...༻✡༺...
...'Kapan nikah?'...
Di usia 28 tahun, pertanyaan itu selalu menjadi momok yang menghantui kehidupan Disha. Kemana pun dia pergi, semua orang selalu bertanya begitu.
Tidak! Sebenarnya tidak saat berusia 28 tahun Disha dihantui pertanyaan tersebut. Tetapi semenjak Disha berusia 25 tahun. Ketika karirnya berada dipuncak dan teman-teman perempuannya sudah menikah semua.
Disha benar-benar muak mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika keluarganya sendirilah yang paling sering menanyakan hal tersebut.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Disha. Dia gadis yang sangat cantik dan memiliki segudang prestasi. Berhidung mancung, kulit putih bersih, dan memiliki tubuh ideal yang seringkali membuat gadis lain merasa iri. Tentu ada banyak lelaki yang menyukainya. Hanya saja Disha sama sekali tidak berminat untuk menikah. Ia masih ingin menikmati kesuksesan yang terasa baru saja diraihnya.
Sekarang Disha mendatangi acara pernikahan sepupunya. Dia merasa harus datang karena yang menikah bisa dibilang merupakan orang terdekat. Disha bahkan rela menyisihkan jadwal kerja yang padat demi sepupunya Jena.
"Disha, sendirian? Gandengannya mana nih? Nggak mungkin kan gadis sukses kayak kamu masih belum punya pacar," tegur Lena. Dia merupakan ibu kandungnya Jena. Lena terlihat mengenakan kebaya yang berwarna senada dengan kipasnya.
"Masih dalam perjalanan, Tante." Disha menyahut sambil mengukir senyuman paksa.
"Yang benar? Kenapa nggak bareng aja kalian perginya?" Lena kembali bertanya.
"Gimana mau bareng. Orang jodohnya memang masih di jalan. Ketemu saja belum," cerocos Disha. Dia melingus begitu saja dari hadapan tentenya.
Bayangkan, selama bertahun-tahun di setiap pertemuan keluarga, Lena dan yang lain selalu saja menyinggung perihal jodoh. Itulah alasan Disha akhir-akhir ini lebih memilih bekerja dibanding berkumpul bersama keluarga.
Lena yang mendengar hanya terkekeh hambar. Ia mencoba memaklumi sikap Disha. Gadis itu memang sedikit judes dan blak-blakkan saat bicara.
Disha melangkah dengan percaya diri menghampiri pengantin yang sibuk bersalaman. Dia tidak malu datang sendiri. Bahkan tidak ada teman perempuan bersamanya.
Senyuman merekah di wajah Disha. Dia segera menyapa Jena dengan pelukan hangat. Disha bergegas pergi setelah selesai berfoto.
"Disha! Kau langsung pulang? Kenapa tidak tinggal dulu? Ada banyak keluarga jauh yang datang. Jarang-jarang kita bisa kumpul begini." Mona selaku ibunya Disha mencegat. Dia tidak membiarkan sang anak beranjak terlalu cepat.
"Aduh, Mah... Aku banyak pekerjaan sekarang!" keluh Disha dengan kening yang mengernyit samar.
"Kerja, kerja, kerja terus! Kamu tuh sampai keduluan Jena loh nikah. Dia padahal baru lulus kuliah," ujar Mona sembari menarik tangan Disha.
"Mamah! Bukankah harusnya kamu bangga lihat anaknya berhasil? Ini malah ngomel masalah jodoh hampir tiap hari. Aku capek dengarnya!" balas Disha sambil mengusap kupingnya karena kesal.
"Sudah, tunggu di sini! Kebetulan Mamah sudah janji sama teman untuk kenalin kamu dengan anaknya." Mona terlihat celingak-celingukan. Berusaha mencari teman yang dirinya maksud.
Sementara Disha, memasang tatapan malas. Melipat dua tangan ke depan dada. Dia paling malas jika orang tuanya berupaya menjodohkan dengan lelaki. Disha merasa tidak akan pernah ada lelaki yang cocok dengannya.
"Katanya anak temanku ini polisi dengan pangkat tinggi. Jendral atau apa ya, Mamah lupa," ucap Mona. Mencoba mengiming-imingi Disha agar tergiur.
