NovelToon NovelToon

Stempel Tanda Cinta

BAB 1 DI MALAM YANG MENCEKAM

Waktu itu dimalam yang mencekam saat hujan yang turun kebumi begitu derasnya, membuat seisi rumah takut jika tiba-tiba saja angin kencang akan menerbangkan atap rumah. Suasana rumah sangat gelap karena hanya ada penerangan dari sebuah pelita yang banyak dipakai orang-orang tempo dulu, yang ketika kita bangun lubang hidung akan menjadi hitam karena asap hitam yang keluar dari pelita akan terhirup masuk kedalam hidung.

Malam itu terdengar pula tangis seorang anak gadis yang terdengar begitu pilu, namun suara hujan yang turun mengalahkan suara tangisnya.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan riasan yang sangat mencolok, masuk kedalam kamar anak gadis yang sedang menangis sesenggukan, sambil memeluk kedua kakinya.

"Aku kan sudah bilang, kamu jangan sok akrab sama Kakek Tua itu, Tante tidak suka" Teriaknya sambil menjambak rambut gadis itu. Membuatnya meringis kesakitan.

"Ampun.....sakit" Jawab Gadis itu sambil memegang rambutnya yang terus saja ditarik oleh wanita itu.

"Ampun, ampun, awas kalo kau masih dekat sama Kakek Tua itu, aku tidak segan-segan bakal usir kamu dari sini. Biar sekalian kamu jadi gelandangan" Ucap wanita paruh baya itu dengan suara yang menggelegar, bersamaan dengan suara petir yang bersaut-sautan. Kemudian melempar tubuh gadis malang itu ketembok lalu jatuh terjerembab kelantai, Membuat keningnya ikut terbentur namun syukurnya tidak menyebabkan luka yang serius.

"Bangun" Ucap wanita paruh baya itu menyuruh gadis malang itu untuk segera bangun. Akan tetapi karena tubuhnya masih merasa sakit karena menghantam tembok, membuat gadis itu sangat kesulitan untuk bangkit kembali. Alhasil karena pergerakannya yang begitu lamban, membuat wanita paruh baya itu ingin untuk menyiksanya lagi.

"Sini kamu" Ucapnya lagi, sambil menarik tangan gadis itu.

"Sakit....ampun" Jawab gadis itu memohon belas kasihan.

Plak, Plak, Plak...

Dengan sekuat tenaga, wanita paruh baya itu kemudian menampar wajah dan memukuli gadis itu membabi buta karena sangking kesalnya.

Sesekali gadis itu terlihat meringis menahan sakit diwajah bahkan kini ditubuhnya. Namun ia berusaha untuk menahannya, ia sebenarnya ingin melawan namun apalah daya tubuh mungilnya tak mampu menahan serangan dari wanita itu.

Setelah merasa puas memberikan pelajaran pada gadis itu, wanita paruh baya itu lalu keluar meninggalkan tubuh gadis malang yang kini tergeletak diatas lantai sambil terus menangis.

Sangking lelahnya ia menangis, akhirnya ia pun tertidur. Walaupun sesekali masih terdengar suara sesenggukan oleh gadis itu karena terlalu lama mengeluarkan air matanya.

*

*

*

Dear diary

Menjadi miskin bukanlah sebuah pilihan yang buruk untukku. Kemiskinan mengajarkanku tentang bagaimana seseorang harus lebih banyak bersabar dan lebih giat berusaha.

Malas? Ya, kadang kala akupun juga merasakan satu sifat yang mungkin semua orang pasti pernah merasakannya.

Tidak, aku tak boleh terus bermalas-malasan, jika aku malas, kapan aku akan menjadi seorang yang memiliki finansial yang baik.

Waktu adalah uang, aku harus bisa membuktikan pada dunia, bahwa orang menyedihkan seperti diriku, bisa meraih apapun asalkan ada kemauan.

Semangattt...

Impian 1000% menjadi kenyataan.

🌷🌷🌷

Dinda

Seperti biasa setiap harinya, Dinda akan bangun lebih awal.

Hal yang pertama ia lakukan adalah, menuliskan apa saja yang menurutnya penting di dalam buku diary yang selama ini dia anggap menjadi sahabatnya.

