Gelap
.
.
.
Dingin
.
.
.
Sunyi
“Apa aku sudah mati? Tidak mungkin... Jika aku mati, mengapa aku masih merasakan sakit? Tubuhku... seperti dicabik-cabik oleh binatang buas...” pikirnya lirih.
Perlahan, ia mencoba membuka matanya. Kelopak yang berat itu mengintip dunia yang samar, sementara tangannya bergerak lemah, meraba sekitar.
“Tempat ini... rasanya seperti hutan,” bisiknya hampir tak terdengar.
Kesadarannya yang sempat kabur perlahan mulai kembali. Seorang remaja pria, kira-kira berusia delapan belas tahun, tergeletak di tengah hutan. Tubuhnya penuh luka, darah mengering di sana-sini, seolah ia baru saja lepas dari keganasan alam liar.
Dengan sisa tenaga, ia meraba tanah di sekelilingnya, mencoba memahami di mana ia berada. Namun sebelum pikirannya bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi—kesadarannya kembali lenyap, menjerumuskannya ke dalam gelap yang sama.
---
Di sisi lain hutan, di tengah padang rumput yang hijau dan tenang, seorang gadis muda duduk menyendiri. Pandangannya kosong, menatap seekor rusa yang sedang melahap rumput dari kejauhan. Di wajahnya terpancar keresahan yang dalam, seakan hatinya terbebani oleh sesuatu.
“Nona!” terdengar teriakan dari kejauhan,
membuyarkan lamunannya.
“Nona Grace!” teriak seorang kesatria yang lain, suaranya menggema di antara pepohonan.
“Anda di mana? Tolong bersuara jika mendengar kami!” lanjutnya panik.
Tak jauh dari sana, dua kesatria itu akhirnya bertemu saat tengah mencari sang nona.
“Sudah kau temukan nona?” tanya yang satu.
“Belum. Kemana dia pergi, sih?”
“Ayo cepat. Jika matahari tenggelam dan kita belum menemukannya... Tuan Count bisa saja memenggal kita tanpa ampun.”
Tanpa banyak bicara, mereka kembali melanjutkan pencarian dengan langkah tergesa.
---
Mendengar suara para kesatria yang mencari, gadis berusia lima belas tahun itu mendadak panik. Ia bangkit dan mulai berlari, tak ingin mereka menemukannya. Langkahnya cepat, tapi tanpa sengaja ia tersandung sesuatu dan jatuh tersungkur ke tanah.
“Aduh!” desisnya sambil meringis. “Siapa sih yang berani menghalangi jalanku?!”
Ia duduk sambil membersihkan gaun putihnya yang kini kotor oleh tanah.
Namun matanya segera membelalak saat menyadari apa—orang—yang membuatnya terjatuh.
Seorang pria tergeletak di sana. Wajahnya tertutup sebagian oleh topeng. Pakaian yang dikenakannya robek-robek, seolah tercabik sesuatu yang liar dan ganas.
Dengan hati-hati, gadis itu mendekat dan memeriksa.
“Ini... bukan luka dari cakaran binatang. Ini luka akibat tebasan pedang,” gumamnya pelan. “Apakah dia seorang kesatria?”
Matanya menangkap kain yang menutupi sebagian tubuh pria itu—kain mahal, berkualitas tinggi.
“Tidak mungkin seorang kesatria biasa
mengenakan kain semewah ini. Dan... kenapa dia memakai topeng?” pikirnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Karena tak tahan oleh rasa penasaran, gadis itu perlahan melepas topeng pria itu. Matanya membesar saat melihat wajah di baliknya.
“Wah... dia... sangat tampan,” desisnya tanpa sadar. Pipinya memerah.
Namun keterpukauan itu tak berlangsung lama. Pandangannya kembali tertuju pada luka di punggung pria tersebut. Luka dalam dan mengerikan.
“Ugh...” pria itu mengerang lirih, napasnya tersengal-sengal.