"Mau jendral, kopral, presiden, atau apalah itu. Aku nggak peduli. Yang jelas sekarang aku harus benar-benar pergi." Disha memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia merasa sudah terlambat untuk jadwal kerjanya. Disha lantas melenggang menjauhi posisi Mona. Namun ibunya tersebut langsung menghentikan.
"Disha!!! Ini anak bawel banget dibilangin! Paling nggak disapa sebentar kenapa? Mungkin saja kamu tertarik sama yang ini." Mona mencengkeram lengan Disha. Dia berusaha menghentikan kepergian sang anak.
Jujur saja, Mona sudah mengenalkan puluhan lelaki kepada Disha. Akan tetapi tidak ada satu pun yang membuat Disha tertarik. Bahkan seringkali Disha sengaja membuat para lelaki yang dijodohkan dengannya ketakutan. Entah apa yang dilakukan gadis itu terhadap para lelaki tersebut.
"Astaga, Mah. Umurku baru 28 tahun loh. Apa masalahnya belum nikah? Artis Korea bahkan banyak yang belum nikah di usia 40 tahunan," ujar Disha dengan raut wajah malasnya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali.
"Ngomong-ngomong ini Indonesia ya, bukan Korea!" sahut Mona dengan mata mendelik. Dia terlihat memposisikan ponsel ke telinga. Sepertinya Mona mencoba menghubungi temannya yang ditunggu sejak tadi.
Disha memutar bola mata jengah. Saat itulah dia merasa mendapat kesempatan untuk lari. Disha benar-benar tidak mau bertemu lelaki yang akan dijodohkan dengannya.
Disha mengambil jalan mundur. Lalu menghilang ditelan banyaknya orang. Dia sukses menjauh dari Mona. Tanpa pikir panjang, Disha segera berlari masuk ke mobil. Ia buru-buru pergi.
Bersamaan dengan itu, teman yang dinanti Mona akhirnya datang. Dia muncul bersama putranya yang tampan dan gagah.
"Ya ampun, Zal. Putramu ganteng banget," puji Mona. Dia belum tahu kalau Disha sudah pergi sejak sepuluh menit yang lalu.
"Oh iya, kenalkan putriku..." Mona menoleh untuk mencari Disha. Dia menyuruh temannya menunggu sebentar. Sementara dirinya berkeliling mencari Disha. Namun seberapa keras mencari, sang anak sudah tidak ada dimana-mana.
"Anak itu!" geram Mona. Giginya menggertak kesal. Dia akan mengomeli Disha habis-habisan nanti.
Di sisi lain, tepatnya di sebuah restoran mewah. Seorang lelaki berbadan tinggi semampai baru keluar dari lift. Kedatangannya langsung menarik perhatian orang banyak. Terutama untuk kaum hawa.
Defan Dirgantara. Memiliki sorot mata tajam yang mampu membuat banyak perempuan bertekuk lutut. Berkulit putih bersih dan berbadan atletis. Auranya terkesan misterius dan dingin. Dia sangat tegas, disiplin, dan serius dalam bekerja.
Dengan langkah gagahnya, Defan berjalan menghampiri salah satu meja bernomor dua puluh. Di sana sudah ada gadis yang langsung berdiri saat melihat kedatangannya.
"Maaf, terlambat. Kau pasti sudah lama menunggu," ujar Defan sembari menarik kursi. Kemudian mendudukinya.
"Tidak apa-apa. Aku tidak menunggu lama," jawab gadis yang duduk satu meja dengan Defan. Ia bernama Windy. Gadis ke dua puluh yang dijodohkan dengan Defan.
Windy tersenyum seraya mengaitkan anak rambut ke daun telinga. Dia tentu tertarik dengan lelaki tampan dan gagah di hadapannya sekarang. Defan tidak hanya sekedar tampan, tetapi juga berkharisma.
"Kau sudah memesan makanan?" tanya Defan.
"Belum." Windy menggeleng. "Aku menunggumu," jelasnya.
"Ah, benarkah? Aku jadi tidak enak," tanggap Defan sambil tersenyum tipis. Dia sebenarnya sangat malas melakukan hal seperti sekarang.
Sama seperti Disha, Defan juga selalu didesak keluarganya untuk menikah. Itu karena Defan akan segera menjadi pewaris keluarga Dirgantara. Keluarga konglomerat yang dikenal memiliki usaha besar dibidang kesehatan.
