"Dengan berat hati saya sampaikan... dari hasil pemeriksaan medis atas nama Tuan Axelle Flynn. Di sini disebutkan bahwa terdapat kelainan dalam hal kualitas sp*rma. Hal ini membuat Anda akan kesulitan atau bahkan tidak bisa memiliki keturunan."
"Ta-tapi bagaimana bisa, Dok? Selama ini saya selalu menerapkan pola hidup sehat!" sanggah seorang pria, tidak bisa menerima hasil pemeriksaan tersebut. "I-ini sangat mustahil. Bahkan saya bukan seorang pemabuk. Pasti terdapat kesalahan, saya yakin itu!!"
Bagaimana ia bisa menerima hal yang dikatakan dokter padanya barusan, jika hal tersebut meluluhlantakkan harga dirinya sebagai pria terhormat di depan sang istri tercinta. Tidak bisa memiliki keturunan? Mandul? Tidak berguna? Berbagai pertanyaan muncul di dalam pikirannya.
"Sudah aku katakan berulang kali, semua masalah berakar dari kamu!" timpal sang istri. "Selama ini aku selalu disalahkan karena tidak bisa memberikan keturunan. Padahal, ternyata yang mandul itu kamu, bukan aku!" tunjuknya gemetaran.
Pria yang mengenakan jas berwarna putih mendesah pelan, sebab percekcokan antara pasangan suami istri di depannya. "Lebih baik pembahasan penting ini didiskusikan di rumah dan bicarakanlah dengan kepala dingin."
"Lalu bagaimana dengan hasil pemeriksaan istri saya, Dok?" potong si pria, penasaran.
Dokter membuka amplop kedua dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam benda tipis tersebut. "Em... hasil cek medis atas nama Nyonya Barbara Chloe tidak ada masalah apa-apa. Semuanya bagus, tidak ada yang perlu dikuatirkan."
"Kamu dengar, 'kan, apa yang dikatakan Dokter? Jadi tidak alasan untuk kita tidak bercerai!" jawab si istri bernada sinis.
Pria yang bernama Axelle Flynn tertawa hambar dan mencengkeram kuat kedua pipi sang istri. "Jangan pernah bermimpi kalau aku akan menceraikanmu, Chloe! Karena sampai kapan pun kamu adalah istriku, tetap istriku!! Camkan itu!!!"
________
Sudah satu tahun usia pernikahan antara Axelle Flynn dengan Barbara Chloe. Namun, mereka belum juga dikaruniai keturunan. Nada-nada sumbang dari orang di sekitar selalu menjadikan Chloe sebagai pelampiasan atas ketidak berdayaannya memberikan anak. Padahal ada rahasia besar yang dia simpan mengenai suaminya dan tidak lama lagi akan dia buka di hadapan seluruh keluarga.
"Menantumu belum hamil juga?" sarkas seorang tamu undangan. "Sayang sekali, tidak akan ada penerus Flynn Company nantinya," tambahnya seakan ingin merasa puas.
Seorang wanita dengan rambut disanggul, hanya bisa memendam rasa tidak nyaman di dalam hati. "Aku selama ini memikirkan itu semua. Bahkan, aku menawarkan beberapa perempuan untuk dijadikan simpanan dan membeli rahimnya. Tetapi, Axel menolak tawaranku. Dia begitu mencintai istrinya. Meski dia tahu, perempuan itu tidak pernah membalas cintanya sedikit pun."
"Malang sekali nasib putramu, mendapatkan istri melalui paksaan. Dan lihat hasilnya sekarang? Hidupnya tidak bahagia...."
Edelin mendesah, "Apa ini balasan dari sikap arogan kami yang menginginkan Chloe menjadi bagian dari keluarga kami, hanya untuk menyenangkan hati Axelle semata?"
Para wanita yang bersama Edelin hanya mengangkat kedua bahunya ke atas secara bersamaan. "Ntahlah... kami bukan Tuhan yang bisa menjawab pertanyaan seperti itu!"
