"Kau sudah selesai?" Eun Seo bertanya pada Yu Hwa yang sedang mencuci selimut.
"Sudah," jawab Yu Hwa. Mereka segera melangkah menaiki batu-batu sungai.
Suasana pagi ini sangatlah cerah, burung-burung berkicau riang serta suara gemercik aliran sungai yang menambah indahnya pagi ini.
Tampak dua orang pelayan menenteng ember yang cukup berat, sehingga mereka memutuskan untuk istirahat sejenak.
"Ahh, kapan kita di lirik Raja ya?" ucap Eun Seo tersenyum kecil.
"Astaga, jaga bicaramu! bisa-bisa kau di pasung oleh prajurit Raja" mata Yu Hwa menyapu keadaan sekitar, takut kalau nanti ada yang mendengar ucapan lancang Eun Seo.
"Kau terlalu khawatir Yu Hwa, santai saja. Di sini kan sepi"
"Meskipun ini sepi, kau tetap harus jaga bicaramu!"
"Apa kau mau di pasung dengan Nona Hyung?"
Ingatan Yu Hwa kembali ke beberapa bulan yang lalu, tepat di mana seorang pelayan rendahan di hukum pasung hanya karena tidak sopan kepada Raja.
Seorang pelayan itu hanya bergurau dengan temannya dan menyinggung nama Raja, dan karena itu dia bisa sampai di hukum dan mati mengenaskan.
Kejadian itu cukup membuat Yu Hwa sangat trauma dan takut, sejak saat itu dia tidak berani menyebutkan nama "Raja" dari mulut tipisnya itu.
Dia hanyalah pelayan rendahan yang berusaha keras untuk menghidupi kedua orang tuanya, Ayahnya sakit-sakitan dan membutuhkan obat yang tidak murah.
Yu Hwa sangat bersyukur bisa memasuki istana, meskipun nyawanya selalu merasa terancam disini. Setidaknya dengan demikian pengobatan kedua orang tuanya tidak terputus.
Memang benar kata orang, di dalam dinding kerajaan banyak sekali telinga dan mata yang mengintai. Jadi kita harus bisa menjaga diri dengan tidak berucap sembarangan dan mengerjakan perintah dari luar.
Banyak sekali pelayan rendahan yang di hukum atas kesalahan yang sama, mereka di curigai sebagai mata-mata. Padahal, mereka sama sekali tidak tau menau tentang hal yang mereka lakukan.
Yang mereka tau hanyalah melakukan tugas dengan imbalan yang fantastis, maka dari itu untuk menghindar dari hal-hal buruk, Yu Hwa tidak pernah bergaul dengan banyak pelayan.
Yu Hwa sangat gemar membaca, sehingga dia sering sekali ke perpustakaan kerajaan. Itupun saat dirinya bersama Nonanya. Sang Nona sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri jadi, saat Sang Nona kemana-mana selalu Yu Hwa yang menemani.
Yu Hwa sangat bersyukur memiliki Nona yang baik hati dan ramah, tidak seperti teman-temannya yang sering di perlakukan buruk oleh para selir Raja.
Sebagian banyak selir selalu bertingkah angkuh bahkan tak segan-segan menghukum pelayannya di depan umum.
Yah ... Memang beginilah kehidupan indah di dalam istana, mereka yang di luar berlomba-lomba untuk masuk. Sedangkan yang di dalam selalu mencemaskan nyawanya.
Mereka tidak tau saja, seorang yang di dalam selalu senam jantung gara-gara ketatnya peraturan, banyaknya saingan dan banyak penyusup masuk yang menyamar sebagai prajurit.
"Sudah yuk!, kita kembali" ajak Yu Hwa.
Dia tidak mau berlama-lama beristirahat karena sebentar lagi adalah jam makan siang Nona Miyong.
"Baik, ayo!" Eun Seo beranjak dari duduknya dan melangkah menaiki tanjakan.
Kedua kaki Yu Hwa terasa sangat capek, bulir-bulir keringat keluar dari tubuhnya terutama di bagian dahi.
Keringatnya berselancar indah di kulit mulus Yu Hwa, dadanya kembang kempis karena menahan lelah.
jalan yang menanjak serta beban berat yang di bawanya membuat roh Yu Hwa hampir lepas dari tubuhnya.