Apa saja akan Dinda ceritakan didalam buku diary itu. Karena Dinda merasa sahabat yang tidak akan pernah menceritakan tentang dirinya kepada orang lain yaitu buku diarynya.

Dinda menyimpan kembali diarynya kedalam lemari pakaian usang yang sepertinya tak lama lagi akan roboh, sangking lamanya lemari itu berada didalam kamar Dinda, dan tak pernah sekali pun berpindah tempat. Suara daun pintu lemari pakaian itu pun juga sudah terdengar sedikit menyeramkan, membuat siapapun tak akan sudi memilikinya.

Setelah menyimpan baik-baik buku diary kesayangannya itu didalam lemari, seperti biasa Dinda akan bergegas menuju ke dapur, menyiapkan makanan untuk Tante dan Sepupunya.

Sudah terbiasa bagi Dinda harus bangun lebih awal dan

mengerjakan semua pekerjaan rumah, setelah itu baru ia akan berangkat kesekolah.

Sarapan telah tersaji rapi diatas meja makan reot, ntah sejak kapan meja itu berada disitu, seingat Dinda meja itu telah ada sejak dirinya masih kecil, namun sepertinya semua perabotan yang ada didalam rumah Tantenya itu sudah sangat lapuk dan tua, gaya dan modelnya pun sudah sangat ketinggalan zaman.

Setelah menyiapkan sarapan, Dinda bergegas kekamar mandi, kemudian bersiap-siap untuk kesekolah.

Seragam kebanggan yang hampir setiap hari Dinda pakai kini mulai usang karena tak pernah diganti, namun Dinda tak patah semangat, itu bukanlah penghalang buat Dinda. Bukankah ia kesekolah untuk menimbah ilmu, agar kelak ia bisa mewujudkan impian 1000% yang menurutnya sangat sulit untuk diraih.

Dinda melangkah keluar dari kamar menuju ke meja makan untuk ikut sarapan bersama Tante Indah dan Siska. Namun sesampainya di meja makan, terlihat semua makanan yang tadi Dinda masak telah dihabiskan oleh tante Indah dan juga Siska.

Dinda kaget melihat 2 orang yang memiliki badan yang terbilang kecil, namun mampu menghabiskan makanan yang menurut Dinda lumayan banyak.

Suara gemuruh perut Dinda, membuat Tante Indah dan Siska menoleh kearahnya dengan tatapan sinis.

"Hari ini kau tak dapat jatah sarapan, masakanmu hari ini kurang enak" Ucap tante Indah sambil memainkan kuku-kuku panjang nan cantik miliknya yang setiap hari dipoles dengan kutek berwarna-warni.

"Kalo tidak enak kenapa makanannya malah habis, bahkan tak bersisa sama sekali" Ucap Dinda dalam hatinya. Merasa heran dengan apa yang Tantenya katakan.

Dinda terkadang heran mengapa seorang pembantu seperti tante Indah boleh merawat kukunya tetap cantik. Padahal setiap hari Dinda melihat jika majikan Tantenya termasuk orang yang sedikit tempramental, selain itu tante Indah juga mengerjakan pekerjaan yang lumayan berat dirumah majikannya. Gaya dan cara berpakaian tante Indah juga tidak mencerminkan jika dirinya adalah seorang pembantu.

"Kenapa diam saja, cepat bersihkan piring-piring ini, setelah itu kau boleh kesekolah" Ucap tante Indah dengan pongahnya.

Sedangkan Siska hanya tersenyum sinis melihat wajah tak berdaya Dinda.

Malang sekali nasib anak yatim seperti Dinda, setelah ditinggal meninggal oleh Ibunya, Ayahnya yang merantau untuk mengadu nasib agar bisa merubah kehidupan tak sekalipun ada kabarnya. Kini tinggallah Dinda seorang diri berjuang untuk terus tetap bertahan hidup.

Dengan langkah gontai, Dinda melangkah kemudian mengangkat satu persatu piring yang kini tandas tak bersisa.

Sesekali Dinda meringis karena perih dilambungnya yang meminta segera di isi karena sejak tadi malam ia tidak makan.

Dinda memegang perutnya yang kini mulai terasa perih, lalu melangkah kebelakang untuk membawa piring kotor tersebut.