Tetapi Defan tidak pernah tertarik dengan siapapun. Bukannya dia membenci wanita. Hanya saja dia terlalu mencintai dirinya sendiri dibanding apapun. Parahnya, saking tidak tertarik dengan cinta, Defan sengaja melakukan suntik impoten untuk alat vitalnya agar tidak bisa berfungsi. Dengan begitu, tidak ada perempuan yang mau dekat dengannya. Apalagi menikahinya!
"Apa kau tertarik denganku?" tanya Defan.
"Ya, kau lelaki yang sangat sesuai dengan tipeku," jawab Windy antusias. Hanya dengan melihat wajah serta mengetahui reputasi Defan, dia sudah jatuh hati. Windy tipe gadis yang mudah tertarik dengan seseorang. Terutama lelaki.
"Jadi kau tidak masalah langsung menikah begitu saja denganku? Dengan perjodohan yang dibuat keluarga kita?" tanya Defan memastikan. Dia heran melihat aksi Windy yang langsung menunjukkan ketertarikan.
"Ya, aku rasa begitu." Windy menjawab dengan malu-malu.
Defan bangkit dari tempat duduk. Dia menghampiri Windy. Lalu mendekatkan mulut ke telinga gadis itu.
"Jadi kau tidak masalah kalau aku menderita impoten?" bisik Defan. Membuat mata Windy seketika terbelalak.
..._____...
Catatan kaki :
Impoten : Ketidakmampuan pria untuk mendapatkan organ intimnya melakukan ereksi.
...༻✡༺...
Defan tersenyum tenang saat mengatakan senjata pamungkasnya untuk menolak perjodohan. Windy otomatis kehilangan ketertarikan. Gadis itu bingung harus berkata apa.
"Itulah alasan kenapa keluargaku terus berusaha menjodohkanku. Tapi jujur saja, aku tidak mau menipu orang yang akan menikah denganku. Karena aku tahu menikah itu jaminannya seumur hidup," ujar Defan. Berlagak seolah peduli.
"Kau benar. Terima kasih sudah memberitahuku. Dan maaf... Dalam pernikahan, aku mengharapkan kepuasan dan juga anak. Jadi..."
"Aku mengerti. Aku akan bicara kepada keluargaku kalau kita tidak setuju menjalani perjodohan ini," sergah Defan. Memotong perkataan Windy. Dia mengulurkan tangan kepada gadis itu.
"Ya. Perjodohan ini dibatalkan." Windy menyambut tangan Defan. Lelaki itu mengembangkan senyuman puas.
Setelah memisah dari Windy, Defan langsung meninggalkan restoran. Ia menemui dua sahabatnya. Mereka tidak lain adalah Disha dan Dimas. Ketiganya menamai geng pertemanan mereka dengan sebutan 3D. Alasannya karena nama mereka diawali dengan huruf D.
Disha menjadi orang yang datang lebih dahulu ke ruang VIP karaoke. Dia memesan wine berkualitas secukupnya.
"Lama sekali mereka," keluh Disha sembari melirik ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Dia juga tak lupa menyesap wine dari dalam gelas.
Ceklek!
Pintu terbuka. Orang kedua yang datang setelah Disha adalah Dimas. Dia sahabat Disha dan Defan yang memiliki rambut gondrong. Panjangnya kira-kira sebahu. Dimas biasanya menguncir rambutnya bak ekor kuda. Lelaki itu tidak kalah tampan dari Defan. Dimas bekerja sebagai seorang seniman patung. Karya-karyanya sudah banyak mendunia.
"Kenapa lama sekali?!" timpal Disha dengan dahi yang berkerut dalam.
"Aku tadi ada meeting. Tapi setidaknya, aku lebih dulu datang dari si letoy itu," sahut Dimas. Dia dan kedua temannya tidak jarang saling mengejek dengan nama panggilan khusus.
"Hahaha! Aku selalu pengen ketawa pas dengar kata letoy. Sumpah! Defan kenapa nekat melakukan itu sih?" cetus Disha yang mendadak penasaran. Padahal dia dan Dimas sudah tahu alasannya. Itu karena Defan ingin hidup membujang selamanya. Setidaknya itulah alasan yang diberitahukan Defan kepada mereka.