“Tidak! Dia sekarat!” jerit gadis itu dalam
hati. “Aku harus mencari bantuan!”
“Nona Grace!!” suara berat terdengar dari balik pepohonan.
“Itu... suara Sir Leon!” Gadis itu berdiri dan berteriak, “Sir Leon! Aku di sini!”
Tak lama kemudian, seorang kesatria muncul dari balik semak-semak, wajahnya penuh kelegaan.
“Nona! Jangan membuat saya panik seperti ini! Kalau Tuan Count tahu—”
“Sir Leon, diam sebentar,” potong Grace, matanya tetap tertuju pada tubuh pria di sampingnya.
Sir Leon menghentikan omelannya, lalu memalingkan pandangan dan...
“D-Dia siapa? Apa... apa itu mayat?!”
BRAK!
Grace menendang kaki kesatrianya tanpa ragu.
“Dia masih hidup, tahu! Jangan asal bicara!” hardiknya marah.
“Aduh! Nona... itu sakit,” rintih Leon, tapi ia lalu memeriksa pria itu. “Ya ampun, luka-lukanya... ini gawat.”
“Tolong bantu aku membawanya ke kastel paman,” pinta Grace, masih dengan nada serius.
“Heh?! Apa Nona serius? Kita bahkan tidak tahu siapa dia!”
Grace menatap tajam, begitu tajam hingga Sir Leon bergidik.
“Kau meragukan ucapanku?”
“Ah, tidak... tidak, tentu saja tidak, Nona!” balas Leon gugup. “Saya akan membawanya ke kereta sekarang juga.”
“Bagus. Bantu aku, sekarang.”
“Tidak usah, biar saya yang angkat. Dia pasti berat, dan... Nona masih kecil.”
Grace menghela napas kesal, lalu membuang muka sambil menatap tajam. Leon merasa hawa dingin menyelusup ke tengkuknya.
“Hah... sepertinya aku salah ngomong lagi,”
gumamnya pelan.
Sesampainya di kereta kuda, mereka tak bisa langsung kembali ke kastel. Masih ada satu kesatria lagi yang belum kembali.
“Sir Leon, ke mana Sir Rocco?” tanya Grace, matanya masih tajam seperti ingin menembus dinding hati.
“Tentu saja dia masih mencari Nona yang kabur dari tadi,” jawab Leon sambil tertawa gugup. “Omong-omong, Nona... bisakah Anda tidak menatap saya seperti itu?”
“Memangnya kenapa?” balas Grace dengan nada datar.
“Ah, tidak apa-apa, Nona...” Leon mencoba tetap tersenyum meski keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. “Kalau salah
ngomong sedikit lagi, mungkin kepalaku akan ditebas bukan oleh Tuan Count, tapi oleh nona sendiri,” batinnya sambil menarik napas panjang.
“Sir Leon, bisakah kau memanggil Sir Rocco sekarang? Kita tidak bisa menunggu terlalu lama,” ucap Grace, nada suaranya tegas.
“Saya? Tentu saja bisa,” jawab Leon.
“Kalau begitu, cepat panggil.”
Leon mengangguk. “Tapi sebelum itu, tolong tutup telinga Nona dulu.”
Tanpa bertanya, Grace langsung menutup telinganya.
“PRITT!!”
Suara peluit itu melengking tajam, cukup untuk membuat burung-burung terbang dari sarangnya. Bahkan dengan telinga tertutup pun, suara itu masih terasa menusuk.
“Apa itu alat komunikasi kalian? Kenapa suaranya seperti... kesakitan?” tanya Grace sambil membuka satu telinganya.
“Iya, Nona. Ini alat komunikasi terbaru. Masih dalam tahap penyempurnaan,” jawab Leon.
“Yah... tidak buruk, meski suaranya sangat buruk,” ucap Grace.
“Jadi... itu pujian atau kritik, Nona?”
