"Mas, aku mohon maafkan aku. Sungguh aku tidak tahu jika keadaan Rasya sangat buruk. A-aku mohon hentikan mobilnya. A-aku janji akan berubah, Mas. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu." Wanita itu menangis ketakutan saat sang suami— Arsenio Bagaskara terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Lelaki itu sudah hilang akal karena anak lelaki satu-satunya yang baru saja pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dan itu semua dikarenakan sang istri— Zoya Maharani Lavani telah mengabaikan kesehatan bocah itu.
Bagaimana bisa, seorang ibu meninggalkan anak demi pergi bersama selingkuhannya ketika bocah berusia tiga tahun itu sedang sakit. Nio yang tengah di kantor pun terkejut saat asisten rumah tangganya berkata bahwa batita laki-laki itu tak bangun lagi setelah menangis berjam-jam. Ketika tahu Rasya meninggal, hilang sudah kewarasan Nio. Lelaki penyabar itu sudah tak bisa mentoleril kejahatan yang istrinya perbuat.
"Kesempatan?" Nio tertawa sinis mendengarnya. "Selama ini aku selalu memberimu kesempatan, Zoya! Bahkan aku sabar saat kamu lebih memilih menghabiskan waktu dengan selingkuhan sialanmu itu ketimbang dengan keluargamu! Empat tahun aku memberimu kesempatan, apa kamu menghargainya?" tanya Nio dengan mata memerah.
Hancur sudah hatinya saat ini. Jika ia bisa kuat melihat istrinya yang lebih memilih laki-laki lain, tapi ia tak bisa kuat saat anak kesayangannya pergi begitu saja karena kelalaian sang istri. Zoya memang sangat benci padanya juga Rasya, sehingga bocah kecil itu selalu dibawa ke kantor, bahkan sejak ia lahir sebab Zoya benar-benar tak ingin merawat bahkan menyentuhnya.
Nio terisak mengingat bagaimana sedihnya menjadi Rasya. Sejak lahir, ia tak pernah merasakan bagaimana rasanya kasih sayang seorang ibu. Zoya sendiri selalu berlaku kasar pada anaknya seakan bocah itu adalah musuh terbesarnya. Memang, pernikahan mereka adalah sebuah kesalahan. Tanpa Arsenio sengaja, ia menghamili Zoya yang adalah seorang artis ternama. Karena kejadian itulah Zoya begitu membenci Arsenio yang dirasa telah menghancurkan hidup serta kariernya yang sedang cemerlang. Kebenciannya pun merambat ke sang anak sehingga ia benar-benar menjadi ibu yang begitu kejam.
"Aku mohon, beri aku kesempatan untuk kali ini, Mas. Aku mohon ...." Setelah mengetahui Rasya kecil meninggal, Zoya pun merasa terkejut dan tak menyangka. Ia sungguh bersalah dengan apa yang ia perbuat. Sebelum kepergiannya, Rasya menangis ingin sekali bersama sang mama. Namun, dengan begitu kejamnya Zoya malah mengabaikan dan membentak anak itu agar tak mengganggu. Saking kesalnya, akhirnya ia pergi dengan selingkuhannya dan meninggalkan Rasya yang menangis dalam keadaan sakit.
"Apa kamu bisa mengembalikan Rasya? Apa kamu bisa membuatnya hidup kembali? Aku akan memberimu kesempatan jika kamu bisa mengembalikan anak kesayanganku!" Isakan terdengar begitu menyayat hati. Rasya adalah kekuatannya Nio. Karena Rasya juga Nio tetap mempertahankan Zoya sebab menurutnya Rasya membutuhkan sosok ibu disampingnya. Nyatanya ia salah, justru anak kesayangannya itu pergi karena kecerobohan sang istri.
Zoya sendiri kini benar-benar kalut. Siapa yang tak hancur jika kehilangan anak. Dalam lubuk hatinya, Zoya memiliki rasa sayang terhadap Rasya. Namun, saat ia mengingat semua hal buruk yang dialami, pandangan sayang itu berubah menjadi benci. Apalagi wajah sang anak yang memang mengikuti gen Arsenio sehingga setiap melihat wajah bocah itu Zoya selalu teringat kejadian malam mengerikan itu.
