💖
💖
Daryl menekan pinggulnya begitu dalam kala pelepasan menghantam kesadarannya, dengan kedua mata terpejam begitu erat dan wajah terdongak ke atas. Dan tubuh sintal di bawahnya mengejang hebat saat dia juga mengalami hal sama.
Pria itu melepaskan pertautan tubuh mereka, kemudian menarik lepas pengaman dari alat tempurnya yang sudah memuntahkan sari pati dari tubuhnya. Lalu melemparkannya ke tong sampah di bawah tempat tidur.
Dengan langkah gontai dia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Membiarkan partner bercintanya beristirahat setelah pergumulan panas mereka beberapa saat yang lalu.
"Kamu mau pulang, Baby?" Sepasang tangan merayap di pinggangnya saat pria itu duduk di pinggir tempat tidur mengusak rambut basahnya setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi.
"Hmm …." Daryl menjawab dengan gumaman.
"Sudah lewat tengah malam." Bella menyandarkan wajahnya pada punggung kokoh pria itu.
"Tidak peduli subuh sekalipun aku tetap harus pulang, Baby." Daryl menjawab.
"Begitu?"
"Yeah."
"Why? Mamamu akan mencari jika kamu tidak pulang?" Bella terkekeh.
Daryl tak menjawab.
"Apa aku benar?" Perempuan itu tertawa. Membayangkan jika pria yang tengah dia peluk, yang merupakan putra pemilik kantor majalah fashion terkenal itu sangat takut kepada ibunya.
"Kamu ini sudah dewasa, tidak pulang selama satu atau dua malam saja tidak akan membuat duniamu kacau." Bella berujar.
Daryl melepaskan tangan perempuan itu dari tubuhnya kemudian bangkit. Lalu dia mengenakan pakaiannya dengan cepat.
"Sial!" ucapnya saat dia gagal mengacingkan kemejanya.
"Why?"
"A-aku …."
"Kamu benar-benar mau pulang ya?" Bella mendekat.
"Apa ibumu sangat galak sehingga kamu sangat patuh kepadanya?" ucap model itu yang membantu mengancingkan kemejanya.
"Tidak, dia sangat baik."
"Hmm … tapi kamu patuh sekali? Setiap kali datang kemari tidak pernah sekalipun menginap? Atau Pak Nikolai sangat kejam kepadamu, sehingga kamu seperti ini, hum?" Perempuan itu mengusap dadanya.
"None of your bussines, lady! (bukan urusanmu)." Daryl bergumam.
"Apa katamu?"
"Ini terakhir kalinya kau membahas soal keluargaku. Tidak ada satupun dari mereka yang menjadi urusanmu."
Bella terdiam.
"Kau sudah kuperingatkan." Daryl meremat dagunya dengan keras.
Dia meraih jasnya yang tersampir di ujung ranjang kemudian melenggang ke arah pintu.
"Hmm … anak Mama!" gumam Bella sambil bersedekap, namun membuat Daryl menghentikan langkahnya, kemudian berbalik.
"Kau tahu, Baby? Aku bisa saja memutus kontrak secara sepihak dan mendepakmu dari Fia's Secret jika aku mau. Tapi Mamaku tidak akan senang dengan hal itu karena kau masih menjadi model andalannya. Tapi itu akan berubah jika kau berulah. Dan aku tidak suka dengan ucapanmu." katanya, lalu dia segera keluar, sementara Bella tertegun dengan wajah memucat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Darren masuk ke dalam kamar saudara kembarnya yang masih temaram. Waktu sudah menunjukkan hampir jam delapan pagi namun pria yang lahir lima menit lebih dulu darinya belum juga bangun.
"Kau belum mau bangun Der?" Dia menghampirinya.
"Der?" Darren duduk di pinggir tempat tidur seraya menyingkap selimut yang menutupi tubuh sang kakak.
"Dary! Bangunlah!"
"Pergilah, suka!"
"Waktunya bekerja, Der!"
