NovelToon NovelToon

BISU

#1

...Episode 01...

Malam yang indah, aku  berdiri dan memandangi bulan dari jendela kamarku. Bulan yang bersinar dikelilingi bintang-bintang terlihat sangat indah. Aku memandanginya dengan kagum. Tetapi, semua keindahan ini tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Seandainya, takdir Tuhan berkata lain, aku sangat ingin mengungkapkan semua yang ku rasakan, termasuk kesedihanku. Terkadang, aku sangat sedih sampai air mataku tidak keluar lagi.

Tetapi, dimalam ini semua kesedihan-kesedihanku selama ini sudah tidak ada lagi, karena aku sangat bersyukur atas hidup yang diberikan Tuhan.

Usiaku hari ini genap dua puluh delapan tahun. Di usiaku yang sekarang, aku telah banyak menjalani dan merasakan warna-warni kehidupan. Sama seperti bulan dan bintang yang sedang aku pandangi.

Bulan yang selalu bersinar saat malam, bintang yang jumlahnya tak terhitung, berbagai bentuk dan ukuran, ada yang terang, ada yang redup. Bintang yang redup mengingatkanku kepada kenangan-kenangan pahit yang pernah aku jalani.

Tepatnya dua puluh delapan tahun yang lalu, aku dikandung Ibuku selama 8 bulan. Aku lahir tidak sesuai umur kandungan pada umumnya atau lebih tepatnya aku lahir prematur.

Semua ceritaku sejak aku lahir sampai aku berusia 5 tahun disampaikan oleh nenekku, saat aku berusia 17 tahun. Semua cerita itu, akan aku ceritakan di buku ini dengan bahasa ku sendiri.

Dua puluh delapan tahun yang lalu, ibuku mengandungku dengan segala cobaan yang harus di lalui nya. Umur kandungannya yang mulai beranjak ke 8 mengalami masalah.

Malam itu, perut ibuku terasa sakit sekali. Darah mulai menetes dan mengalir di kakinya. Ayah yang panik akan kondisi Ibu dan kandungannya, langsung membawanya ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit Ibu di taruh dan dirawat sementara di ruang UGD . “Sakit sakit… Ayah dimana Dokternya aku sudah tidak tahan!” Berteriak kesakitan.  Ibu yang pada saat itu baru pertama kali mengandung merasa sangat tersiksa.

“Sabar Bu, sebentar lagi dokternya datang.” Ayah menjawab dengan paniknya.

Lama… ditunggu, ayah sudah tidak sabar lagi menemui petugas administrasi dan menanyakan kapan Ibuku bisa dirawat di ruang perawatan kemudian bisa diperiksa dokter kandungan.

“Masukan istriku di ruang perawatan dan panggil Dokternya!” Teriak dengan nada bicara marahnya.

“Maaf bapak, mohon menunggu sebentar lagi karena ruang perawatan sedang kami siapkan. Dokter sudah menuju ke ruang UGD dan bisa langsung memeriksa istri Anda.” Terlihat gelagat petugas itu ketakutan dan menjawab dengan sabarnya.

Sebelum aku lanjutkan cerita ini, aku akan memperkenalkan Ibuku. Ibu adalah Wanita yang memiliki paras yang sangat cantik dan yang tidak kalah penting Ibu adalah seorang seniman.

Dia dikenal perempuan cerdas dalam melukis. Banyak orang yang kagum dengan lukisannya, karena paras cantik dan bakatnya itu, ibu mendapat banyak penghargaan dan disorot banyak stasiun TV ternama.

Sedangkan ayah adalah seorang pengusaha sukses dan memiliki banyak perusahaan. Suara langkah kaki mulai terdengar dari arah lorong ruang dokter.

Terlihat dokter yang akan memeriksa Ibuku. Ayah yang melihat dokter itu berjalan langsung mendatanginya dan mengarahkan tempat istrinya berada.

Dokter itu mulai memeriksa ibu. Tak banyak memeriksa, dokter itu langsung berkata dengan perawat, “Siapkan ruang operasi, kita akan mengeluarkan bayi yang ada dikandungan Ibu ini.”

Jawab perawat itu, “Baik Dok.”

Ayah yang ketakutan kemudian berkata dengan Dokter tersebut, “Saya suaminya, anak dan istriku pasti bisa diselamatkan kan, Dok?” suaranya lemas.