Tak hilang akal, Dinda lalu mengambil gelas yang ada dirak piring kemudian meminum air sebanyak-banyaknya untuk mengurangi rasa laparnya.

Perut Dinda terasa penuh dengar air, namun setidaknya itu bisa mengurangi sedikit rasa perih diperutnya. Walaupun kini Dinda merasa seperti mulai kembung karena meminum air terlalu banyak.

Dinda kemudian bergegas untuk kesekolah setiap hari menggunakan angkutan umum. Dengan langkah yang bersemangat Dinda memulai harinya berharap hari ini bisa lebih baik dari hari sebelumnya. Berharap keajaiban akan datang, walaupun tak tau kapan datangnya.

Dinda terus melangkah hingga tepat diperempatan jalan, sudah ada seorang siswa yang memakai seragam sama seperti Dinda sedang menunggunya.

Dengan senyum merekah Dinda lalu menghampiri sahabatnya itu.

"Selamat pagi Juna" Ucap Dinda memberi salam pada Juna yang sedang duduk dipinggiran trotoar jalan sedang menunggu angkutan umum untuk membawa mereka pergi kesekolah.

"Pagi juga Dindaku" Jawab Juna dengan senyuman yang dipaksakan diwajahnya. Membuat Dinda tertawa melihat wajah sahabatnya itu.

Arjuna Dirgantara, sahabat Dinda sejak mereka masih bersekolah disekolah dasar. Nama Arjuna sendiri terinspirasi dari nama pemain film kolosal India Mahabarata yaitu Arjuna yang memiliki wajah yang sangat tampan. Ibu Juna memberikan nama itu karena saat hamil dirinya sangat mengidolakannya. Mungkin itulah juga sebabnya mengapa wajah Juna menjadi sangat tampan.

Orang tua dulu bilang, jika kita menginginkan wajah anak kita tampan maupun cantik, kita harus memikirkan dan mendoakan anak yang ada dalam perut ibunya seperti orang yang kita idolakan. Agar jika anak itu lahir wajahnya akan seperti orang yang selalu kita pikirkan.

Akan tetapi, Dinda merasa tidak mengerti dengan pemikiran-pemikiran orang tua dulu. Dinda berpikir, jika faktor seseorang bisa memiliki wajah yang tampan dan cantik itu semua karena faktor gen dari kedua orang tuanya. Kalopun kedua orang tuanya memiliki wajah yang tidak tampan ataupun tidak cantik, tetapi anaknya terlahir malah berbanding terbalik dengan wajah kedua orang tuanya, mungkin saja itu faktor keberuntungan, ntah lah, batin Dinda dalam hatinya.

BAB 2 DINDA DAN JUNA

Hanya menunggu sebentar angkot yang mereka tunggu akhirnya datang juga, gegas Dinda dan Juna naik keatas angkot tersebut.

"Juna kenapa kau memilih naik angkot seperti ini denganku? orang tuamu termasuk orang berada" Tanya Dinda berusaha merapikan rambutnya yang mulai berantakan terkena angin.

"Aku lebih senang seperti ini Dinda, dan aku senang bisa terus dekat denganmu" Jawab Juna sambil membantu Dinda merapikan rambutnya. Membuat penumpang lain yang ada dalam angkot ikut tertawa geli mendengar apa yang Juna katakan.

Sebenarnya saat masih bersekolah disekolah dasar Juna sudah menyukai Dinda. Namun Dinda selama ini hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Lagipula selama ini tak ada satupun laki-laki yang bisa menaklukan kerasnya pertahanan hati seorang Dinda, termasuk Juna sahabatnya sendiri.

"Ehem, ehem, kalian masih sekolah jangan terlalu mesra begitu, kasian kita yang masih jomblo" Ucap Pak Supir yang mendengar perkataan Juna.

"Ya jangan didengar toh Pak" Balas Juna.

Pak Supir hanya geleng-geleng kepala dengan apa yang Juna katakan, lalu kemudian kembali fokus menyetir.

"Dinda, cintaku padamu ibarat seperti bulu ketiak, meskipun dicukur terus, dia akan tumbuh dan bahkan lebih lebat"

Sontak saja semua yang ada didalam angkot ikut tertawa mendengar gombalan maut Juna.

