NovelToon NovelToon

Menunggu Pagi

Bab 1

Namaku Elizha Lathifa, namun banyak orang memanggilku Sazha. Aku tak pernah mempermasalahkan setiap panggilan orang padaku. Jujur aku tak pernah menganggap penting itu semua, karena memang pada dasarnya sifat acuh tak acuh ku. Namun bukan berarti aku acuh pada setiap hal. Aku bukan orang yang tega bila melihat orang lain kesusahan. Karena sifat itulah orang lebih menyukai berteman denganku. Mungkin karena aku terlalu baik dan percaya ataukah ada maksud lain. Aku tidak tahu.

Menulis, menulis memang bukan profesi ku

Menulis pula bukan hobi ku. Namun entah mengapa aku lebih menyukai menulis untuk mengungkapkan seluruh isi di kepalaku.

Dengan menulis aku bisa menggambarkan isi hatiku, dengan menulis aku bisa membagi kebahagiaanku, dengan menulis aku bisa meluapkan emosiku, dengan menulis aku bisa menjadi diriku sendiri.

Menulis adalah caraku protes pada ketidakadilan pada diriku sendiri, aku sudah tak adil pada diriku sendiri. Bukan aku tak memiliki banyak pendengar dan menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku lebih leluasa menulis daripada harus bersusah payah bercerita pada orang yang belum tentu mau mendengarku.

Oh ya, aku sampai lupa mengenalkan diriku sendiri. Aku Sazha, wanita yang berumur 22 tahun. Seperti wanita pada umumnya rambut panjang sebahu sedikit berwarna karena aku memang gemar mewarnai rikmaku. Toh pekerjaan ku tak melarang aku melakukannya. Tubuh tak terlalu tinggi dan tak terlalu rendah membuatku nyaman dengan hasil yang sudah Tuhan cetakkan padaku.

Saat ini aku bergabung dengan sebuah perusahaan perangkat keras komputer. Aku ditunjuk menjadi salah satu marketing tim eksekutif. Karena memang sesuai jurusan yang aku ambil sewaktu aku mengenyam pendidikan formal ku yakni komunikasi. Sudah hampir setahun aku dipercaya oleh perusahaan untuk meng handle beberapa progam dan event di wilayah salah satu kota besar di Jawa Timur.

Kota Pahlawan, kota dimana aku menghabiskan beberapa masa mudaku. Kota dimana aku menjadi salah satu Hamba materi. Jangan tanya sesuka apa aku dengan makhluk yang bernama materi atau lebih tepatnya uang. Begitu banyak warga kota pahlawan yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hati Si uang. Uang lah yang selama ini dinanti kehadirannya bagi sebagian khalayak di kota ini. Termasuk juga saya. Hingga akhirnya aku meninggalkan kewajiban yang harus aku tunaikan pada Sang pemberi helaan napas.

Setiap aliran darah yang mengalir di raga ini selalu menuntunku untuk berlomba-lomba dengan para penghuni kota ini dalam mencari kesenangan duniawi. Sungguh sia-sia hidup ini. Sia-sia yang sudah aku jalani sejak dulu, namun aku tak pernah merasa menyesal sedikit pun.

Siang ini, aku baru saja menginjakan kakiku di kota metropolitan terbesar kedua di Negara ini. Setelah beberapa hari aku menghabiskan masa ku di Kota dingin. Stasiun kereta api di Kawasan Surabaya Timur menjadi titik kepulangan ku. Sambil membawa travel bag yang menggantung indah di bahu kananku aku keluar dari Stasiun moda transportasi darat tersebut.

Cuaca terik cukup menyengat dan sedikit mencubit kulitku, lantaran aku bukan wanita berhijab sengatan matahari lumayan menusuk hingga ke pori-pori kulit ku. Kulihat suhu udara dari layar ponsel pintar ku, “Hmmm ... 38,” gumamku pelan menuju parkir tempat itu.

