Betran mengambil gelas kaca didepanya. Pria blasteran itu menatap gadis cantik didepanya dengan kesal. Kenapa kekasihnya ini tak pernah mau bersikap feminin sedikit pun? Selalu saja berlagak seperti seorang pria, bahkan semua pakaian yang dikena gadis itu bisa dibilang milik pria semua. Tidak tahu dengan pakaian dalamnya.
“Minum!”
Dara mengambil minuman yang disodorkan kekasihnya. Meskipun dia sedang kesal, tapi ia tak menolak kebaikan Betran.
“Kenapa lagi sama kamu, Ra. Kenapa kamu selalu bersikap begitu kasar pada ayunda?” Betran mencoba mulai berbicara dengan Dara. Tapi gadis itu langsung mendelik marah, membuat Betran kembali menghela nafas berat.
“Kenapa kamu akhir-akhir ini selalu bela anak pelakor itu?! Apa kamu suka sama dia!” Dara sedikit membentak berkata pada kekasihnya.
Dara tak suka Betran yang lebih perhatian pada Ayunda. Sebagai seorang kekasih bukanya dia seharusnya membela Dara. Tapi sekarang?
“Bukan begitu, Ra. Aku gak suka aja sama sikap kamu yang kasar begini. Berubah dong, kamu cewek bukan anak cowok yang bersikap seperti brandalan.”
“Apa kamu bilang?! Brandalan!” Dara merasa hatinya sakit mendengar kekasihnya sendiri mengatakan dirinya brandalan. “Kamu menghina aku hanya untuk membela anak pelakor itu?!”
Betran mengusap wajahnya frustrasi, bukan begitu maksudnya. Dia hanya kasihan pada ayunda, dan tak ada niat untuk menghina Dara. Bagi Betran ayunda hanya gadis lemah yang tak seharusnya selalu di rundung oleh Dara. Dia hanya kasihan, dia juga ingin sikap kekasihnya berubah lebih lembut lagi.
“Ra... Bukan begitu maksudnya,”
“Diam kamu!” Dara berteriak murka, “kau tidak tahu apapun tentang hidup ku. Apa aku harus bersikap baik pada anak yang sudah membuat ibu dan aku sengsara selama ini?” Seseorang yang sudah membuat hidupnya sengsara, lalu bagaimana bisa masih diminta untuk menyayangi rubah betina itu.
“Ra... Bukan gitu maksudku.”
“Lalu apa? Aku memang bersikap brandalan, tapi siapa kamu yang berhak menghina ku!” Satu tetes air mata jatuh di pipi, Dara kecewa karena Betran.
Tak ada yang tahu bertapa sakitnya dia sejak tujuh tahun lalu. Ayahnya yang menjadi cinta pertamanya pulang membawa seorang ****** dan seorang gadis kecil yang membuat ibunya hancur.
Ayahnya menikah sirih dengan wanita lain tanpa izin dari ibunya. Karena sang ibu tak bisa menerima ia meminta cerai pada sang ayahnya. Tapi apa yang pria tua itu lakukan? Dia egois, bukannya melepaskan sang ibu tapi malah memaksanya bertahan. Bertahan dengan luka batin yang setiap hari ia torehan pada hati istri sahnya.
Ibunya tersiksa, setiap hari melihat wanita lain yang menjadi madunya selalu bermanja-manja pada sang suami. Dara yang awalnya tak tahu karena dia tinggal di rumah sang nenek, saat kembali ia murka melihat kelakuan bejat sang ayah.
Tapi Dara tak bisa berbuat apa-apa saat ibunya membujuk untuk tenang. Apalagi saat itu sang ayah akan selalu berlaku kasar padanya jika membahas ibu tiri dan juga adik tirinya itu. Bahkan sang ayah tak segan-segan menganiaya dirinya hanya untuk membela ayunda kecil, dipukuli dan dimaki Dara merasa sangat membenci ayahnya sangat itu.
