. Waktu itu Rindu masih berusia tiga tahun dan Rida berusia satu tahun. Pak Adjat melamarnya bukan hanya untuk menjadi istrinya, tapi juga untuk menjadi ibu untuk Rindu dan Rida.
Kakak kandung Pak Adjat dan istrinya meninggal dunia karena kecelakaan motor. Motor mereka ditabrak dari belakang oleh pengemudi mobil yang tidak bertanggung jawab. Beruntung waktu itu mereka tidak membawa Rindu dan Rida. Waktu itu Rindu dan Rida dititpkan kepada tetangga yang biasa mengasuh mereka. Orang tua Rindu dan Rida memiliki rumah, namun rumah itu terpaksa Pak Adjat jual untuk membayar kuliah Rindu dan Rida.
Namun ketika Haikal putra sulung mereka masuk kuliah, mereka tidak memiliki uang. Terpaksa Pak Adjat meminjam uang ke bank untuk membiayai kuliah Haikal. Sebenarnya Pak Adjat masih memiliki uang hasil penjualan rumah orang tua Rindu dan Rida, namun Pak Adjat tidak ingin memakai uang itu. Karena uang itu adalah hak Rindu dan Rida.
Ketika Pak Adjat dan Ibu Emin sedang membicarakan cicilan hutang mereka di bank tanpa sengaja terdengar oleh Rida. Ridapun mengadu kepada Rindu. Semenjak itulah Rindu nekad memberanikan diri untuk menjadi surrogate mother.
Di dalam kamar Rindu ada adik dan sepupu-sepupunya yang sedang ngumpet sambil mendengarkan percakapan Rindu dan pamannya.
“Ayah marah ya, Teh?” tanya Nisa.
Rindu tersenyum lalu mengusap kepala adik sepupu.
“Ayah marah karena Teteh nakal tidak menurut sama Ayah,” jawab Rindu.
“Lalu nanti kita tinggal dimana, Teh?” tanya Mira.
“Kalian akan tetap di sini. Biar Teteh yang mencari uangnya untuk menebus rumah ini,” jawab Rindu.
“Sekarang kalian sholat dulu,” kata Rindu.
“Iya, Teh,” jawab Nisa dan Mira.
Nisa dan Mira keluar dari kamar Rindu. Tinggallah Rindu dan Rida yang berada di dalam kamar.
“Bagaimana kalau paman tetap tidak mengijinkan?” tanya Rida.
“Teteh akan tetap menjalankan rencana Teteh. Teteh tidak ingin kalian harus pindah dari satu rumah ke rumah yang lain,” jawab Rindu.
“Lalu siapa yang akan menikahkan Teteh?” tanya Rida.
“Terpaksa dengan cara wali hakim,” jawab Rindu.
“Sekarang kamu sholat magrib. Nanti setelah makan malam kamu akan membuat rekening bank,” kata Rindu.
“Hah? Malam-malam begini mana ada bank yang buka?” tanya Rida.
“Bisa dengan cara online. Teteh sudah download aplikasinya,” jawab Rindu.
“Ayo, kita sholat dulu,” ajak Rindu.
Rida dan Rindu keluar dari kamar mereka untuk berwudhu.
***
Rindu sedang mencatat koleksi terbaru yang baru datang.
“Rindu, dipanggil Ibu Zahra,” kata Lena setelah turun dari lantai dua.
“Iya,” jawab Rindu. Rindu menghentikan pekerjaannya.
“Len, titip ya,” kata Rindu kepada Lena.
“Oke,” jawab Lena.
Rindu naik ke lantai dua menuju ke ruang kerja Zahra pemilik butik tempat Rindu bekerja.
Tok tok tok. Rindu mengetuk pintu ruang kerja Zahra.
“Masuk,” terdengar jawaban dari dalam.
Rindu membuka pintu. Di dalam ruang kerja Zahra ada suami Zahra.
“Masuk, Du,” kata Zahra.
Rindu masuk ke dalam ruangan Zahra kemudian menutup kembali pintunya.
“Duduk, Rin,” kata Zahra.
Rindu duduk di sofa.