"Maafkan aku, Mas. Maaf," lirih Zoya yang tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia sendiri sama hancurnya, tetapi memang ini salahnya sehingga rasa menyesal itu ia rasakan begitu dalam. "Aku juga sedih dia pergi."
"Pembohong! Bahkan kamu selalu berkata lebih baik dia mati daripada selalu menempel padamu." Sesak, itulah yang Nio rasakan sekarang seakan oksigen berlari meninggalkan paru-parunya. "Kamu bahagia sekarang, 'kan, setelah kepergiannya? Kamu puas, 'kan!"
"Mas!" Zoya terkejut saat mobil mereka hampir saja menabrak kendaraan lain di depannya. Ia semakin panik sebab Nio membawanya menuju jalanan lepas dengan mobil yang melaju di atas 120 kilometer per jam. "Hentikan, Mas! Apa kamu mau kita mati!"
"Iya! Aku mau membawamu menyusul Rasya. Mungki di sana, kita bisa menjadi keluarga bahagia, tanpa laki-laki bajingan itu!" sentak Nio yang membuat Zoya gemetar. Ia sungguh tak mengenali siapa lelaki di sampingnya ini. Sosok Arsenio yang ia kenal adalah lelaki lembut yang tak pernah meledak. Ia mungkin dingin dan bisa marah, tapi tak pernah sedikitpun membentaknya meski ia selalu ketahuan telah berselingkuh.
"Jangan gila, Mas! Hentikan mobilnya aku mohon. Maafkan aku, maafkan aku. Aku berjanji akan berubah. Beri aku kesempatan lagi, give me another chance. Aku mohon." Zoya terus memohon. Ia berharap suaminya bisa mendengar seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini ia salah, bukan mendengarkan, justru Nio semakin mengencangkan laju mobilnya. Akal sehatnya sudahlah hilang. Ia hanya ingin menyusul Rasya dan merasa tak bisa meninggalkan Zoya sendirian. Akhirnya dengan hilangnya kewarasan, ia mengajak istrinya untuk mengakhiri hidup.
"Aku sangat mencintaimu, Zoya! Kenapa kamu melakukan ini semua padaku? Aku selalu berusaha menjadi suami yang baik untukmu bahkan rela merendahkan diriku hanya untukmu." Nio menangis dengan hati yang teramat hancur. "Rasya adalah hadiah terbaik yang aku miliki. Ia lahir dari wanita yang sangat aku puja. Namun, dengan tanganmu juga kamu membunuhnya dengan sangat kejam. Kenapa, Zoya? Dia tidak salah, aku yang salah. Seharusnya kamu siksa saja aku, jangan dia."
Jantung Zoya berdebar dengan begitu cepat. Apa yang ia dengar? Arsenio mencintainya? Tidak, tidak mungkin. Bahkan ia menikahinya karena kejadian malam mengerikan itu. Mereka bukanlah orang yang saling kenal sebelumnya. Malam itu adalah pertemuan pertama mereka. Setelah tahu Zoya hamil dan mereka menikah, hubungan keduanya tak pernah akur. Hanya ada debat serta tatapan intimindasi dari keduanya. Bagaimana bisa kini ia mengatakan bahwa ia mencintainya?
Arsenio menangis dengan membentur-benturkan kepalanya ke stir mobil. Sakit, saat merasakan cinta yang sejak lama tak terbalas, hingga hadirnya Rasya menjadi obat sakit hati yang diterima dari Zoya. Namun kini, ia harus kehilangan cintanya lagi. Lalu, untuk apa ia hidup? Lebih baik ia pergi dengan membawa semua sakit yang diterima, termasuk orang yang paling bersalah atas kematian cinta abadinya itu.
Lamunan Zoya buyar saat tiba-tiba mobil malaju dengan kencang ke satu arah.
"Mas!"
Mobil sedan hitam itu menghantam pembatas jalan. Tubuh Nio dan Zoya terpental keluar dari kaca depan sebab mereka tak mengenakan sabuk pengaman. Kesadaran Zoya semakin melemah dengan rasa sakit kepala yang teramat sakit. Darah bercucuran memenuhi wajah cantiknya, tetapi ia mencoba mencari keberadaan suaminya.
