Jakarta 20:30pm
"Kamu yakin nak, mau tinggal di Hongkong? Menjadi dosen di salah satu Universitas di sana?" Tanya Anita ketika menemani putri ketiganya menata pakaian ke dalam koper.
"Ini kesempatan Sha untuk mencari pengalaman di negri orang mom, insya Allah yakin"
"Kamu akan tinggal di sana selama menjadi dosen lho sayang"
"Shanum ini bukan anak kecil lagi mom, Nggak mungkin kan Sha merepotkan daddy dan mommy terus-terusan"
"Tapi mommy khawatir, apalagi kondisi kamu yang kadang masih suka pusing" Ada gurat kecemasan terlukis di wajah wanita yang memiliki tiga orang cucu itu.
"Shanum nggak sendiri kok, daddy meminta mbak Nonik buat ikut Sha ke sana, nanti setiap enam bulan sekali Sha juga akan pulang buat nengokin kalian"
"Ya tapi nak_"
"Mom" Shanum menangkup wajah sang mommy kemudian menatapnya lekat-lekat . "Please, Shanum akan baik-baik saja, Shanum bisa jaga diri" lanjutnya menenangkan sang mommy.
Sebenarnya Anita bukan hanya mengkhawatirkan kondisi putrinya, tapi ia juga takut karena sampai saat ini Shanum masih terikat tali pernikahan dengan seorang pria.
Pernikahan yang di rahasiakan oleh dirinya dan sang suami, justru membuat hubungan anak dengan menantunya menggantung begitu saja.
Emir sudah memutuskan akan membahas masalah sang putri jika ingatannya sudah kembali.
Sementara Shanum sendiri mengira bahwa dirinya masih lajang dan belum pernah menikah.
"Masih ada kak Nanas dan kak Sheina yang temani mommy di sini. Mommy nggak akan kesepian"
"Mommy bisa apa kalau kamu sudah memutuskan?" Balasnya sendu.
"Mommy bisa doain Sha, karena doa seorang ibu mampu menembus langit"
"Kalau itu sudah pasti nak"
"Kalau begitu mommy nggak boleh sedih"
"Mommy cuma khawatir karena di Hongkong kamu akan sendiri"
"Sudah di bilang ada Nonik yang menemani Sha di sana"
Hening, Anita tak lagi membalas kalimat putrinya.
Beberapa menit berlalu, Shanum sudah mengemasi semua pakaiannya ke dalam koper, dan koper itu siap di bawa ke Hongkong besok pagi.
***
Ralline Shanum Dhaniswara adalah seorang wanita yang sejak kecil selalu mendapat perlindungan dari orang tua serta kakak-kakaknya. Para keluarga mengira kalau hidup Shanum akan berjalan mulus seumur hidupnya, akan tetapi takdir berkata lain. Ingatannya justru menghilang akibat kecelakaan yang dia alami sesaat setelah melahirkan bayinya.
"Kamu hati-hati ya, kabarin kalau sudah sampai" Kata Emir seraya memeluk putrinya.
Saat ini, Shanum, Emir serta Anita sudah berada di bandara.
"Iya dad, jaga diri daddy baik-baik! Jangan lupa vitaminnya di minum secara teratur"
"Siap" Pelukan mereka pun terurai, kini giliran Shanum memeluk Anita.
"Jangan lupa telfon mommy setiap hari, nak"
"Okay mommy!"
"Langsung hubungi kami jika kamu mengalami kesulitan di sana, nanti daddy mommy pasti akan langsung datang" Anita melepas pelukannya.
"Ish, mommy berlebihan, mommy terlalu mengkhawatirkan anak mommy yang sudah tua ini, tapi masih belum menikah"
"Bagi mommy kamu tetap putri kecil mommy. Jaga diri baik-baik, faham!" tangan Anita terulur menyentuh salah satu pipi putrinya.
"Sangat faham mom. Mommy juga jaga kesehatan ya, kalau ada apa-apa kabarin Shanum secepatnya"
Setelah mengangguk untuk merespon ucapan Shanum, Anita lantas mengecup kening sang putri agak sedikit lama.
Saking larutnya dengan sesi perpisahan, tahu-tahu terdengar informasi dari pelantang suara yang mengatakan bahwa pesawat menuju negri beton akan segera melakukan boarding pas.