Dengan langkah tergesa, ku percepat perjalanku menuju tempat dimana kendaraanku kutitipkan. Sesekali aku menengok kearah lain, para penjaja minuman keliling menarik perhatianku yang sudah terlihat lusuh bak cacing kepanasan. Penjaja minuman itu memanggil-manggil para calon pembeli dengan menwarkan barang dagangannya.

“Mizone, Aqua dingin, Sprite!” serunya memecah terik kota ini.

Ku palingkan mukaku, agar aku tak terbujuk rayuan mas-mas penjaja minuman dingin tersebut. Bukan aku tak selera, namun aku sengaja tak ingin mengulur waktu lama-lama. Karena akan menghabiskan banyak waktuku yang berharga.

Ketika aku hendak membuka jalan masuk ke kendaraanku, kurasakan ada dorongan dari arah belakang badanku. Dengan tenaga yang cukup kuat, benda yang menggantung di bahuku tersentak lepas lantaran sebuah tarikan dari lelaki bertubuh tambun. Aku mencoba meronta dan berteriak sekencang-kencangnya.

Meski sedikit sepi, parkir mobil yang menjadi tempat kendaraanku bermalam cukup mudah dijangkau.

“Lain kali hati-hati mbak,” ucap Sesosok pria yang tak kukenali. Pria itu telah menolongku dalam mempertahankan benda berharga milikku. Di dalam tabel bag yang aku bawa, selain berisi beberapa pakaian ganti ada pula Notebook yang berisikan data-data pekerjaanku. Materi bisa dicari namun data penting jangan sampai terlewati.

“Terimakasih Mas,” ucapku berterima kasih pada pemuda yang telah menyelamatkan aku. Atau lebih tepatnya menyelamatkan pekerjaanku.

“Jangan berterimakasih pada saya mbak, Anda punya Tuhan kan? Berterimakasih lah pada Tuhanmu, saya hanya perantara saja!” ujarnya seraya berjalan menjauhi tubuhku yang hanya memaku tepat disamping kendaraanku.

Deg ... jantungku serasa sejenak berhenti bekerja, tak ada lagi irama yang mengajakku menyerukan untuk bertasbih. Jantung yang selama ini mengajakku untuk meng Esakan Tuhanku.

“Tuhanku? Siapa aku?” ucap dari lisanku. Kakiku gemetar hingga tak mampu menopang ragaku. Aku terduduk lemas dibelakang kemudi sedanku. Sedanku? Bukan miliku, ini adalah salah satu inventaris dari perusahaan. Lalu apa yang aku miliki? Raga ini? Raga ini milik siapa? Sejuta tanya kini memenuhi batinku.

Aku tak tahu lagi apa yang ingin aku lakukan, mengapa setiap kata dari lisan yang terucap dari mulut pemuda itu begitu menampar setiap sudut di relungku. Aku memaku, suara itu masih terngiang tajam di indera pendengaranku. Hingga aku mencoba menguatkan diirku untuk menjalankan mobil yang selama ini menemaniku.

Tepat di lampu merah pertigaan depan sebuah supermarket, mobilku berhenti. Aku menoleh sejenak ke kanan dari posisiku, disanalah aku sering menghabiskan malam ku bersama rekan kerja dan temanku. Di salah satu tempat hiburan malam yang tepat diatas gedung supermarket itu berdiri.

Aku mulai menundukan wajahku, tempat seperti ini sudah menjadi rahasia umum bagi kawula muda seperti aku. Namun ada rasa malu saat ini. Sebelumya aku tak pernah merasakan hal yang saat ini aku alami. Kenapa aku bisa sampai di titik seperti saat ini.

Duka? Tentu saja bukan. Ini lebih tepatnya kecewa, kecewa kenapa aku bisa melupakan Sang Pemberi kehidupan. Lalu bagaimana caraku menebus ini semua? Apa yang harus aku lakukan?