Grace mengangkat bahu. “Tidak tahu.”
Leon hanya bisa pasrah.
“Aku akan menunggu di dalam kereta. Tolong baringkan dia di dalam juga, Sir Leon.”
“Baik. Saya akan membawanya sekarang,” ucap Leon lalu mengangkat tubuh pria yang tak sadarkan diri itu dengan hati-hati, membaringkannya di dalam kereta.
Tak lama setelah peluit ditiup, Sir Rocco akhirnya muncul dari dalam hutan.
---
“Hey, siapa itu yang ada di dalam kereta bersama Nona?” tanya Sir Rocco sambil menunjuk ke arah pria yang terbaring.
“Hah...” Leon menghela napas panjang. “Nanti kujelaskan saat sampai. Sekarang, ayo kita pulang. Hari sudah mulai gelap.”
“Baiklah,” jawab Rocco singkat.
Kereta kuda pun mulai berjalan, diiringi oleh kedua kesatria yang mengawalnya dari luar.
Di dalam kereta, hanya ada dua sosok—Nona Grace dan pria asing itu. Hening. Hanya suara roda kereta dan hembusan angin sore yang menemani perjalanan mereka.
Perlahan, Grace berpindah duduk. Ia memindahkan kepala pria itu ke pangkuannya. Jemarinya yang halus menyapu rambut pria itu dengan lembut,
seolah ingin menghapus luka-lukanya dengan sentuhan
“Bagaimana kamu bisa terluka seperti ini? Apa kamu orang penting dari Kekaisaran?” bisiknya lirih. “Rambutmu... sangat lembut.”
Ia tersenyum samar.
“Padahal wajahmu sangat tampan, kenapa kau menutupinya dengan topeng? Sayang sekali...” gumamnya, masih terus menatap wajah pria yang tak sadarkan diri itu.
# terima kasih untuk pembaca yang sudah menikmati cerita ini\, kali ini saya sedang memperbaiki alur cerita \, tata penulisan dan bahasa\, agar menjadi lebih baik dan bisa kalian nikmati.
Sesampainya di kediaman Count Etienne, Grace segera turun dari kereta kuda. Wajahnya tegas namun cemas.
“Sir Leon, segera panggilkan dokter terbaik. Ia membutuhkan perawatan,” perintahnya cepat.
Ia lalu menoleh ke kesatria lain yang setia mendampinginya.
“Sir Rocco, bawa pria ini ke kamar tamu. Perlakukan ia dengan hati-hati.”
“Tapi, Nona... siapakah dia? Mengapa Anda membawanya ke sini? Jika Tuan mengetahui hal ini, beliau pasti murka,” ucap Sir Rocco, ragu dan penuh kekhawatiran.
“Biarkan urusan paman menjadi tanggung jawabku. Kalian tak perlu cemas.” Grace menatap keduanya. “Aku tahu apa yang kalian takutkan. Tapi aku takkan membiarkan kalian jadi sasaran amuk pamanku,” ujarnya dengan nada tenang namun tegas. Ia melirik ke arah Sir Leon. “Lagipula... aku tak sekejam itu untuk menebas kepala seseorang hanya karena rasa takut.”
“Nona... apakah Anda bisa membaca pikiran?” tanya Sir Leon, sedikit gugup.
“Kurang lebih begitu. Tapi kita tak punya waktu untuk basa-basi. Cepat panggil dokternya.”
“Baik, Nona,” balas Sir Leon, segera melangkah pergi.
---
Eryk Cyrilo Etienne, Count dari wilayah Etienne, adalah salah satu bangsawan paling berpengaruh di Kekaisaran Verhant. Dalam bidang pertahanan maupun perdagangan, namanya dihormati. Ia selalu mengirimkan pasukan terbaik ke medan perang, dan jasanya dalam bidang ekonomi sangat membantu kestabilan negara.