“Sayang, ini pegawaiku yang aku ceritakan waktu itu. Namanya Rindu. Rindu ini sarjana design. Usianya baru dua puluh tiga tahun. Dia masih gadis dan belum menikah,” kata Zahra kepada Nizam.
“Rindu, kenalkan ini suami saya Nizam. Kamu pasti sudah sering bertemu dengannya,” kata Zahra kepada Rindu.
Nizam memandang Rindu dengan tajam, seolah-olah ia sedang mengintimidasi Rindu.
“Benarkah kamu masih gadis?” tanya Nizam dengan tegas.
“Iya, Pak,” jawab Rindu.
“Kamu punya kekasih?” tanya Nizam lagi.
“Tidak punya, Pak,” jawab Rindu.
“Kamu pernah berhubungan badan dengan laki-laki?” tanya Nizam.
“Abang!” seru Zahra.
Nizam menoleh ke istrinya.
“Sayang, aku tidak mau kalau nanti anak kita tertular penyakit kotor dari dia,” kata Nizam kepada Zahra.
“Nanti dia di screening kesehatan dulu sebelum benih kita ditanamkan ke rahimnya,” kata Zahra kepada Nizam.
“Dan harus dipastikan selama proses sampai anak kita lahir perempuan ini tidak berhubungan dengan laki-laki,” kata Nizam.
“Aku tidak mau anak-anak kita tertular penyakit kotor dari orang lain,” lanjut Nizam.
“Tentu saja, Abang. Itulah kenapa Abang harus menikah siri dengannya. Agar dia tidak bisa berhubungan dengan laki-laki lain, karena status dia sebagai istri Abang,” jawab Zahra.
“Kenapa harus nikah siri? Apa tidak ada cara yang lain? misalnya dengan perjanjian,” tanya Nizam.
“Tentu saja nanti ada penandatanganan kontrak, dan di dalam kontraknya akan disebutkan kalau Rindu dilarang berhubungan dengan laki-laki lain. Tapi bagaimanapun juga Zahra ingin menjadi halal jika status Rindu adalah istri Abang,” jawab Zahra.
“Bagaimana bisa menjadi halal? Sudah jelas-jelasan banyak ulama mengharamkan ibu pengganti,” kata Nizam.
Nizam memegang kedua tangan Zahra.
“Zahra, I love you. Walaupun kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Abang, Abang akan selalu cinta kamu. Abang terima semua kekuranganmu. Jadi lupakanlah rencana ini. Kita cari bayi untuk kita angkat menjadi anak kita,” kata Nizam sambil memandang Zahra dengan lembut dan penuh cinta.
“Kamu mau punya anak berapa? Lima atau sepuluh atau lima belas? Abang sanggup mencarikan kamu anak yang banyak,” tanya Nizam.
Rindu diam sambil memandangi kedua suami istri itu.
“Kalau Abang sayang sama Zahra, tolong kabulkan permintaan Zahra. Zahra ingin memberikan Abang anak dari darah daging Zahra sendiri,” kata Zahra.
“Oke, kita lakukan program bayi tabung. Tapi kalau program bayi tabungnya gagal, Abang minta kamu jangan mencoba untuk melakukannya lagi. Lebih baik kita angkat anak saja,” kata Nizam.
Zahra langsung memeluk Nizam.
“Terima kasih, Bang. Zahra janji tidak akan mengulanginya lagi kalau program bayi tabung sampai gagal,” kata Zahra.
Kemudian Nizam mengecup bi0bir Zahra.
“I love you, Zahra,” ucap Nizam.
“I love you to Abang,” jawab Zahra.
Lalu kedua suami istri itu saling mengecup bi0bir satu sama yang lain. Tangan Nizam menyentuh tubuh istrinya. Rindu yang menyaksikannya langsung menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Setelah lama saling mengecup akhirnya Zahra baru ingat kalau ada Rindu di ruangan itu. Zahrapun melepas kecupannya.
“Bang, ada Rindu,” bisik Zahra.
“Biarkan saja. Siapa suruh dia masih di situ, bukannya keluar dari ruangan,” jawab Nizam dengan cuek.
“Sudah ah, Bang. Kasihan dia menunggu kita,” kata Zahra.