"Aku tidak mau bekerja!" Pria itu berteriak.
"Terserah, tapi katakan itu kepada Mama agar dia mencari orang untuk menggantikanmu!" ujar Darren, dan hal itu membuat mata Daryl terbuka seketika.
"Kau pasti pulang pagi lagi ya?" tanya sang adik yang bangkit dari duduknya.
"Tidak, aku sampai jam dua tadi …."
"Ck! Sama saja!" Darren memutar bola matanya. "Cepat sana mandi, waktuku tidak banyak hari ini." ucapnya, dan Daryl menurut tanpa bantahan.
Dia keluar setelah beberapa menit dan menemukan sang adik masih berada di sana.
"Lambat sekali kau ini?" ucap Darren seraya melemparkan pakaian milik sang kakak yang kemudian dikenakannya dengan cepat.
Daryl tertegun saat mengenakan kemejanya. Dia menatap sisi kiri dan kanan dengan dahi berkerut.
"Kenapa kau malah memberiku kemeja? Kau tahu aku tidak bisa memakainya?"
Darren merangsek ke hadapan sang kakak.
"Kau lupa yang setiap hari aku ajarkan?" Dia menautkan kancing kemejanya satu per satu hingga semuanya terpasang dengan benar.
Daryl tak menyahut. Dia membiarkan sang adik mendandaninya seperti yang biasa dia lakukan sejak mereka kecil.
Menautkan kancing kemeja, lalu menyisir rambutnya yang berwarna sedikit kecoklatan.
"Lalu siapa yang akan mengurusmu nanti kalau aku menikah?" Darren bergumam.
Daryl menatap pantulan mereka di cermin.
"Masa pagi-pagi aku mengurusmu dulu sebelum istriku?" ucap Daryl lagi, lalu mereka tertawa.
"Kau serius akan menikah sekarang, Ren?" Daryl bertanya.
"Sekarang ataupun nanti pasti akan terjadi, bukan?" jawab Darren yang memastikan keadaan kakaknya sudah rapi.
"Dan kau akan meninggalkan aku?" Daryl berbalik sehingga mereka berhadapan.
Saudara kembar identik yang memiliki segalanya yang sama persis. Mewarisi darah campuran Eropa Timur dan Jawa Barat yang menghasilkan rupa eksotis.
Berambut coklat gelap, berwajah Kaukasia dengan mata bulat, alis tebal dan hidung mancung. Jangan lupakan juga dengan bibir merah dan rahang tegasnya yang membuat mereka begitu mempesona.
Daryl Stanislav Nikolai dengan iris mata kelam warisan sang ayah, Satria Nikolai. Sementara Darren Volodya Nikolai memiliki mata coklat seperti ibunya, Sofia Anna.
"Kita tidak bisa terus seperti ini selamanya. Aku harus membangun keluargaku sendiri dan meneruskan keturunan keluarga kita, dan kau juga." Darren mengangkat sehelai dasi berwarna coklat untuk kakaknya.
"Kau tahu aku tidak suka memakai dasi. Bahkan kemeja ini membuatku merasa tersiksa." Daryl menolak apa yang akan adiknya lakukan.
"Hanya agar kau terlihat rapi, Der." ucap Darren sambil tertawa.
"Aku tidak suka terlihat rapi. Aku ingin terlihat santai."
Darren memutar bola matanya.
"Lagi pula, aku bekerja di Fia's Secret. Tidak di Nikolai Grup sepertimu." lanjut Daryl yang duduk di sofa bermaksud mengenakan kaus kaki dan sepatunya.
"Ah sial!! Kenapa juga aku memilih sepatu ini!" Pria itu menggerutu.
Dia menarik kedua ujung tali sepatu dan mencoba mengikatnya seperti yang Darren lakukan. Tapi, alih-alih berhasil Daryl malah memutar-mutarnya tak karuan.