Dokter itu menjawab, “Kami akan lakukan yang terbaik Pak, silahkan mengurus persyaratan operasinya agar kami bisa langsung menangani istri anda.” 

Ayah yang pada saat itu sangat ketakutan langsung mengurus semua keperluan operasi dan persyaratannya.

Dibawa lah Ibu ke ruang operasi. Di depan pintu ruang operasi, ayah di halangi ketika ingin ikut masuk. Perawat yang menghalangi ayah berkata, “Maaf Pak, anda tidak bisa masuk, tolong tunggu diluar.”

Ayah menjawab, “Saya ini suaminya jadi tolong biarkan saya menemani istriku di dalam,”  memohon dengan nada memelas.

Tetapi, permintaan ayah yang ingin menemani ibu tidak di setujui. Perawat itu berkata dengan tegas, “Maaf Pak untuk kelancaran operasi dan memang peraturannya seperti itu Bapak tidak boleh masuk jadi tolong bersabar dan menunggu sampai operasinya selesai.” Perawat tersebut langsung menutup dan mengunci pintu.

Ayah duduk di kursi depan ruang operasi bersama nenek. Menunggu lama, kepanikan ayah tidak bisa ditahan, mondar mandir di lorong itu.

Nenek melihat tingkah anaknya itu berbicara, “Duduk sini, tunggu dengan ibu berdoa dan percaya pasti anak dan istrimu baik-baik saja.”

Ayah yang tak bisa berfikir jernih lagi, tidak mendengarkan perkataan nenek. Masih terbawa rasa takut dan kepanikannya karena sudah menunggu 1 jam lebih tetapi operasi itu belum selesai juga.

Akhirnya Dokter itu keluar dari ruang operasi, ayah langsung menemuinya dan berkata, “Dok, gimana kondisi anak dan istriku?”

“Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar. Anak dan istri anda bisa terselamatkan, tapi...”

“Tapi apa Dok?” Disambarnya perkataan Dokter yang belum selesaikan menjelaskan.

Dokter itu menjawab, “Anak bapak lahir tidak menangis, kami khawatir ada gangguan di suara”

“Maksud Dokter, anak saya bisu?” ucap ayah dengan nada keras.

Dengan nada menenangkan Dokter melanjutkan perkataannya, “Maaf Pak, kami belum bisa menyimpulkan seperti itu, hanya ada indikasi anak bapak tidak bisa mengeluarkan suaranya. Untuk lebih jelasnya kami butuh pemeriksaan lebih lanjut.” Setelah mengatakan itu Dokter dan Perawat pergi.

Mendengar pernyataan Dokter, Ayah seketika lemas duduk di samping nenek meneteskan air matanya.

“Bu, seandainya anakku bisu aku tidak bisa membayangkan hidup yang akan dijalaninya," ucap ayah kepada nenek.

Air matanya terus menetes tak sanggup melihat anak tersayangnya. Nenek yang pada saat itu tak tau harus bagaimana hanya memeluk ayah.

Nenek berkata, “Sabar Nak, ini cobaan. Seandainya cucuku bisu dia tetap cucuku dan kamu sebagai ayahnya harus merawatnya dengan baik apapun kondisi anak itu, sekarang lebih baik kita masuk melihat kondisi istri dan anakmu.”

Nenek dan ayah berdiri dari tempat duduknya. Istri dan anaknya tiba-tiba keluar dari ruang operasi. Istri yang berbaring di tempat tidur, didorong oleh perawat dan anaknya di dalam kotak kaca incubator menuju ruang perawatan.

Ayah berjalan mengikuti istrinya dan tidak lepas tangannya dari tangan istrinya, sambil mengelus-elus kening, dan matanya terkadang melihat anaknya.

Ayah berkata dengan nenek, “Bu tolong temani anakku, aku mengantarkan istriku dulu, nanti aku ke ruang perawatan khusus bayi.”

Ibu yang sudah sadar menanyakan kondisi anaknya itu dengan suaminya, “Ayah dimana anak kita?” suaranya lirih lemas.

“Anak kita ada di ruang perawatan khusus, dia sedang tidur manis di sana,” jawab ayah, berkata dengan menahan tangisnya.

“Kenapa Ayah terlihat sedih?”

“Enggak papa sayang. Ayah bahagia melihat anak dan istri tersayang sehat dan bisa di selamatkan.” Ayah meneteskan air mata yang tak terbendung lagi.