Shanum dan Nonik pun bergegas menuju area tempat pemeriksaan tiket dan beberapa dokumen seperti ID card dan juga pasport.
"Hati-hati nak!" Teriak Anita sembari melambaikan tangan.
Shanum meresponnya dengan memperlihatkan jari jempol lengkap dengan seulas senyum, kemudian membalas lambaian tangan sang mommy.
Malam sebelum keberangkatan, Anita sempat memperingatkan Nonik untuk menjaga nonanya dengan baik. Wanita itu juga berkata untuk tidak menceritakan masa lalu Shanum yang sudah pernah menikah dan memiliki anak, namun anaknya tidak bisa di selamatkan ketika di lahirkan.
Ya, kecelakaan itu membuat Emir dan Anita murka kepada menantunya. Mereka menganggap jika Ben, yang tak lain adalah sang menantu, tidak bisa menjaga Shanum dengan baik, hingga keduanya melarang Ben untuk menemui putrinya yang di pastikan mengalami amnesia.
Bersambung...
Yang mau baca kisahnya Shanum dan Ben, (Tangan kananya Kellen Austin yang sudah resign) monggo tap ♥
Bisa di bilang ini sequelnya Personal Asisten, Menggapai rindu daddy, sama terjerat perjodohan.
Yang kenal Khansa sama Naraya, pasti kenal juga sama Anita. 😀
Ben Dixon Harefa, mulanya dia adalah seorang Atheis, tapi karena pertemuannya dengan sang istri, dia menjadi mualaf yang perlahan mengenal islam.
Sosok Shanum benar-benar membimbing dan mampu merubah Ben menjadi seorang pria yang percaya akan adanya Tuhan.
Pria yang lahir di Macau ini memilih pindah ke Hongkong semenjak sang istri pergi meninggalkannya, sebab begitu banyak kenangan manis yang Shanum tinggalkan di negri Casino. Termasuk putri manis yang terpaksa ia sembunyikan dari ayah dan ibu mertuanya.
Bukan tanpa alasan Ben mengatakan pada Anita serta Emir bahwa bayinya tidak selamat saat terlahir ke dunia, itu karena pria berusia tiga puluh lima tahun ini marah ketika tidak di ijinkan bertemu dengan istrinya yang saat itu mengalami kecelakaan dan di rawat di rumah sakit.
Hingga lima tahun berlalu, Ben bahkan masih belum bisa melupakan Shanum. Dia terlalu marah, benci atau mungkin kecewa karena Shanum tidak pernah datang untuk sekedar menengok putri kandungnya.
Tidak pernah sama sekali.
Entah ada apa gerangan, wanita yang sangat faham dan mengerti tentang ajaran Islam, justru melupakan putrinya dengan begitu tega. Tapi Ben sendiri memilih berprasangka baik karena mungkin mertuanyalah yang telah melarang istrinya untuk menemui dirinya.
Ah entahlah ... dia tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan wanitanya, dia harus fokus bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga, terutama fokus membesarkan putri kesayangannya.
Mikayla Ralline Harefa, seorang anak yang tumbuh dan di besarkan oleh daddy, grandma, aunty serta unclenya itu kini menjadi anak yang cerdas dan pemberani, yang seolah tak pernah takut dengan bahaya.
Padahal, sang daddy bekerja sebagai asisten dari Jhon Divan yang memiliki banyak musuh serta pesaing bisnis yang tidak biasa.
Adik dari ibunya Ben ini melakukan bisnis ilegal di bidang pertambangan emas. Banyak rival yang seakan-akan memata-matai kehidupan Jhon termasuk kehidupan Ben.
Alasan itu pula yang membuat Ben harus menyembunyikan Mikayla dari mata publik.
Ben memilih Hongkong sebagai tempat tinggal yang aman untuk putri dan keluarganya. Sebuah apartemen yang cukup mewah, dan bisa di jadikan tempat bermain untuk sang putri.
Sebenarnya, awalnya bisnis itu adalah bisnis legal milik papahnya Ben, namun dengan licik sang paman mengambil alih bisnis itu ketika dia masih kecil, dan entah bagaimana menjalankannya, bisnis tambang emas itu mendadak menjadi bisnis ilegal.
