Pandanganku lurus ke depan ke arah warung makan Mi Bancir yang baru dibuka hari ini. Semakin lama pengunjungnya semakin ramai. Bahkan pada memakai mobil. Beberapa ada wartawan televisi dan media lokal juga.
Mi Bancir adalah masakan khas Kalimantan Selatan. Bahannya terbuat dari terbuat dari mi kuning atau mi merah. Penyajiannya sendiri dengan ayam suir, telur itik, bawang goreng dan daun seledri. Bumbu sup khas Banjar, kecap manis, saus tomat, kol, bumbu penyedap, dan air kaldu ayam menyatu terus pecah di lidah. Makna 'Bancir' artinya Bencong. Jadi mi ini bingung antara digoreng atau kuah.
Mi Bancir di seberang itu milik Chef Agusta. Chef yang naik daun karena ajang ICI -Idola Chef Indonesia- tahun 2011. Di Banjarbaru ini cabang keduanya setelah buka outlet di Banjarmasin dan Pelaihari. Yang aku bingung, dari sekian banyak tempat kenapa dia mesti bangun rumah makan di seberang kafeku?
Kafe punyaku ini menjual berbagai masakan khas Banjar. Ada Soto Banjar, Ketupat Kandangan, Gangan Asam, Ketupat Betumis, dan Mi Bancir juga ada. Mari kita lihat Mi Bancir mana yang lebih enak di lidah pembeli?
"Waw. Makin lama makin banyak yang datang di warung Mi Bancir seberang itu. Mana bemobil wan bedasi berataan. Pian kada andak ke situ kah? Kan, dapat undangan," cerocos Athiyah, sahabatku sejak SMP.
Ketika membangun kafe ini, aku sengaja mengikutsertakan Athiyah. Posisinya sebagai manager kafe. Zaman sekarang susah mencari orang dipercaya.
"Beh, koler (males) unda (aku) ke situ. Kada (nggak) sudi unda menginjakkan kaki di rumah lawan."
"Ayuja, ulun (aku) ni masih paham pang bahwa pian tu masih jengkel wan Chef Agus."
Nah, akan kuceritakan kenapa aku masih jengkel dengan Chef Agusta. Sebenarnya aku juga jebolan Idola Chef Indonesia 2011. Aku menduduki tiga besar. Tereliminasi karena waktu tantangan menu Indonesia lebih unggul Chef Agusta 1 poin penilaian juri. Aku sangat yakin kemenangannya itu hanya faktor keberuntungan. Menang karena keberuntungan, ya apa yang bisa yang bisa dibanggakan?
Satu lagi yang membikin aku jengkel setengah mati dengan Chef Agus adalah setiap ada acara entah jadi juri lomba masak atau talkshow bersama Chef Agus, selalu wartawan selalu fokus wawancara Chef Agus. Seolah hanya Chef Agus membanggakan Banua Kalsel, sedangkan aku hanya patung di acara itu. Menyebalkan sekali bukan?
...***...
09.00 WITA
Mumpung Athiyah lum datang, kesempatanku mampir ke warung makan Mi Bancir Chef Agusta. Aku penasaran seenak apa sih mi banci bikinan dia? Gengsi dong kalau ketahuan Athiyah aku ke sini.
Ketika memasuki warung makannya, aku melihat-lihat sekeliling. Desain interiornya biasa saja. Hanya ada beberapa meja dan kursi panjang. Dindingnya pun polos dengan cat warna cream. Serta ditempelin figura foto-foto dia ketika menerima hadiah kontes ICI. Bagusan juga desain kafeku. Wallpaper bermotif hutan. Sehingga pelanggan berasa piknik di alam bebas.
Sekarang aku duduk di kursi paling depan. Bagian sudut mejanya ada buku menu. Aku baca-baca menunya. Hmmm ... ternyata nggak hanya jual mi bancir, tapi ada masakan khas Banjar yang sama persis di kafe. Menu boleh sama. Namun, rasa nggak pernah bohong. Aku masih percaya diri bahwa rasa di menu kafeku lebih enak dibanding punya Chef Agusta.