"Apaan sih Jun, malu ah diliat sama orang" Ucap Dinda mencubit pinggang Juna, membuat dirinya meringis kesakitan. "Maaf semuanya" Ucap Dinda lagi pada penumpang lain karena merasa tidak nyaman terus diperhatikan karena tingkah konyol Juna.

Setelah beberapa lama berada diatas angkot, akhirnya mereka sampai juga didepan pintu masuk sekolah. Tepat disana ada Sindi dan Remon yang merupakan teman sekelas Dinda dan Juna.

Dinda kemudian melangkah menuju kepintu masuk diikuti Juna dibelakangnya.

Sindi melambaikan tangan kearah Dinda yang berjalan kearahnya.

Saat akan masuk, tiba-tiba saja Sindi menghentikan langkah mereka semua.

"Stop" Ucap Sindi sambil merentangkan kedua tangannya.

"Ada apa lagi sin?"

Tanya Remon kesal.

"Dinda kenapa wajahmu pucat, kamu sakit?" Tanya Sindi yang melihat wajah Dinda dengan ekspresi khawatir diwajahnya.

Tiba-tiba saja suara perut Dinda terdengar, mengundang gelak tawa diantara mereka. Namun tawa mereka seketika lenyap melihat Dinda hanya diam.

"Kamu lapar, memangnya tadi kamu belum sarapan?" Tanya Sindi sambil memegang pundak Dinda.

Dinda tak berbicara, menjawab pertanyaan Sindi hanya dengan gelengan kepalanya.

"Pasti karena Tante kamu yang titisan Nyi Blorong itu kan?" Tanya Sindi lagi.

"Apaan sih sin, kasian tau Dinda, Tantenya kamu jelek-jelekin" Jawab Remon memukul kepala Sindi dengan tangannya.

"Ihh... jangan main pukul kepala orang juga dong, ini aset berharga tau" Ucap Sindi kesal. "Kalo tidak percaya tanya aja sendiri sama Dinda, Tantenya dia itu memang jahat. Apalagi sepupunya yang sok kecantikan itu, pengen aku geprek aja itu anak, dasar junior tidak ada akhlak" Ucap Sindi lagi sambil menunjuk kearah Dinda yang sejak tadi hanya diam.

"Sudah cukup berdebatnya, sekarang kita kekantin temenin Dinda sarapan dulu, abis itu baru kita kekelas. Tenang aku yang bayar" Ucap Juna menghentikan perdebatan antara Sindi dan Remon.

"Ya udah cus" Jawab Sindi sambil menarik tangan Dinda.

"Dasar, giliran ditraktir gerakannya lincah seperti spermatozone" Ucap Remon yang melihat tingkah Sindi yang begitu bersemangat jika mendapat traktiran.

"Biarin, dari pada kamu adiknya Doraemon, wekkk" Balas Sindi sambil menjulurkan lidahnya kearah Remon.

"Woi otak udang tunggu aku" Panggil Remon melihat Dinda dan Sindi yang lebih dulu berlari meninggalkan dirinya menuju kekantin.

"Jangan lari Sin, kasian Dindanya" Ucap Juna namun sepertinya Sindi tak mendengar perkataan darinya.

Saat akan sampai dikantin, langkah Sindi terhenti karena tiba-tiba Dinda menghentikan Langkahnya. Dinda lalu melepaskan pegangan tangan Sindi, kepalanya mulai pusing, dan perasaannya mulai tidak enak.

Dinda mulai oleng dan hampir saja jatuh ketanah. Untung saja ada Dewa, kakak seniornya yang sedari tadi memperhatikan dirinya dari kejauhan lalu dengan sigap menangkap tubuh Dinda sehingga tak sampai jatuh ketanah.

"Dindaaa" Pekik Juna dan Remon bersamaan melihat Dinda yang pingsan.

Dengan langkah seribu Juna dan Remon segera menghampiri Dinda yang kini berada dalam gendongan Dewa.

"Lepaskan Dinda, biar aku saja yang menggendongnya" Pinta Juna pada Dewa dengan ekspresi tak suka diwajahnya. Kemudian mengambil alih tubuh Dinda secara paksa dari gendongan Dewa.