*

Titik Sepi

Seperti angin yang berhembus

Kususuri sunyi dalam garis lurus

Menuju titik yang pernah kau gores

Pada lembar hidupku

Kan kututurkan sejuta syair

Wacana berbedanya harapan dengan kenyataan

Wacana kecewa tanpa sesal

Wacana perih tanpa nganga luka

Wacana rasa juga cinta

Wacana kita

Yang mengalah pada sejuta hukum nyata

Ya, kita

Yang telusuri garis lurus sunyi

Menuju titik sepi

Bab 2

“Woy bengong aja, kek anak perawan lagi nunggu apelan!” sapa Sean Yang sambil menepuk pundakku kala aku duduk memaku didepan teras rumahku.

Sean Yang, pria itu memang bisa dengan leluasa masuk ke rumah yang aku sewa beberapa bulan yang lalu. Pria berperilaku humoris itu merupakan keturunan Chinese, bisa dibaca dari nama marga Yang dibelakang namanya. Kalau untuk umur bisa kalian tebak sendiri saja pasalnya si Koko ini memang tak pernah terbuka dengan umurnya.

Lalu apa hubungannya dengan aku? Apakah dia pacarku?

Pacar? Kenapa mendengar kata pacar aku merasa risih? Entah lah selama aku memutuskan untuk menjadi wanita singel, aku belum pernah menjalin hubungan yang serius dengan lawan jenis.

Lalu Sean? Hubungan diantara kami memang lebih terlihat seperti hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Kami memang tak pernah secara resmi mendeklarasikan diri kami berpacaran. Entah lah, aku lebih nyaman dengan Friend Zone seperti saat ini.

Aku kembali mengingat pertemuan pertamaku dengan pemuda humble tersebut. Pemuda? Aku sebut saja pemuda karena kala itu usianya masih belum genap 30tahun. Aku bertemu untuk pertama kali pada peluncuran salah satu Tower eksklusif disalah satu Mall daerah Surabaya Barat.

Kala itu aku sedang ditugaskan untuk mengawasi sebuah pameran salah satu produk new release dari perusahaan ku dan yang mengejutkan lagi perusahaan yang aku naungi menjadi salah satu sponsor untuk sebuah Mega Proyek Apartemen.

Bertepatan dengan Launchingnya Tower tersebut, secara khusus aku perusahaan yang aku naungi diundang langsung untuk menghadiri acara tersebut.

Apartemen yang sedang digarap oleh perusahaan interior design yang digeluti oleh Sean. Sean adalah salah satu tim design untuk Mega proyek tersebut.

Secara kebetulan salah satu atasanku meminta bantuanku untuk menemaninya, dari sanalah aku mengenal sosok Sean. Pria yang memiliki senyum sehangat mentari pagi. Sean termasuk workaholic dilihat dari pekerjaannya yang membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi, tak seperti diriku yang hanya mengandalkan beberapa koneksi, sebagai sales tentunya aku dituntut agar luwes dalam mengolah kata.

“Apa aku terlalu kotor?” tanya ku pada sosok Sean yang segera duduk di depanku saat ini. Ia memasang wajah seserius mungkin, meski aku tahu itu ia mencoba serius saat mendengar kata-kata yang aku ucapkan.

“Apa kau minum lagi? Sudah aku katakan jangan minum sembarangan Zha,” ucap Sean menggenggam tanganku.

Pria ini sangat tahu saat aku butuh teman untuk sekedar mencurahkan isi hatiku.

Apa aku pantas membahas masalah Akidah padanya? Jelas-jelas Sean adalah non muslim.

Terlahir dengan membawa darah Tionghoa, Sean memang menganut Agama Katholik seperti kedua orang tuanya. Meski begitu ia tak pernah mempermasalahkan perbedaan diantara kami berdua. Dia sangat menghormati ku sebagai Muslim dan aku juga sangat menghargai dirinya sebagai umat Nasrani.

“Aku serius ko!” nada suaraku sedikit ku naikan lalu ku tatap kedua bola matanya yang lebih sempit dari milikku. Ada sedikit rasa sesal ku karena telah membahas hal intim pada Sean. Ia sedikit bingung atas pernyataan ku barusan.