"Mas Ni-Nio," lirih Zoya menatap tubuh lelaki itu terlentang tak bergerak sedikitpun. Ia menangis, meratapi semua kesalahan yang dilakukannya. Ia menyesal menyia-nyiakan Arsenio bahkan berlaku kejam pada anaknya. Kesadaran Zoya semakin melemah. Napasnya pun perlahan hilang.
Tuhan, beri aku kesempatan lain untuk menebus semua kesalahanku pada mereka. Aku ingin meminta maaf dan ....
"Zoya!"
Wanita cantik itu tersentak kaget. Pandangan matanya terlihat begitu terkejut dengan apa yang dia rasakan. Matanya menelisik setiap sudut dengan tatapan tak percaya. Bukankah tadi ia kecelakaan dan tewas? Kenapa sekarang ia berada di sebuah kamar yang terasa tak asing?
"Sayang, kenapa diam saja?"
Zoya menoleh ke belakang. Wajahnya kembali terkejut melihat sosok yang kini memeluk tubuhnya.
Jordan.
Lelaki brengsek yang menjadi penyebab retaknya rumah tangga Zoya itu kini menatap bingung. Sedangkan sang wanita menelisik tajam ke arah lelaki bertubuh atletis itu.
"Hey, apa kamu baik-baik saja? Kenapa sejak tadi diam saja, hhmmm? Apa kamu ingin mengulangnya lagi?"
Wajah menjijikan itu sungguh membuat Zoya mual. Rasanya ingin sekali ia mencokel mata jelalatan itu. Teringat kejadian hari di mana ia meninggalkan Rasya sendirian. Hari itu juga ia tahu bahwa Jordan—lelaki yang ia anggap belahan jiwa itu— tak jauh berbeda dengan buaya darat, keong racun dan kucing garong yang suka gonta ganti wanita. Bahkan, di saat-saat terakhirnya juga ia baru sadar bahwa lelaki sialan itu hanya ingin memoroti uangnya untuk wanita-wanita lain di luaran sana.
"Lepas, sialan!" Dengan hentakan kasar, Zoya melepas pelukan Jordan, lalu beranjak mengambil pakaiannya yang berceceran di lantai. Membayangkan apa yang terjadi padanya dengan lelaki itu, sungguh membuat Zoya teramat jijik dan jika bisa, ingin sekali ia menukar tambah tubunya yang sudah dijamah lelaki sialan itu.
Jika Zoya merasa jijik dan kesal, berbeda dengan Jordan menatap bingung sang kekasih yang marah tiba-tiba.
"Sayang, apa yang terjadi? Kenapa kamu marah padaku?" tanya Jordan melangkah mendekati sang kekasih dengan tubuh polosnya.
"Bajingan! Pakai pakaianmu dan pergi dari apartemenku!" sentak Zoya dengan tatapan menyalang.
Ya, kini ia ingat bahwa kamar itu adalah kamar utama di apartemennya setelah melihat desain interior yang sangat berbeda dengan milik orang lain sebab kamar tersebut didesain secara khusus yang serasi dengan Karakternya.
"Hey, apa yang terjadi? Apa aku tidak memuaskanmu? Kenapa kamu mengamuk seperti ini, Sayang?" tanya Jordan menyentuh kedua bahu kekasihnya itu. Namun, dengan penuh kebencian, Zoya justru menendang perut si lelaki sampai Jordan terpental jauh hingga meringis kesakitan.
"Jangan sentuh aku, Brengsek! Pergi dari apartemenku sekarang juga! Atau aku akan melaporkanmu pada pihak berwajib!" Kembali Zoya mengumpat pada lelaki yang ia anggap menjijikan itu.
Jordan beranjak dan kembali mendekat. Namun langkahnya terhenti saat Zoya menodongkan kepalan tinju. Lelaki itu tahu betul bahwa sang kekasih ahli beladiri bahkan pernah menjuarai kejuaraan karate se-Asia Tenggara. Karena itu ia lebih baik diam ditempat. Tendangannya saja masih terasa ngilu di ulu hati. Ia tak ingin menambah rasa sakitnya dengan mencoba melawan wanita berparas memesona itu.