"Daddy, ayo bangun! Sudah siang daddy, kita olah raga" Mereka memang tinggal di Hongkong, tapi Ben serta keluarganya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Ia menggunakan bahasa Canton hanya ketika berbicara dengan warga lokal.
"Daddy masih mengantuk sayang, Kay pergi sama ancle Leo ya"
"Nggak mau, Mikayla mau sama daddy" Anak itu terus saja memaksa daddynya.
"Atau sama aunty Allea"
"Mau sama daddy!" tegasnya.
"Okay-okay" Ben akhirnya keluar dari balik selimut karena Mikayla terus saja menggoyang-goyangkan tubuhnya, pria itu lalu duduk menatap sang putri dalam-dalam. "Kalau Kay mau olah raga sama daddy, berarti nanti siang daddy nggak temani Kay main, tapi kalau Kay pergi sama aunty atau uncle sekarang, nanti siang boleh main sama daddy"
Anak gadis itu terdiam, mengarahkan bola mata ke langit-langit atap kamar.
Mungkin Mikayla tengah berfikir atau menimbang-nimbang pilihan mana yang lebih menguntungkan baginya.
"Gimana sayang?" Ben mengangkat kedua alis dengan seringai menggoda. Dia sangat yakin kalau putri kecilnya pasti akan memilih pergi berolahraga bersama tante atau pamannya.
"Okay daddy! Sekarang juga daddy ganti baju, Kay tunggu di luar" sebelum turun dari ranjang, anak gadis yang beberapa bulan lagi akan menginjak usia ke lima, mengecup pipi kiri Ben penuh sayang.
"Kay tetap mau pergi sama daddy?" Ben menegaskan selagi sang anak belum benar-benar keluar dari kamarnya.
"Yes daddy, I want run with daddy" Sahutnya sambil menyentuh gagang pintu.
"Pikirkan baik-baik, nak. Nanti siang nggak bisa main sama daddy kalau sekarang Kay ajak daddy lari pagi"
"No daddy, keputusan kay sudah final"
Terdengar pintu di tutup sedetik setelah Mikayla mengatakan itu.
Dia memang sudah bulat untuk mengajak daddynya berolahraga di pagi ini, sebab Leo dan Allea sudah menolaknya mentah-mentah, mereka sudah terlalu di buat pusing oleh tingkah keponakannya dari hari senin sampai sabtu.
Mikayla sendiri sudah faham trik Ben bahwa itu hanya alibinya saja untuk menghindarinya. Gadis itu sangat yakin meski sekarang pergi berolah raga dengan sang daddy, di siang hari nanti, dia juga akan bisa bermain dengan daddynya pula.
Sementara Ben yang menatap daun pintu dengan mata setengah terpejam serta rambut terlihat acak-acakan, kini tatapannya beralih pada photo berukuran 75×100cm yang menggantung di dinding.
Sebuah photo pernikahan yang selalu ia tatap saat menjelang tidur.
"Lihat putrimu! Dia sangat nakal, tidak hanya pagi ini Mikayla menggangguku, dia selalu membuatku pusing di setiap paginya"
Ben menatap foto itu dengan tatapan kelam.
"Andai kamu bersama kami, kamu pasti tidak akan pernah membiarkannya menggangguku, kamu pasti akan menghandlenya, bukan?"
"Apa kamu tidak merindukannya? Tidak ingin bertemu dengannya? Asal kamu tahu Sha, putrimu itu sangat manis, sangat lucu dan pintar sepertimu. Kamu pasti akan menyesal jika tidak bisa bermain dengannya seumur hidupmu"
Mendengkus lirih di susul tarikan nafas berat, Ben menyugar rambutnya sebelum kemudian bangkit lalu melangkah menuju kamar mandi.
Hanya butuh waktu limabelas menit untuk dia melakukan aktivitasnya di dalam sana, ia pun keluar dengan kondisi wajah yang sudah lebih segar dari sebelumnya.
Mengenakan pakaian khas olah raga lengkap dengan sepatu sport, ia berulang kali menggerutu seakan-akan tengah mengomel.
"Anak gadismu, Sha ... Benar-benar pembuat onar. Kamu pasti juga akan pusing di buatnya" Ia mengabaikan teriakan Mikayla yang terus memanggilnya 'daddy'.