Edelin mengangguk lemah lalu menatap nanar ke arah putra semata wayangnya. Hari ini adalah anniversary satu tahun pernikahan Axelle dengan Chloe. Tampilan kebahagiaan yang mereka pamerkan kini, tidak dapat menutupi guratan kepedihan. Bibir boleh tersenyum. Namun, hati menangis pilu.
"Sampai kapan kita akan berpura-pura bahagia di depan semua orang Axelle? Apa kau tidak lelah terus saja bersandiwara?" tekan Chloe di saat tamu undangan sudah mulai berkurang.
"Aku bahagia Chloe... tidak ada kepura-puraan di dalam hidupku!" tegas Axelle menatap lembut pada wanita yang dicintainya.
Chloe menatap balik Axelle dengan pandangan jengah. "Tetapi aku menderita menikah dengan pria mandul sepertimu. Aku ingin bebas, aku ingin memiliki anak! Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki tak berguna sepertimu?"
"Harta!!" jawab Axelle. "Semua hartaku yang melimpah ini adalah milikmu, sayang..." tambahnya seakan tidak memahami perasaan seorang wanita.
Chloe menggeleng-gelengkan kepala, setetes kesedihan lolos dari kelopak matanya. "Aku tidak kekurangan harta, Axelle! Aku hanya ingin hidup bahagia dengan laki-laki yang aku cintai. Menjalin rumah tangga dengannya lalu memiliki anak darinya."
"Tapi kedua orang tuamu menginginkannya, bukan?" Axelle menarik kedua alisnya ke atas. "Mereka tidak mempedulikan anak keturunan, yang mereka pikirkan hanya harta kekayaan keluarga Flynn!"
Chloe terkekeh, "Itu karena mereka belum tahu saja kalau kamu mandul. Bisa kamu bayangkan bagaimana respon mereka kalau mengetahui fakta tentangmu yang lemah dan tidak berguna?"
Perdebatan antara Axelle dan Chloe lambat laun menjadi pusat perhatian orang-orang. Karena saat ini keadaan di dalam gedung tidak terlalu ramai. Namun, polemik apa yang sedang mereka bahas saat ini, tidak ada satu pun yang mengetahuinya.
"Kita bicara lagi nanti di kamar, biar lebih relaks." Axelle memasang wajah penuh senyuman kepada orang-orang yang menyorotnya heran.
Chloe tahu persis arah dari perkataan Axelle barusan. Dia mencebikkan bibir mengisyaratkan ketidaksukaan. "Aku lelah, malam ini aku ingin tidur. Lebih baik kamu mencari jalangg saja, aku malas melayanimu!!"
Axelle menoleh ke arah sang istri. Perkataan Chloe begitu melukai sanubarinya sebagai seorang lelaki. Wajah penuh senyuman seketika layu karena sebesar apa pun cintanya, masih saja tidak bisa meluluhkan kebekuan hati seorang Chloe. "Aku mencintaimu... kapan kamu bisa membalas perasaanku?"
Chloe tersenyum sinis. "Never and never!! Sudah berapa kali aku katakan, aku tidak mencintaimu Axelle. Aku mencintai pria lain!!"
Axelle menyalang tajam. "Katakan, siapa lelaki yang kamu cintai itu? Biar aku lenyapkan dia dari muka bumi ini!!"
"Kamu sinting, Axell!!!"
"Ya, aku memang sinting, Chloe! Mencintaimu membuat setengah kewarasanku, hilang!!!"
"Aku ingin cerai darimu, Axelle. Aku ingin bercerai...!!"
...*****...
"Sebentar lagi hari jadian kita yang ke tiga tahun. Kamu menginginkan hadiah apa dariku?"
Seorang pria yang tengah merebahkan kepala di atas paha sang kekasih tersenyum nakal sembari menggigit tipis ujung bibir bawahnya. Ide-ide kotor pun sontak berkelibat di dalam pikiran. "Memangnya, kamu akan memberikan apa yang aku pinta?"
"Tentu saja," jawab si perempuan lugas.
"Apa pun?" tanya si lelaki meyakinkan.