"Sayang, kita bicara baik-baik, ya. Apa salahku, Sayang? Katakanlah. Aku sangat sedih jika kamu marah padaku seperti ini."
Jika itu dulu, Zoya pasti sudah luluh dengan ucapan lelaki berwajah teduh tetapi memiliki otak iblis tersebut. Kini, semua berubah. Zoya bukanlah wanita bodoh yang mudah ditipu dengan kata-kata manis mengandung racun itu.
"Pergi, atau aku benar-benar akan menghubungi pihak berwajib." Zoya menoleh ke segala arah, lalu meraih ponselnya. Akan tetapi tiba-tiba benda pipih itu terjatuh dengan wajah Zoya yang terkejut. "Maret, 2019?" gumamnya dengan tatapan tak percaya melihat tanggal dan tahun di ponselnya. "Hah?! Apa yang terjadi?" tanyanya bingung.
"Sayang ...."
Mendengar suara yang membuat kupingnya sakit, Zoya kembali menatap lelaki di depannya. Kembali ia meraih ponsel, lalu menekan nomer kepolisian. "Halo, kantor polisi."
Mendengar itu, Jordan tampak panik. Apa Zoya sudah gila menelepon pihak berwajib untuk mengusirnya?
"F-fine, aku akan pergi. Tutup panggilannya, okey?" Dengan wajah panik Jordan mencoba bernegoisasi.
"Aku hitung sampai sepuluh, jika kau masih di sini, akan aku habisi kamu!" omel Zoya yang membuat Jordan kalang kabut memunguti pakaian-pakaiannya yang bercecer sembarangan. Setelahnya, ia pergi dengan wajah yang begitu kesal.
Selepas kepergian lelaki sialan itu, Zoya terduduk di ranjangnya. "Dua ribu sembilan belas?" tanyanya pada diri sendiri.
Apa yang terjadi pada Zoya? Bukankah ia berada dalam maut setelah kecelakaan itu? Lalu, bukannya terakhir kali ia bernapas di tahun 2022? Kenapa sekarang ponselnya menunjukkan tahun 2019? Apa ponselnya bermasalah? Zoya pun kembali menatap benda pipih tersebut. Benda yang seharusnya sudah tak ada di tangannya lagi sebab setiap ada model baru dari merek ponsel tersebut Zoya pasti sudah menggantinya. Dan memang benda untuk berkomunikasi tersebut ia miliki tiga tahun lalu, tepat di tahun 2019.
Zoya menampar dirinya sendiri hingga memekik. "Sakit," lirihnya. "Apa yang terjadi? Kenapa aku kembali ke masalalu?" tanyanya dengan tatapan kosong dengan pikiran ke mana-mana.
Matanya membulat sempurna. Jika ini tahun 2019, bukankah berarti Arsenio dan Rasya masih hidup? Iya, benar! Dua lelaki yang Zoya sia-siakan itu pasti masih hidup! Dengan rasa panik, Zoya kembali beranjak. Ia berjalan ke sana ke mari tanpa arah. "Aku harus membersihkan diriku dulu! Najis, tubuhku telah dijamah laki-laki bedebah itu."
Dengan gerakan tergesa, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum pulang ke kediaman Arsenio Bagaskara.
**
Jantung Zoya berdebar dengan hebat menatap rumah mewah berlantai dua itu. Ia menatap tangannya yang gemetar. Terakhir kali ia menginjakkan kakinya di hunian bercat krem itu banyak orang berdatangan dengan bendera kuning berkibar di gerbang. Air matanya terjatuh begitu saja ketika mengingat kejadian menyeramkan itu. Ia kepalkan tangan, memaksa menghentikan air mata yang deras terjatuh. Setelah sedikit tenang, ia hapus jejak air kesedihan itu, lalu menekan klakson agar pengawal membukakan gerbang.
Selepas gerbang terbuka, wanita cantik dengan rambut hitam legam sepunggung itu melajukan mobil sedan mewah putih miliknya masuk ke hunia tersebut. Saat transportasi roda empat itu berhenti di depan pintu utama, seorang pengawal membukakan pintu.