"Ini semua gara-gara kamu sih Sin, udah dibilangin jangan lari, tuh kan lihat sendiri sekarang Dinda malah pingsan" Ucap Remon menoyor kepala Sindi.

"Kok aku sih yang disalahin"Jawab Sindi sambil melipat kedua tangannya didada, merasa tak terima dengan apa yang Remon katakan.

"Sudah cukup, kalian ini dari tadi, kerjaannya berantem terus, kita bawa Dinda sekarang. Remon, tolong belikan makanan dan minuman untuk Dinda, Aku dan Sindi bawa Dinda ke Unit Kesehatan Sekolah sekarang" Ucap Juna sambil memberikan intruksi kepada sahabatnya.

"Baiklah, oke" Jawab Sindi dan Remon singkat.

Dengan gerakan cepat Juna kemudian membawa Dinda ke Unit Kesehatan Sekolah ditemani Sindi dibelakangnya, yang kini mulai kelelahan karena Juna bahkan berlari sangking paniknya melihat Dinda yang pingsan.

Sedangkan Dewa sendiri hanya diam mematung melihat Juna yang membawa tubuh Dinda berlalu pergi tanpa mengatakan apapun kepadanya.

Sesampainya di Unit Kesehatan Sekolah, Juna lalu meletakkan tubuh Dinda diatas brangkar yang telah tersedia. Sindi dengan sigap membuka sepatu Dinda lalu membaluri seluruh tubuh Dinda dengan minyak kayu putih.

Nampak ekspresi wajah Juna yang khawatir karena baru kali ini melihat Dinda pingsan. Yang menandakan jika sahabatnya itu memang benar-benar sakit. Bahkan selama ini walaupun Dinda sakit, dia tetap semangat dan tetap kuat. Tak pernah sedikitpun ia mengeluh ataupun memperlihatkan sakitnya didepan orang lain.

Juna terus saja mondar mandir kesana kemari karena kegelisahan dan kekhawatirannya, sebab Dinda tak kunjung membuka matanya.

"Jun, gimana Dinda sudah sadar?" Tanya Remon yang baru sampai dengan sedikit terengah-engah.

"Belum Mon" Jawab Juna singkat.

Setelah menunggu sekitar setengah jam akhirnya Dinda sadar juga.

Dengan ekspresi yang bingung Dinda menatap satu persatu wajah sahabatnya, berusaha untuk mendapatkan jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.

"Aku lapar" Ucap Dinda dengan nada suara yang terdengar lemah.

"Ini makanlah, makannya pelan..." Jawab Juna sambil memberikan sepotong roti kepada Dinda, belum sempat Juna menyelesaikan perkataannya, secepat kilat Dinda lalu mengambil roti yang ada ditangan Juna lalu memakannya dalam sekejap. Sontak saja hal itu membuat para sahabatnya membulatkan mata karena melihat tingkah Dinda.

"Kau ini kayak tidak pernah makan tiga hari tiga malam aja Din" Ucap Remon sambil memberikan botol air minum mineral kepada Dinda, dan untuk kedua kalinya mereka bertiga kembali kaget karena air minum yang ada dalam botol minuman habis tak bersisa hanya dalam sekali tegukan.

"Ekkkkhhh...." Dinda bersendawa kemudian dengan cepat menutup mulutnya lalu melempar senyuman kikuk kearah sahabatnya.

"Terima kasih, maaf merepotkan kalian" Ucap Dinda menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Apakah ini semua karena tantemu Din?" Tanya Remon lebih dulu ingin mengetahui pasti alasan kenapa Dinda bisa pingsan.

"Dinda sudah sering diperlakukan seperti ini sama tantenya, bahkan sangking jahatnya Dinda biasa tidak dikasi makan"Jawab Sindi berusaha memberitahu yang sebenarnya.

"Bener itu Din?" Tanya Juna dengan ekspresi serius diwajahnya.

"Stttt" Dinda membulatkan matanya kearah Sindi lalu menyuruhnya untuk diam dan tak mengatakan apapun lagi.