"Ublyudok, chert voz'mi! (dasar, benda breng*ek sialan!" Daryl menendang benda tersebut hingga terpelanting ke depan.
"Der?"
"Mengapa mereka menciptakan benda bertali sialan semacam itu! Menyulitkanku saja!" katanya dengan kesal.
Namun Darren segera memungut sepatu milik sang kakak yang kemudian dia bawa dan lagi-lagi membantu mengenakannya.
"Sepertinya kau butuh pengasuh lagi, Der." Darren tertawa.
"Sialan kau ini?"
"Aku serius. Mungkin kita harus menyuruh Bu Lily mencarikan pengasuh lagi untukmu?"
"Jangan mengada-ada!"
"Agar ada yang mengurusmu." Darren mengikatkan tali sepatunya sehingga penampilan sang kakak sekarang benar-benar rapi.
"Kau sudah siap dan tampan seperti aku!" ucapnya dengan girang.
"Sekarang ayo kita ke bawah? Mama dan Papi pasti sudah menunggu." Lalu dia menariknya keluar dari kamar.
***
"Bagaimana pekerjaanmu, Nak? Apa ada masalah?" Satria memulai percakapan pada sarapan pagi mereka.
"Semuanya baik Pih, lancar." Darren menjawab.
"Daryl?" Pria itu beralih kepada putra keduanya.
"Sama Pih. Hanya saja aku lebih santai." Daryl tertawa.
"Lebih enak kerja di Fia's Secret kan dari pada di N.G?" Sofia menimpali.
"Mama benar." Sang anak menjawab lalu dia menyesap kopi hitamnya.
"Tentu saja, disana banyak hiburan. Tidak seperti di N.G, yang terlihat hanya gedung, komputer dan dokumen." ucap Satria seraya mengunyah makanannya.
Daryl terdiam.
"Tidak apa, hiburan juga perlu. Agar hidup terasa menyenangkan bukan?" Sang ayah tersenyum.
"Asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain."
"Mmm … ehm." Daryl berdeham. Dia tahu maksud dari kalimat yang dilontarkan oleh sang ayah.
"Oh iya, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Kirana?" Sofia mengalihkan topik pembicaraan.
"Hubungan apa?" Darren terkekeh dan tiba-tiba saja kedua pipinya merona.
"Apa sudah ada kemajuan? Kalian sudah resmi berhubungan?" Sang ibu dengan antusiasnya.
"Tidak Mom, belum ke tahap itu, dan masih jauh."
"Kenapa? Apa dia tidak menyukaimu?"
"Umm … aku tidak tahu."
"Maka cari tahulah! Sebagai laki-laki kamu harus punya inisiatif, tidak boleh pasif agar tahu harus mengambil tindakan apa." Pelajaran keberanian dimulai oleh Sofia pada pagi itu.
"Astaga! Dia dokter spesialis Mom." tukas Darren sambil menyesap latte nya.
"Lalu kenapa? kamu juga S2 manajemen bisnis dari Lomonosov."
Sang putra terdiam.
"Beranilah Nak! Kamu ini seorang Nikolai. Apa pun tidak boleh menghentikanmu."
"Tapi dia seumuran Kak Dim."
"Lalu? Apa masalahnya? Umur Papi dan Mama juga berbeda. Kakakmu dan Om Arfan apa lagi."
"Tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa. Majulah selagi kamu bisa!" Sang ibu menyemangati.
"Umm … aku … duluan ya, hari ini ada pemotretan untuk produk gaun, Mama ingat? Dan aku harus hadir untuk memastikan semuanya berjalan lancar." Daryl bangkit dari kursi setelah menghabiskan kopinya.
"Apa Mama perlu datang juga?" Sofia merespon ketika sang putra memeluknya.
"Tidak usah. Aku juga bisa." jawab Daryl yang kemudian mencium tangan sang ayah.
"Pergi dulu Mom, Pih." katanya, sambil menepuk bahu saudara kembarnya. Kemudian dia pergi.
💖
💖
💖
Bersambung ....