Aku melambaikan tangan pertanda memesan makanan. Nggak lama kemudian karyawannya datang membawa buku catatan.
"Kakak, mau pesan apa?"
"Makannya mi bancir dan Soto Banjar. Minumnya es jeruk."
Masih pagi emang, kata orang nggak baik pagi-pagi minum es jeruk. Sayangnya itu minuman favoritku. Alhamdulillah, aku sehat-sehat saja minum es jeruk pagi-pagi.
"Tunggu sebentar ya, Kak."
Sambil menunggu pesanan, tiba-tiba Athiyah datang bersama cowok. Cowok itu kemudian melangkah helm ke tempat helm karyawan.
"Pantes aja kafe seberang masih tutup. Ternyata pemiliknya lagi makan di sini toh," sindir Athiyah.
Sial, pakai ketahuan pula. Bentar, itu Athiyah kenapa bisa datang bersama karyawan mi bancir ini? Apa jangan-jangan mereka pacaran? Hmmm ... bau-bau mencurigakan. Aku harus interogasi dia setelah dari sini.
"Oh, jadi ini bos yang sering ikam ceritakan itu?"
"Athiyah cerita apa aja ke kamu?"
"Idih, kepo banar (banget) pian (kamu) ni," sahut Athiyah.
"Cantik sih, tapi tampangnya judes nan penyarikan. Bikin ngira ngeliatnya," ucap cowok itu sambil berbisik. Namun, dengan suara keras. Jadi aku bisa mendengar ucapannya.
Aku melotot tajam ke arah mereka. "Napa jar nyawa tadi? Unda tampang judes nan galak?" (Apa kata kamu tadi? Saya tampang judes nan galak?)
"Ups, maaf. Kabur ah. Hihihi."
Dia pun pergi ke dapur dan Athiyah balik ke habitat kafe seberang sambil senyum-senyum sendiri.
Karyawan mi bancir membawa pesananku dan meletakkan di meja. "Selamat menikmati, Kak."
Langsung saja aku coba menu Soto Banjarnya. Hmmm ... masih b aja rasanya. Sudah kuduga pasti warung mi bancir ini laris karena branding nama runner up pemiliknya. Puas makan Soto Banjar, lanjut makan mi bancir. Nah, ini rasanya beda. Pecah di lidah. Bahaya buat kafeku.
...***...
Aku sudah balik ke kafe. Athiyah terlihat sibuk menata bahan masakan di dapur. Yang mempersiapkan bahan memang dia. Aku tinggal masak saja.
"Oi, Athiyah. Beapa nyawa (ngapain kamu) tadi ke warung mi bancir sama lakian (cowok) karyawan sana? Pacarankah nyawa wan inya tu?" (Pacaran ya kamu sama dia?)
"Mau tau aja apa mau tau banget? Kasih tau nggak ya?"
"Tinggal jawab aja napa sih."
"Ayuja. Ulun padahi. (Oke, aku aku kasih tahu) Kami itu lebih dari pacaran. Bentar lagi mau nikah."
Aku kaget. "Kok nggak pernah cerita?"
"Emang situ pernah nanya urusan percintaan ulun?"
Iya juga ya, aku itu orangnya cuek bebek. Nggak pernah mau tahu urusan pribadi orang lain. Gara-gara hal ini aku jadi ketinggalan info tentang sahabatku.
"Pian pang beapa (kamu ngapain) ke sana? Katanya nggak sudi ke rumah lawan?"
"Tadi unda kada ingat sarapan. Pas buka kafe bahan masakan belum ada. Ya udah nyebrang buat makan dulu," jawabku beralasan.
"Alah, alasan. Bilang aja kepo sama rasa Mi Bancir Chef Agus."
Skakmat. Aku nggak berkutik menjawab pertanyaannya. Karena aku memang penasaran.