Sementara itu, Grace Ilona Xavier adalah putri ketiga dari Marquess Isak Louis Xavier, seorang bangsawan besar Kekaisaran. Namun, tidak seperti kedua kakaknya yang memiliki kemampuan luar biasa—kakak perempuannya mampu memanggil spirit sejak usia lima tahun, dan kakak laki-lakinya mengendalikan mana dengan sempurna—Grace dianggap tak memiliki bakat istimewa. Itulah
sebabnya ia sering diabaikan oleh orang tuanya.
Count Etienne, yang merupakan adik tiri Marquess Xavier dari istri kedua, merasa iba kepada Grace. Sepuluh tahun lalu, di taman belakang kastel Xavier, ia pernah berkata:
“Kakak, izinkan aku membawa Grace ke wilayahku.”
“Ambil saja anak tak berguna itu,” jawab sang kakak tanpa peduli.
“Bagaimana bisa kau berkata begitu? Ia putrimu,” ucap Etienne geram.
“Ia bukan bagian dari keluarga ini. Kau pun tahu, dia tidak memiliki kemampuan darah Xavier.”
“Masih terlalu dini untuk menyimpulkan itu,” balas Etienne dengan nada dingin. “Jika benar ia tak berguna, coret saja namanya dari keluarga. Aku akan mengangkatnya sebagai putriku sendiri.”
“Kau bicara begitu karena istrimu tak bisa memberimu keturunan? Terserah kau. Tapi jangan berharap aku mengizinkanmu menyematkan nama keluarga padanya.”
Etienne menahan amarahnya. Ia bangkit berdiri.
“Baiklah. Tapi kelak, jika dia menjadi seseorang yang penting, jangan katakan aku tak pernah mengingatkannya.”
Sejak saat itu, Count Etienne membawa Grace keluar dari kastel yang selama ini
bagai neraka baginya.
---
Di kamar tamu, dokter sedang memeriksa luka-luka pria misterius yang diselamatkan Grace. Sementara itu, Grace menuju ruang kerja pamannya, Count Etienne, untuk memberikan penjelasan.
Sesampainya di sana, Grace masuk dengan senyum hangat.
“Paman, bagaimana kabar paman hari ini?”
“Sudah datang rupanya. Duduklah, aku sudah siapkan teh.”
Mereka duduk saling berhadapan. Setelah menyeruput teh, Count Etienne membuka
percakapan.
“Grace, kenapa kau membawa orang asing ke sini? Kau tahu aku tak suka orang luar menginjakkan kaki ke kediaman ini.”
“Maaf, Paman. Tapi... apakah aku harus menutup mata ketika melihat seseorang sekarat di depan mataku?” jawab Grace pelan, namun mantap. “Lagipula, dari penampilannya, dia tak tampak seperti rakyat biasa. Ia tampak seperti bangsawan.”
“Justru karena itu. Kita tak tahu siapa dia dan apa tujuannya.”
“Jika ia berbahaya, aku akan bertanggung jawab.”
“Bertanggung jawab? Dengan cara apa?”
“Aku akan menyuruhnya pergi. Dan... jika Paman masih merasa keberatan, aku akan meninggalkan kediaman ini dan kembali ke Kastel Xavier. Aku takkan menginjakkan kaki ke sini lagi.”
Count Etienne terdiam sejenak. Kata-kata itu mengejutkannya.
“Jangan kira ancaman seperti itu akan melunakkan hatiku,” tegasnya.
“Aku tidak mengancam. Aku hanya berkata jujur. Lagipula, aku berada di sini karena Paman yang membawaku keluar dari kegelapan masa kecilku.”
Grace kemudian mengeluarkan topeng pria misterius itu dan meletakkannya di meja.
“Ini... topeng yang menutupi wajahnya. Ada
ukiran aneh yang tak kupahami. Mungkin Paman bisa.”
Count Etienne tertegun. Ia menatap topeng itu lama, lalu menatap Grace yang telah berdiri.