Hai, apakah kalian siap untuk petualangan selanjutnya?
Jangan lupa klik love, like, komen sama kirim gift atau votenya untuk novel ini.
Enjoy 😚
💖
💖
"It's oke Der, aku akan menjagamu. Aku yang akan mengurusmu sampai kamu mampu melakukan semuanya sendiri." Darren memeluk bahu kakaknya yang duduk di sudut ruang bermain mereka saat hujan deras di sore hari.
"Aku bodoh!" Daryl menekuk kakinya sendiri, kemudian membenamkan wajah di antara kedua lututnya.
"No! Kamu nggak bodoh. Hanya belum bisa."
"Tapi ini sudah lama, dan aku masih nggak bisa mengancingkan kemeja dan mengikat tali sepatu."
"Hanya itu. Tapi kamu pintar olah raga, matematika, dan bahasa." Darren mengguncangkan tubuh saudara kembarnya itu.
"Don't tell Mom!" Daryl memperngingatkan.
"I won't, i promise." jawab Darren yang membuat tanda silang di dada kirinya.
"Sampai nanti?"
"Yeah, sampai nanti."
"Kamu akan mengurusku?"
"Yeah, sure. You are my brother."
"Selamanya?"
"Yes, i will."
"Kamu bersumpah?"
"Yeah."
"Ayo kita ikut Kak Dim ke Rusia, sehingga Mama dan Papi nggak akan tahu soal ini." ajak Daryl kemudian.
"Kamu serius?"
"Yeah, aku nggak mau Mama dan Papi sedih karena punya anak bodoh seperti aku."
"Sudah aku katakan kalau kamu nggak bodoh! Papi bilang nggak ada orang bodoh, yang ada hanya orang malas sehingga mereka nggak bisa melakukan apa-apa. Dan kamu selalu berusaha keras. Bagaimana kamu menjadi bodoh?"
Daryl terdiam.
"Tapi … kalau itu bisa membuatmu merasa baikkan, ayolah kita bilang Papi?"
"Aku menyayangimu Ren!" Daryl menghambur ke pelukan adiknya.
"Me too, you are my big brother!" Dan Darren membalas pelukan sang kakak.
***
Daryl terbangun ketika merasakan sepasang tangan merayap di dadanya. Dan dia mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran setelah mengalami mimpi masa kecilnya.
Wajah Bella mendominasi pandangan dan dia segera membuatnya terjaga.
"Aku tidak tega membangunkanmu, tapi ini sudah waktunya pemotretan. Apa kamu tidak mau ikut?" ucap perempuan itu dengan suara yang menggoda.
"Sudah waktunya? Jam berapa ini?" Daryl bangkit seraya menyugar rambutnya yang sedikit bergelombang.
"Sudah siang, Sayang. Dan tidurmu nyenyak sekali. Sampai-sampai aku pun ingin ikut tidur denganmu." Bella kemudian duduk di pangkuannya.
"Meyingkirlah!" Namun Daryl mendorongnya sehingga dia turun dari pangkuanya.
"Baby?!" Perempuan itu memeki.
"Sudah aku katakan kita profesional." Daryl berujar.
"Aku profesional! Sebagai model untuk merk pakaian Mama mu aku sangat profesional, apa kamu tidak melihatnya?"
"Yeah, right." Pria itu menyesap air minumnya.
Lalu terdengar suara ketukan di pintu.
"Masuk!" Daryl sedikit berteriak.
"Maaf Pak? Studionya sudah siap dan pemotretan akan segera dimulai." Sekretarisnya memberitahukan.
"Baik, aku akan segera ke sana.
"Baik, Pak." Perempuan berkacamata itu hampir saja keluar. Namun dia beralih kepada Bella terlebih dahulu.
"Model lainnya menunggu di lobby." katanya, sambil membenahi letak kaca matanya, sebelum akhirnya pergi.