"Apa pun!" jawab si perempuan tanpa keraguan. "Apa sih yang tidak bisa aku berikan? Selama ini segala yang kamu mau, bukankah selalu aku kabulkan?"
Dara manis yang kini berusia dua puluh lima tahun, begitu mencintai kekasihnya. Segala sesuatu selalu ia berikan untuk membahagiakan orang tersayang. Namun, satu hal yang masih ia jaga hingga saat ini, yakni kehormatannya.
Bukan hal tabu di negara tempat ia mengais rezeki bila melakukan hubungan suami istri di luar status yang sah. Akan tetapi, ia telah berjanji kepada sang ibu, bahwa ia akan menjaga satu-satunya harta yang ia miliki hingga waktunya tiba.
"Aku menginginkanmu, honey..." balas si lelaki ambigu.
"Apa maksudmu, Daniel?" Louisa termenung, berusaha mencerna arah perkataan kekasihnya.
Daniel beranjak dari atas pangkuan sang kekasih, lanjut menarik dagu gadis tersebut dan mengecup bibirnya lembut. "Aku ingin, hadiah anniversary kita ... tubuhmu!!"
Louisa menelan kasar salivanya. Permintaan yang sama dari sang kekasih, lagi dan lagi membuat ia berada dalam dilema. "Tu-tubuhku? Ta-tapi kamu tahu pasti, bukan, mengenai prinsip hidupku?"
Daniel berdecih, "Selalu dan selalu seperti itu setiap tahunnya! Kita sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dan selama itu pula kita hanya sekedar kissing or cuddling. Come on, Babe! Kita bukan anak kecil lagi!!"
"Lalu maumu apa dengan hubungan kita?" tanya Louisa, bernada sendu. Ia sebetulnya tahu persis apa yang diinginkan Daniel. Hubungan percintaan seperti anak muda pada umumnya.
"Mauku? Tentu saja aku mau hubungan normal layaknya sepasang kekasih. Sexx before marriage!!" tegas Daniel.
Louisa tertawa hambar. "Ayolah... rasa cinta tidak melulu diungkapkan dengan aktifitas sek-s, Daniel. Tapi, jauh lebih berharga dari itu!"
Kedua pipi Louisa dicengkeram kuat hingga bibir tipisnya mengerucut. "Dengarkan aku baik-baik, Louisa. Hubungan denganmu sangat membosankan. Kalau bukan karena cinta, sejak lama aku sudah berpaling pada perempuan lain!"
"Marry me, Daniel!!" pinta Louisa, penuh harap.
"Not yet, Louisa! Orang tuaku belum memberikan restu," tolak Daniel dengan alasan yang sama.
"Sampai kapan aku harus menunggu?" lirih gadis bernetra biru.
"Aku belum siap terikat apa pun." Daniel geleng-geleng kepala. "Lagi pula kenapa harus menikah kalau kita bisa seperti orang lain? Having sexx and then, have a child without marriage, right?"
Louisa berdesah pasrah karena ia tak ingin mendebatkan sesuatu yang tiada habisnya. "Aku lelah, Daniel. Aku ingin tidur. Bisakah kamu keluar dari kamarku?"
Daniel berdecak kesal dan meraih kunci mobil yang dia simpan di atas nakas. "Baiklah aku pulang. Selama satu minggu ini kita tidak akan bertemu karena aku ada urusan pekerjaan ke luar kota. Aku harap saat aku kembali, pikiranmu telah berubah demi mempertahankan hubungan kita berdua."
"Good night," sahut Louisa tak ingin menimpali perkataan Daniel.
Daniel mendengus lalu menarik langkahnya keluar dari kamar sang kekasih. Bibirnya menyeringai penuh misteri, ntah rencana apa yang bersarang di otaknya saat ini. Yang pasti bukanlah rencana yang baik.
__________
"Aku merindukanmu, Daniel!" Seorang wanita melepas satu demi satu kancing kemeja lelakinya. Jemari lentik merayap-rayap di atas dada, mempermainkan gairah muda yang meronta-ronta. "Kamu ingin aku puaskan, darling?" tanyanya dengan tangan yang menjelajah.