Sampai suatu hari entah apa yang terjadi di rumah, saat itu Dara sedang pergi sekolah. Ibunya dikabarkan jatuh dari tangga, dan setelah dilarikan ke rumah sakit sang ibu dinyatakan terkena setruk dan tak bisa jalan lagi. Sejak saat itu sang ibu hanya bisa duduk di kursi roda saja.
Dara tahu masalah ini tak sesederhana itu. Dia yakin pelakor itu yang mencelakai ibunya, tapi saat mengatakan itu sang ayah malah menampar dan membentak Dara.
Saat itulah dara bersumpah didepan wajah ayahnya sendiri, jika dia masih hidup bersama ****** itu ia tak akan pernah menganggap Abas sebagai ayahnya lagi.
Sampai Dara memilih meninggalkan rumah dan membawa serta ibunya tanpa seizin sang ayah. Tapi apa peduli pria tua itu, jangankan membujuk untuk kembali, dicari pun tidak. Dan saat itulah dara bersumpah ia tidak akan pernah memaafkan ayahnya dan dia akan menganggap pria tua itu telah mati.
.....
Dara mengusap pipinya yang terasa lembab. Ia menangis mengenang bertapa terlukanya sang ibu saat itu, bagaimana dia dipaksa bertahan padahal dia tak mau.
Dan hari ini dara juga menyadari ada yang salah pada Betran yang lebih membela adik tirinya itu dari pada dia. Mungkin saja anak pelakor itu seperti ibunya, mencoba merebut Betran darinya.
“Betran... Apa kamu benar-benar membela Ayunda?” tiba-tiba pertanyaannya itu terlontar dari bibir Dara.
“Aku sudah bilang Dara, Ayunda gadis yang baik. Gadis yang begitu lembut bagai mana mungkin ingin menyakiti saudaranya sendiri. Apa salahnya kamu bersikap baik padanya? Bagaimana pun dia adik tirimu.”
Dara tertawa dingin, bagaimana bisa pria ini berkata seperti itu setelah dia terluka begitu dalam karena kehadiran ayunda bersama ibunya.
“Jadi... Sepertinya kau juga sudah tergoda seperti ayahku, Betran.” Dara tertawa sumbang, setelah itu ia menatap tajam pada kekasihnya itu, “Mulai saat ini aku, Dara Saputri tak punya hubungan apapun padamu lagi, Betran. Mulai saat ini kamu tak lagi kekasih ku.”
Dara ingin pergi setelah mengucapkan itu, tapi Betran langsung mencekal tangannya.
“Apa maksud mu, Dara! Kamu gak bisa memutuskan aku seperti ini. Aku berkata seperti tadi juga demi kebaikan kamu!” Sedikit marah, mata Betran bahkan terlihat memerah menahan amarah.
Dara semakin kecewa mendengar ucapan Betran, “demi kebaikan yang mana?! Bilang saja kamu sudah terpengaruh sama ****** kecil itu!”
“Dara!”
Plak...
Satu tamparan keras melayang di pipi Betran. Pria itu terdiam mematung, menatap nanar mata kekasihnya yang terlihat begitu kecewa berurai air mata. Lalu bibir gadis itu bergetar dengan berucap yang membuat hati Betran terasa tercabik-cabik.
“Kamu sama seperti ayahku, Betran... Tega menyakiti dan membentakku demi wanita lain. Sebelum aku memiliki hubungan dengan pria seperti ayah yang pada akhirnya akan meninggalkan ku, lebih baik aku membuangnya. Aku tak ingin ada pria seperti mu dalam masa depanku!”
Dara berlari meninggalkan markas tempat ia biasa memiliki banyak teman ini. Ia bersumpah, ini kali terakhir ia menginjakkan kaki di klub motor ini. Ia tak akan bisa berada di dekat penghianat seperti Betran ke depannya, karena itu ia juga menjauhi teman-teman yang lain.
“Aku benci! Kau sama saja berengsek seperti ayahku, Betran!”