Akhirnya Nizam melepas pelukannya. Zahra membetulkan kerudung dan bajunya yang berantakan. Setelah rapih, barulah Zahra memanggil Rindu.
“Rindu,” panggil Zahra.
“Iiiya, Bu,” jawab Rindu dengan tangan yang masih menutupi wajahnya.
“Sssaaaya tidak lihat apa-apa kok, Bu,” kata Rindu dengan terbata-bata.
“Lepaskan tanganmu, Rindu!” seru Zahra.
Rindu melepaskan tangannya, namun matanya masih merem.
“Buka matamu, Rindu!” seru Zahra.
Rindu membuka matanya.
“Kamu sudah minta ijin kepada pamanmu?” tanya Zahra.
“Sudah, Bu. Tapi paman saya melarang saya,” jawab Rindu.
Zahra kecewa mendengar jawaban Rindu.
“Berarti rencana saya gagal, dong. Saya tidak mau mencari orang lain, saya maunya kamu yang yang menjadi Ibu pengganti. Cuma kamu yang saya percaya,” kata Zahra dengan kecewa.
“Apa saya saja yang berbicara ke pamanmu langsung?” tanya Zahra.
“Bagaimana kalau pakai akad nikahnya pakai wali hakim saja?” tanya Rindu.
“Saya tidak mau pakai wali hakim. Saya ingin kamu mendapat restu dari pamanmu, agar rencana ini berjalan lancar,” jawab Zahra.
“Kapan pamanmu ada di rumah?” tanya Zahra.
“Paman pulang sore. Setelah sholat magrib paman di masjid sampai isya,” jawab Rindu.
“Jadi dia di masjid sampai isya?” tanya Zahra.
“Iya, Bu,” jawab Rindu.
“Oke, besok malam saya ke rumah kamu,” kata Zahra.
“Baik, Bu,” jawab Rindu.
***
Rindu sedang membantu bibinya menyiapkan makan malam, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu pintu.
Tok tok tok.
“Nisa, tolong bukakan pintu. Barangkali Ayah sudah pulang dari mesjid,” kata Ibu Emin kepada putrinya yang sedang asyik menonton televisi.
“Iya, Bu,” jawab Nisa.
Nisa beranjak menuju ke ruang tamu lalu membuka pintu rumah. Ternyata Zahra yang mengetuk pintu. Zahra datang bersama dengan Nizam.
“Assalamualaikum,” ucap Zahra.
“Waalaikumsalam. Mau ketemu siapa?” tanya Nisa.
“Pak Adjat ada?” tanya Zahra.
“Ayah belum pulang dari masjid,” jawab Nisa.
“Biasanya pulang jam berapa?” tanya Zahra.
“Sebentar lagi,” jawab Nisa.
“Kakak siapa, ya?” tanya Nisa.
“Saya Zahra. Saya atasannya Rindu,” jawab Zahra.
Tiba-tiba terdengar suara bapak-bapak yang sedang berbicara di depan rumah. Ternyata Pak Adjat dan Haikal baru pulang dari masjid bersama dengan bapak-bapak lainnya.
“Itu ayah pulang,” kata Nisa.
Pak Adjat berjalan memasuki rumah bersama Haikal.
“Assalamualaikum,” ucap Pak Adjat.
“Waalaikumsalam,” jawab semua orang.
“Eh, rupanya ada tamu. Mau ketemu siapa, ya?” tanya Pak Adjat kepada Zahra dan Nizam.
“Saya mau bertemu dengan Pak Adjat,” jawab Zahra.
“Saya Pak Adjat. Maaf, ibu dan Bapak ini siapa, ya?” tanya Pak Adjat.
“Saya Zahra dan ini suami saya Nizam. Saya ada perlu dengan Bapak,” jawab Zahra
“Silahkan masuk,” kata Pak Adjat.
Zahra dan Nizam masuk ke dalam rumah Pak Adjat.
“Silahkan duduk,” kata Pak adjat.
Zahra dan Nizam duduk di kursi ruang tamu Pak Adjat yang serba sederhana.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Pak Adjat.