Badannya sangat lemas saat ini, Eun Seo yang menatap Yu Hwa hanya tersenyum kecil melihat temannya yang kelahan setengah mati.
"Makanya, makan yang banyak. Gitu saja nggak kuat, lemah" kekeh Eun Seo.
"Yang ada, aku langsung tidur" Yu Hwa tersenyum kecil.
Bagaimana tidak? saat dia kenyang, mata kantuknya tak dapat di tahan. Itu sebabnya dia tidak pernah sarapan pagi kalau belum benar-benar lapar.
Setelah berjuang begitu keras membawa ember yang berisi cucian bersih Yu dan Eun segera menjemurnya.
"Yu Hwa, kau di panggil Nona Miyong!" teriak salah satu temannya.
"Baik, aku akan segera kesana," ucap Yu Hwa segera menghentikan aktifitasnya.
Yu Hwa segera merapikan pakaian dan mengelap keringatnya. Dia mempercepat langkahnya menuju kediaman Nona Miyong.
"Saya datang Nona, semoga Nona selalu bahagia," ucap Yu Hwa lantang dan menekkukkan kedua kakinya.
"Aduh!, kenapa kau masih kaku seperti ini, kau kan sahabatku. benarkan?" Nona Miyong membantu Yu Hwa untuk bangkit.
"Tapi ..."
"Sudah, aku tidak mau mendengar apa-apa lagi" Nona Miyong memutus ucapan Yu Hwa secara sepihak.
"Semuanya bisa keluar. Sudah ada Yu Hwa disini!" ucap Nona Miyong kepada semua pelayan yang ada di ruangannya.
Satu per satu pelayan meninggalkan ruangan Miyong. Akan tetapi ada satu pelayan yang merasa tak suka pada kedekatan Miyong dan Yu Hwa.
"Tapi Nona, kau tidak boleh sendirian saat ini. Bukankah ada banyak orang yang mengincarmu?" ucap pelayan Ling.
"Aku tidak sendiri, ada Yu Hwa yang menemaniku, lagi pula aku sangat mempercayainya," ucap Nona Miyong tegas.
Seketika Ling membungkukkan setengah badannya dan pamit keluar, mata tajamnya masih tersorot pada Yu Hwa yang tertunduk ketakutan.
Kini hanya tinggal Yu Hwa dan Miyong yang berada di dalam ruangan. Nona melangkahkan kakinya mendekati Yu Hwa yang saat ini sedang tertunduk ketakutan.
"Hey! kau tak perlu begini Yu ..." Miyong mengangkat wajah Yu Hwa dengan kedua telapak tangannya.
"Maaf Nona, benar kata Ling. Aku tak seharusnya berada dekat dengan Nona," ucap Yu Hwa dengan mata berkaca.
"Yang hanya perlu kau tau adalah ... aku nyaman dan percaya padamu, jadi hapus air matamu itu," ucap Miyong yang menyeka air mata Yu Hwa dengan kedua ini jarinya.
"Lihatlah! gara-gara kau menangis. Aku jadi lupa dengan ceritaku untukmu," Miyong tersenyum ramah menatap Yu Hwa.
Nona Miyong adalah selir Pangeran yang tercantik. kecantikannya membuat hati para selir yang lain iri dengki.
Status Ayah Miyong sebagai Perdana Mentri, membuat Sang Raja berpikir untuk menjodohkannya dengan Pangeran Mahkota.
Pengabdian Ayahnya yang cukup besar bagi kerajaan membuat Miyong di persiapkan untuk menjadi permaisuri utama untuk putra mahkota.
Setiap hari Miyong di wajibkan untuk menemani aktifitas Pangeran untuk berlatih pedang agar keduanya bisa lebih dekat. Setelah selesai Yu Hwa akan menjadi pendengar yang setia untuk semua cerita Miyong.
Seperti halnya saat ini, Miyong sudah ingin bercerita banyak tentang pangeran tampannya kepada Yu Hwa. Dengan wajah berbinar Miyong mulai membuka mulutnya dan bercerita.
"Kau tau? betapa tampanya pangeran Ha Joon." Miyong duduk di kursi sambil memangku wajahnya dengan kedua tangannya.