“Jangan bohong Ayah, ibu tau Ayah sedang berbohong,” ucap ibu.

Air mata ayah tak berhenti menetes, mulai pecah tangisnya saat ingin mengatakan apa yang terjadi dengan anak tersayangnya itu.

“Sebenarnya…” suara ayah lirih, tiba-tiba hilang. Tak sanggup mengatakan hal sebenarnya.

“Sebenarnya apa Yah?” bentak Ibu.

#2

...Episode 02...

Ayah menahan kesedihannya dan menenangkan diri, kemudian melanjutkan kata-katanya. “Anak kita di diagnosis tak bersuara.” Tangisnya pecah lagi. Sekuat apa Ayah menahan kesedihan dan tangisnya ternyata tak bisa.

Mendengar anak yang dikandungnya tak bisa bersuara, Ibu menangis sambil memukul-mukul tempat tidurnya dan berkata, “Kenapa… kenapa… kenapa harus terjadi pada anakku?!”

Ayah memeluk ibu yang sedang berbaring di tempat tidurnya berbisik dengan suara yang terbata-bata karena menahan kesedihannya.

“Sabar Bu, sabar. Apapun yang terjadi, aku akan melindungi keluarga kita.” ucap ayah.

Larut dalam kesedihan dan tak terima anaknya bisu, ibu mulai menyalahkan takdir dan membenci takdir yang Ia terima. “bagaimana sampai orang-orang tau, pelukis ternama memiliki anak bisu,” ucap Ibu. “kenapa ibu bilang gitu. Kita harus bisa terima anak kita dan membesarkannya dengan baik. Lebih baik ibu istirahat saja,” ucap ayah.

Sebenarnya ayah sangat kaget dan tak paham istrinya bisa mengatakan kata-kata itu dari mulutnya, padahal dia adalah ibunya dan yang mengandung anaknya sendiri, masih bisa memikirkan tentang karir.

Ibu yang pada saat itu sangat lelah, baik pikiran dan fisik, tertidur. Ayah yang melihat ibu sudah tertidur pergi untuk melihat, aku yang pada saat itu masih terdiam di incubator.

Sesampainya di ruang perawatan khusus bayi, ayah memandangi anaknya yang ada di dalam incubator. Matanya berkunang-kunang, kemudian mulai meneteskan air matanya.

Melihat anaknya begitu cantik, hidung yang mancung, rambut yang lebat, harus menerima kenyataan dirinya tidak bisa berbicara seperti anak lainnya.

Terdengar suara adzan yang merdu dan lirih dari mulut ayah. Suaranya sedikit sedikit berhenti, air mata mulai deras keluar dari matanya. Di kondisi seperti itu, nenek selalu mendampingi ayah.

Mengelus dada ayah dan selalu mengatakan, “Sabar… anakku.”

“Lihat anakku Bu, cantik bukan? Dia akan menjadi wanita kuat dan bahagia. Aku akan menjaganya, meski harus mengeluarkan darah dan mengorbankan nyawaku sendiri," ucap Ayah, dan menaruh keningnya di kaca incubator.

Hari itu berlalu, kondisi ibu dan aku sudah bisa membaik dan diperbolehkan pulang. Sehari sebelum kepulangan, ayah sudah mendapat hasil pemeriksaan secara mendetail tentang kondisiku.

Kesimpulan Dokter bahwa aku benar-benar bisu karena, pertumbuhan ku yang belum sempurna, ada kerusakan pada pita suara. Tetapi masih bisa mendengar. Sesampainya di rumah, Ibu menggendongku dan menyusuiku.

Hati ibu yang merasa sakit melihat anaknya harus lahir menerima takdir yang begitu berat. Ibu memberikan ASI nya kepadaku. Di samping ibu, ada ayah dan nenek yang menemani.

Ibu berkata dengan ayah, “Sementara tolong  sembunyikan keberadaan anak ini, jangan sampai orang lain mengetahui bahwa anak ini adalah anakku. Aku menyayanginya tetapi, aku juga menyayangi karirku sebagai pelukis. Aku tak mau menjadi gunjingan banyak orang.”

Waktu pun, berlalu sangat cepat, sejak saat itu, sudah berjalan 3 bulan. Aku yang sudah mulai membuka mata, sudah bisa melihat indahnya dunia, walau mulutku terkunci.