"Defan orangnya memang nekat. Mungkin kalau jatuh cinta, dia pasti rela mati buat gadis yang dicintainya," tanggap Dimas. Dia menuang wine ke dalam gelas. Lalu meminumnya.
Disha memutar bola mata jengah. "Cinta apaan deh. Aku nggak tertarik ngomong begituan," komentarnya.
"Kau dan Defan itu sangat mirip. Kau dan Defan saja yang nggak sadar."
"Aku tahu nasibku memang mirip dengannya. Dia juga didesak menikah sepertiku. Tapi--" Disha berhenti bicara ketika pintu tiba-tiba terbuka. Defan akhirnya datang.
"Maaf, lama. Tadi aku harus mengurus gadis ke dua puluh," ungkap Defan. Dia mengambil wine. Kemudian langsung meminum dari botol.
Dimas dan Disha yang melihat mengangakan mulut. Dibanding keduanya, Defan memang ahli kalau masalah meminum alkohol.
"Baru aja aku sama Disha ngomongin tentang perjodohan," imbuh Dimas yang langsung direspon Disha dengan anggukan kepala.
"Ngomongin apaan coba?" Defan penasaran.
Ponsel Disha mendadak berdering. Dia mendapatkan telepon dari ibunya. Sebenarnya Mona sudah menelepon semenjak tadi siang. Akan tetapi Disha enggan menjawab.
"Loh, kok nggak dijawab? Telepon emakmu tuh!" kata Defan yang dapat melihat nama di layar ponsel Disha.
"Ngapain? Dia cuman telepon karena pengen ngomel doang," sahut Disha.
"Dia pengen kenalin kamu sama lelaki lagi ya?" tebak Dimas.
"Ya, kali ini dia melakukannya di depan umum. Mamahku benar-benar sudah kelewat batas." Disha menghembuskan nafas berat dari mulut.
"Nikah sama aku aja gimana?" ucap Dimas. Membuat mata Defan dan Disha terbelalak bersamaan. Mereka tentu kaget mendengar Dimas berkata begitu.
Plak!
Disha memukul kepala belakang Dimas. "Nggak lucu, Co!" geramnya. Disha dan Defan terkadang memanggil Dimas dengan sebutan Kroco.
"Sorry, bercanda." Dimas lekas-lekas menarik ucapannya. Dia perlahan menundukkan kepala.
Tak lama kemudian, ponsel Defan berdering. Dia menerima panggilan dari Zidan, ayahnya.
"Kenapa, Pa?" tidak seperti Disha, Defan langsung mengangkat telepon dari orang tuanya.
"Kau! Kenapa kau selalu menyebarkan gosip tak berdasar?! Apa kau tahu? Gosip kalau kau menderita impoten sudah tersebar kemana-mana! Siapa yang mau menikah denganmu, hah?!" omel Zidan dari seberang telepon. Dia tentu sudah mendengar kabar kalau Windy tidak bersedia dijodohkan dengan Defan.
"Bagus dong, Pah. Itulah yang kumau. Lagi pula apa salahnya seorang pewaris tidak menikah?" balas Defan santai.
"Defan!!! Pokoknya syarat utama agar kau bisa jadi pewaris adalah menikah! Berhentilah menyebar kebohongan kalau kau menderita impoten!"
"Aku benar-benar letoy, Pa! Itu tidak bohong!"
Mendengar perkataan Defan, Dimas dan Disha tertawa terbahak-bahak. Defan lantas menoyor kepala mereka secara bergantian.
"Berhentilah bermain-main! Kalau kau tetap begini, maka aku akan mengambil semua asetmu!"
"Tapi--" Defan urung bicara karena Zidan sudah lebih dulu mematikan panggilan telepon.
"Aku benar-benar letoy, Pa!" ejek Dimas. Dia tidak bisa berhenti tertawa. "Itu lucu sekali, Fan. Jangan bilang Papamu tidak percaya kalau kau impoten," sambungnya.
"Iya, dia tidak percaya. Aneh sekali. Haruskah aku buktikan?" tanggap Defan sambil memegangi resleting celana. Seakan hendak membukanya di hadapan Dimas dan Disha.
"Hey! Jangan coba-coba! Jangan lupa kawanmu ini perempuan ya." Disha memperingatkan.