"Iya Nona kalian sangat serasi" ucap Yu Hwa tersenyum ramah.
"Kamu bisa saja, aku masih sangat jauh darimu. Kau lebih cantik seandainya memakai riasan." ucap Miyong tersenyum ramah menatap Yu Hwa.
"Ayo aku rias!" Miyong menarik paksa lengan Yu Hwa dan menyuruhnya duduk di depan kaca.
"Nona aku mohon jangan, aku tak pantas untuk semua ini." ucap Yu Hwa memelas.
"Kau harus mencobanya, agar kau juga terlihat cantik," Miyong bersih keras.
Seketika Yu Hwa memeluk kaki Miyong dan memohon, air matanya mengalir deras di pipi mulusnya.
"Astaga Yu Hwa, jangan seperti ini" Miyong membantu pelayan itu untuk berdiri.
Akan tetapi Yu Hwa tetap memeluk kaki Miyong dengan erat, entah mengapa wajah Yu Hwa tiba-tiba terlihat sangat ketakutan.
"Ayo lah berdiri!, ini perintah!" ucap Miyong dengan nada tinggi.
Akan tetapi Yu Hwa tak bergeming, air matanya terus mengalir sudah seperti sungai yang banjir.
"YU SANG HWA" teriakan Miyong menggema di seluruh ruangan.
Para prajurit yang berdiri di luar ruangan spontan berlarian masuk.
"Anda baik-baik saja Nona?" tanya salah satu prajurit.
"Seperti yang kalian lihat, maaf membuat kalian terkejut."
"Yu Hwa nakal sekali hari ini, kalian bisa tinggalkan kami berdua," pinta Miyong dengan wajah ramah.
Setelah para prajurit pergi, barulah Yu Hwa perlahan bangkit dari berlututnya. Masih terdengar sesenggukan di mulut kecil Yu Hwa
Miyong menuntun Yu Hwa dan duduk di atas kasur, sebenarnya dirinya menolak akan tetapi Miyong menarik keras pergelangan tangannya yang mengakibatkan dirinya terjatuh di kasur.
"Duduk yang benar," perintah Miyong tegas.
Perlahan Yu Hwa duduk dan menghadap Miyong. Dia memandang lekat wajah Yu Hwa yang penuh dengan air mata dan keringat.
Bila dia di posisi Yu Hwa, pasti dia tak sanggup. Berkerja keras, mengangkat beban berat dan berlarian kesana kemari.
Miyong menggeser duduknya agar lebih dekat. Perlahan dia meraih kedua tangan Yu Hwa dan membuka genggamnya.
Tangan itu terasa begitu kasar, kulit telapak tangannya memerah. Melihat itu mata Miyong terasa sangat panas.
"Kau pasti tersiksa sekali ya?" tanya Miyong iba.
Lidah Yu Hwa masih kelu untuk menjawab, dia hanya bisa menggeleng kepalanya lirih.
"Tatap aku!" perintah Miyong.
Seketika Yu Hwa memberanikan diri menatap paras Nonanya yang cantik jelita.
"Kita adalah sama, tidak ada perbedaan kau mengerti"
"Ya ... aku tau tingkat kita berbeda. Tapi tolong jangan seperti ini"
"Kau adalah satu-satunya temanmu di sini, oke" Miyong menatap lekat mata Yu Hwa.
"Ta-tapi"
"Tidak ada tapi! bila ada orang lain kau adalah pelayanku, jika tidak ada orang seperti saat ini, kau adalah teman terbaikku" Miyong memeluk erat Yu Hwa
"Mengerti?"
Yu Hwa hanya mengangguk lirih di dalam pelukan Miyong. Mereka berpelukan sampai isakan Yu Hwa tak terdengar.
"Kau sudah tenang kan" Miyong melepaskan pelukannya.
"Kau tidak perlu takut akan pertemanan kita Yu ..., pertemanan kita tidak salah"
"Kau pasti masih trauma dengan temanmu yang di pasung tragis itu kan?"
"Percayalah, kerajaan tidak akan menghukum seseorang tanpa sebab"
"Mungkin temanmu memang salah"
Mendengar ucapan Miyong membuat Yu Hwa semakin takut, bagaimana tidak? hukum di kerajaan saat ini sedang tak bersahabat.