Pria yang bernama Daniel mencekal tangan si perempuan. "Aku sedang tidak ingin melakukannya."
"Tetapi kenapa?" Perempuan itu heran.
"Aku ingin tidur." Daniel berbohong.
"Benarkah? Kalau begitu, aku akan menggodamu sampai kau menginginkanku!" sahut si perempuan, manja.
"Coba saja!" tantang Daniel.
"Baiklah... jangan salahkan, jika aku membuatmu menggila." Tangan nakal wanita itu semakin berani berkelana, membuat Daniel mengerang karena permainan lembutnya.
"Kamu selalu tahu apa yang aku inginkan, Chloe! Karena itulah, hingga detik ini aku begitu mencintaimu," sahut Daniel.
Chloe perempuan bersuami yang tidak puas dengan pernikahannya lantaran ia mencintai pria lain di masa lalunya. Demi memuaskan hasrat yang tak terbendung, ia dengan suka rela menjajakan tubuh yang seharusnya diberikan kepada sang suami. Malah dia berikan untuk lelaki yang sebetulnya hanya menginginkan tubuh dan materi semata.
"Sebentar lagi aku akan menceraikan suamiku. Setelah itu, kita bisa menikah lalu hidup berdua bahagia," ujar Chloe percaya diri.
"Be-bercerai? Kamu akan bercerai dengan si lelaki kaya raya itu?" Daniel terkejut bukan kepalang.
"Tentu saja! Bukankah, itu yang selama ini kita impikan?" timpal Chloe.
"Iya... tapi bukan sekarang-sekarang ini, Chloe! Kamu harus mengeruk harta kekayaan pria itu terlebih dulu. Barulah kita pergi jauh meninggalkan negara ini dan hidup bahagia selamanya," sergah Daniel.
Chloe terpegun karena ia sudah tidak sabar ingin menikah dengan sang kekasih pujaan. Angan-angan indah, setiap hari selalu berputar-putar di dalam isi pikiran. Membayangkan kehidupan bersama lelaki yang amat dia cintai hingga maut memisahkan.
"Kalau itu maumu, aku cuman bisa bersabar dan terus bersabar. Meski hatiku sudah tak bisa lagi menahan semua ini. Dadaku sesak menahan rasa dan kerinduan yang semakin membuncah."
Daniel merangkak penuh gairah, menaiki tubuh kekasihnya. "Kita lupakan dulu masalah itu. Lebih baik kita bersenang-senang dan menikmati siang yang terik ini. Katanya, kamu merindukanku?"
Kabut gairah seketika menyelimuti wajah Chloe. Perkataan manis kekasihkan bagaikan sihir yang mampu meluluhkan hati dan pikiran. Kini ia memejamkan mata, menjemput kenikmatan demi kenikmatan. Hanya suara indah yang keluar dari bibir manisnya.
"Oh.... Chloe! Aku mencintaimu...."
"Aku mencintaimu juga, Daniel...."
Sepasang kekasih tersebut saling menggenggam erat saat puncak yang dinanti-nanti menggelitik bagian inti keduanya. Erangan panjang mengakhiri aktifitas panas di siang hari ini.
"Thank you for today, honey...." Tubuh si lelaki roboh dan menelungkup di atas dada wanitanya dengan deburan napas saling berpacu padu.
...******...
Terdengar suara ketukan dari balik pintu, membuyarkan konsentrasi pria yang tengah berjibaku dengan lembaran-lembaran arsip di atas meja.
"Masuk!!" titah Axelle pada seseorang yang mengetuk pintu tersebut.
Seorang wanita muda dengan setelan blazer dan rok mini berwarna merah merona, memasuki ruangan yang cukup luas. Ia membawa serta berkas-berkas yang harus ditanda tangani oleh atasannya. Aroma parfum dari tubuh sintalnya, menguar ke seisi ruangan tersebut.
"Ada apa Bella?" tanya Axelle dengan kedua mata tetap fokus pada semua arsip yang tengah dia periksa di atas meja.