“Begini, Pak. Kedatangan saya ke sini meminta tolong kepada Bapak agar mengijinkan Rindu menjadi ibu pengganti untuk bayi kami,” kata Zahra.
Mendengar perkataan Zahra wajah Pak Adjat langsung berubah.
“Saya tidak mengijinkan Rindu menjadi ibu pengganti karena dilarang oleh agama! Saya rasa Ibu Zahra juga tau kalau agama kita melarang untuk menjadi ibu pengganti,” kata Pak Adjat.
“Saya tau, Pak. Tapi tolonglah saya, Pak. Saya ini penderita penyakit jantung bawaan. Dokter melarang saya untuk hamil karena berbahaya untuk saya dan untuk janin. Kalau saya sehat seperti Rindu dan putri Bapak yang lainnya, saya tidak akan meminta tolong seperti ini,” kata Zahra dengan memohon.
“Kenapa harus Rindu? Bukankah masih banyak wanita di luar sana yang mau menjadi ibu pengganti. Dan bukankah menjadi ibu pengganti harus yang sudah pernah melahirkan, agar tidak beresiko keguguran?” tanya Pak Adjat.
“Karena kami tidak ingin bayi kami tertular penyakit dari ibu pengganti. Kami lebih memilih yang belum menikah dan masih gadis. Dan saya percaya kepada Rindu, dia tidak akan menghianati saya. Jika orang lain saya takut dia akan membawa kabur bayi kami,” jawab Zahra.
Pak Adjat menghela nafas mendengar perkataan Zahra. Wanita itu begitu teguh pendiriannya meminta Rindu menjadi ibu pengganti bayi mereka. Pak Adjat memperhatikan Zahra. Wanita itu sangat cantik, namun sayang wajah memancarkan jika ia memiliki penyakit. Wajah Zahra tidak sesegar wanita seusianya.
“Demi rasa kemanusiaan tolonglah saya, Pak,” kata Zahra memohon.
Lagi-lagi Pak Adjat menghela nafas mendengar perkataan Zahra. Tiba-tiba Rindu datang sambil membawa dua cangkir teh serta camilan buatan Ibu Emin.
“Silahkan diminum, Bu Pak,” kata Rindu kepada Zahra dan Nizam.
“Terima kasih,” jawab Zahra. Rindu kembali masuk ke dalam rumah.
Nampak Pak Adjat sedang berpikir.
“Sebentar, saya harus berbicara dulu dengan istri saya,” kata Pak Adjat.
“Silahkan, Pak,” jawab Zahra.
Pak Adjat masuk ke dalam rumahnya.
“Rindu,” kata Pak Adjat menghampiri Rindu yang sedang berkumpul di ruang tengah bersama dengan bibi dan adik-adiknya.
“Ya, Paman,” jawab Rindu.
“Tolong temani Ibu Zahra dan Pak Nizam. Paman mau berbicara dulu dengan bibimu,” kata Pak Adjat.
“Baik, Paman,” jawab Rindu.
Rindupun menuju ke ruang tamu untuk menemani Zahra dan Nizam. Sedangkan Pak Adjat mengajak Ibu Emin berbicara di kamar mereka.
Sepuluh menit kemudian Pak Adjat kembali menuju ke ruang tamu. Ibu Emin juga ikut bersama dengan Pak Adjat. Rindu bangun dari tempat duduknya dan hendak masuk ke dalam rumah. Namun Pak Adjat menvcegahnya.
“Rindu, kamu tetap di sini. Ada yang harus kamu dengarkan,” kata Pak Adjat.
“Baik Paman,” jawab Rindu. Rindu duduk kembali.
“Setelah saya bicarakan dengan istri saya, saya memutuskan untuk mengijinkan Rindu menjadi ibu pengganti bayi kalian,” kata Pak Adjat.
“Alhamdullilah,” ucap Zahra dengan senang.
“Tapi dengan syarat,” kata Pak Adjat.
.
.
“Syaratnya apa?” tanya Zahra.
“Syaratnya mereka harus menikah resmi di KUA dan disaksikan oleh kedua orang tuamu dan orang tua suamimu,” jawab Pak Adjat.