"Selamat malam, Nyonya."
Zoya menatap lelaki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang yang tengah menunduk hormat itu dengan lekat. Bukankah dia yang ia pecat karena telah memukul Jordan? Kenapa dia masih mengawal di kediamannya? Apakah benar ia kembali ke masalalu?
Wanita cantik itu menggeleng. Ia harus tetap waras menghadapi semuanya. Ia berjalan masuk kediamannya dengan harap-harap cemas. Berharap bahwa ia benar-benar kembali ke masalalu agar bisa melihat dua lelaki yang sudah ia campakkan.
"Selamat malam, Nyonya," sapa seorang wanita berusia empat puluh tahunan bernama Jessica. Dia adalah kepala pelayan di kediaman Arsenio Bagaskara.
Saat Zoya ingin membuka suara, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara yang didengarnya.
"Ingat pulang juga kamu."
Zoya menoleh ke arah belakang. Betapa terkejutnya ia melihat sosok lelaki bertubuh tinggi menatap dirinya dengan tatapan dingin. Namun, justru membuat hati Zoya merasakan kehangatan.
"M-Mas Nio," lirih Zoya dengan mata berkaca-kaca. Ia sungguh tak menyangka bisa kembali melihat sosok lelaki yang dulu ia abaikan bahkan selalu disakitinya.
"Mas? Sejak kapan kamu memanggilku dengan sopan begitu?" tanya Nio tersenyum sinis.
Bukan tersinggung, Zoya justru tersenyum haru. Dengan air mata menetes, ia berlari menabrakkan tubuh semapainya ke dada bidang sang suami. Ia peluk erat Nio, hingga lelaki itu diam mematung.
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku."
Nio menatap penuh selidik wanita di depannya yang tengah makan dengan begitu santai. Wanita yang telah ia nikahi hampir dua tahu itu entah mengapa berubah menjadi aneh. Setelah memeluknya dengan menangis serta terus meminta maaf, tiba-tiba ia menyuruh Jessica menyiapkan makan malam dan mengajak Nio untuk makan bersama. Wanita berparas cantik bak Dewi Yunani itu membuat Nio berpikir dengan ribuan pertanyaan. Sejak kapan Zoya mau makan bersama dengan suaminya itu?
"Mas, kenapa bengong?" tanya Zoya menatap bingung suaminya.
Nio pun hanya menggeleng lalu meraih sendok dan melahap makan malamnya. Mereka tampak diam tanpa suara. Sesekali saling melirik dengan tatapan yang berbeda. Jika Zoya menatapnya dengan penuh haru, lain halnya Nio yang menatap istrinya dengan tatapan penuh selidik. Entah rencana apa lagi yang ingin ia buat, batin lelaki itu.
Makan malam usai. Nio hendak beranjak, tetapi langkahnya terhenti saat Zoya mencekal tangannya.
"Eeuummm Mas, a-apakah Rasya baik-baik saja?"
Mata Nio membulat sempurna. Ia terkejut dengan pertanyaan sang istri. Sejak kapan wanita itu peduli pada anaknya? Nio benar-benar tak habis pikir dengan perubahan kilat seorang Zoya Maharani Lavani.
"Sepertinya kamu butuh ke dokter." Nio pun berlalu meninggalkan Zoya yang menatap punggung lelaki itu dengan penuh tanda tanya.
"Ke dokter? Memang aku kenapa?" tanya wanita cantik itu berpikir. Bahkan ia menaruh telapat tangannya di dahi, leher serta pipi. "Tidak panas," gumamnya dengan wajah bingung. "Ah, kenapa aku berbicara sendiri? Lebih baik aku memastikan keadaan Rasya dulu. Semoga saja dia benar-benar masih hidup."
Dengan terburu-buru Zoya melangkahkan kakinya ke lantai dua. Rasya memang tidur bersama Nio sejak ia lahir. Sedangkan Zoya menempati kamar utama di lantan bawah. Bukan keinginan Nio, justru itu adalah keinginan wanita tersebut. Ia menganggap berdekatan dengan dua lelaki itu hanya memberikan kesialan. Sungguh jahat memang Zoya di masa itu. Namun kini, ia benar-benar ingin berubah setelah Tuhan memberinya kesempatan.