"Gimana? Rasa mi bancirnya lebih enak daripada bikinan pian (kamu), kan?"
"Nggak tuh. Rasanya b aja."
Gengsi dong kalau aku mengakui lebih enak rasa Mi Bancir Chef Agusta di depan Athiyah.
"Ckckck ... masih aja bohong. Gengsi ya mengakui kalau punya lawan lebih enak dibanding punya sendiri?"
Sial, lagi Athiyah tahu yang aku pikirkan. "Kok tau sih rasa Mi Bancir Chef Agus lebih enak dibanding masakan unda?"
"Ya iyalah tau. Ayang Bebebku, sering bawa mi bancir ke rumah. Rasanya liwar nyaman banar (enak banget). Nyataai (jelas) olahan runnep up ICI."
Huff, aku mendesah napas kesal. Athiyah meledek masakanku abis-abis. Namun, positifnya memicuku semangat melakukan tiga hal. Pertama, bikin menu baru mi bancir kombinasi dengan masakan lain. Kedua, memperenak rasa di mi bancirnya. Dan ketiga mencari tahu resep Mi Bancir Chef Agusta dengan gimanapun caranya.
***
Kamus Bahasa Banjar
Pian : Kamu (digunakan untuk ke yang lebih tua/lebih sopan.)
Ikam : Kamu (digunakan untuk ke seumuran atau lebih muda)
Ulun : Aku (digunakan untuk ke yang lebih tua/lebih sopan)
Unda : Aku (bahasa kasar untuk ke orang lebih muda atau seumuran.)
Nyawa : Kamu (Bahasa kasar untuk ke orang lebih muda atau seumuran.)
Penyarikan : pemarah atau galak
Jar : katanya
Padahi : kasih tahu
Liwar : keterlaluan
Banar : banget
Kada : Nggak
Andak : Ingin
Koler : malas
Wan : Sama
Pang : Sih
Seluruh karyawan kafe sudah siap-siap mau pulang. Dua waiters lagi sibuk beres-beres. Naura lagi menghitung uang pemasukan hari ini. Sedangkan aku lagi duduk di depan menunggu jemputan calon suami. Berhubung Naura sudah tahu, jadi nggak backstreet lagi.
Sedikit aku ceritakan tentang calon suamiku. Namanya, Ahmad Zaini. Dia masih orang Martapura. Sama denganku. Kami kenal karena bertemu di Kopi Janji Jiwa setahun yang lalu. Yup, kami berdua sama-sama pencinta kopi. Sejak pertemuan itu, kami semakin sering bertemu secara tidak sengaja di kedai kopi lainnya.
Dari pertemuan nggak sengaja. Berlanjut sering chat. Bulan lalu dia datang ke rumah untuk melamarku. Ya, aku terima dong. Soalnya aku merasa nyambung mengobrol dengannya. Apalagi saat bahas kopi. Alasan kenapa backstreet dari Naura, padahal dia sahabat lama, bos dan tetangga pula, karena dia itu ember nauzubillah. Takutnya satu kampung nanti tahu bahwa aku dilamar. Aku maunya memberi tahu orang-orang ketika sudah ada tanggal ijab qobul.
Tinnn!
Suara klakson dari motor Zaini terdengar. Akhirnya dia datang juga.
"Maaf, nunggu lama. Tadi harus beres-beres warung dulu."
"Iya, kada papa. Ulun gin anyar tuntung beres-beres. Naura, ulun bulik bedahulu lah," (Iya, nggak apa. Aku juga baru beres-beres. Naura, aku pulang duluan ya." pamitku.
"Hadangi (tunggu) dulu!" teriak Naura dari dalam kafe.
Teriakan Naura membikin aku mengurungkan niat menaiki motor Zaini. Tiba-tiba Naura muncul. "Napa pulang? Kan kerjaan ulun sudah beres."
"Ada yang andak unda takunakan wan pacar nyawa." (Ada yang mau aku tanyakan ke pacarmu.)