“Tak ada yang menganggapmu kotor Zha, tak ada sampah yang menyebut dirinya sampah. Yang bisa menilai baik buruknya manusia hanya Tuhan bukan manusia lainnya.” Ucapnya sambil menatap dalam-dalam mataku.

“Baiklah, aku ingin istirahat dulu kau tahu aku baru saja pulang dan nanti malam aku harus ke Bar Anthoni,” pamitku mencoba bangkit lalu meninggalkan Sean yang masih duduk di kursi yang di depan kursi yang aku duduki barusan tadi.

“Istirahat lah, nanti aku akan memesankan makanan untukmu,” tuturnya sebelum menyambar kunci kendaraan yang tergeletak di atas meja yang berada diantara kursi yang kami duduki tadi.

*

Sean tahu aku bekerja di Bar milik Anthoni. Bukan Elizha namanya kalau tak pandai mencari pundi-pundi rupiah. Bar yang menjadi tempat kerjaku merupakan Bar milik temanku.

Aku masih ingat di suatu sore Anthoni datang menemui ku, dia memintaku untuk mengelola salah satu Bar miliknya.

Keluar masuk Bar bukan hal yang aneh bagiku, namun bila harus mengelola Bar? Ya itu pekerjaan yang baru saja aku geluti. Setelah Manager Anthoni mengundurkan diri, Anthoni memintaku untuk mengantikan posisi tersebut untuk sementara waktu. Laku mengapa aku menerima tawaran tersebut?

Harum dari rupiah memanggil-manggil namaku untuk mendekatinya. Ah persetan dengan pandangan masyarakat pada diriku, aku masih muda jadi untuk apa aku peduli tentang hal semacam itu.

Orang pasti akan memandang rendah pekerjaan seperti yang aku jalani saat ini. Sebaik apapun bila kita berada ditempat sampah pasti akan tercium bau busuk juga bukan? Tapi aku tak terlalu memperdulikan pandangan orang padaku, toh aku tak meminta makan pada mereka bukan?

Pernah suatu malam ada customer yang menghampiri diriku dan menanyakan beberapa gadis-gadis padaku. Tak sedikit para tamu menganggap diriku mampu menyediakan para gadis belia untuk dibawa. Lalu kenapa mengapa mereka mengira aku ini mami-mami?

Segelas Jack Daniels dan sebungkus tembakau berfilter yang aku hisap mungkin. Kalau ditanya apa aku pernah minum? Jawabannya sebelum aku menggeluti pekerjaan ini aku sudah mengecap beberapa jenis minuman memabukkan itu. Whisky dan Vodca dari berbagai merk sudah pernah menemani malam-malam ku selama ini.

Aku coba untuk memejamkan kedua kelopak mataku agar aku bisa beristirahat sejenak, namun lagi-lagi perasaanku tak karuan. Sudah lebih dari satu jam aku hanya menghabiskan masa ku diatas pembaringan ku. Perasan ini sungguh aneh.

Tak berselang lama, sesuatu membuyarkan lamunanku. Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Ku langkahkan kaki ini menuju pintu rumah yang aku sewa. Lalu ku raih handle pintu utama untuk memastikan apa itu.

Seorang kurir salah satu Rumah makan tersenyum manis padaku, lalu ia membacakan menu dan Si pemesan makanan tersebut. Ya aku tahu pasti Sean yang melakukan ini semua.

Dua box yang masing-masing berisi kudapan lezat yang sangat aku gemari. Bakmi goreng lengkap dengan aneka topping dan box selanjutnya adalah Fuyunghai. Dia sangat hapal bila kecintaannya ini sangat menggemari masakan di salah satu depot di daerah Mleto.

Aku menerima bingkisan itu, tak lupa aku mengeluarkan lembaran rupiah sebagai tip untuk sang karyawan yang sudah susah payah mengantar makanan pesanan Sean. Karena jarak dari lokasi tempat makan ke rumahku cukup jauh.

“Maaf aku selalu menyusahkanmu Ko,” gumamku pelan.