"Aku kira kamu sangat pendiam, tapi tidak! Kamu sangat cerewet, disiplin, dan sangat jeli. Sama seperti anak itu. Kamu benar-benar sempurna menutupi sifatmu dengan pakaian anggunmu, pakaian yang tidak pernah memperlihatkan seperti apa lekuk tubuhmu di hadapan orang lain. Pakaian yang membuat orang lain berfikir bahwa kamu adalah wanita aneh yang tidak tahu apapun. Cerewetmu, buasmu, dan keras kepalamu tersimpan begitu rapi di balik gaunmu" Ben menggeleng-gelengkan kepala seraya mengikat tali sepatu.
Dia mendesah, lalu mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Diam tapi menghanyutkan"
"Daddy!"
"Yes!"
Dan satu hal yang membuat Ben kian gugup.
Teriakan Mikayla yang terus mendengung di telinganya.
"Daddy!!!! Faiti, emkoi!" Suaranya cemreng, membuat Ben mendengkus kasar. "Emkoi-emkoi" imbuhnya yang terdengar menggemaskan.
"Hai my cute baby. Sabar, okay! Anak sabar di sayang_"
"Di sayang mommy" Sambar Mikayla memenggal cepat kalimatnya yang belum tuntas.
Sekian detik kemudian, pria itu akhirnya melangkahkan kaki ke arah pintu.
Dia yang baru saja membuka pintu kamar, langsung di sambut oleh Mikayla yang tahu-tahu berdiri di hadapannya dengan kepala terdongak.
"Zhunbei haole, daddy?" tanyanya polos dengan senyum penuh kemenangan.
"Hai, siuce"
"Okay, lets go!" Mikayla menggandeng tangan Ben, lalu berpamitan pada neneknya.
"Bye genma"
"Bye" Wanita berusia lima puluh sembilan tahun itu tersenyum simpul melirik sang cucu sambil mengoleskan selai kacang di roti tawarnya.
****
Siang harinya, matahari masih betah bersembunyi di balik awan. Shanum yang baru saja keluar dari area bandara internasional Hongkong menatap sebuah poster pesawat bertuliskan Cathay pacific, pesawat yang membawanya sampai di negri yang saat ini sedang berada di musim gugur.
Cuaca sejuk dan angin sepoi seakan mengingatkan dia pada sesuatu yang sepertinya pernah ia rasakan. Tapi mustahil, karena ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di bumi dengan perekonomian maju.
Huuhh...
Ia melepesakan hembusan nafas pelan.
Kenapa aku merasa pernah ke tempat ini sebelumnya? Cuacanya begitu menenangkan dan membuatku seperti mengulang masa-masa indah.
Masa indah? Apa? Wanita itu tersenyum dalam hati.
Aku saja baru kali ini datang kemari.
"Nona Shanum, taxi sudah datang" Suara Nonik mendadak membuat lamunannya berantakan. Ia lekas mamusatkan atensinya pada sang asisten kemudian beralih ke mobil berwarna merah yang entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sudah berada di depannya.
"Kopernya, Nik" tanya Shanum ketika tak mendapati kopernya.
"Sudah di masukkan bagasi sama sopir taxinya, non"
"Oh" Naik ke dalam taxi, kemudian memasang sabuk pengaman.
Ia memberitahukan tujuan mereka pada sopir taxi.
"Tsim Tsa Tsui, Mr" Shanum menyerahkan kartu alamat apartemen ke sopir taxi.
"Okay, siuce!"
Taxipun melaju dengan kecepatan stabil menuju tempat tujuan.
Shanum dan Nonik memilih diam dengan pandangan masing-masing menoleh ke kaca mobil di sampingnya untuk menikmati view kota Hongkong yang tampak begitu megah dengan bangunan beton yang luar biasa indah.
Bersambung...
Akan ada bahasa cantonese atau bahasa yang umum di gunakan oleh masyarakat Hongkong yang aku selipin.
Jika ada tempat atau nama yang sama, mohon maaf, ini hanya novel fiksi yang jauh dari kata nyata. Tapi sebisa mungkin saya akan buat cerita ini sesuai dengan latar belakang dan setting tempat.