"Aku tidak suka perempuan itu! Dia tidak pernah ramah kepadaku." Bella bergumam dengan wajah masam.
"Aku kira dia juga tidak menyukaimu?" Daryl terkekeh, membuat sang model mendelik kesal.
Namun dia segera mengikutinya yang keluar dari ruangan tersebut.
***
Bella mengenakan gaun indah yang berkilauan. Dia dan beberapa model lainnya sudah siap untuk melakukan pemotretan bagi majalah fashion yang cukup terkenal di Indonesia itu, bahkan sampai ke beberapa negara Asia lainnya.
Dia berlenggak lenggok di set, dan beberapa kali berpose seperti yang di arahkan oleh fotografer dan pengarah gayanya.
Beberapa pakaian hasil rancangan Sofia, sang pemilik majalah menjadi salah satu pusat pemberitaan untuk minggu ini. Bersama dengan berita selebritis dan cerita gaya hidup yang sedang trend pada beberapa minggu belakangan.
"Baby, apa aku cantik memakai gaun ini?" Bella mendekati Daryl setelah selesai berganti gaun selanjutnya.
Pria yang dimaksud tidak merespon. Dia sibuk pada pemotretan model lain di depan agar tidak luput dari perhatiannya.
"Baby?"
"Sssttt!" Dia mengangkat tangannya untuk memperingatkan.
"Bersikaplah profesional, ini di kantor. Aku tidak mau model lain salah faham kepadaku!" ucap Daryl tanpa mengalihkan perhatian.
"Tapi lihat dulu aku!"
"Jika penata gaya memilihnya berarti itu bagus untukmu. Jangan berulah!"
Bella terdiam.
"Maaf Pak? Besok ada pemotretan untuk merk A&Z, apa harus kita siapkan dari sekarang?" Sekretaris kembali setelah Bella menyingkir.
"Berarti untuk Anya dan Zenya?"
"Betul Pak."
"Pemotretannya jam berapa?"
"Kami akan menjadwalnya untuk pagi."
"Negatif!"
"Maaf Pak?"
"Pagi-pagi keponakanku sekolah. Lebih baik siang saja atau sore. Minta dijadwal ulang! Bisa marah kakakku kalau itu terjadi"
"Begitu? Baik Pak, akan saya jadwal ulang." Sekretaris membuat catatan.
"Makananku sudah sampai? Jam berapa ini?" Pria itu menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 siang.
"Mungkin sebentar lagi Pak, kami mendapat kabar akan ada keterlambatan pengiriman."
"Hah, dasar anak SMP itu memang selalu saja berulah! Bisa-bisanya dia terlambat mengantarkan makanan?" Daryl menggerutu.
"Atau mau saya pesankan dari kafe depan Pak?" tawar sekretaris.
"Tidak usah, aku tidak suka makanan mereka. Makanya aku sengaja memesan dari Amara's Love."
"Baik kalau begitu."
"Permisi Pak?" Seorang pesuruh kantor tiba membawa tote bag berisi kotak makanan.
"Ya?"
"Seseorang dari Amara's Love mengantar ini untuk Bapak." katanya seraya meletakkan benda tersebut.
"Orangnya mana?" Daryl terlihat antusias.
"Sudah keluar Pak."
"Sudah pergi?"
"Sepertinya belum, barusan dia berjalan ke parkiran."
"Kenapa tidak kau tahan?" Pria itu segera berlari keluar dari studio.
"Enak saja mau kabur? Sudah terlambat, kabur lagi? Awas kau ya akan aku beri pelajaran sopan santun!" Dia menggerutu sambil berlari.
Daryl tiba di tempat parkir, dan dia menemukan seseorang dengan seragam Amara's Love sedang menghidupkan motornya.
"Hey, tunggu!" Dia segera menghampirinya.
Orang yang dimaksud pun menoleh, dan dia menaikkan helmnya.
"Ada yang kurang Pak?" Gadis yang cukup dia kenali bertanya.
"Kenapa kamu? Di mana dia?" Pria itu bertanya.