Sang Raja sedang mempersiapkan untuk pergantian posisinya, itu membuat banyak orang dalam gencar dan memilih jalan pintas.
Dan yang akan menjadi korbannya adalah para pelayan rendahan seperti ini, nyawa mereka seakan tak berharga di tangan manusia-manusia licik.
Meskipun begitu, Yu tetap percaya kepada Miyong. Karena Dia adalah orang baik yang selama ini Yu Hwa kenal.
Tak pernah sekalipun Yu Hwa memergoki Miyong mengatakan ucapan kasar bahkan membentak para pelayannya.
Di mata Miyong, semua adalah sama.dirinya sangat menghormati pelayan kelas bawah terutama yang umurnya jauh di atasnya.
"Kau percaya denganku kan?" Miyong mengenggam kedua telapak tangan Yu. Dan di balas dengan anggukan lirih.
"Oke, karena kau sudah membuat moodku berantakan. Kau harus di hukum" ucap Miyong serius.
Spontan Yu berlutut dan membungkukkan setengah tubuhnya di hadapan Miyong.
"Astaga dia mulai lagi "
"Tutup matamu"
"Sekarang buka"
Perlahan Yu membuka mata dan melihat sepiring Kue Bulan ada di depannya, aromanya sangat harum dan mengusir indra penciuman Yu.
"Makan ini" perintah Miyong serius.
"Aku tidak tau di dalamnya ada racun atau tidak, jadi kau harus mencobanya" lanjut Miyong.
Dirinya sangat kasihan kepada Yu yang seharian berkerja sampai lupa makan, tanpa Yu cerita. wajahnya sudah menceritakan segalanya.
Hanya dengan cara ini Yu mau menerima pemberian Miyong.
perlahan Yu membuka mulutnya dan memasukkan kue ke dalam mulut kecilnya.
"Kuenya tidak beracun Nona" ucap Yu.
"Yang ini?" Ji menunjuk satu kue di sebelah kue yang baru saja di cicipi Yu.
Karena Yu merasa tidak enak hati, Yu hanya mengambil bagian kecil dari kue tersebut dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Ini tidak Nona" ucap Yu lirih.
"Yasudah makanlah semuanya, aku sudah kenyang" ucap Ji enteng.
Yu sudah meduga nya, ternyata ini hanya akal akalannya saja agar dirinya mau makan bersama dengannya.
"Nona, Nona ... Perdana Mentri Yang So ..." seorang pelayan datang dengan tergopoh gopoh, wajahnya sangat terlihat ketakutan.
"Ayah kenapa?"
Miyong menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menguatkan hati atas semua kemungkinan kabar yang akan dia dengar.
Dia sangat yakin kabar yang dia terima pasti tidaklah baik. Melihat pelayan yang tampak begitu sedih dan ketakutan.
"Ada Apa dengan Ayah?" Miyong bertanya dengan kepala mendongak. Menahan air yang membuat matanya terasa panas.
"Tu-Tuan Yang ..."
"Nona, Tolong segera ke paviliun segera." ucap prajurit yang menerobos masuk ke dalam ruangan Miyong.
"Baik, Ayo ...!" jawab Miyong segera beranjak.
Dia melangkahkan kakinya menuju paviliun, tempat di mana kedua orang tuanya tinggal. Dengan mempercepat langkah kakinya di susul oleh para prajurit di belakang.
Hatinya sudah sangat kacau saat ini, entah mengapa perasaan mengatakan kalau akan terjadi hal buruk.
Akan tetapi Miyong tetap memasang wajah tenang, dia tak mau ada seseorang tau kalau ada kabar buruk tentang Ayahnya.
Belakangan ini ada banyak sekali orang yang ingin mencelakai dirinya dan keluarganya. Belum lama ini Miyong sudah berhasil selamat dari serangan yang tiba-tiba datang pada saat tengah malam.
Dan saat di cari, orang itu tidak di temukan. padahal banyak penjaga yang menjaga sekitar kamarnya.
Sudah sangat di pastikan penyelinap itu pasti orang dalam, atau mungkin dia punya teman di dalam istana.
Kabar kalau dirinya akan di nobatkan sebagai permaisuri Sang Putra Mahkota membuat dirinya secara tidak langsung berhadapan dengan maut tiap harinya.