“Jika tak ada hal lain, saya mohon pamit.”
Ia membungkuk sopan dan meninggalkan ruangan. Etienne hanya memandangi kepergiannya, sambil tersenyum kecil.
“Rasanya baru kemarin kau berlari kecil di halaman... Sekarang kau telah tumbuh menjadi gadis yang berani mengambil keputusan.”
---
Di kamar, Grace duduk di sisi tempat tidur pria itu. Ia memandangi wajahnya yang tenang, lalu mengelus rambutnya.
“Setelah kupandangi berkali-kali... kau memang tampan. Apa yang kau alami hingga tubuhmu terluka seperti ini?” bisiknya lirih.
“Ayo bangun... dan jadi temanku. Aku ingin tahu siapa dirimu sebenarnya... dan siapa yang melukaimu.”
Tak lama, ia tertidur dalam posisi duduk, dengan kepala bersandar di sisi ranjang.
---
Sementara itu, pria bertopeng itu mulai membuka mata.
‘Dimana aku…?’
Kepalanya terasa berat. Ia menoleh dan melihat seorang gadis tertidur di sampingnya. Rambut biru langitnya menyebar indah di atas bantal.
‘Siapa dia...? Apa dia yang menyelamatkanku?’
Ia menatap keluar jendela.
‘Aku... siapa aku sebenarnya...?’
Kepalanya berdenyut hebat. Ia kembali memejamkan mata, tenggelam dalam gelombang rasa sakit.
---
Malam itu, Grace dibangunkan oleh Sir Leon.
“Nona... mohon bangun.”
Grace menggeliat dan membuka mata, “Hmm... Sir Leon? Ada apa?”
“Count ingin makan malam bersama Anda. Beliau bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan.”
“Baiklah... sampaikan aku akan bersiap.”
Ia menoleh sebentar pada pria yang masih tertidur, lalu menutup pintu dengan perlahan dan meninggalkan kamar.
---
Di ruang makan, hanya ada Count Etienne dan Grace.
“Grace, kau boleh merawat pria itu hingga ia sembuh,” ucap Count sambil menaruh garpu.
Grace menatapnya penuh harap. “Paman serius?”
“Ya. Dugaanmu benar, dia seorang bangsawan. Selama masa pemulihan, aku akan menyelidiki identitas aslinya.”
“Paman sudah tahu siapa dia?”
“Kurang lebih. Aku ingin memastikan sebelum bertindak lebih jauh.”
“Terima kasih banyak, Paman! Paman
memang yang terbaik!” seru Grace, senang bukan main.
“Sekarang makanlah. Jangan pikirkan yang lain dulu.”
Malam itu, makan malam berjalan damai dan penuh harapan. Tak ada yang tahu... bahwa awal dari takdir besar baru saja dimulai.
"Ethan, hati-hati!!" teriak orang-orang di sekitarnya, namun semuanya terlambat. Bus yang melaju kencang itu menabraknya dengan brutal. "Dinnnn!!!" Klakson bus itu berbunyi keras, menggema di udara. "Duaakh!" suara benturan keras antara tubuh manusia dan logam yang tidak bisa dihindari. Kejadian itu terjadi begitu cepat, seakan dunia berhenti sejenak.
Orang-orang yang menyaksikan segera menghubungi ambulans, berusaha
menyelamatkan nyawanya. Namun, sudah terlambat. Kecelakaan itu membuatnya terluka parah dan ia meninggal di tempat.
Di rumah duka, kedua orang tua serta sahabat-sahabatnya menangis, terisak kehilangan sosok yang sangat berarti bagi mereka. Kenangan itu menghantui pria yang kini tengah terbaring, membuat hatinya terasa hancur.