"Ada apa ya, Kak?"
Zaini memang orang Martapura. Asal Kakek Neneknya. Dia lahir dan besar di Jakarta. Pulang ke Martapura karena ada problem keuangan di Jakarta. Pulangnya sekitar lima tahun lalu. Makanya bahasa sehari-hari yang dia gunakan masih Bahasa Indonesia banget. Namun, dia mengerti kok Bahasa Banjar. Kata cowok itu lidahnya saja masih kelu mengucapkan Bahasa Banjar.
"Sudah berapa lama kerja sama Chef Agusta?"
"Baru dua tahun. Awalnya ditempatkan di Cabang Banjarmasin. Eh, dipindahkan ke Banjarbaru."
"Posisi nyawa (kamu) di warung mi bancir apa?"
"Kurir pengantar makanan."
Jujur aku kurang suka Naura terkesan menginterogasi pekerjaan calon suamiku. Apa maksudnya coba?
"Berarti sering masuk dapur ngambil makanan dong ya? Nyawa (kamu) tahu lah, resep Mi Bancir Chef Agusta?"
Sekarang aku mengerti ujung perkepoan Naura. Dia ingin tahu di balik dapur warung mi bancir Chef Agusta. Aku berharap calon suami nggak keceplosan. Walau baru kenal setahun, tapi aku cukup tahu si Zaini itu aslinya polos dan ceplas-ceplos banget.
"Waduh, kalau soal itu Kakak tanya aja ke bagian koki warung mi bancir. Tugasku ke dapur cuma ambil makanan aja."
"Ya udahlah. Munnya kada tahu. Unda bulik badahulu aja," (Kalaunya nggak tahu. Aku pulang duluan.) ucap Naura disertai bibir cemberut.
Aku cekikikan dalam hati melihat ekspresi Naura kesal yang nggak berhasil mendapatkan info apa pun dari calon suamiku.
...***...
Sebelum pulang ke rumah, aku dan Zaini mampir ke Kopi Janji Jiwa dulu. Aku itu sehari nggak minum kopi berasa sakit kepala. Saking kecanduannya. Hari ini belum ada minum kopi.
Kopi favoritku di sini adalah kopi pandan sedangkan favorit Zaini Coffe Latte avocado.
"Athiyah, dari pertemuan pertama sama bos ikam tu kenapa kok ngerasa nggak sreg ya? Kesannya dia tuh pengen tau banget soal urusan dapur orang lain. Kok ikam tahan sih kerja sama orang macam Naura itu?"
Aku cekikikan. "Naura memang seperti itu orangnya. Kepoan, tukang julit, tukang ghibah, rese, tapi dia baik banget. Nggak pelit ngasih kasbonan ke karyawannya yang lagi butuh duit. Belum lagi kalau kafe rame, semua karyawannya dapat bonus dua kali lipat."
"Pantes aja ikam (kamu) betah di sana. Ada bonusannya sih."
"Bukan itu aja sih. Naura tuh sahabatku sejak lama banget. Terus aku punya hutang budi sama keluarga Naura jadi ya dibetah-betahin kerja di sana. Di tempat lain belum tentu senyaman kerja sama Naura kan?"
Manusia memang nggak ada yang sempurna. Walau aku nggak suka dengan sifat jeleknya Naura, tapi Naura tetap lebih banyak baiknya.
"Untung pian (kamu) tadi kada (nggak) keceplosan soal resep Mi Bancir Chef Agus."
"Soal itu aku jujur beneran nggak tau resepnya. Kalaupun tahu, aku nggak mungkin membocorkan rahasia perusahaan tempatku kerja. Bisa mampus dipecat. Nyari kerja susah. Apalagi aku lagi fokus ngumpulin biaya nikahan kita."
Aku tersenyum sipu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Zaini.
Tiba-tiba karyawan Kopi Janji Jiwa menghampiri kami. "Permisi, Kak. Kopi Janji Jiwa sebentar lagi akan tutup."