Ayah yang selalu menggendongku, nenek yang selalu bernyanyi untukku, ibu yang sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah, bahkan aku harus berhenti minum ASI dan digantikan susu formula.

Tak bisa dipungkiri, aku hanya anak yang disembunyikan meski keluargaku sangat menyayangi diriku. Jalan 5 bulan, di hari itu, Ibu pulang dan menggendongku, tidur di sampingku, dan memelukku.

Ayah yang sangat bahagia, karena melihat Ibu sangat menyayangiku, berkata dengan ibu, “Hari ini aku sangat bahagia, istri dan anakku terlihat sangat hangat dan aku berharap suasana ini tidak akan hilang.” Ibu hanya tersenyum dan diam.

Di malam itu, ayah izin dengan Ibu harus pergi ke kantor karena ada masalah yang harus di selesaikan. Pagi harinya Ibu menggendongku dan menciumiku. Tapi, ia meneteskan air matanya.

Setelah itu aku dititipkan oleh nenek, sebelum ibu pergi berangkat kerja. Ibu berkata dengan Nenek, “Tolong Bu, jaga anakku.”

Nenek menjawab, “Pasti, ibu akan menjaga anakmu.”

Sejak saat itu Ibu tidak pernah kembali lagi, Ia pergi meninggalkan anak dan suaminya. Ayah selalu mencari keberadaan Ibu. Kesana-kemari bahkan sampai keluar kota dan menyuruh bawahannya untuk mencari, tetapi hasilnya nihil.

Putus asa karena tidak bisa menemukan istrinya, ayah berhenti mencari Ibu dan mulai membenci istrinya tersebut. Menganggap bahwa istrinya adalah wanita yang tak pantas menjadi sosok ibu dan istri.

Tetapi, ayah tidak bisa membohongi perasaanya, kebenciannya bercampur dengan rasa sayang terhadap istrinya. Sejak saat itu ayah selalu mabuk-mabukan.

Padahal sebelumnya, ayah tidak pernah menyentuh sedikitpun alkohol, rokok. Pulang kerja yang ia cari anaknya yaitu aku, kondisi mabuk pun, ayah selalu tidur di sampingku.

Keadaan ayah sangat memprihatinkan, nenek yang sudah sangat tidak tahan melihat kondisi anaknya itu mulai memberanikan diri berbicara dan menasehatinya.

Nenek berkata dengan ayah, “Nak dulu aku membesarkan kamu tanpa sosok ayah, dengan kondisi tidak punya uang, selalu jadi gunjingan banyak orang. Tetapi, ibu selalu kuat dan terus ingin menjadi orang tua yang baik untuk anaknya. Lihat kondisimu sekarang apakah pantas kamu disebut ayah yang baik? Setiap pulang ke rumah selalu dalam kondisi mabuk. Kamu masih punya anak yang harus kamu besarkan, kamu masih harus berjuang untuk kebahagiaan anakmu, kata-kata itu kan yang kamu ucapkan ketika anakmu ini lahir?”

Tangis Ayah pecah, kemudian menggendongku dan menciumiku, berkata, “Maaf sayang, ayah janji akan menjadi ayah yang baik untukmu….” Sejak saat itu ayah berubah dan berhenti mabuk-mabukan.

Melihat ibunya sudah tua, ayah tak tega melihat nenek harus mengurusi aku sendirian, akhirnya mencari baby suster untuk merawat ku, saat ayah sibuk dengan pekerjaannya.

Di malam hari, aku selalu tidur di samping ayahku. Saat ayah tidak bekerja, meluangkan waktunya dan bermain denganku. Waktu yang berlalu sangat cepat, tak terasa sudah berjalan 2 tahun.

Aku sudah bisa berjalan dan mulai di kenalkan pada tulisan, ada guru khusus yang datang ke rumahku. Ayah sengaja memperkenalkan huruf dan angka sedini mungkin, agar aku bisa menulis.

Menurut ayah, dengan tulisan, aku lebih mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Yang aku ingat, bukan hanya tulisan yang di ajarkan oleh guruku itu, tapi beliau juga mengajarkanku bahasa isyarat.

Benar saja saat usiaku 5 tahun, aku sudah menguasai bahasa isyarat dan bisa menulis. Aku sangat bersyukur meski aku bisu, aku masih bisa mendengar.

Guruku sangat bangga dan bahagia, karena aku berbeda dengan anak lainnya, aku cepat bisa, daya ingat yang kuat, dan dikatagorikan anak genius.