Apa aku sudah mati? pikirnya, hatinya dipenuhi kesedihan. Apa hidupku harus berakhir begini saja? Padahal baru saja aku melihat wajah kebahagiaan ayah dan ibu saat aku diterima di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Kenapa semuanya harus berakhir secepat ini? Kenapa Tuhan tidak mengizinkanku bahagia bersama mereka? Ingatan-ingatan itu datang begitu nyata, seolah-olah semuanya baru saja
terjadi.
"Ngung—" suara deru yang mengganggu telinganya semakin nyaring.
"Hosh… hosh… srrak..." Suara langkah berat dan nafas terengah-engah memenuhi telinganya. "Yang Mulia, cepat lari! Kami akan menangani yang ada di sini!" teriak salah seorang kesatria, mencoba menghalangi musuh yang terus mendekat.
"Bodoh! Bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian!" teriaknya, napasnya tersengal-sengal.
"Tenang saja, kami akan kembali dengan selamat. Jadi, tolong selamatkan diri Anda," jawab kesatria tadi dengan tegas.
"Jika kalian sampai tidak kembali ke kastel,
aku tidak akan memaafkan kalian!" pria itu membentak, lalu berlari menjauh, menghindari musuh yang mengejarnya. Mereka melakukannya demi melindungiku. Bodoh sekali! Seharusnya akulah yang melindungi mereka. Kenapa harus ada pembunuh bayaran dalam misi ini? Jangan-jangan, putra mahkota yang brengsek itu yang mengirim mereka. pikirnya dengan penuh kebencian.
Tiba-tiba, dua pembunuh bayaran menghadangnya dari depan.
"Tamat riwayatmu," kata salah satu dari mereka sambil menodongkan pedang.
"Hah, jangan kira aku akan kalah! Kalian hanya alat, pasti putra mahkota yang brengsek itu yang memerintahkan kalian!" jawabnya penuh amarah, mengangkat
pedangnya.
Pertarungan sengit pun terjadi. "Tang, tang!" suara pedang yang beradu bergema. "Zrash—!" darah terciprat akibat tebasan pedang yang tidak terhindarkan. Dengan kekuatan terakhir, pria itu berhasil menumbangkan salah satu pembunuh bayaran. Namun, ia lengah.
"Zrash—!" Suara tebasan pedang yang mengenai punggungnya, membuatnya terjatuh dengan rasa sakit yang luar biasa.
"Ukh!" erangnya, merasakan luka yang menganga di tubuhnya. Sialan, aku lengah! pikirnya dengan amarah.
"Hahaha, darah Dawson memang lemah," kata pembunuh itu dengan sinis.
"Berisik! Tidak peduli siapa kau, putra mahkota atau anggota kekaisaran, aku akan membunuhmu!" jawabnya dengan penuh kebencian, lalu dengan brutal menusukkan pedangnya ke perut lawannya. Meski terluka, ia masih bisa bergerak dan membalas serangan itu, mengarahkan pedang ke leher pembunuh bayaran itu dengan tatapan penuh dendam.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu karena telah menyebut nama keluargaku dengan mulut kotormu dan membahayakan nyawa bawahanku! Ini adalah hukuman untukmu!" teriaknya, menebas tubuh musuhnya sampai tewas.
"Ukh, sialan, luka ini benar-benar mengganggu," gumamnya dengan napas tersengal. "Aku sudah tidak sanggup lagi berjalan," ia jatuh tergeletak di tanah,
napasnya semakin berat.
---
Sementara itu, di ruang kerja Count Etienne, suasana tegang menyelimuti. "Apa kabar dari kastel Dawson, Zach?" tanyanya pada kesatria yang setia melindunginya.
"Ada, tuan. Duchess baru memberi kabar saat saya sampai di sana. Ia mengatakan bahwa lima hari setelah pelantikan putra Grand Duke Dawson di Kekaisaran, Kaisar langsung mengutusnya untuk melakukan pembasmian monster di wilayah selatan. Setelah itu, kesatria mereka kembali, namun satu hari setelah Grand Duke yang baru dilantik pergi, mereka melapor kepada Duchess bahwa mereka dikepung oleh pembunuh bayaran dalam jumlah
banyak, dan Grand Duke muda tidak kembali bersama mereka," jelas Zach dengan cermat.