Dih, karyawan Kopi Janji Jiwa nggak peka dan nggak bisa lihat aku romantisan sedikit sama Zaini.
"Oh iya, Mbak. Lima menit lagi ya."
Selanjutnya aku dan Zaini buru-buru menghabiskan kopinya.
...***...
Posisiku di kafe memang manager. Harusnya salah satu tugasku hanya merencakan menu yang disajikan. Namun, Naura membebaniku tugas tambahan yakni belanja ke pasar. Biar Naura tinggal memasak. Bos satu itu paling nggak mau ke pasar katanya becek, berdesakan, bau jengkol dan ikan asin. Dia paling anti sama dua hal itu.
Di sinilah aku sekarang. Sebelum ke kafe aku ke Pasar Martapura dulu. Belanjanya sudah beres. Aku kembali melihat keranjang belanjaan sekali lagi. Takut ada yang ketinggalan. Bakal berabe diomelin Naura. Parahnya disuruh balik ke pasar.
Ayam, bumbu soto Banjar, bawang merah, bawang putih dan segala macam bahan untuk menu di kafe sudah ada. Aku bernapas lega semua sudah kebeli. Tinggal pulang berarti.
Aku berjalan menuju parkiran. Ketika di parkiran motor, aku melihat Naura lagi ada di toko mainan anak-anak. Ngapain dia ke sana? Perasaan dia nggak punya adik anak-anak. Untuk menjawab rasa penasaranku, aku menghampirinya.
"Oi, beapa pian (ngapain kamu) di sini?"
"Ading (adek)sepupuku mau ulang tahun. Jadi belikan dia mainan."
"Oh."
Aku beroh ria.
Aku melihat mainan yang dibelinya adalah tikus-tikusan dan kecoa-kecoaan. Aku jadi curiga, masa hadiah ulang tahun buat adik sepupu kayak gitu? Apa mungkin buat mengerjain adiknya itu?
...***...
Zaini
Lagi sibuk nggak? Klo nggak sibuk, jam makan siang kita ngopi bareng yuk. Aku nemu kedai kopi baru. Kata teman-teman enak.
Aku langsung membalasnya.
Wah, pas banget. Aku lagi ngidam kopi. Aku ke seberang atau kamu jemput aku di sini?
Dia membalas lagi.
Kamu di sana aja. Biar aku jemput.
Aku senyum-senyum sendiri membaca Whatsapp dari Zaini. Dikarenakan Zaini biasa memakai Bahasa Indonesia, aku pun juga berbahasa Indonesia dengannya. Aku melirik jam yang menempel di sudut dinding kafe. Lima menit lagi jam makan siang. Aku berkemas dulu.
Tiba-tiba Naura ada di sebelahku. "Athiyah, andak (mau) duit tambahan kada (nggak)?"
Dahiku berkerut. Nggak ada angin nggak ada hujan badai, Naura tahu-tahu menawarkan duit tambahan. Yang kutahu selama sahabatan, tetanggaan dan kerja sama dia, dia pelitnya nauzubillah. Pasti ada modus tertentu.
"Tergantung, duit tambahannya halal atau haram. Kalau halal ya siapa sih yang nolak? Kalau haram mah amit-amit jabang bayi menerimanya."
"Kalau membantu sahabat, tetangga serta bos itu dapat pahala, kan? Berarti uang dari membantu itu halal dong?"
Aku sudah bisa menebak arah pembericaraannya. Pasti minta tolong yang aneh-aneh. "Udah lah, kada usah bertele-tele. Andak (mau) minta tolong apa gerang (sih)?"
"Hadang." (tunggu)
Naura membuka tas tangannya. Lalu menyerahkan dua mainan yang dia beli di pasar tadi. Aku semakin heran, untuk apa diberikan kepadaku?
"Mun nyawa dapati (kalau kamu ketemu) pacar ke warung sebelah tolong andak (taruh) dua barang ini di dapurnya. Kalau perlu masukan ke panci berisi menu makanan."