Mendengar syarat yang diajukan oleh Pak Adjat semua orang yang berada di ruangan itu. Kecuali Ibu Emin, karena dialah menyuruh Pak Adjat mengajukan syarat tersebut.
“Paman!” seru Rindu.
Rindu tidak habis pikir mengapa pamannya mengajukan syarat tersebut. Ia jadi merasa tidak enak kepada Zahra, seolah ia memanfaatkan situasi ini. Bagi Rindu nikah siri sudah cukup sebelum dimulai proses bayi tabung.
“Tidak, saya tidak setuju!” seru Nizam dengan marah.
“Saya tidak akan mengijinkan keponakan saya untuk menjadi ibu pengganti benih kalian, jika kalian tidak menyetujui syarat yang saya berikan!” kata Pak Adjat dengan tajam.
“Paman, Rindu mohon Paman jangan bersikap begitu kepada Ibu Zahra,” kata Rindu kepada Pak Adjat.
“Rindu, Paman melakukan ini semua demi kamu,” kata Pak Adjat kepada Rindu.
“Kamu tau seperti apa itu ibu pengganti? Rahimmu akan dimasukkan benih mereka dan kamu akan mengandung bayi mereka lalu kamu akan melahirkan anak mereka. Kamu akan seperti orang yang sudah menikah, tapi statusmu hanya seorang istri siri yang menikah di bawah tangan. Tidak ada bukti hitam di atas putih kalau kamu adalah mantan istri suami ibu Zahra. Lalu apakah akan ada laki-laki yang akan mau menerimamu? Belum tentu ada laki-laki menerimamu Rindu. Laki-laki itu egois, mereka tidak akan percaya dengan ceritamu. Mereka akan menganggapmu sebagai perempuan nakal yang hamil di luar nikah. Tidak akan ada laki-laki yang mau menerimamu, Rindu. Bagi mereka kamu sudah cacat,” kata Pak Adjat yang berusaha memberikan pengertian kepada Rindu.
Semua orang di ruangan diam dan mendengarkan perkataan Pak Adjat.
“Tapi kalau jika statusmu sebagai mantan istri dari Pak Nizam dan ada bukti hitam di atas putih, laki-laki manapun juga akan menerimamu. Karena statusmu sebagai janda. Untuk mendapatkan surat-surat itu semua kamu harus menikah resmi dengan Pak Nizam, agar nantinya kamu memiliki surat cerai yang membuktikan kalau kamu adalah seorang janda. Agar semua orang tidak memandangmu sebagai perempuan nakal,” lanjut Pak Adjat.
Rindu diam mendengarkan perkataan pamannya. Perkataan pamannya benar, Rindu tidak sampai berpikir sejauh itu. Bagi Rindu asalkan ia bisa mendapatkan uang maka semua masalah sudah selesai.
“Sekarang apakah Bapak dan Ibu bisa mengerti mengapa saya menginginkan agar Rindu menikah secara resmi? Karana saya ingin keponakan saya ada kepastian secara hukum. Agar suatu saat nanti keponakan saya tidak dirugikan,” kata Pak Adjat kepada Zahra dan Nizam.
“Baiklah, Pak. Akan saya penuhi permintaan Bapak,” jawab Zahra.
“Zahra! Abang tidak setuju!” seru Nizam dengan marah.
“Bang, ini demi anak kita,” kata Zahra sambil memegang tangan Nizam.
“Saya masih ada syarat lagi,” kata Pak Adjat kepada Zahra dan Nizam.
“Apalagi, nih? Banyak sekali persyaratannya,” kata Nizam dengan kesal.
Mendengar perkataan Nizam, Pak Adjat menjadi marah. Ia mengajukan syarat agar bisa membantu Zahra tanpa merugikan Rindu.
“Kalau begitu silahkan Bapak dan Ibu cari ibu pengganti yang lain. Jangan meminta Rindu untuk menjadi ibu pengganti benih kalian!” ujar Pak Adjat.
“Kalau Bapak menolak permintaan kami, Bapak akan kehilangan rumah ini. Orang miskin banyak tingkah,” kata Nizam
“Abang! Jangan bicara seperti itu!” bisik Zahra.
“Memang benarkan? Rindu menerima tawaranmu hanya untuk menebus surat-surat rumah ini di bank,” kata Nizam.