Ponsel Disha terus berdering. Membuat Dimas dan Defan otomatis mendelik ke arah Disha.
"Aku rasa Mamahmu nggak akan berhenti sebelum kau angkat teleponnya," ujar Dimas.
"Udah, nanti bisa bicara pas ketemu. Kupingku sudah panas kalau dengar masalah jodoh. Kalian nggak kenal Mamahku kayak apa," sahut Disha. Dia mengambil wine. Lalu meminumnya langsung dari botol.
"Disha!" Defan dan Dimas memekik bersamaan. Keduanya sama-sama tahu kalau Disha sangat mudah mabuk.
Dimas yang duduk paling dekat, bergegas mengambil botol wine dari tangan Disha. Namun gadis itu malah mengambil botol wine lain dari meja.
"Sha, jangan minum banyak-banyak. Kalau kau mabuk kita yang repot tahu nggak!" protes Defan. Tetapi Disha justru tergelak.
Ponsel Disha kembali berbunyi. Dimas dan Defan reflek bertukar pandang.
"Kau angkat gih, Fan. Biar aku yang urus Disha." Dimas membekap mulut Disha. Defan yang mengerti, segera mengangkat telepon Mona.
"Disha-nya lagi sibuk, Tante," ujar Defan ramah.
"Ini siapa ya?" tanya Mona dari seberang telepon.
"Aku Defan, Tante. Aku dan Disha kebetulan melakukan kerjasama terkait proyek baru." Defan memberikan alasan sekenanya.
"Mmmphh!" Disha ingin bicara. Akan tetapi Dimas terus membekap mulutnya.
Setelah mendengar alasan dari Defan, Mona akhirnya menutup telepon. Panggilannya tidak lagi mengganggu. Saat itulah Dimas melepaskan mulut Disha. Gadis tersebut jelas sudah mabuk.
"Aku tiba-tiba punya ide... Tapi ini hanya khusus untukku dan si letoy. Maaf, Co... Kau tidak punya masalah hidup seperti kami." Disha menepuk pundak Dimas. Dia segera menatap Defan. Siap memberitahu idenya.
"Ayo kita nikah kontrak!" seru Disha.
Mata Defan sontak terbelalak. Itu hal tergila yang pernah didengarnya dari mulut Disha.
...༻✡༺...
"Gila nih anak!" Defan menepuk jidat Disha.
Mendengar ide yang baru dicetuskan Disha, Dimas tampak khawatir. Namun itu tidak berlangsung lama, dia bergegas angkat bicara.
"Dia sudah mabuk, Fan. Kacau deh kita," ujar Dimas. Dia dan Defan memandangi Disha yang terus menenggak wine.
"Ide bagus bukan? Kita ini sahabat, Fan... Kita juga sama-sama gila kerja. Jadi menurutku kau rekan terbaik untuk diajak nikah kontrak..." Disha kembali meracau. Tetapi kali ini Defan merasa kalau ide Disha cukup brilian. Dia terdiam dalam sesaat.
"Udah, Disha... Jangan minum terus!" Dimas merampas botol wine yang dipegang Disha. Lalu menyerahkannya kepada Defan.
Defan dan Dimas sangat tahu bagaimana sikap Disha ketika dipaksa berhenti melakukan sesuatu. Gadis itu akan mengamuk dan membuat kekacauan. Ya, Disha merupakan gadis super keras kepala yang sangat sulit di atur.
"Aaaargghhh!!!" Disha menjambak rambut Dimas. Dia kesal karena minumannya di ambil. Saat itulah Defan mengambil semua minuman di meja. Kemudian melemparnya ke bak sampah. Termasuk gelas-gelas yang ada.
"Jangan... Hiks..." Disha menangis saat Defan membuang seluruh wine yang ada. Dia lantas berdiri. Berniat memesan wine kepada pelayan.
Dimas sigap menghentikan pergerakan Disha. Dia memeluk gadis tersebut dari belakang.
"Cukup, Sha! Kau nggak bisa pulang ke rumah kalau mabuk gini," ucap Dimas.
"Nyusahin banget nih anak kalau mabuk!" keluh Defan.
"Lepasin aku nggak, Co?!" kata Disha. Dia menunjukkan ekspresi sangarnya.