Up ceritanya tergantung respon pembaca ya, kalau mau kasih rating bintang dua atau tiga, aku saranin lebih baik nggak usah kasih rate, soalnya justru akan membuat cerita ini perfomanya turun.
Nggak perlu kasih vote atau hadiah, yang penting ikutin terus ceritanya, dan beri reaksi atau tanggapan yang positif. Bisa like & komen (Komentar yang membangun atau bisa disisipi sebuah nasehat, atau mungkin komentar lucu biar aku juga terhibur setelah koleng menghalu) 😀😀
Big love..😚😚
Note :
Faiti : Cepat sedikit.
Emkoi : Bisa permisi, bisa Please. Tergantung kalimatnya.
Zhunbei haole : Apakah sudah siap?
Hai, siuce : Ya, Nona
Hai : Iya
Siuce : Nona.
Tsim Tsa Tsui : Nama kota di Hongkong.
Cuaca di luar cukup sejuk di musim gugur. Hembusan angin yang menggoyang pepohonan, membuat dedaunan terus berjatuhan. Setelah musim gugur berlalu, maka musim dingin akan menyambut.
Malam ini, Ben kembali ke rumah hampir di pertengahan malam sebab ada beberapa pertemuan penting terkait dengan bisnis ilegal pamannya. Dia bahkan melewatkan jam makan malam di rumah, suatu hal yang memang sering sekali ia lakukan. Sampai-sampai putrinya terkadang protes dengan pekerjaannya yang selalu membuatnya jarang pulang.
Kantornya memang ada di Hongkong, tapi untuk pusatnya ada di Shenzhen, jadi mau tak mau dia harus bolak-balik Hongkong-China.
"Daddy pulang, nak" Naik ke tempat tidur lalu merebahkan diri dengan menopang kepala menggunakan salah satu siku tangannya, tangan yang lain bergerak mengusap kening putrinya sebelum kemudian mengecupnya cukup lama.
Wajah damai dalam tidur pulas Mikayla, mengingatkan Ben pada sosok sang istri yang akan terus ia cintai hingga nafas terakhir.
"Maaf ya, daddy lagi-lagi telat pulang" Dia bergumam lirih setelah melepas kecupannya.
"Daddy sangat merindukan Kay, apa Kay juga merindukan daddy?"
"Enggak" Mata Ben seketika membulat ketika Mikayla menjawab pertanyaannya. "Tapi itu bohong daddy" Lanjutnya membuka mata kemudian melingkarkan lengan mungil di leher Ben. "Kay rindu Daddy"
"Mikayla, kenapa belum tidur?"
"Sudah tidur tadi, tapi kebangun gara-gara dengar suara daddy pulang, daddy berisik jadi bangun"
"Maafin daddy ya, udah ganggu tidurnya Kay"
Anak itu mengangguk kemudian berbisik "I love you my sweetest daddy"
"Daddy love you too, my sweetheart"
"Mommy?" Kata Mikayla.
"Kenapa sama mommy?" tanya Ben mengernyit bingung.
"Sayang Mikayla?"
"Sayang dong, nak"
"Kay pengin ketemu mommy" Sepasang mata Kay yang di lingkupi bulu mata lentik mengerjap.
Sebelum merespon, Ben kembali mengecup kening putrinya kemudian membawa ke dalam pelukannya.
Bagaimana dia memberitahukan pada Mikayla kalau sang mommy tidak pernah merindukannya?
Shanum bahkan sangat bahagia seperti tak memiliki seorang anak ketika diam-diam Ben mendatangi rumah mertuanya dan melihat Shanum seakan tanpa beban.
"Daddy!" Kepala Kay sedikit tengadah, menempelkan dagunya di dada Ben.
"Maaf ya, daddy belum bisa menemukan mommy, tapi daddy janji akan terus cari mommy sampai ketemu"
"Tapi kenapa mommy bisa hilang? Apa mommy di culik, atau tersesat dan nggak tahu jalan pulang?"
"Mommy tersesat nak"
"Tapi kan mommy udah gede dad, kenapa nggak tahu jalan pulang? Kay tahu jalan pulang dari pasar ke rumah"
"Mikayla doain mommy terus supaya tahu jalan pulang, okay" Tangan kokohnya membelai rambut Mikayla.