Segera saja kubuka dua bingkisan tersebut, Harum dari kedua masakan itu makin menambah gairah dan napsu makanku. Sean paling tahu bahwa ini lah satu-satunya alasan dia bisa mendapatkan hatiku. Untuk saat ini hanya Sean lah yang paling mengerti dan menerima keadaanku.

Bab 3

Kubuka sepasang kelopak mataku yang masih enggan untuk menatap dunia. Secercah cahaya pagi kurasa bisa menambah secuil harapan yang kiranya akan membawa dampak positif pada kehidupanku. Sejak aku mulai mengolah Mini Bar and Lounge milik Anthoni dengan tangan dinginku aku mulai kesulitan mengatur masa rehatku. Meski waktu yang ku habiskan untuk mengawasi Bar tersebut tak sampai lama, namun aku sungguh kesulitan dalam membagi waktuku. Jujur saya aku lebih memilih mengejar materi sebanyak-banyaknya daripada harus menjaga sehatku.

“Sudah bangun? Apa kamu mau aku jemput?” bunyi suara Sean terdengar dari seberang benda pipih yang aku genggam. Pagi ini dialah orang pertama yang telah menghubungiku. Rasa perhatiannya padaku melebihi perhatian yang aku beri untuk diriku sendiri.

“Tak perlu repot-repot Ko aku bisa berangkat sendiri!” sahutku memutuskan ajakannya dengan tegas. Sangat tegas ku kira, karena aku tak mau ada balas Budi kepada orang lain.

“Kenapa Zha? Apa ada yang salah dari kata-kataku?” tukasnya lebih serius dari ucapan Sean sebelumnya. Pria ini sungguh menjaga ucapannya padaku.

“Jangan terlalu baik padaku Ko, aku takut nanti aku akan sangat kehilangan dirimu saat kita pisah nanti,” jawabku spontan dan tak menyadari bahwa ucapan yang aku lontarkan padanya akan menyakiti hatinya nanti.

Karena aku sangat paham, bagaimana hubungan ini akan mencapai hilirnya. Sean pun juga sangat paham dari perbedaan yang kami rasakan. Pada kenyataannya perbedaan tersebut pasti tak akan menyatukan kami pada akhirnya. Resiko terbesar yang akan terjadi pasti lah sebuah perpisahan.

Aku dan Sean memang sepakat untuk tak menganggap sulit hubungan kami, Open Relationship menjadi pilihan yang tepat untuk kami. Aku tak pernah membatasi setiap hubungannya baik dengan pria maupun wanita. Berbanding terbalik dengan Sean, aku sangat yakin ia tak suka bila aku dekat dengan pria lain. Namun mau bagaimana lagi ini sudah menjadi pilihan yang harus kami jalani.

Tak perlu menunggu waktu lama, pria bermanik sipit itu mengakhiri percakapan diantara kami. Aku bisa memastikan bahwa ia sangat kecewa dengan apa yang aku katakan. Aku pun tak menampiknya, aku begitu memimpikan sosok hangat seperti Sean. Begitu merindukan setiap perhatian yang Sean beri untukku. Namun, aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak ingin tenggelam lebih dalam lagi dari lautan cintanya.

“Berhentilah dari pekerjaan malammu Zha!” pinta Sean ketika ia masuk ke dalam mobilnya dan mengantarku pergi bekerja pagi ini. Sean sengaja tak menggubris penolakan yang aku lemparkan padanya. Entah mengapa pria itu lebih seenaknya akhir-akhir ini. Ia sering melakukan hal semaunya tanpa persetujuan dariku.

“Aku harus bekerja demi mencukupi kebutuhanku Ko,” sahutku tanpa menatap wajah oriental yang sedang mengemudikan mobilnya. Aku tahu ia begitu kesal terhadap diriku.

“Aku akan bertanggungjawab atas dirimu!” tukasanya lalu menjeda ucapanya. Aku memalingkan pandangan ku yang semula menatap luar jendela mobil. Saat ini aku sedang menatapnya, untuk kesekian kalinya aku merasa hidupku penuh lelucon. Bagaimana bisa ia seolah-olah ingin menjadi pemilik atas diriku.