Seketika aku mengelus dada. Kecurigaanku terbukti. Mainan yang dibelinya bukan untuk kado ulang tahun adik sepupunya. Melainkan untuk berbuat menjatuhkan Chef Agusta. "Astagfirullah. Ulun tau pian itu masih kesal wan Chef Agus gegara eliminasi. Kesal boleh, tapi jangan segitunya lah. Dosa tau. Andak (mau) dengarkan ayat Quran atau hadisnya?"
"Udah kada (nggak) usah ceramah. Subuh tadi unda (aku) sudah menonton acara Jamaah oh Jamaah. Soal dosa kaina unda (nanti aku) nanggungnya. Mau kada nih melakukan apa yang unda minta?"
"Ayuja. Kaina ulun (nanti aku) usahakan melakukan apa yang pian (kamu) pinta."
Aku memang sangat nggak suka dengan perbuatan Naura. Namun, aku nggak kuasa menolak permintaannya. Keluargaku ada hutang budi ke keluarga Naura. Abahnya dulu pernah melunasi hutang abahku yang cukup besar. Paling nanti nggak aku lakukan apa yang dia minta. Tinggal bohong sedikit saja bahwa dua barang ini sudah ditaruh di dapur warung Mi Bancir Chef Agusta.
...***...
Kamus Bahasa Banjar
Gin \= juga
Anyar \= baru
Tuntung \= selesai
Bulik \= balik
Bedahulu \= duluan
Hadang \= tunggu
Napa pulang \= apa lagi?
Takunakan \= tanyakan
Gerang \= sih
Beapa \= ngapain
Ading \= adik
Ayuja \= okelah
Kaina \= Nanti
Hari ini Kafe sepi, jadi tutup lebih awal.
Promo Special
Menu baru. Mi Bancir Katsu.
Hanya Rp. 17.000,- bisa mendapatkan sepaket dengan Es Jeruk.
Hadir selama Bulan Agustus di outlet :
-Kayutangi : Jl. Brigjen Hasan Basri. Ruko no. 7
-Banjarbaru : Jl. Panglimabatur Timur. Ruko no. 40.
Setiap hari (Khusus makan di tempat).
Hatiku panas melihat promosi di akun Instagram @miebancir_khasbanjar. Sial, ideku untuk mengkolaborasikan mi bancir dengan menu lain sudah didahuluin Chef Agusta. Benar kata orang, kalau punya ide itu langsung eksekusi. Jangan ditunda, nanti ditikung orang.
Oke, aku nggak boleh kalah. Aku coba ubek-ubek internet untuk mencari resep baru dan bisa dikolaborasikan dengan mi bancir. Namun, sayangnya tiga puluh menit berlalu nggak ada satu pun masakan yang pas. Bahkan buka Instagtam pun, juga nggak menemukan menu baru.
"Arrrgh ... aku harus ciptakan menu baru apa biar nggak kalah sama warung Mi Bancir Chef Agusta," omelku sambil mengacak rambut frustrasi.
"Oh, jadi Rafly mau liburan ke Banjar sambil nyari kerja gitu? Wah, boleh banget. Bener nih, kada ngerepotin? Kalau gitu, aku nitip minta belikan Bandeng Presto Semarang aja gin."
Dari kamar terdengar suara Mama yang entah mengobrol dengan siapa. Yang pasti ketika mendengar kata 'Bandeng Presto' bola lampu di otakku langsung menyala. Aha, akhirnya aku menemukan menu baru.
Aku menyambar jaket karena ingin pergi ke supermarket buat mencari bahan baku menu baru di kafe besok. Harusnya tugas Athiyah yang belanja, tapi baru aja kafe tutup. Nggak enak menyuruh Athiyah kerja lagi. Walau jam kerjanya masih ada empat jam lagi. Siapa tahu sekarang dia lagi sibuk jaga adeknya di rumah. Kalau aku bisa kerjakan sendiri, kenapa harus menyuruh orang?