"Kay selalu doain mommy, tapi nggak di kabulin, mommy belum pulang juga sampai sekarang"
"Pokoknya berdoa terus! Kata mommy, doa itu bisa merubah apapun"
"Apa bisa nemuin mommy juga?"
"Of course!"
Tiba-tiba Mikayla melantunkan sebuah doa.
"Yaa Allah, Kay rindu mommy, Kay pengin ketemu mommy, kabulin ya Allah"
Sepasang mata Ben langsung menghangat mendengar doa yang terucap dari mulut Mikayla lalu mengamininya.
Maafin daddy, nak ... Daddy sudah bohong sama Kay. Mommy nggak hilang, mommy hidup bahagia bersama opa, oma di Jakarta. Atau mungkin malah sudah menikah lagi dan punya anak.
Menghela napas panjang, Ben lalu mengajaknya tidur. "Tidur lagi yuk, sudah larut"
"Daddy" Panggil Mikayla sendu.
"Iya sayang!"
"Besok Kay ada fieldtrip ke kebun binatang, kata Laosi (guru) daddy boleh ikut kalau nggak sibuk"
"Kalau daddy nggak ikut gimana?"
"Nggak apa-apa, daddy kan kerja. Teman Kay juga banyak yang daddy mommynya nggak ikut"
"Okay, besok daddy ngomong ke laosi kalau daddy nggak bisa ikut, terus minta laosi buat jagain Kay baik-baik"
"Iya daddy"
"Maafin daddy ya, nggak bisa temani Kay, daddy janji kalau lagi nggak kerja ajak Kay jalan-jalan"
"Andai ada mommy" Gumam Kay lirih.
"Sudah-sudah, Kita tidur lagi saja yuk!"
"Ya daddy, good night"
"Good night" Balas Ben yang di susul dengan mengecup puncak kepala Mikayla.
Anak itu mungkin langsung bisa memejamkan mata karena dia berada dalam pelukan sang daddy, tapi tidak dengan Ben yang justru ingatannya jatuh pada situasi lima tahun lalu.
Flash back on.
"Tuan Ben" Suara Shanum terdengar ragu-ragu. Ben yang sedang menghadap layar komputer, langsung memusatkan perhatian ke wajah istri cantiknya.
"Ada apa?" Ia melepas kacamata. Matanya tidak minus ataupun silinder, tapi jika sedang berhadapan langsung dengan komputer, ia selalu mengenakan kacamata pelindung.
"Bisa kita bicara?"
Mengatupkan bibir, Ben lantas mengangguk lalu meletakkan kacamatanya di depan komputer yang tetap di biarkan menyala.
"Bisa?" Sahutnya singkat.
"Bisa kita duduk di atas tempat tidur"
Sempat heran dengan permintaan sang istri, Ben melirik ke arah ranjang yang masih tampak rapi.
Butuh lima detik untuk mereka bisa duduk di tepi ranjang dengan saling berhadapan.
"Sebelum mulai bicara, aku ingin mengingatkanmu" Ben melipat salah satu kaki ke atas kasur lalu meraih tangan kanan Shanum untuk ia genggam. "Jangan panggil aku tuan Ben, aku ini sudah menjadi suamimu, rasanya tidak pantas kata tuan terselip sebelum namaku"
"Terus panggil apa?"
"Panggil Ben, atau_" Ben menggantung kalimatnya sesaat. "Sayang" Ada kerlingan jahil yang membuat Shanum tersipu malu.
"Okay mau bicara apa?"
"Begini, Ben" Ucapnya ragu. "Bukan-bukan, maksudku sayang"
Sementara Ben mengangkat satu alisnya sambil menahan senyum geli melihat ekspresi gemas di wajah sang istri.
"Meski pernikahan kita adalah sesuatu yang tidak pernah di sangka, tapi tetap saja kita terikat dalam satu hubungan"
"Hemm" Ben berdehem. "Lalu?"
"Pernikahan juga bukan sebuah permainan, jadi apa kamu nyaman dengan hubungan kita ini?"
"Nyaman" Sahut Ben tanpa pikir panjang"
"Maksudku, Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa tenteram berada di dekatnya, dan di jadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang, so jika tidak ada ketentraman di hatimu, kita bisa mengakhirinya"
"Kamu mau mengakhirinya?" Tanya Ben sedikit was-was.