“Aku serius ko, aku ini anak sulung dan aku harus mencukupi kebutuhanku serta kebutuhan keluarga ku,” imbuhku mematahkan ucapannya tadi padaku. Aku tak ingin ia semakin serius atas hubungan ini. Aku memang wanita yang aneh, saat ada lelaki yang ingin menjalin hubungan yang serius aku malah menghancurkan keinginan itu.

“Aku juga anak sulung, apa kamu lupa Zha? Bukankah kita sama? Apa kamu ingin aku mendatangi kedua orangtuamu?” rentetan serangan mendadak itu membuatku enggap. Udara di dalam mobil serasa musnah, aku merasa sesak untuk sesaat meski aku yakin AC mobil pasti sudah dibawah angka 25 derajat celsius.

Aku mencoba mencerna keadaan yang sulit untuk ku mengerti ini, aku mencoba bersahabat dengan keadaan ini. Ku lipat kedua tanganku ke dadaku saat ini. Ku perhatikan wajah serius yang Sean perlihatkan sedari tadi. Kenapa dia memikirkan hingga sejauh ini? Apa dia yakin dengan kata-katanya yang barusan ia ucapkan.

“Bagaimana bisa?” tiba-tiba saja aku melontarkan ucapan yang begitu saja tanpa memikirkan perasaan Sean padaku. Aku tahu Tuhan mengirimkan seseorang pelindung untukku yakni pria yang sedang bersamaku saat ini.

“Kenapa? Apa aku terlalu tampan buatmu Zha hingga kamu menatapku seperti ini?” godanya membuyarkan keseriusanku. Dia memang seperti itu, dia adalah lelaki yang bisa menaik-turunkan emosiku dengan segala tingkah polahnya. Ko Sean bisa menjadi partner, saudara serta guru yang bisa membimbing diriku. Namun kenapa di hati ini masih cukup sulit untuk menerimanya menjadi calonku.

“Oke, Oppa Hyun Bin ku jangan bicara aneh-aneh!” sindirku sesekali melihat maniknya. Ia sangat tahu aku sangat menggemari drama korea yang sangat populer di tahun ini. Secreat Garden adalah drama Korea dengan rating tertinggi tahun ini yang dibintangi oleh Hyun Bin Oppa serta Ha Ki Won.

“Di Korea sangat mudah bukan bila sepasang kekasih ingin menikah. Banyak dari mereka lahir secara Katholik kemudian menikah dengan sesuai Kristen lalu meninggal secara Budha,” ucap Sean memandangiku lekat-lekat. Perbedaan diantara kami memang sangat mendasar. Sampai kapanpun kita tak akan bisa satu jalur.

“Cukup Ko, jangan dibahas lagi!” pintaku pada kekasih yang selama ini masih berstatus abu-abu. Aku sangat berharap dia bisa selamanya hadir di hidupku tanpa harus melihat siapa diriku. Dia satu-satunya pria yang mampu membuatku melupakan seluruh keluh kesah ku.

“Aku akan mempertahankan hubungan kita, meski rintangan datang menghadang!” dia mulai memupuk semangat yang selama ini pupus. Yakni semangat untuk terus bersama hingga kapanpun.

Siapa sih yang tak menyukai Sean? Pria dengan wajah biasa saja namun memiliki hati yang berkilau bagai permata. Pria hangat yang mampu menggetarkan jiwa yang fana.

Meski begitu aku bersyukur Tuhan telah mengirimnya untukku.

“Mau sarapan dulu? Ini masih awal,” aku memberikan usul padanya. Aku tahu kebiasaan buruknya yang selalu sibuk. Sebagai Animator yang sering melewatkan jam makan. Pria bermanik sipit itu lebih sering menghabiskan waktu berlama-lama di depan Personal Computer. Kadang akupun merasa diduakan olehnya bila ia mengerjakan sebuah proyek.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!