Berbagai ancaman silih berganti mendatanginya, akan tetapi anehnya seorang penyelinap itu tidak benar-benar mengincar dan ingin membunuhnya.
Dan ... saat ini Ayahnya yang menjadi korban. semoga tidak terjadi suatu hal yang serius pada Ayahnya.
Matanya semakin terbelalak saat melihat paviliun sudah di penuhi banyak orang. Termasuk Sang Raja.
Para pengawal Raja sudah berjejer di depan pintu paviliun, hanya orang orang tertentu yang boleh memasuki kawasan itu.
Hatinya semakin bergemuruh melihat ini semua, dengan mempercepat langkahnya melewati Para pengawal yang sedang berjaga.
"Ayah ...!"
Miyong masuk ke kamar Sang Ayah, matanya menyapu seluruh ruangan. ada banyak orang penting berdiri mengelilingi Ayahnya.
Karena suasana hati yang sangat kalut membuat Miyong tak peduli dengan siapa dia berhadapan saat ini, dengan mudahnya Dia mendorong Raja yang sedang berdiri di dekat tempat tidur Ayahnya.
Raja sempat terayun dan hampir jatuh, melihat itu para pengawal melakukan pergerakan, akan tetapi segera di hadang oleh Raja.
Dia sangat tau bagaimana perasaan Anak itu saat ini. Tidak ada seorang pun yang kuat melihat orang yang di cintainya terkapar lemah.
Kini pipi Miyong berubah menjadi aliran sungai deras yang banjir, matanya tak henti-henti mengeluarkan sumber air bening.
Melihat kondisi Ayahnya yang menyedihkan membuat hatinya lebih hancur lagi. Terdengar tangisan Ibunya yang meraung-raung membuat keadaan semakin terasa pilu.
"Katakan Baginda, saya harus lanjut atau berhenti disini?" Miyong menahan isaknya.
"Orang-orang terbaikku sedang mengusut ini semua, Tuan Yang So pasti akan mendapatkan keadilan." ucap Raja tegas.
"Lalu, apakah keadilan itu bisa membuat Ayahku kembali pulih?, atau bahkan menentramkan keluarga dari teror-teror yang mengerikan?" pertanyaan Miyong begitu pilu.
Raja sangat tau apa yang di pikirkan Miyong saat ini, karena memang dirinya tidak pernah tertarik dengan pernikahan ini.
Begitu banyak resiko yang akan dia dapatkan dan pastinya nyawa yang akan jadi taruhannya. Akan tetapi, Raja tidak ada pilihan lain.
Calon Raja baru sangat membutuhkan gadis yang patuh seperti Miyong, demi kemajuan kerajaan yang dia pimpin.
perlahan Miyong duduk di samping Ayahnya yang terbaring lemah, wajahnya tampak pucat. Matanya hanya terpejam rapat.
"Aku tidak bisa melanjutkan ini semua Baginda, maafkan aku." bibir Miyong bergetar mengucapkan kata yang tak sepantasnya.
Apapun yang terjadi perintah Raja harus di laksanakan. Bila ada penolakan tanpa adanya alasan yang tepat, maka itu di anggap pengkhianatan.
Dan seseorang yang berkhianat, akan langsung berhadapan dengan sanksi kerajaan yang kejam.
"Hukum saja aku Baginda, bahkan aku bersedia meminum racun kalau memang ini bisa melepaskan tanggung jawab Ayahku." Miyong memohon dengan pilu.
"Perintah Raja tidak dapat di ubah Nona, kau harus tau itu, pihak kerajaan akan menangani kasus ini dengan cepat" ucap Raja menatap Tuan Yang dengan tatapan prihatin.
"KAU ..." Miyong mencengkram jubah Raja.
Melihat pergerakan Miyong yang melewati batas, semua pengawal Raja mengayunkan pedang panjangnya ke arah Miyong.
"Miyong ..." teriak Ibunya dan berlutut di hadapan Raja.
Raja mengayunkan tangannya, mengisyaratkan agar pedang-pedang itu disingkirkan.
Dengan lembut Raja meraih pundak Ibu Miyong dan menyuruhnya berdiri.