"Sudah ku bilang tadi bahwa pernikahan bukan permainan. Ada nafkah batin yang berhak kita dapatkan, dua bulan sudah cukup buatku untuk memikirkannya, dua bulan adalah waktu yang lama dan dosaku pasti menumpuk karena belum melakukan kewajibanku memberikan hakmu sebagai suamiku"
"Jadi_?" Ben mengerutkan dahi, menatap penuh lekat manik pekat istrinya yang juga sedang menatapnya dalam.
"A-aku tidak mau terbebani, isya Allah aku sudah siap jika kamu menginginkannya"
Paham kemana arah pembicaraan istrinya, Ben lalu melempar pertanyaan. "Kamu siap?"
Shanum menganggukkan kepala untuk meresponnya. "Aku menerima pernikahan ini, aku siap"
"Malam ini?" Senyum Ben tampak begitu menggoda.
"Terserah kamu"
Shanum yang menundukkan kepala, membuat tangan Ben terulur untuk mengangkat dagunya. Otomatis pandangan mereka langsung bertemu.
Mereka bergeming dengan tatapan lekat, masing-masing juga sibuk menormalkan deru jantung yang tiba-tiba meliar.
Tiga detik kemudian, Ben mengecup kening Shanum dalam dan lama sebelum kemudian memeluknya erat-erat. Pelukan yang justru memberikan efek nyaman di hati keduanya.
"Mari kita mulai dari awal, Sha! Aku mencintaimu, sudah lama mencintaimu"
Tertegun, Shanum mendengar ungkapan cinta Ben yang terdengar amat tulus. Ini pertama kali pria itu menyatakan cintanya setelah dua bulan menikah. Begitu pula dengan Shanum yang belum pernah mengatakan cintanya pada sang suami.
"Kamu mencintaiku?" Ben mengurai pelukan lalu menatapnya dengan sorot serius, jantungnya berdebar saat dia menanyakan itu.
Untuk ke sekian kalinya Shanum menjawab dengan bahasa tubuh, menganggukkan kepala pelan, tapi tanpa ragu.
Dan di malam itulah mereka mengawalinya setelah dua bulan usia pernikahan. Mereka mulai menerima satu sama lain untuk bersama-sama melangkah mengarungi bahtera rumah tangga yang samawa.
Keduanya saling memberikan kebahagiaan, lahir dan batin, sama-sama melakukan yang terbaik demi menunjang kebutuhan jasmani dan rohani, kecanggungan di antara mereka pun kian menipis dan bahkan menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Sejak malam itu pula, mereka saling memberikan yang terbaik, perhatian, kasih sayang, serta kesetiaan yang berlimpah.
Flash back of.
Kenangan yang terlalu manis untuk di ingat, membuat Ben akhirnya hanyut terbawa arus mimpi.
Benar-benar rumah tangga yang indah, namun sayangnya hanya sekilas.
****
Keesokan paginya Shanum yang sudah satu malam menempati apartemennya, pagi ini bersiap hendak pergi ke kantor Imigrasi untuk membuat kartu identitas.
Selama tinggal di Hongkong, selain harus mengantongi visa dan juga pasport, Shanum juga harus memiliki ID card Hongkong yang tampilannya seperti Kartu tanda penduduk.
"Ini ID card sudah langsung jadi kan Nik?" tanya Shanum lalu menggigit sandwich.
"Iya Nona, paling cuma nunggu satu sampai dua jam"
"Okay, kita langsung belanja isi kulkas setelah itu"
"Baik nona"
Hening, mereka fokus dengan sarapannya masing-masing.
Begitu selesai makan, dua wanita satu generasi itu bergegas pergi menuju Imigration office.
Hingga tiga jam berlalu, dan urusan mereka juga sudah selesai, Shanum yang merasa agak pusing memilih duduk di sebuah bangku taman dekat supermarket, menunggu sang asisten yang sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Terlalu fokus dengan ponsel dan tidak memperhatikan sekitar, tiba-tiba ia di kejutkan oleh seorang anak kecil yang menghampirinya.
Yang lebih mengejutkannya lagi, anak itu dengan tanpa ragu memposisikan dirinya duduk di atas pangkuan Shanum sambil memanggilnya.
"Mommy!"
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!