Zoya menatap pintu cokelat yang terbuat dari kayu jati tersebut. Dengan ragu, wanita itu mengetuk pintu kamar suaminya. Ia terkejut saat pintu terbuka menampakkan lelaki yang sama terkejut melihat wanita cantik itu di depan kamarnya.
"Ada apa?" tanya Nio dingin merubah ekspresi keterkejutannya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas. Apakah Rasya baik-baik saja?" tanya Zoya dengan cemas, sesekali ia melirik ke dalam kamar berharap dapat melihat bocah kecil yang menggemaskan itu. Ya, untuk Zoya kali ini Rasya adalah bayi menggemaskan. Andai itu di kehidupan sebelumnya, mungkin Rasya adalah bayi paling menyeramkan untuknya.
"Tumben sekali kamu menanyakanya. Ada apa? Apa kartu kredit yang aku berikan kurang? Katakan saja, jangan banyak basa basi," kata Nio dengan tegas.
'Astaga, apa ini yang ia bilang bahwa ia mencintaiku?' batin Zoya menatap sebal pada suaminya.
"Aku—" Sebelum meneruskan ucapannya, tiba-tiba suara seseorang menghentikan ucapan Zoya.
"Mama, mama, mama."
Dua orang dewasa itu melirik bocah lucu yang kini berjalan pelan mendekati mereka. Hati Zoya mencelos. Dadanya terasa sakit menatap bayi yang belum genap berusia satu tahu itu. Bahkan tangannya sampai gemetar mengingat betapa jahatnya ketika terakhir kali berinteraksi dengan anak lelakinya.
"Ra-Raysa," lirih Zoya dengan air mata yang menetes.
Nio sendiri tampak terkejut melihat tatapan istrinya yang terlihat begitu banyak penyesalan di sana. Zoya bahkan sampai berlutut untuk menyetarakan tingginya dengan bocah kecil itu.
"Mama, mama." Tangan Rasya kecil menjulur seperti memberi isyarat agar sang mama menggendongnya.
"Rasya. Allah, anak mama." Dengan cepat Zoya memeluk anak lelakinya. Dengan air mata bercucuran, ia kecupi wajah gembul Rasya yang terus tertawa dengan perlakuan sang mama. Zoya sendiri menangis histeris memeluk erat bocah itu dengan bibir yang terus berucap maaf, membuat Nio yang melihat merasa tak percaya. Ia bahkan sampai menutup mulut dengan telapak tangannya saking takjub melihat kejadian di depannya.
"Maafkan Mama, maafkan Mama. Mama sayang Rasya, Mama sayang Rasya." Tangisan Zoya benar-benar menyayat hati. Rasa bersalah begitu kentara ia rasakan. Bagaimana menyedihkan bocah itu saat meminta sang mama untuk memeluknya di saat-saat terakhir hidupnya. Akan tetapi, justru Zoya bentak dan meninggalkan tanpa peduli dengan keadaan bocah itu yang tengah sakit. Ia benar-benar jahat, sungguh jahat pada anak yang sama sekali tak bersalah dalam hidupnya.
Tak ada anak yang bisa memilih dilahirkan oleh siapa. Tak ada anak yang mau dilahirkan atas dasar kesalahan. Namun, banyak orang-orang dewasa yang menyangkut pautkan kesalahan orang tuanya pada anak yang tak tahu apa-apa. Bahkan, julukan 'anak haram' mereka berikan pada anak yang lahir hasil di luar pernikahan. Sungguh miris mendengar kata-kata itu. Bagaimana bisa bayi yang suci tanpa dosa langsung dipanggil anak haram dengan teganya.
Itu juga yang Zoya rasakan sekarang. Bagaimana bisa ia menyalahkan Rasya yang tak tahu apa-apa soal hidupnya yang berantakan? Bagaimana bisa ia selalu mengatakan bahwa bayi itu adalah sebuah petaka dalam hidupnya? Mengingat itu, Zoya merasa sangat kejam sebagai seorang ibu.