"Jangan seperti ini, kau sudah aku anggap seperti kakakku." ucap Raja lembut.
"Aku tau, kalian tidak saling cinta. Meskipun begitu, kita adalah abdi negara dan masalah pribadi harus di kesampingkan." ucap Raja tegas.
"Kau pasti tau, bagaimana perjuanganku selama ini bukan?" Raja menatap lekat wajah cantik Miyong.
Perlahan dia melepaskan cengkeramannya, dirinya tertunduk lemas. Kakinya tak mampu menahan berat badannya sehingga tubuhnya terjatuh di lantai.
Semua orang di sana menatap miris Miyong dan keluarganya. Tak ada yang mampu membantunya kecuali para pengawal terbaik Raja.
Seorang Tabib datang tergopoh-gopoh masuk kedalam paviliun.
"Semoga Yang Mulia sejahtera." sapa Tabib lantang.
"Jadi, apa yang membuat Tuan Yang seperti ini?" Raja menatap lekat tabib istana.
"Ada racun yang masuk di tubuh Tuan Yang So, dan itu tidak terdeteksi dengan alat makan kerajaan." Tabib itu menjelaskan dengan terperinci.
"Jadi ... Siapa kemungkinan pelakunya?
"Maaf Baginda, Kami masih belum dapat menemukan jawaban yang tepat" jawab salah satu prajurit menundukkan kepalanya.
"Pergi dan cari tau kembali, dan beri obat penawar racun untuk Tuan Yang" perintah Raja.
"Maaf Baginda, racun ini sangat sulit di netralisir" Taibib itu masih tak mengangkat kepalanya.
Mendengar ucapan Tabib membuat telinga Miyong sangat panas, bukankah Tabib kerajaan adalah Tabib terbaik. Mengapa hanya menetralisir racun saja tidak bisa.
"Apa?, aku tidak mau tau. Bawa segera penawarnya kemari dan cepat temukan siapa orang yang membuat racun ini"
"Baik Baginda" Tabib melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Wajah Raja sudah sangat frustasi, dia tidak tau seorang misterius itu akan melakukan hal yang nekat seperti ini.
"Tambah pengawal untuk menjaga perdana Mentri Yang, aku tidak mau ada kejadian buruk menimpanya" perintah Raja.
"percepat pernikahan putra mahkota, aku tidak mau ada kejadian buruk lagi"
"Baik Baginda" ucap salah satu pengawal setia Raja.
Putra Mahkota Ha Joon dan Miyong hanya terdiam membeku, tidak ada wajah bahagia terpancar dari kedua wajah mereka.
"Coba pikirkan, bagaimana Rakyat akan sengsara bila kita tidak memperkuat kerajaan ini, kesampingkan perasaan kalian"
"Ayahmu sudah berjuang banyak demi kerajaan ini dan aku sangat berharap kau tidak mengecewakannya"
"Kami akan kembali membawa kabar baik untukmu, sementara itu. Akan ada satu Tabib untuk menjaga Tuan Yang disini"
Sang Raja di ikuti oleh para pengawal dan putranya meninggalkan paviliun di ikuti oleh puluhan prajurit di belakangnya.
Saat ini tinggal satu Tabib dan kedua wanita yang sedang di rundung kesedihan. Hanya Isak tangis yang terdengar menyesakkan.
"Siapapun orangnya pasti akan aku habisi dia, tunggu saja pembalasan ku." ucap Miyong dengan tangan mengepal erat.
Di sisi lain ada seseorang yang mengawasi hasil kerjanya dengan senyum simpul ...
Yu sedang melangkahkan kakinya menuju kamar, karena dia adalah pelayan rendahan, jadi kamarnya berada jauh dari lingkungan kerajaan.
Butuh sekitar limaratus kilo meter hanya untuk menuju kamarnya, dia memperlambat langkah kakinya hanya untuk menikmati malam yang indah ini.
Seharian ini dia sangatlah lelah, pekerjaannya cukup banyak. Terlebih Nona Miyong akan bermalam di kediaman Perdana Mentri Yang So.
Jadi semua barang tidur Nonanya di pindah ke kediaman Perdana Mentri. Mengingat teman baiknya di landa musibah membuat Yu amatlah sedih.