"Bukan begitu Jun, semalam aku ketiduran karena ngantuk berat setelah mengerjakan tugas, jadi tak sempat untuk makan malam. Besok paginya aku bangunnya terlambat jadi gak sempat lagi untuk sarapan, gitu" Jawab Dinda berbohong, tak ingin membuat sahabatnya khawatir.

"Kan benar apa aku bilang, pasti Dinda gak dikasi makan sama tantenya yang jahat itu makanya dia bisa begini" Ucap Sindi membenarkan apa yang tadi ia katakan.

"Kenapa tidak bilang Din?" Tanya Juna lagi sambil memegang pundak Dinda.

"Berarti Tantemu itu sering memperlakukanmu seperti ini, dan kau hanya diam dan menerima itu Din?" Tanya Remon mulai kesal mengetahui perbuatan Tante Dinda.

Sebelum sempat menjawab, terdengar langkah kaki, dan tak berselang lama muncul Dewa kemudian berjalan mendekat kearah Dinda. Membuat Juna yang melihatnya menjadi sangat kesal, namun ia tak bisa melakukan apa-apa karena Dewa adalah kakak seniornya.

"Huuuffttt" Juna membuang nafas kasar.

"Kenapa Jun" Tanya Sindi yang melihat tingkah Juna, dan dijawab dengan gelengan kepala olehnya.

"Panas ini hati, panas" Gumam Juna dalam hati, tak senang dengan kedatangan Dewa.

BAB 3 MURID BARU

happy reading........✨✨✨

Melihat Dewa yang datang menjenguk Dinda, membuat Sindi tak henti-hentinya tersenyum.

"Woi otak udang, kamu kenapa senyum-senyum terus? Yang dijenguk itu Dinda bukannya kamu, sadar sudah waktunya kamu bangun dari mimpi indah mu" Ucap Remon sambil menyenggol lengan Sindi lalu berbisik ke telinganya

"Apaan sih ganggu aja, diam lo daki kuda nil nyerocos terus ih dari tadi" Jawab Sindi mulai kesal, karena Remon terus saja mengganggunya.

"Dinda, kau baik-baik saja kan?" Tanya Dewa sambil memegang kening Dinda untuk memastikan keadaannya, yang spontan saja membuat Dinda kaget karena perlakuan dari dewa. "Ini aku bawakan makanan untukmu" Ucap Dewa lagi memberikan sekantong besar yang penuh dengan makanan dan cemilan.

"Terima kasih kak" Jawab Dinda merasa tidak enak, kemudian mengambil makanan yang diberikan oleh Dewa.

"Sama-sama, kamu jaga kesehatan ya. Jangan sampe pingsan lagi kayak tadi, tapi aku senang karena kamu jatuh tepat di tanganku" Ucap Dewa sambil mengacak-acak rambut Dinda.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Dewa, Dinda menjadi bingung sendiri, karena ia tak mengingat lagi apa yang terjadi. Yang dia ingat tadi jika ia dan Sindi akan kekantin.

"Benarkah?" Jawab Dinda cengengesan dan mulai salah tingkah.

"Ehem, biasa aja kali, yang gendong kamu kesini itu aku bukan dia" Ucap Juna mulai kesal karena Dewa yang terus saja mencoba mengambil perhatian Dinda.

"Yang biasa aja itu kamu, gak usah ngegas gitu. Lagian kita juga sedang tidak balapan, kenapa lubang hidung sama telinga kamu udah mulai berasap" Ledek Dewa pada Juna yang mulai emosi karena tidak suka dengan kehadirannya.

Sejak dulu memang Dewa dan Juna tak begitu saling menyukai, karena Juna tau jika Dewa ternyata juga menyukai Dinda.

Itulah sebabnya kenapa Juna selalu tak suka jika Dewa berdekatan dengan Dinda, Karena Juna takut jika Dinda nantinya akan menyukai Dewa juga. Sebab Dewa merupakan salah satu siswa kebanggan tempat dimana mereka bersekolah. Selain cerdas dan memiliki ketampanan yang diatas rata-rata, Dewa adalah anak dari kepala sekolah. Itulah yang membuat dirinya sangat diidolakan dan siapapun siswa akan takut jika berurusan dengan dirinya, tapi tidak dengan Juna.