"Zach, kalau tidak salah, putra Giotto selalu menutupi setengah wajahnya dengan topeng?" tanya Count Etienne, berusaha menghubungkan kejadian ini.
"Benar, tuan. Dia selalu menutupi setengah wajahnya karena tuan muda Dawson sangat membenci jika orang lain melihat wajahnya."
"Giotto Clark Dawson... Dia meninggal dua bulan lalu. Ethan juga sudah cukup umur untuk mewarisi gelar ayahnya. Tapi, siapa yang mengirim pembunuh bayaran untuknya?" tanya Count Etienne, sambil memandang topeng yang ada di meja. "Ini jelas milik Ethan, ada ukiran lambang
keluarga mereka," tambahnya, semakin curiga.
"Bagaimana kalau kita cek kondisinya dulu?" usul Zach.
"Baik, ayo kita ke kamarnya."
Mereka berjalan beriringan menuju kamar Ethan. Count Etienne memandang pria yang terbaring dengan mata tertutup. "Ternyata ini memang benar Ethan. Aku pernah melihat wajahnya, tapi itu delapan tahun lalu. Wajahnya sekarang sangat mirip dengan Giotto saat masih muda," pikirnya.
Tiba-tiba, pria itu membuka matanya dengan napas terengah-engah, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Count dan Zach terkejut melihatnya bangun begitu
mendadak.
"Hah..." pria itu menghela napas, meraba kepalanya yang terasa pusing.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Count Etienne, mendekat dengan cemas.
Dengan tatapan tajam, pria itu bertanya, "Siapa Anda?" sambil menjauh.
"Aku Eryk, Paman dari gadis yang menolongmu," jawab Count, mencoba menenangkan.
"Di mana aku?" tanya pria itu kebingungan.
"Kamu ada di kastelku," jawab Count Etienne dengan tenang.
"Lalu, apakah Anda tahu siapa saya?"
tanyanya lagi, kebingungan.
Count terdiam sejenak. "Apa kamu benar-benar tidak ingat apapun?" tanyanya dengan lembut.
"Iya, aku tidak ingat apapun," jawab pria itu dengan suara pelan.
Count Etienne menghela napas panjang. "Baiklah. Namamu Ethan. Untuk saat ini, itu yang bisa kuberitahukan. Ini barang milikmu," katanya sambil meletakkan topeng di meja. "Aku akan menyuruh pelayan membawa makanan untukmu. Jadi, makanlah. Kita akan melanjutkan percakapan kita besok," tambahnya, mengusap pundak Ethan sebelum meninggalkan kamar, diikuti oleh Zach.
---
Ethan… Ya, itu namaku di kehidupan sebelumnya. Tapi sebenarnya, aku berada di mana sekarang? Kamar yang luas dengan dekorasi klasik Eropa, seperti yang biasa kulihat di internet—dekorasi bangsawan Eropa yang elegan dan mewah. Nama Paman yang tadi… sepertinya tidak asing bagiku.
Dia beranjak dari tempat tidur dengan perlahan, merasakan nyeri setiap kali tubuhnya bergerak. Langkahnya berat, namun ia memaksakan diri menuju cermin besar di sudut kamar. Di hadapan cermin, ia terdiam cukup lama, menatap wajah yang tak dikenalnya.
Siapa dia? pikirnya. Kenapa aku bisa ada di tubuhnya?
Rambut hitam legam, mata merah yang tajam, dan wajah tampan. Siapa sebenarnya orang ini? Kenapa aku ada di tubuhnya?
Ia menghela napas panjang. "Hah..." Ia tertawa terpaksa, merasa bingung dan putus asa. "Semua yang terjadi ini begitu tidak masuk akal."