Kenapa semua orang merebutkan tahta kerajaan? bahkan untuk mengurus lima orang saja susah, apalagi harus mengurus rakyat yang begitu banyak.
Langkah Yu semakin dekat menuju kamarnya, sebelum masuk di area pelayan kelas bawah dirinya harus melewati halaman luas yang terdapat beberapa batu besar dan pepohonan di sana.
Dia memutuskan untuk duduk sejenak sambil menikmati suasana malam yang indah, Yu merebahkan tubuh lelahnya di atas batu besar.
Bibirnya tak henti mengagumi keindahan malam ini, ratusan bintang yang tersebar di langit berwarna gelap membuat langit nampak lebih indah dari malam-malam sebelumnya.
Rembulan yang melingkar utuh membuat cahaya indahnya terpancar menyinari suasana dingin malam ini.
Melihat keindahan malam ini membuat Yu teringat akan keluarganya, tak terasa air mata menetes di pipi halusnya.
"Ayah, Ibu ... Yu disini baik baik saja,"
"Apakah kalian di sana baik baik saja?"
"Aku mohon jaga diri kalian, Aku tak tau kapan Aku harus berakhir disini."
"Yang aku ingin hanyalah melihat kalian bahagia, sebelum Aku menutup mata selama lamanya"
Dia berdialog sendiri sembari menatap bulan yang bersinar terang, melihat kejadian tadi siang membuat Yu yakin bahwa kerajaan ini sekarang tidak baik baik saja.
Terutama kabar dari Bangsa Jepang yang akan datang. Kabar masih simpang siur akan tetapi mendengar kabar kalau Bangsa Jepang adalah bangsa yang keji membuat Yu ketakutan.
Meskipun dia di landa ketakutan, tapi saat ini dia tak bisa berbuat apa apa. Dia masih terkurung di sini sampai entah kapan.
Merasakan angin yang berhembus lirih membuat bulu halus Yu berdiri, entah mengapa cuaca begitu dingin. Bahkan belum waktunya untuk musim dingin tiba.
Tubuh lelahnya segera bangkit dan melanjutkan langkah, Mata yang terbelalak ketika melihat sosok hitam yang melangkah mendekatinya.
Sosok itu melangkah dengan gontai menuju ke arahnya, langakah Yu mundur teratur di sertai langkah sosok hitam itu yang semakin maju.
Ketika langkahnya semakin mendekati Yu yang sedang ketakutan, sinar rembulan menyinari sosok hitam itu sehingga terlihat siapa sosok tersebut.
Di lihat dari pakaian yang dia kenakan seperti seorang perajurit yang telah selesai berperang, tubuhnya compang-camping di sertai luka yang menganga pada tubuhnya.
Di pinggangnya tergantung pedang dengan banyak bercak merah, Yu tidak bisa melihat wajah prajurit itu karena sebagian wajahnya tertutup kain hitam.
Saat ini Yu sangat ketakutan, dia sangat takut kalau sosok ini adalah sosok musuh yang sedang kalah berperang.
Dia sangat kasihan melihat kondisi prajurit ini, akan tetapi dirinya juga sangat takut kalau dia seorang pemberontak.
Apalagi saat ini situasi sedang genting karena penyerangan tersembunyi yang membuat Perdana Mentri menjadi korban.
Bruk ...
Prajurit itu tersungkur di atas tanah dengan keadaan tak bergerak, membuat Yu reflek berlari menjauhinya.
Tak berapa jauh, langakah Yu terhenti. Perlahan dia membalikkan badan dan sekali lagi menatap sosok prajurit yang tak bergerak itu.
Dengan segenap keberaniannya Yu berusaha mendekati prajurit yang tergerak tersebut, berulang kali Yu menelan liurnya untuk membasahi kerongkongan yang mendadak kering.
Kaki Yu menggoyang-goyangkan tubuh lemas itu, akan tetapi tidak ada perlawanan, sehingga dengan sekuat tenaga Yu membalikan tubuh Prajurit tersebut.
Terpampang lah goresan goresan luka yang cukup dalam, serta pakaian yang sudah penuh cairan merah dengan bau anyir.
Saat ini Yu benar-benar tidak bisa berfikir jernih, yang dia tau hanyalah membantu seorang yang hampir sekarat ini.