Semua itu adalah cerita yang aku dengar dari nenekku, sejak usiaku 5 tahun. Aku selalu mengingat semua kejadian yang pernah aku alami, sampai saat ini dan tak akan pernah aku lupakan.

#3

...Episode 3...

Karena aku sudah bisa menulis, ayah memberikan buku dan pena. Ayah berkata denganku, “Gunakan buku dan pena untuk menulis apa yang ingin anak ayah bicarakan dan jika ada orang yang tidak paham dengan bahasa isyarat.” 

Aku mulai menulis, “Ibuku dimana, Ayah?”

“Ibumu sudah tidak ada lagi, jangan tanyakan ibumu lagi, disini ada ayah dan nenek. Ayah harus segera berangkat kerja, anak ayah ditemani nenek ya…, jangan nakal ya sayang,” ucap ayah.

Ayah pergi kerja, saat ayah tidak di rumah aku selalu di temani nenek. Nenek bagiku sudah seperti sosok ibu, nenek selalu bercerita menemaniku bermain dan tidur siang.

Saat tidur siang, aku terbangun dan melihat nenek yang sedang tidur pulas di sampingku. Aku pergi ke dapur untuk mengambil minum.

Setelah minum, aku melihat ada pintu gudang terbuka, karena penasaran aku masuk ke sana dan melihat banyak sekali kain-kain putih menutupi benda berbentuk persegi.

Berjalan dan perlahan membuka salah satu kain itu, ternyata benda yang tertutup kain itu adalah sebuah lukisan yang sangat indah.

Melihat satu-persatu lukisan yang ada di gudang, membuat hatiku sangat bahagia. Disaat itulah aku mulai menyukai lukisan.

“Hani… Hani… Hani…!” Nenek memanggil. Terdengar olehku suara nenek memanggil.

Aku bergegas pergi dan menutup pintu gudang. Nenek bertanya denganku, “Hani dari mana?”

Aku menulis dibuku yang selalu ku bawa, “Dari minum, Nek.”

“Kirain kemana, nenek nyariin Hani. Besok kalau mau apa-apa bilang dulu ke nenek,” ucap nenek.

Aku hanya mengangguk. Hari-hari berikutnya aku datang ke gudang untuk melihat lukisan-lukisan itu, tanpa sepengetahuan nenek. 

Melihat keindahan lukisan itu, tanganku tiba-tiba bergerak mengikuti bentuk gambar, seolah-olah aku sedang melukis ulang gambar yang ada di depan mataku.

Tak terasa aku sudah lama di dalam gudang, ternyata nenek mencari kemana-mana. Tak sadar nenek sudah ada di belakangku, kagetnya aku ketika nenek menepuk pundak ku.

Nenek berkata, “Hani suka lukisan…?”

Aku hanya mengangguk. “Sini sayang duduk dipangkuan nenek, nenek mau cerita tentang ibumu.”

Aku sangat senang ketika mendengar tentang ibu. Ibu yang selama ini belum pernah ku lihat, bahkan belum pernah mendengar cerita tentangnya. Aku duduk di pangkuan nenek dan nenek mulai bercerita tentang ibu.

“Ibumu adalah wanita yang cantik, sama sepertimu. Mukanya sangat mirip denganmu, matanya, dan hidungnya. Dia adalah seorang pelukis terkenal.

Banyak orang yang mengagumi lukisan-lukisannya. Sekarang lukisan yang Hani lihat, itu semua lukisan ibumu, Hani. Hari-harinya hanya duduk disini dan mulai melukis.

Nenek tidak terkejut, ketika Hani menyukai lukisan, karena memang Hani anak dari seorang pelukis berbakat. Tetapi… jangan sampai ayahmu tau kalau Hani suka melukis, karena ayahmu membenci lukisan.”

Aku yang penasaran kenapa ayahku tak suka lukisan, bertanya dengan nenek, menulis dibuku, “Kenapa ayahku tak suka dengan lukisan?”

“Nanti Hani tau alasan kenapa ayah Hani tidak suka lukisan, saat Hani sudah besar ,” jawab nenek.

“Assalamualaikum, sayang ayah pulang!” suara ayah masuk ke rumah.

Mendengar ayah pulang aku dan nenek bergegas keluar dari gudang, kemudian aku berlari ke arah ayah dan memeluknya. Aku di gendong ayah.