"Oh, Nania? Hari ini saya memang dapat tugas mengantar, Pak. Nania tidak bisa." jelas Nindy.
"Kenapa tidak bisa? Ada apa?" Daryl bertanya. Pasalnya ini sudah merupakan perjanjian antara dirinya dengan Nania jika gadis itu akan mengambil tugas sebagai pengantar makanan untuknya. Dengan imbalan tip yang cukup besar untuk gadis itu tentunya.
"Ada urusan keluarga Pak, makanya saya terlambat mengantar makanan. Saya mohon maaf." Nindy dengan suara pelan.
"Urusan keluarga apanya?"
"Itu Pak, ayahnya …."
"Ah, masalah itu lagi? Pantas saja." tukas Daryl dengan nada kesal.
"Umm … saya permisi Pak? Di kedai sedang ramai sekarang, kasihan teman-teman." Nindi berpamitan.
"Oh, baik." Daryl pun mengangguk.
Kemudian gadis itu pergi setelah mendapat jawaban dari Daryl.
💖
💖
💖
Bersambung ....
ayo ayo ramaikan terus
Jangan lupa like komen hadiah, vote. Rate bintang lima juga. Selain itu, klik favorit biar dapat notifikasi kalo novel ini up😚😚
Meet Pak Daryl
💖
💖
Nania menjatuhkan helm yang baru saja dia ambil dari tempat penyimpanan saat menerima kabar buruk dari rumah.
"Tolong gantikan aku mengantar makan siangnya Pak Daryl!" Dia menyerahkan bungkusan kepada Nindy.
"Kenapa?"
"Aku harus pulang. Ayahku …." Dia tak menyelesaikan kalimatnya.
Nania segera berlari keluar, lalu menyalakan motor matic yang biasa dipakainya untuk mengantar makanan. Dan tanpa berpikir panjang gadis itu segera tancap gas menuju rumah.
Dia tak membutuhkan waktu lama untuk sampai, karena lalu lintas pada siang itu tidak terlalu padat.
Dari kejauhan dia sudah melihat kerumunan orang di depan rumahnya, membuat perasaannya tidak enak.
Nania segera menghentikan laju motornya, lalu setengah melompat turun kemudian berlari.
"Ayah!" Dia berteriak.
Dan benar saja apa yang ditakutkannya selama ini. Pria itu sudah terbujur kaku di tengah ruangan berukuran 4x4 meter tersebut. Matanya terpejam erat seolah dia tengah tertidur lelap namun dadanya tak bergerak sama sekali seperti yang selalu Nania lihat.
Beberapa orang tetangga menahannya di depan pintu untuk menenangkannya. Namun itu malah membuatnya histeris.
"Nggak mungkin! Ayah!" teriaknya lagi.
"Sabar Nak! Sabar! Ayahmu sudah tidak akan merasa sakit lagi, dia sudah tenang." seorang perempuan tua memeluknya.
"Nggak mau! Nggak mungkin! Ayah nggak mungkin tega sama aku!" Gadis itu meronta.
"Ayah! Jangan tinggalin aku!!" Dia berusaha melepaskan diri.
"Tabahkan hatimu, Nak! Kasihan ayahmu."
"Aku nggak mau! Ayah nggak mungkin tega ninggalin aku!! Tadi pagi masih makan sama aku!!"
Wajahnya begitu pucat namun kali ini dia tampak tenang.
"Maafkan Bibi, kami menemukannya sudah seperti ini." ucap perempuan itu sebelum akhirnya Nania jatuh tak sadarkan diri.
***
"Cium dulu ayahnya, Nak sebelum kain kafannya ditutup. Tapi air matanya jangan sampai jatuh ya?" Seorang pemuka agama berucap padanya.
Nania segera maju dengan mati-matian menahan tangis. Dadanya terasa begitu sesak dan tubuhnya benar-benar sakit. Menatap cinta pertamanya yang kini telah tiada.