"Enggak! Kalau kau keluar dari sini, maka semuanya akan tambah kacau!" sahut Dimas yang masih memegangi Disha. Sementara Defan sudah siap berdiri di depan pintu.
Tanpa diduga, Disha menggigit lengan Dimas dengan kuat. Tindakannya membuat lelaki itu memekik kesakitan. Selanjutnya, Disha berlari ke arah pintu. Kini dia harus berhadapan dengan Defan.
Buk!
Belum sempat bertindak, Disha sudah menyerang Defan. Tidak tanggung-tanggung, dia menyundul alat vital Defan dengan lutut.
"Tuh! Biar tambah letoy," ujar Disha sembari mendorong Defan menjauh dari pintu. Dia segera keluar dari ruangan.
"Sialan kau, Sha..." Defan meringis kesakitan sambil memegangi organ intimnya. Dia terduduk di lantai.
"Dia ganas banget kalau mabuk," sahut Dimas seraya memperhatikan lengan bekas gigitan Disha.
"Bakalan lebih ganas kalau nggak dihentikan. Ayo!" Defan berdiri. Dia dan Dimas segera menyusul Disha.
Dengan langkah yang terseok-seok akibat mabuk, Disha memanggil salah satu pelayan. Dia memesan dua botol wine sekaligus.
Setelah mendapatkan yang di inginkan, Disha tertawa dan sesekali menari tidak karuan. Pelayan-pelayan karaoke hanya bisa memaklumi tindakan gadis tersebut. Sebab ini bukan pertama kalinya Disha begitu.
"Disha!" panggil Dimas. Dia berlari menghampiri Disha. Di iringi oleh Defan dari belakang.
Pupil mata Disha membesar. Dia buru-buru menghindari dua sahabat lelakinya. Disha masuk ke salah satu ruang karaoke secara acak. Di sana terdapat dua orang wanita yang asyik bernyanyi.
Disha tergelak ketika mendengar lagu yang dinyanyikan dua wanita itu. Dua wanita tersebut menyanyikan lagu Wali yang berjudul Cari Jodoh.
Tanpa rasa malu, Disha merampas mikrofon dari salah satu wanita. "Liriknya salah, Harusnya begini. Dengarkan baik-baik ya..." ujarnya yang sudah sempoyongan. Dua wanita yang melihat hanya mengerutkan dahi. Mereka tentu terganggu dengan kehadiran Disha.
"Ibu-ibu, Bapak-bapak, siapa yang punya anak? Aku mohon, buang saja ke laut. Karena aku tak peduli dengan keadaanku, yang tak laku-laku!" Disha menyanyi. Ia merubah sebagian lirik lagu yang menurutnya benar. "Pengumuman, pengumuman.."
"Disha!" geram Defan. Dia mengambil mikrofon dari Disha. Lalu menyerahkannya kepada salah satu wanita. Defan bergegas menggendong Disha bak karung beras di pundaknya.
"Eh, Letoy! Kenapa diambil? Aku belum selesai nyanyi!" protes Disha. Ia memukuli punggung Defan bertubi-tubi.
"Maaf ya, Mbak. Teman kami mabuk berat." Sedangkan Dimas, bertugas meminta maaf kepada dua wanita yang sempat diganggu oleh Disha. Lelaki itu bahkan membungkukkan badannya. Dia dan Defan sudah terbiasa dibuat malu oleh Disha.
Defan membawa Disha ke mobil. Sementara Dimas akan menyusul karena harus mengurus pembayaran di tempat karaoke.
Kala sudah berada di mobil, Disha tiba-tiba muntah. Cairan yang keluar dari mulutnya mengenai jok mobil serta kemeja Defan.
"Dishaaaa!!!" geram Defan. Dia mencengkeram rambut Disha. Kemudian mengguncang tubuh gadis itu karena merasa kesal.
Disha yang sudah mabuk berat, hanya pasrah. Dia berakhir kehilangan kesadarannya. Gadis itu duduk menyandar dalam keadaan kepala mendongak.
"Ayo kita nikah kontrak... Aku sudah capek dengar Mamah ngomel..." racau Disha dalam keadaan mata terpejam.
Defan tidak mendengarkan. Dia tengah sibuk mengelap muntahan Disha dengan tisu.
Dimas baru saja datang. Dia membuka pintu mobil dan berucap, "Disha biar aku bawa ke apartemenku saja. Kau pasti sibuk. Besok kau tidak akan sempat mengurusnya."