Aku keluar kamar. Tiba-tiba Mama menghampiriku. "Eh, mau ke mana? Rapi bener."
"Mau ke supermarket, Ma. Buat belanja menu esok di kafe."
"Sama Athiyah?"
"Sorangan. (sendirian) Baru aja pulang kerja, masa Athiyah disuruh kerja lagi? Siapa tahu wahini (sekarang) Athiyah lagi sibuk jaga adeknya di rumah."
"Ya udah. Hati-hati di jalan."
...***...
Menu baru yang aku maksud adalah Mi Bancir Bandeng. Bandengnya sendiri hanya digoreng menggunakan tepung dan dilumuri bumbu air jeruk nipis, bawang putih serta ketumbar.
Setelah satu jam memasak Bandeng Prestonya, akhirnya matang juga. Zaman sekarang, masakan matang bukannya dicicipi malah difoto terlebih dahulu. Lalu diposting di Instagram @kafenaura_masakankhasbanjar.
Aku tulis dengan caption, 'Menu baru di kafe kami yakni Mi Bancir Bandeng. Harga spesial Rp. 15.000,- jika beli 2 gratis 1 porsi. Promo berlaku sampai tanggal 16 September 2020'
"Harumnya iwak Bandeng. Siapa nih yang masak Bandeng?" Athiyah baru datang langsung heboh.
"Nah, pas banar nyawa (banget kamu) datang. Coba nyawa rasa'i (kamu cicipi) menu baru yang unda olah. Mi Bancir Bandeng."
Athiyah mencicipi menu baru yang aku bikin. Ekspresinya merem melek. Entah karena terlalu enak atau ancur rasanya.
"Gimana? Enak?" Aku memastikan Athiyah.
"Gila, ini masakan terenak yang pian olah (kamu bikin). Jar Chef Bona tuh maknyusss."
Rasa percaya diriku meningkat drastis. Aku yakin 100% menu baru ini mampu mengalahkan menu baru mi bancir warung depan. Chef Naura dilawan!
...***...
Realita memang nggak sesuai ekspetasi. Sampai sore pun nggak ada satu pun pengunjung yang datang ke kafe ini.
"Kok nggak ada yang datang ya, warung seberang makin lama makin rame," celetuk Gina, waiters di kafe ini. Ucapannya semakin membuat hati panas.
Aku melirik Athiyah. "Eh, Athiyah. Yang unda (aku) suruh semalam sudah nyawa (kamu) lakukan balum?"
"E ... anu ... Sudah kok." Athiyah gelagapan menjawab ucapanku. Aku yakin dia bohong.
Dia memang nggak menolak permintaanku, tapi aku tahu ilmu agamanya kuat. Nggak mungkin dia mampu melakukan perbuatan licik. Salah aku juga menyuruh dia. Harusnya suruh karyawan lain saja. Ya sudahlah. Masih ada cara lain.
Aku bangkit dari tempat duduk. Lalu keluar dari kafe. Satu jam kemudian aku datang membawa banyak brosur promo terkait menu baru serta toa hasil meminjam di langgar nggak jauh dari kafe ini.
Athiyah terheran-heran melihatku. "Astaga, ini buat apaan toa masjid?"
"Buat bangunin nyawa." Aku tahu Athiyah itu *****. Nempel bantal sedikit langsung molor. "Ya buat promo lah," lanjutku lagi.
"Oiii ... ayo ngumpul. Unda andak (aku mau) bagi-bagi tugas ke nyawa berataan (kalian semua)."
Gina, Siti dan Athiyah pun mendekatiku. "Tugas Siti dan Gina sebar brosur promo ini. Sedangkan unda (aku) dan Athiyah koar-koar di jalan. Kalau ini berhasil membuat menu baru ludes, kalian berataan dapat bonus harian."
"Horeee."
Mendengar bonus aja mereka langsung senang. Manusiawi. "Semangat untuk kita berataan. (semua)."