“Uluh-uluh... anak ayah manjanya, anak ayah udah makan kan ?” Bertanya penuh perhatiannya. 

Aku sangat sayang dengan ayahku. bagiku, tak  ada yang bisa menandingi perhatiannya. Aku menjawab hanya dengan mengangguk.

“Besok, ayah libur sayang, kita liburan ke pantai dengan nenek juga ya.”

Kali ini aku menulis di buku, “Hore, janji ya, Yah. Besok kita main ke pantai.”

“Iya sayang janji, sekarang ayah mau mandi dulu, masa anak ayah udah wangi ayahnya bau kecut,” ucap ayah.

Aku turun dari gendongannya, ayah pergi mandi dan aku nonton TV dengan nenek. Sedang asik-asiknya nonton TV, terdengar dengkuran. Ternyata nenek tidur di sebelahku.

Melihat nenek sangat lelah, aku merasa kasihan kemudian aku menyelimutinya. Hari sudah larut malam.

“Sayang istirahat, sini tidur sama ayah, lihat ni…” ayah memamerkan buku dongeng yang baru ia beli.

Aku sangat senang dan langsung berlari ke kamar ayah. Nenek terbangun, karena suara langkah kakiku, kemudian nenek pindah ke kamarnya. Aku mulai tidur di samping ayah dan ayah mulai membacakan dongeng yang barusan dipamerkannya.

“Sayang, judul dongengnya, Ibu Semut,”

Ayah melanjutkan ceritanya, “Pada suatu hari, ada seekor anak semut yang berjalan dengan ibunya, ibunya sangat  menyayanginya, setiap pergi anak semut ini selalu dibawa.

Pada suatu ketika ibu semut terpisah dari anaknya. Ibunya sangat ketakutan, mencari ke sana kemari tetapi, tidak ada. Tak lama hujan turun ibu semut merasa sangat khawatir berkata dimana anakku?, ia menangis takut terjadi sesuatu dengan anaknya.

Anaknya yang masih sangat kecil, tak tau jalan pulang, tak tau ada dimana, tersesat di dalam hutan yang sangat luas dan kedinginan. Berteriak, ibu…ibu…ibu, aku takut !, berteriak terus menerus sambil menangis.

Anak semut itu benar-benar ketakutan, merasa akan kehilangan ibunya. Tiba-tiba ada seekor cicak muncul di depannya, anak semut itu berlari ketakutan.

Lari terus berlari sambil berteriak memanggil ibunya. Tetapi, lari anak semut itu sangat pelan, karena Langkah kaki yang panjang dan cepat, cicak hanya berjalan sudah sampai lagi di depan anak semut, akhirnya anak semut terpojok, hanya bisa menangis.”

Aku memegang ayah dan meminta untuk berhenti bercerita dengan bahasa isyarat. Kemudian aku  menulis dibuku, “Ayah, aku tidak mau menjadi semut, aku ingin memiliki ibu.”

Membaca tulisanku ayah tersenyum dan mencium keningku. Kemudian berkata, “Sudah malam sayang, besok kita lanjutkan lagi dongengnya. Anak ayah sekarang tidur besok kita jalan-jalan.” Ayah berbicara dengan nada bicara sedih.

Aku mencium ayah dan bergegas tidur. Tidur di pelukan ayah yang sangat aku sayangi.  Jika waktu bisa ku ulang, aku tidak akan mengatakan bahwa aku ingin memiliki ibu.

Perkataan ku waktu itu adalah hal yang menyakitkan untuk ayah. Dimalam itu aku terbangun dan melihat ayah yang sedang tertidur, aku melihat dari matanya meneteskan air mata.

Aku yang pada saat itu tidak tau apa-apa, hanya berfikir ayah sedang bermimpi buruk. Aku menghapus air matanya dan mulai tidur lagi.

Keesokan harinya, “Ayo sayang, cepat nanti kesiangan, panggil nenek juga,” ucap ayah di depan mobil.

“Sabar…, ini cucu nenek masih di dandani layaknya Putri salju.” Nenek tersenyum.

Mukaku memerah, hatiku senang mendengar perkataan nenek. Suara langkah kaki ayah terdengar masuk lagi ke rumah dan berkata, “Coba ayah mau lihat,”

Mendekat dan melihatku, “Ya Allah cantik banget anak ayah,” ucap ayah, melanjutkan perkataan yang tadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!