"Ini Tuan, ada berkas yang harus Anda tanda tangani." Wanita itu membungkuk, dengan sengaja memperlihatkan sepasang aset indah untuk menggoda hasrat si pria dingin. Hal memalukan seperti ini sudah sering ia lakukan. Namun sayang, pria tersebut tidak pernah sedikit pun memperlihatkan ketertarikan padanya.
"Simpan saja di atas meja!" suruh Axelle tidak ingin berpaling dari pekerjaannya.
Bella menaruh berkas-berkas tersebut di atas meja lantas mengibas-ngibaskan rambut ikalnya untuk mencari perhatian sang pria idaman.
Axelle yang tidak nyaman dengan sikap bawahannya, ia mendengus lanjut mengambil berkas-berkas yang tergeletak tersebut. "Sudah tidak ada lagi urusan, 'kan? Silakan kamu keluar dari ruanganku, se-ka-rang!!"
Perempuan yang memiliki posisi sebagai sekretaris pribadi itu tetap terdiam di tempatnya. Malah, ia semakin berulah karena kali ini tengah duduk di atas meja dan menarik dasi si atasan. "Tuan Axelle pasti kelelahan, saya bantu ringankan pekerjaan Tuan ya...."
Axelle mendongak, tatapan elangnya mampu membuat nyali Bella ciut dan badannya seketika gemetaran. Pria bengis itu menjerat leher sekretarisnya tanpa rasa ragu. "Mulai hari ini, kamu saya pecat!!"
Cengkeraman tangan Axelle melonggar, ia mendorong kasar tubuh sekretarisnya. "Keluar dari ruangan saya sekarang juga! Sebelum saya berubah pikiran dan mematahkan satu per satu tulang lehermu itu!"
"Ma-maafkan saya Tuan Axelle. Tolong jangan pecat saya." Bella mengiba. "Saya pastikan kejadian hari ini tidak akan terulang kembali," ujarnya dengan menelengkupkan kedua tangan. Memohon belas kasihan dari pria tersebut.
Axelle beringsut lalu berjalan mengitari tubuh si wanita penggoda. "Kamu masih muda, Bella. Dan kamu juga masih lajang. Kenapa harus menggoda seorang pria beristri sepertiku? Ingin kemewahan? Materi atau—"
"Saya menyukai Anda, Tuan. Sudah sejak lama..." potong Bella tidak gentar.
Axelle terkekeh, "Besar juga nyalimu. Haruskah aku memberikan tepuk tangan?"
Bella menyorot lembut sepasang mata berwarna hazel di hadapannya. "Saya tidak butuh tepuk tangan dari Anda, Tuan. Yang saya perlukan saat ini, Anda bisa memaafkan atas kelancangan sikap saya barusan. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini karena sayalah satu-satunya tulang punggung keluarga."
"Oh, begitu?" jawab Axelle, seakan tidak peduli.
"Iya, Tuan," balas Bella, segan.
"Baiklah, saya tidak jadi memecatmu," jawab Axelle menggantung.
"Terima kasih banyak, Tuan Axelle." Bella menghirup napas dalam-dalam, ia merasa lega karena tidak akan kehilangan pekerjaan yang sangat ia cintai.
"Saya tidak jadi memecatmu, tapi posisimu sebagai sekretaris beralih menjadi Office Girl!" ketus Axelle.
"O-office Girl?" ulang Bella terkejut.
"Iya, Office Girl." Axelle kembali duduk di atas kursi kebesarannya. "Apa kamu keberatan, Bella?" Dia menggoyang-goyangkan kursi tersebut.
Bella geleng-geleng kepala, pasrah dengan keputusan yang telah diberikan atasannya. "Saya tidak keberatan, Tuan. Hal terpenting buat saya, masih bisa bekerja di sini dan mendapat penghasilan."
"Bagus!!" puji Axelle. "Sekarang, keluar dari ruanganku dan kemasi barang-barangmu. Karena besok pagi, meja itu sudah ada yang menempati."