Selebihnya Yu akan menerima konsekuensinya, Toh setiap pelayan rendahan sepertinya pasti akan mati dengan cepat, tinggal caranya saja yang berbeda.
Dengan sekuat tenaga dirinya memapah prajurit tersebut, langkah mereka tertatih karena memang tubuh Yu hanya sepundak prajurit itu.
"Ahh, capek sekali! Yu mengusap bulir-bulir keringat yang menghiasi kening Yu.
Terpaksa Yu merebahkan prajurit malang itu di ruangannya, untung saja satu kamar ini hanya berisikan dia saja. Karena biasanya satu kamar di tempati beberapa orang.
Mungkin karena tempat ini sangat jauh dari istana dan tempatnya yang cukup menyeramkan saat malam hari membuat para pelayan enggan memilih kamar ini.
Dengan jantung Yu berdegup kencang ketika dia mendekati prajurit tersebut.
"Siapapun kamu, Aku hanya ingin menolongmu tidak lebih." ucap Yu lirih karena takut terdengar oleh seseorang di luar.
Perlahan Yu membuka satu persatu pakaiannya, terlihat sudah beberapa luka dalam yang membuat hatinya teriris.
Jemari lentik Yu saat ini sedang mencoba membuka lilitan kain hitam yang menutupi hidung dan mulut prajurit tersebut.
Akan tetapi Yu terkejut saat jemarinya di genggam erat dengan prajurit, matanya mulai mengeryit menahan sakit.
Melihat prajurit tak mau area wajahnya di bersihkan, Yu lebih memilih bagian yang lain.
Dengan hati-hati Yu membersihkan debu di sekitar luka itu, selesai dengan kegiatan bersih-bersih.
Yu segera mengambil obat yang sudah dia siapkan tadi, perlahan Yu mengoleskan obat balur ke area luka.
"Arrgghhh ..." suara prajurit itu mengerang kesakitan.
Seketika Yu menutup mulut prajurit itu, dan menatap matanya tajam. Yu mengisyaratkan untuk tidak bersuara terlalu keras.
"Sttss ..., kita bisa mati sama-sama kalau kau berteriak" suara Yu lirih.
"Kenapa?, Aku ...!" prajurit tidak jadi melanjutkan kalimatnya.
"Kau cukup diam dan tidurlah, besok pagi-pagi buta kau harus segera pergi. Aku tak mau terlibat masalah besar." ucap Yu sambil sibuk membaluri obat di seluruh tubuh prajurit.
"Aku juga tak menyuruhmu mengobatinya." jawab prajurit santai.
"Hah!, kau bilang apa?" Yu menekan luka yang tidak terlalu dalam.
"Arghh ..." jeritan kembali terdengar.
"Urus sendiri lukamu, dasar tak tau terimakasih!" Yu beranjak dan melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Berhenti ..." ucap prajurit itu dingin.
"Tuhkan, kau saja tak bisa mengurusi lukamu." Yu tersenyum simpul.
"Sringg ..." suara pedang pedang menembus pintu yang di tutupi kertas yang hampir saja mengenai wajah Yu.
Seketika Prajurit itu segera beranjak dan mengambil pedang di sampingnya, pertarungan tak dapat di hindari.
Prajurit Itu dengan mudah menendang pintu yang membuat pintu melayang, Tampak seorang dengan pakaian yang sama persis ada di depannya saat ini.
"Apa ini?" bukankah semua atribut mereka sama!" Yu berbisik dan menutup mulutnya.
Saat ini tubuh Yu bergetar hebat, dirinya sangat ketakutan malam ini. Matanya tetap lekat terjaga menyapu di sekelilingnya takut kalau ada lawan yang menyerangnya.
Sedangkan Si Prajurit sedang berlari menaiki pagar tembok yang tinggi dan di ikuti beberapa orang yang mengejarnya.
"sringg ... sringg ..."
Suara pedang yang saling bergesek membuat suara yang sangat ngeri di dengarkan. Pertarungan malam kali ini sangatlah sengit.
Kedua pedang saling berayun dan menangkis satu sama lain hingga ...
Tringg ...
Jlebb ...
satu orang tumbang dengan cairan merah berbau anyir menggenang di sekitar tubuhnya ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!