Tatapannya jatuh pada topeng yang diletakkan Count Etienne di meja. "Tunggu… topeng ini... dia bilang ini milikku," pikirnya, melangkah mendekat.
Ia mencoba memakainya. Topeng ini, kenapa rasanya tidak asing? Tiba-tiba, ada perasaan yang mengalir begitu alami saat mengenakan topeng itu. Wajah ini, topeng ini, semuanya terasa seperti bagian dariku.
---
Keesokan harinya, Ethan terkejut ketika seorang gadis muda tiba-tiba masuk ke kamarnya. Saat itu, dia sedang duduk dekat jendela, memandang pohon-pohon yang bergoyang tertiup angin pagi.
"Ehh, kamu sudah sadar?" kata gadis itu, terkejut melihatnya.
Dia hanya membalas singkat, "Ah, iya."
"Syukurlah. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya gadis itu dengan khawatir.
"Lebih baik, ah… tidak, aku merasa lebih baik," jawab Ethan, sedikit bingung.
"Tidak usah gugup," ujar gadis itu, "Namaku Grace Ilona Xavier."
"Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu. Aku akan keluar untuk memanggil dokter."
"Tunggu dulu!" seru Ethan, membuat gadis itu berhenti.
"Ada apa?" tanyanya, menoleh.
"Terima kasih... sudah menolongku," ucap Ethan dengan tulus.
"Tentu saja," jawab Grace sambil tersenyum, kemudian keluar untuk memanggil dokter.
Setelah dokter selesai mengobatinya, ia keluar dan bertemu Grace di depan pintu.
"Astaga, Nona!" terkejut dokter melihatnya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Grace.
"Far lebih baik, meski lukanya masih perlu waktu untuk benar-benar sembuh," jawab dokter dengan senyum puas.
"Syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya."
"Baiklah, Nona, saya pergi dulu untuk melaporkan keadaan ini pada tuan," kata dokter sebelum melangkah pergi.
"Terima kasih banyak atas pengobatannya," ucap Grace dengan tulus.
Tidak lama setelah itu, Grace kembali ke kamar Ethan dengan membawa camilan, teh, dan dessert. Ia meletakkannya di atas
meja dekat pria itu yang tengah duduk memandangi luar jendela.
"Heh, ada yang sedang kamu pikirkan?" tanya Grace, duduk di depannya.
Ethan menoleh padanya, matanya yang tajam beralih dari pemandangan luar jendela ke wajah gadis itu. "Ah, tidak ada," jawabnya.
"Omong-omong, siapa namamu?" tanya Grace, tersenyum.
"Ethan, itu namaku," jawabnya.
"Wah, nama yang bagus," kata Grace dengan senyum lembut. "Warna matamu juga sangat bagus," sambungnya sambil memandang mata Ethan yang berkilau merah.
"Sungguh?"
"Iya, seperti permata merah delima," jawab Grace, matanya bersinar.
"Warna matamu juga indah, seperti biru laut yang mempesona."
"Sungguh? Terima kasih," ucap Ethan, tersenyum.
"Jadi, Ethan… maukah kamu jadi temanku?" tanya Grace dengan senyum polos.
Ethan terdiam beberapa saat, merasa asing dengan dunia barunya ini, dengan tubuh yang bukan miliknya. Namun, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya merasa nyaman, meski dia merasa bingung dan takut.
Walau aku sulit mempercayai siapapun, kurasa gadis ini tidak masalah. Ada sesuatu yang aneh ketika aku melihatnya. Rambutnya yang putih kebiruan, matanya yang berwarna biru laut, seperti permata yang begitu indah. Setiap kali menatap matanya, aku merasa tenang.
"Baiklah," jawab Ethan akhirnya, tersenyum. "Ayo kita berteman."
Grace tersenyum lebar, sangat senang mendengarnya. "Terima kasih," katanya sambil saling berjabat tangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!