“Pak Nizam, saya memang orang miskin. Tapi saya tidak akan membiarkan Rindu dirusak dan ditipu olah orang-orang seperti kalian. Kalian hanya memanfaatkan Rindu demi keuntungan kalian!” kata Pak Adjat sambil menahan amarah.
“Pak Adjat, tolong maafkan suami saya. Dia kalau sedang cape memang sering begitu,” ucap Zahra kepada Pak Adjat.
“Sudahlah Zahra, kita pergi saja dari sini. Mereka hanya mau memeras kita,” kata Nizam kepada Zahra.
“Siapa yang akan memeras anda, Pak Nizam? Bukankah istri anda yang meminta-minta kepada Rindu? Bukan Rindu yang datang dan meminta-minta kepada anda dan istri anda,” tanya Pak Adjat dengan tegas.
“Pak Adjat tolong maafkan suami saya. Mari kita bicarakan lagi kesepakatan kita,” kata Zahra kepada Pak Adjat dengan memohon.
“Untuk apa? Bukankah suami anda tidak setuju dengan syarat yang saya ajukan?” tanya Pak Adjat.
“Saya yang akan memenuhi syarat yang Pak Adjat minta, asalkan Rindu diperbolehkan menjadi ibu pengganti untuk benih kami,” jawab Zahra.
Nizam menghela nafas mendengarkan perkataan Zahra, ia sangat kecewa dengan keputusan istri yang nantinya akan memberatkan mereka.
“Apa syarat selanjutnya?” tanya Zahra.
“Jika nanti proses bayi tabung gagal, kalian tidak boleh menyalahkan Rindu! Dan kalian harus membayar Rindu sesuai dengan perjanjian!” kata Pak Adjat.
“Bagaimana, sih? Kalau gagal masih minta bayaran,” kata Nizam dengan kesal.
“Pak Nizam, saya tegaskan sekali lagi. Jika anda tidak setuju dengan syarat yang saya berikan, anda silahkan mencari orang yang mau mengandung benih anda dan benih istri anda!” kata Pak Adjat dengan tegas.
“Baiklah, akan saya penuhi apa yang Pak Adjat minta,” kata Zahra.
“Zahra! Apa kau sudah gila memenuhi semua persyaratan orang itu,” kata Nizam kepada Zahra.
Zahra memegang tangan Nizam lalu menatap Nizam.
“Bang. Semua ini Zahra lakukan demi anak kita, Bang,” jawab Zahra.
“Sekarang mungkin terasa berat untuk kita, tapi nanti kita akan melihat bayi kita anak kita,” kata Zahra kepada Nizam.
Nizam menghela nafas mendengarkan perkataan Zahra yang begitu ingin sekali memiliki anak dari benih mereka sendiri. Kalau saja paman Rindu hanya meminta uang, Nizam masih bisa memenuhi permintaan Pak Adjat. Tapi kalau meminta harus menikah secara hukum, jelas-jelasan Nizam tidak menerima. Jika ia menikah dengan sah secara hukum atau agama, ia sudah menyakiti hati Zahra. Wanita mana yang mau berbagi suami dengan perempuan lain? Ia sangat mencintai Zahra. Walaupun dokter mengatakan tentang kondisi kesehatan Zahra yang tidak diperbolehkan untuk hamil, ia tetap mencintai Zahra tanpa ada keinginan untuk menceraikan Zahra atau menduakan Zahra.
“Baiklah Pak Adjat, saya akan penuhi semua permintaan Pak Adjat,” kata Zahra.
“Kapan mereka akan menikah?” tanya Pak Adjat kepada Zahra.
“Secepatnya, Pak. Setelah hasil screening keluar,” jawab Zhra.
“Rindu, besok kamu discreening! Kamu tidak usah masuk kantor! Besok saya kirimkan alamat rumah sakit yang harus kamu kunjungi,” kata Zahra.
“Baik, Bu,” jawab Zahra.
“Kalau begitu saya pamit pulang,” kata Zahra kepada Pak Adjat dan Ibu Emin.
“Iya,” jawab Pak Adjat dan Ibu Emin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!