Dia pria yang menjadi penyemangatnya selama ini. Pelipur lara dan penghibur dikala duka malah meninggalkannya. Disaat dirinya tengah berjuang untuk kesembuhannya.
Sang ayah rupanya tidak mampu bertahan setelah tiga tahun mengidap hepatitis dan mereka hanya berjuang berdua untuk mengatasinya.
"Yang kuat Sayang." Perempuan tua yang mendampinginya mencoba menguatkan.
Nania mendekat, dan dengan segala upaya dia menelan kepiluan di dada. Menatap wajah sang ayah lalu mencium keningnya untuk yang terakhir kalinya.
Selamat jalan Yah, aku mencintai Ayah. Terima kasih karena sudah menjadi ayah yang hebat untukku. Surga menanti ayah. Bisiknya dalam hati.
Lalu mereka menariknya untuk menghindarkan tangisan yang kembali pecah. Dan beberapa orang ibu di belakang kembali memeluknya.
***
Langit mendung menjadi pengiring kepergian pria itu untuk selama-lamanya. Di sana, di pembaringan terakhirnya yang telah tertutup rapat bertabur bunga.
Nania meneruskan tangisnya yang sepertinya enggan untuk berhenti. Entah seberapa keras dia menahan, namun air mata terus mengalir.
Hingga akhirnya beberapa orang menariknya untuk pulang setelah dengan susah payah membujuknya.
Nania tertegun ketika mereka tiba di rumah. Mendapati tamu yang tak diduga sudah menunggu.
"Ibu?" gumamnya saat dia mengenali orang-orang itu.
"Oh, … ibu turut berduka cita." ucap perempuan itu dan dia menghambur untuk memeluk putrinya.
Tangis Nania kembali pecah, dan dia memeluk tubuh sang ibu dengan erat. Sudah lama sekali sejak terakhir mereka bertemu beberapa bulan yang lalu, dan ini pertama kalinya perempuan itu memeluknya.
"Ayah berpesan, kalau aku nggak boleh pergi dari sini, Bu." Mereka berkumpul di ruang tamu.
Malam sudah larut dan para pelayat sudah pergi.
"Kamu sendirian di sini, apa itu tidak bahaya?" Mirna membereskan amplop yang selesai mereka buka dan memasukkan uang takziah ke dalam sebuah bungkusan.
Dia dan suaminya sengaja menginap untuk menemani Nania.
"Di sini aman, Bu. Tetangga Nia baik. Mereka juga yang membantu menjaga ayah kalau Nia kerja."
"Kamu ini anak ibu! Kalau ibu bilang ikut ya ikut. Menurut kenapa sih? Ayahmu sudah tidak ada dan hanya ibu yang kamu punya!" Perempuan itu meninggikan suaranya.
"Nania! Dengar tidak?" katanya lagi.
"De-dengar, Bu."
"Sekarang bereskan bajumu, kita pergi besok pagi!" ucap sang ibu lagi.
"Tapi Bu, ini bahkan belum seminggu ayah meninggal." Nania menunduk, tidak berani menatap wajah ibunya.
"Memangnya apa yang mau kamu tunggui? Ayahmu tidak akan kembali dan kamu akan tetap sendiri."
"Se nggaknya, Nia mau mendoakan ayah sampai hari ke tujuh. Seperti orang-orang."
"Tidak perlu! Itu tidak berguna, dan tidak ada anjurannya juga di agama kita. Untuk apa kamu melakukan hal yang tidak berguna seperti itu?"
"Tapi Bu? Sayang rumah ini kalau Nia pergi. Nanti gimana kalau …."
"Kita jual saja. Dan kamu bisa tinggal dengan ibu."
"Dijual?" Nania terhenyak.
"Ya. Nanti kita hubungi pembeinya. Sekarang, cepat bereskan pakaianmu dan tidur!"
Nania tertegun. Entah mengapa dia tidak bisa menolak ucapan ibunya. Hal tersebut memang selalu terjadi setiap kali mereka bertemu.