Mendengar Dewa yang meledek dirinya, Juna tak memperdulikannya Lagi, ia menganggap perkataan dari Dewa hanya angin lalu. Namun terlihat dari wajah Juna yang sangat kesal dan juga tidak suka jika Dewa mendekati Dinda.

"Mukamu itu kenapa kayak cucian basah belum dijemur? atau kamu mau aku jemur ditengah lapangan biar mukamu itu ada sopan santunnya sedikit sama yang lebih senior" Ancam Dewa yang melihat wajah Juna yang terus saja ditekuk sejak kedatangannya tadi.

Sedangkan Remon dan Sindi hanya diam tak berani melawan perkataan dari Dewa. Kalo saja siswa lain yang mengatakan itu mungkin mereka berdua akan bereaksi lebih dulu, namun berbeda hal karena yang sekarang berbicara adalah Dewa, kakak senior mereka sekaligus anak dari kepala sekolah tempat mereka belajar. Membuat nyali mereka tiba-tiba saja menciut.

"Jangan mentang-mentang kamu anak kepala sekolah jadi kamu bisa seenaknya melakukan apapun sama siswa lain" Ucap Juna datar, berbicara tanpa memandang kearah Dewa.

Belum sempat Dewa membalas perkataan Juna, Tiba-tiba saja bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran akan segera dimulai.

"Dinda aku kekelas dulu, dan suruh temanmu yang tidak punya sopan santun ini untuk menjaga sikapnya di depanku" Ucap Dewa menyindir Juna, dan melihat Juna dengan ekor matanya. "Jaga kesehatanmu, semoga lekas sembuh" Ucap Dewa lagi sambil tersenyum kearah Dinda yang sejak tadi hanya diam.

Setelah berpamitan pada Dinda, Dewa kemudian meninggalkan mereka menuju ke kelas. Sedangkan mereka berempat masih tetap diam membisu bingung dengan apa yang harus mereka bicarakan, dan tiba-tiba saja suasana menjadi sangat canggung.

"Kalian berdua kekelas saja duluan, biar aku yang menemani Dinda disini" Ucap Juna dengan ekspresi datar diwajahnya. Masih terlihat kekesalannya karena sikap Dewa tadi kepadanya.

"Aku sudah agak mendingan, aku juga ingin kekelas sekarang" Jawab Dinda berusaha untuk bangkit namun ditahan oleh Juna.

"Kau masih belum sembuh total, jika kau tetap memaksakan diri untuk tetap ikut pelajaran, bisa-bisa kau akan pingsan lagi nanti"

"Iya Din, kamu disini aja dulu, apa yang dikatakan Juna itu benar, kita takut kalo nanti kamu sampe kenapa-kenapa lagi dalam kelas" Ucap Remon membenarkan apa yang dikatakan oleh Juna.

"Tidak Mon, aku udah agak mendingan sekarang. Pokoknya aku mau kekelas aja sekarang. Aku janji gak bakalan pingsan lagi" Jawab Dinda meyakinkan para sahabatnya jika benar dirinya sudah merasa lebih baik sekarang.

"Din, apa yang Juna katakan itu benar, kita semua cuma pengen lihat kamu sembuh total makanya kamu istirahat aja disini" Ucap Sindi sambil memegang pundak Dinda.

"Gak Sin, beneran aku udah agak enakan sekarang, aku mau kekelas" Jawab Dinda kekeh pada pendiriannya.

Dinda berusaha untuk turun dari atas brangkar ingin segera kekelas, namun pergelangan tangannya dicekal oleh Juna membuat Dinda spontan menahan dirinya untuk tidak melangkah.

"Jun, beneran aku sudah mendingan sekarang kamu lihat sendiri kan, aku bisa berdiri sendiri sekarang" Ucap Dinda melepaskan cekalan tangan Juna.

Juna sebenarnya ingin mengatakan sesuatu kepada Dinda, namun ia menahan diri untuk tak mengatakannya karena Juna berpikir ini bukanlah waktu yang tepat.

"Jun, ayo kita kekelas" Ucap Dinda sambil memukul lengan Juna.

"Baiklah kalo itu mau mu" Ucap Juna singkat. Tak ingin lagi berdebat dengan Dinda.

Dinda dan Sindi berjalan duluan menuju kekelas diikuti oleh Juna dan Remon dibelakangnya.