Bella mengangguk tipis. "Baik, Tuan. Saya permisi."
Axelle mengibas-ngibaskan tangannya, isyarat bahwa dia menginginkan Bella untuk segera keluar dari ruangannya.
Bella menghela napas dan bersigera untuk keluar dari ruang CEO dan merapikan barang-barang miliknya. Dia menatap ke sekeliling dan kembali menghela napas.
"Niat hati ingin menggoda Tuan Axelle, malah aku sendiri yang sial!" ucap Bella di dalam hati.
____________
Sudah satu pekan, Daniel mendapatkan tugas pekerjaan ke luar kota. Dan selama itu pula dia tidak sekali pun membalas pesan atau menghubungi kekasihnya. Padahal, tinggal tiga hari lagi hari anniversary mereka. Dia nampak tidak peduli sebab permintaannya tidak dikabulkan oleh Louisa.
Dara bernetra biru itu semakin hari semakin gelisah. Lantaran sang kekasih, menggantungkan hubungan dengannya. Tiada kabar sedikit pun yang ia terima. Gadis itu merana dalam penantian jua kerinduan.
"Kenapa kamu, Louisa?" tanya seorang teman yang menangkap raut kegusaran.
"Sedang tidak bersemangat," jawab Louisa singkat.
"Karena?" tanyanya lagi.
"Aku merindukan Daniel," lirih Louisa.
"Lelaki bajingan itu?" sahutnya ketus.
"Ayolah Sam, dia tidak sebejat yang kamu pikirkan." Louisa mendelik.
"Aku laki-laki. Jadi, tahu persis apa yang bersarang di otak kekasihmu itu!" tekan Samuel, sahabat Louisa dari sejak kecil.
"Whatever...!!" Louisa mengibaskan tangannya. "By the way, bagaimana hubunganmu dengan anak pengusaha itu. Baik-baik saja, 'kan?" Louisa mengalihkan pembahasan.
Samuel menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang lalu menatap kosong langit-langit kamar. "I don't know!! Aku merasa berhubungan dengan dia begitu hambar. Sexx and sexx, tidak ada cinta di antara kami berdua!"
"Seberat itukah?" ledek Louisa.
Samuel menoleh ke arah sahabatnya yang tengah menatap layar komputer. "Malah terlalu berat karena aku mencintai wanita lain."
"Poor, her!" balas Louisa. "Kalau kamu tidak mencintainya, kenapa masih saja dipertahankan?"
Samuel bangkit dan duduk di samping Louisa. "Terpaksa."
"Terpaksa?" ulang Louisa, mengerutkan dahi.
"Yash, karena dia tengah mengandung anakku!" imbuh Sam.
"Oh, God...!!" Louisa menepuk keningnya. "Pakai pengaman dong, Sam!" Dia geleng-geleng kepala membayangkan sababatnya yang masih muda sudah menjadi seorang ayah.
"Ntahlah, semuanya terjadi begitu cepat." Samuel menarik kedua pundaknya ke atas. "Please, jangan membahas masalah ini lagi. Oke?" pintanya pada Louisa.
"Ya, ya, ya... sek-s memang nikmat, Sam. Tapi efeknya? Tidak perlu aku jelaskan, 'kan?"
Samuel mendengus, "Terserahlah... aku lelah, Louis. Aku butuh sandaran."
Louisa yang seolah memahami keresahan sahabatnya, langsung saja menepuk pundak sebelah kiri. "Sini!"
Samuel tersenyum tipis dan langsung saja merebahkan kepalanya di atas bahu Louisa. Berkali-kali ia menatap wajah gadis di sampingnya itu. Debaran di dalam dada, berdetak dengan lebih cepat.
"Andaikan kamu tahu Louis, kalau perempuan yang aku cintai itu adalah kamu. Sekuat apa pun aku menahan rasa ini. Semuanya hadir begitu saja. Memang benar kata orang, tidak ada persahabatan abadi antara laki-laki dan perempuan. Dan aku mengalami itu...!" Samuel hanya mampu berkata-kata di dalam hati. Ia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hati.
...*****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!