Dimas dan Defan tentu tidak bisa mengantarkan Disha pulang dalam keadaan mabuk. Andai itu terjadi, maka Disha akan kena marah keluarganya. Terutama dari Mona.
"Tidak apa-apa, Mas. Dia sudah diam sekarang. Lagi pula, Disha bisa mengurus dirinya sendiri saat sadar," tolak Defan.
"Kau saja yang tidak tahu kalau Disha selalu mengeluh saat kau tinggalkan sendiri di apartemen!" tukas Dimas. Dia bersikukuh ingin membawa Disha.
"Ya sudah. Bawa saja dia," ujar Defan.
Dimas lantas membawa Disha masuk ke mobilnya. Dia dan Defan segera pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, Defan bekerja seperti biasa. Dia menjadi CEO di perusahaan Farmasi Dirgantara. Tidak seperti sang ayah yang menjadi dokter, Defan memilih menggeluti bidang bisnis seperti kakeknya Wira.
Memang saat kecil Defan sempat bercita-cita ingin menjadi dokter seperti Zidan. Namun minatnya berubah ketika dia menginjak SMA. Defan merasa kalau bidang kedokteran bukanlah bakatnya. Satu hal yang dia tahu. Saat dewasa, Defan merasa rumah sakit adalah tempat yang tidak membuatnya nyaman.
Waktu menunjukkan jam sebelas siang, Defan sedang sibuk-sibuknya bekerja. Tetapi kedua orang tuanya mendadak datang.
"Kenapa kalian ke sini?" tanya Defan seraya mengernyitkan kening.
"Kenapa kau bilang?!" Zidan berkacak pinggang. Mempelototi sang putra dengan perasaan kesal.
"Sayang, jangan terlalu keras. Bicaralah baik-baik." Zerin berusaha menenangkan Zidan. Sebagai ibunya Defan, dia merasa sang suami terlalu berlebihan.
"Jadi ini masalah jodoh lagi?" Defan bangkit dari tempat duduk. "Aku masih muda, Pa! Kenapa kalian tidak berhenti mendesakku untuk menikah?" tukasnya.
"Kami hanya ingin kau bahagia. Kalau kau tidak menikah, maka siapa yang akan menjadi penerusmu?" ucap Zerin. Dia memegang lembut pundak Defan.
"Aku bahagia dengan diriku sekarang! Mengenai penerus, aku bisa mengadopsi seorang anak di panti. Persis seperti yang kalian lakukan kepadaku," jawab Defan. Dia memang bukan anak kandung Zerin dan Zidan. Defan merupakan anak yang diadopsi keluarga Dirgantara. Lelaki itu diangkat menjadi bagian keluarga Dirgantara ketika menginjak usia 7 tahun.
"Defan!!" pekik Zidan. Dia sudah tidak tahan dengan sikap Defan. "Kau harus ikut kami sekarang! Kami sudah menemukan wanita yang tepat untukmu. Kali ini kau tidak bisa menolak karena aku dan Mamamu akan menemani!" tegasnya.
"Apa?!" Defan terperangah. Dia menatap Zerin. Berharap ibunya bisa membantu.
"Defan, menurutlah kali ini." Tetapi sekarang Zerin sedang berada dipihak Zidan.
"Ayo cepat bersiaplah!" Zidan memaksa. Dia dan Zerin akan menunggu di ruang tunggu.
"Aku tidak bisa ikut!" ungkap Defan. Membuat langkah Zidan dan Zerin sontak terhenti. Keduanya langsung menoleh ke arah Defan.
"Kau--"
"Aku sudah punya pacar!" kata Defan gamblang. Memotong ucapan Zidan begitu saja. Pernyataannya membuat mata kedua orang tuanya terbelalak bersamaan.
"Siapa? Kenapa kau tidak pernah bilang?" Zerin lantas penasaran.
"Dia sengaja berbohong karena tidak mau ikut!" timpal Zidan tak percaya. Sebab dia tahu kalau Defan tidak pernah dekat dengan gadis mana pun.
"Dia Disha!" jawab Defan. Entah kenapa ide Disha kemarin malam terpikirkan olehnya.
"Apa?!" Zidan dan Zerin terkejut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!