"Nania?"
"I-iya Bu." Gadis itu segera masuk ke dalam kamarnya dan melakukan apa yang ibunya perintahkan.
Sementara diluar kamar dua orang tersebut tertawa kegirangan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Maafkan Nia Bi, kalau sering merepotkan?" Dia berpamitan kepada tetangga yang selama bertahun-tahun hidup bersama.
"Kenapa harus pindah? Ayahmu baru meninggal kemarin, Nak?" Sang tetangga memeluknya dengan bercucuran air mata.
"Iya, kami khawatir kalau meninggalkannya sendirian di sini." Mirna menyahut dari belakang putrinya.
"Padahal dia aman di sini, Bu. Kami sudah menganggapnya seperti anak sendiri."
"Tetap saja, saya merasa khawatir." jawab Mirna, seramah mungkin.
"Tapi kenapa juga rumahnya harus dijual? Kan sayang?" Perempuan berkerudung itu melirik ke arah rumah sederhana milik Nania dan ayahnya yang sudah dipasangi spanduk bertuliskan dijual.
"Nania tidak akan kembali lagi kesini, Bu. Dan dia butuh untuk melanjutkan sekolah." jawab Mirna lagi.
"Begitu?" Sang tetangga menatap wajah sendu Nania.
"Iya, kami permisi?" Lalu Mirna segera menarik putrinya pergi.
***
Nania menatap rumah sederhana itu dalam diam. Akhirnya dia harus kembali ke tempat tersebut setelah bertahun-tahun pergi mengikuti sang ayah setelah perceraian kedua orang tuanya.
Tepatnya, sang ibu yang menyerahkannya kepada pria itu untuk di asuh karena dia merasa tidak sanggup mengasuh dua anak dalam keadaan menjanda.
Seorang pria muda yang lebih tua darinya keluar dari dalam rumah. Dengan penampilan urakan seperti biasa. Mengenakan celana dan jaket jeans robek-robek dengan sebatang rokok menyala di mulutnya.
"Balik juga lu?" katanya kepada Nania.
"Bu, minta duit dong. Sandi mau nongkrong." dia menengadahkan tangan kepada ibunya.
"Nongkrong terus kerjaan kamu?" Mirna berujar, tapi tak urung juga dia memberikan beberapa lembar uang kepada anak pertamanya itu.
"Widihhhh, banyak duit nih?" Sandi mengintip ke dalam tas sang ibu, dan dia menemukan segepok uang dengan nominal yang cukup banyak untuk ukuran mereka.
"Nggak sopan! Sana pergi!" Mirna menepuk kepalanya.
Sandi tertawa, lalu dia pergi dengan motornya yang berisik.
"Nania?" Kemudian seorang perempuan tua lainnya muncul, dan inilah yang membuat Nania sedikit tersenyum.
"Nenek?" katanya seraya meghambur ke pelukan neneknya.
"Ayah udah nggak ada Nek." adunya, dan dia kembali terisak.
"Yang sabar, Nak. Tidak apa-apa. Kamu pasti kuat." katanya, menguatkan.
"Ayo masuk?" Sang nenek menariknya ke dalam rumah.
Sebuah kamar yang tidak terlalu besar terletak tepat di bawah tangga. Yang Nania ketahui sebagai kamar neneknya.
"Kamu tidur dengan Nenek ya?" Perempuan itu berujar.
Nania tertegun sebentar. Namun kemudian dia menganggukkan kepala.
Memangnya apa yang dia harapkan? Ibunya tentu saja tidak akan menyiapkan hal khusus untuknya. Tapi ini lebih baik dari pada tidur di tengah rumah dengan orang asing yang setiap waktu akan berkeliaran. Begitu pikirnya.
💖
💖
💖
Bersambung ....
Udah tiga nih gaess. Hadiahnya mana?"😂😂😂
Meet Nanianya Pak Daryl
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!