Saat tiba didalam kelas Dinda merasa sangat bersyukur karena guru yang mengajar ternyata belum datang.

Gegas mereka berempat duduk ditempat duduk mereka masing-masing sebelum guru yang mengajar datang.

Tak berselang lama, akhirnya Ibu Intan masuk dengan diikuti seorang siswa yang Dinda perhatikan, sepertinya dia adalah siswa baru disekolah ini.

Saat siswa baru itu masuk, semua mata hanya tertuju kepadanya, Tubuh tinggi dan wajah yang tampan membuat dirinya menjadi pusat perhatian didalam kelas.

"Anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru, kamu silahkan perkenalkan diri sekarang" Ucap Ibu Intan mempersilahkan siswa baru itu untuk memperkenalkan dirinya.

"Namaku Rangga" Ucap Rangga singkat.

Raut wajah datar tanpa ada senyum sedikitpun diwajahnya. Alis yang tebal serta tatapan mata yang sangat tajam mampu membuat orang lain membaca karakter dirinya, jika ia bukanlah orang yang mudah untuk ditaklukkan, walaupun Rangga masih terbilang remaja namun nampak dari wajahnya ia memiliki pemikiran yang dewasa, ditambah lagi sifat dinginnya mampu membuat para gadis menjadi penasaran dengan dirinya.

Seketika suasana dalam ruangan hening, para siswa hanya melihat Rangga dengan tatapan datar, tak mengeluarkan sepatah katapun, seakan-akan semua yang ada di ruangan itu terhipnotis dengan kehadiran Rangga.

"Ngomongnya irit banget ya, gak ada tambah-tambah nya" Ucap Remon memperhatikan seluruh bagian tubuh Rangga dari atas sampai bawah. "Untung aja wajahnya ganteng, coba kalo nggak, udah jadi bulan-bulanan pasti anak baru ini" Ucap Remon berbicara kearah Juna, namun sepertinya Juna sendiri tak berselera membahas tentang Rangga.

"Namanya bagus" Ucap Sindi kegirangan mengetahui nama Rangga.

"Huu dasar otak udang, lihat yang cakep dikit langsung bereaksi" Ucap Remon kesal melihat tingkah Sindi.

"Dasar, syirik aja bawaannya" Balas Sindi tak kalah sengitnya.

Rangga yang berdiri tepat didepan siswa lain, tak sengaja melihat Dinda yang saat itu juga sedang melihat dirinya. Untuk beberapa saat kedua pandangan mereka saling bertubrukan. Namun secepat kilat Rangga kemudian mengalihkan pandangannya.

"Rangga sekarang kamu boleh duduk" Ucap Bu Intan mempersilahkan Rangga untuk duduk di samping Juna.

"Terima kasih bu" Jawab Rangga singkat.

"Ibu harap kalian bisa berteman baik dengan Rangga, dia anak yang baik, jadi Ibu harap kalian jangan ada yang berselisih paham satu sama lain. Mengerti?" Ucap Bu Intan memberi nasehat.

"Mengerti Bu" Dijawab serentak oleh seluruh siswa.

"Baiklah anak-anak sekarang ambil buku kalian buka halaman 55 disitu ada soal yang harus kalian kerjakan. Ibu harap tugas yang ibu berikan selesai saat jam istirahat berbunyi. Kalian paham?" Ucap Bu Intan memberikan Tugas kepada murid-muridnya.

Sedangkan Sindi sedari tadi mengikuti setiap perkataan apa yang keluar dari mulut Bu Intan. Sindi bahkan menghafal gerak gerik dan ekspresi dari Bu Intan jika mata pelajarannya selesai pasti selalu diakhiri dengan tugas dan tugas.

Bahkan Sindi benar-benar menghafal setiap gerakan dan mimik muka Bu Intan diluar kepala, setiap kali akan mengakhiri pelajarannya.

"Stop Sin, nanti Bu Intan lihat kamu yang menirukan dirinya baru tau rasa" Ucap Dinda menyuruh Sindi berhenti mempraktekkan gaya dari Bu Intan.

"Sindi" Terdengar teriakan yang menggema memenuhi Ruangan memanggil namanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!