"Mama, mama." Rasya menepuk-nepuk wajah Zoya sehingga kesadaran wanita itu kembali. Ia menatap bola mata bulat berbinar anaknya dengan tatapan sayu. Ia berharap bahwa kejadian buruk itu hanyalah mimpi dan masa yang ia rasakan sekarang adalah kenyataan. Ia tak sanggup jika pelukan ini hanya bunga tidur dan saat terbangun ia kehilangan Nio dan Rasya lagi untuk selama-lamanya.
Melihat Zoya yang menangis, entah kenapa hati Nio merasa sakit. Ia terkejut dengan semua yang terjadi dengan perubahan istrinya. Padahal sudah tiga hari wanita itu tak pulang. Bahkan terakhir kali sebelum pergi, Zoya berkata ia tak akan kembali sebab merasa muak melihat Nio dan Rasya yang mengganggu indera penglihatannya. Namun kini, semenjak kepulangannya beberapa saat lalu kenapa sikapnya berubah? Ini sungguh aneh untuk Nio.
Lelaki itu berjongkok hendak mengambil Rasya, tetapi pelukan Zoya semakin erat dengan menatap mata suaminya. "Jangan pisahkan aku darinya, aku mohon," lirih Zoya dengan air mata yang tak henti mengalir. Tatapan sedih penuh penyesalan itu sungguh membuat hati Nio terasa teriris. Ia tak sanggup melihat istrinya seperti sekarang.
Selama menikah, hanya kebencian yang Zoya tunjukan. Ia sama sekali tak pernah menangis, bahkan saat melahirkan Rasya, ia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Jika wanita lain akan menangis atau merengek pada suaminya, berbeda dengan Zoya yang hanya diam dengan mencengkram ranjangnya saking tak ingin mengekspresikan perasaannya. Namun sekarang, apa yang Nio lihat? Wanita baja itu menangis sesegukkan memeluk anak laki-lakinya. Entah apa yang terjadi pada Zoya sehingga ia bisa berubah 180 derajat seperti saat ini.
**
Setelah drama pertemuan dengan memeluk anaknya seperti perangko yang menempel di amplop, Zoya masuk ke kamar. Tak lupa ia membawa Rasya bersamanya. Meski Nio sempat menolak, tetapi Zoya terus memohon bahkan sampai hampir berlutut di kaki suaminya untuk mengizinkan Rasya tidur dengannya, hingga lelaki itu mengalah dan mengizinkan anaknya tidur bersama ibunya.
Nio benar-benar hilang akal dengan apa yang terjadi pada istrinya. Seperti sekarang, bukannya tidur, lelaki itu justru tengah mondar mandir di depan kamar Zoya dengan perasaan cemas. Sesekali ia mencoba membuka pintu, tetapi diurungkan kembali. Ia terus bulak balik dari kamarnya, lalu kembali lagi ke kamar Zoya di lantai bawah.
Bukan tanpa alasan Nio bersikap seperti itu. Sejak Rasya lahir, sampai kemarin, bocah itu selalu bersamanya dan tak pernah sekalipun bersama ibunya. Jangankan tidur bersama, ketika duduk berdekatan saja Zoya selalu mendorong bocah itu tanpa berpikir keselamatannya. Jadi, tak salah 'kan, jika Nio khawatir meski sang anak bersama ibu kandungnya?
"Tuan."
Nio terperanjat kaget saat tiba-tiba Jessica berada di belakangnya. Ia bahkan sampai menyentuh dadanya sakit terkejut.
"Kamu ini, bikin saya kaget saja." Nio mengusap dada untuk menenangkan diri.
"Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin bertanya, apa Anda membutuhkan sesuatu? Sejak hampir empat jam ini Tuan selalu naik turun. Saya pikir, Tuan membutuhkan sesuatu?" tanya Jessica hati-hati.
"Tidak. Saya tidak membutuhkan apa-apa. Saya naik dulu." Dengan berat hati, Nio pergi meninggalkan kamar istrinya. Sesekali ia berhenti berjalan dan menatap khawatir kamar berpintu warna putih tersebut. Berulang kali ia menghela napas berat seakan pasokan oksigen pergi entah ke mana.
Semoga ibumu tak melakukan hal aneh padamu, Nak, batin Arsenio.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!