Kami bergerak menjalankan tugas masing-masing.
"Oiii ... Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Mas, Adek atau siapapun, di Kafe Naura ada menu baru loh. Menu baru di kafe kami yakni Mi Bancir Bandeng. Harga spesial cuma lima belas ribu. Jika beli dua gratis satu porsi. Boleh dibawa pulang. Promo berlaku sampai tanggal 16 September 2020!" teriakku semangat promosi.
Dalam hitungan sekitar lima belas menit, satu per satu orang datang. Bahkan yang dari warung Chef Agusta pindah ke kafeku ini. Yes, berhasil. Senangnya hatiku.
...***...
Pukul 21.00
Walau nggak seramai warung depan, tapi lumayan hari ini menu baru ludes 35 porsi. Balik modal buat memberi bonus ke karyawan yang sudah pulang duluan. Kini aku dan Athiyah siap-siap menutup kafe.
Tiba-tiba aku melihat mobil berhenti di warung depan. Ternyata itu mobilnya Chef Agusta. Dua hari warung itu buka, baru kali ini melihat pemiliknya langsung. Aku ke sana ah buat pendekatan. Siapa tahu bisa dapat resepnya.
"Oi, Athiyah. Nyawa aja gin (kamu ajalah) yang nutup kafe. Unda (aku) ada urusan dadakan."
Dengan hati-hati aku menyebtang ke kafe depan.
"Malam, Chef Agusta. Apa kabar?" sapaku ramah.
Orang yang kusapa membalikkan badan. Lalu menatapku dengan pandangan kaget. "Loh, Chef Naura. Kok bisa ada di sini? Mau makan ke warung saya?"
"Oh, nggak makasih. Cuma mau nyapa aja. Kafe saya di depan." Aku menunjuk kafeku.
"Wah, nggak nyangka kita tetanggaan. Nanti deh saya kapan-kapan mampir makan di sana. Saya mau pamit dulu, mau meeting dengan tim."
Sial, secara nggak langsung dia mengusirku. "Tunggu, aku boleh minta no WA? Siapa tahu kita bisa saling share resep."
"Boleh. Nomor WA saya 085654910277."
Dengan cepat aku mengetik nomornya di gawai. Setelah itu, aku mengulang nomor yang dia ucapkan memastikan nggak ada angka yang ketinggalan. "Yup, bener itu nomornya."
Aku simpan nomornya dengan nama kontak 'Tukang Masak Menyebalkan'
Aku coba miscall nomor Chef Agusta. Benar, gawainya berbunyi. "Nah, itu nomorku. Save ya. Aku pamit pulang dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
...***...
Pukul 24.00
Aku sudah salat isya, bersih-bersih badan, dan gegoleran di pulau kapuk. Ritual sebelum tidur adalah baca-baca chat di grup Whatsapp. Ternyata nggak ada yang menarik.
Iseng cek nomor Chef Agusta. Ada tulisannya 'Tukang Masak Menyebalkan Online' aku coba chat dia.
Aku : Hello, Chef Agusta. Belum tidur?
Tukang Masak Menyebalkan : Baru nyampe rumah nih. Lagi nulis resep aja.
Aku : Wah, sama dong. Gimana kalau kita saling share. Aku nanya dong, resep mi bancir yang pian olah (yang kamu bikin) tu apa aja? Soalnya nyamannya liwar.
Tukang Masak Menyebalkan : Wah, bisa aja nih memuji. Kalau resep mi bancir punyamu apa?
Sial, dia malah nanya balik. Cerdas dia nggak segampang itu membocorkan rahasia resepnya. Gagal, mencari tahu langsung lewat orangnya itu artinya aku harus mencari resep Chef Agusta dengan cara lain. Masuk ke warungnya. Namun, gimana caranya masuk ke sana?
...***...
Kamus bahasa Banjar
Sorangan : sendirian
Wahini : sekarang
Ading : Adik
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!