Dara memacu motornya dengan kenceng membelah jalan raya dengan kecepatan penuh. Sedangkan di belakangnya terlihat Betran yang berusaha mengejarnya.
Betran tahu, Dara gadis yang mudah emosi dan akan melakukan hal gila jika sudah marah. Ia hanya takut sesuatu terjadi pada gadisnya itu, makan dia susul dari belakang. Tapi siapa yang menyangka, kemarahan Dara semakin parah melihat Betran menyusulnya, dia semakin mempercepat laju motor dengan gila-gila.
“Brengsek! Kenapa masih saja datang mengganggu ku!” sambil menyeka sesekali air matanya gadis itu mencoba tetap fokus.
Melihat Betran tertinggal jauh, Dara merasa senang. Ia langsung membelokkan motor ke arah kiri dengan kecepatan penuh, tapi siapa sangka ia tak bisa mengendalikan motornya lagi. Sebuah mobil tangki melaju dengan kecepatan sedang tak bisa dara hindari lagi. Pada akhirnya motor itu menabrak dengan keras membuat orang-orang disana berteriak histeris.
“Ya, tuhan! Cepat panggil ambulans, gadis itu terluka parah!” banyak lagi teriakan orang-orang yang mulai ketakutan melihat tubuh gadis itu Bersimbah darah.
Dara dapat mendengar suara-suara orang yang mulai berkerumun. Untuk terakhir kali gadis itu tersenyum, ternyata orang-orang yang tak dikenalnya masih merasa kawatir, sedangkan ayah kandungnya sendiri tak peduli dengan hidup dan matinya.
“Selamat tinggal dunia yang kejam... Aku mati membawa dendam ini, jika ada kesempatan kedua aku akan membalas setiap tetes rasa sakit ini.”
Dara memejam matanya, ia menikmati rasa sakit yang mulai menarik diri pada putaran hitam berakhir dengan kegelapan untuk selamanya.
******
Di sebuah rumah sederhana di pinggir kota, rumah itu mulai tampak ramai dengan kedatangan orang. Rumah yang biasa sepi kini berubah begitu ramai di kerumuni orang-orang yang datang mengucapkan duka pada keluarga yang ditinggalkan.
Suara tangisan yang saling bersahutan, membuat rumah yang biasanya bersinar penuh kedamaian itu berubah sangat menyedihkan. Kematian Dara yang membuat keluarga syok, tak terkecuali ayah yang telah lama mengabaikan anak gadisnya itu. Pria itu baru datang yang ditemani dengan istri mudanya, menatap tubuh putrinya yang sudah terbujur kaku dengan kepala yang masih di ikat dengan perban.
Ada rasa sesal dalam hati Abas yang telah menyia-nyiakan anaknya demi ego dan nafsu. Tapi apa sekarang ia bisa meminta maaf? Berlahan Abas menghapus jejak air matanya yang mengalir tanpa dapat dicegah.
Sedangkan ibunya Dara, wanita paruh baya itu hanya terlihat berdiam bak patung. Air matanya bahkan tak henti-hentinya mengalir, tahu jika dirinya kehilangan putri kesayangannya untuk selama-lamanya. Tapi untuk sekarang ia bahkan tak mampu untuk berucap dengan rasa perih yang tak bisa dikatakan.
Berlahan orang-orang mulai mengangkat tubuh gadis itu untuk di bersihkan terakhir kalinya sebelum di kebumikan. Saat melihat putrinya akan dibawa, Rahma mulai berteriak histeris.
“Jangan bawa putriku! Jangan bawa dia! Dia sedang tertidur, jangan ganggu dia!” Rahma mencoba menahan orang-orang yang ingin melakukan kewajiban terakhir untuk jenazah. Tapi bagi Rahma putrinya belum meninggal, ia tak ingin ditinggalkan oleh anak semata wayangnya.
Betran yang melihat Rahma histeris, segera ia peluk, mencoba menenangkan ibu kekasihnya. Betran juga terpukul dengan meninggal kekasihnya, ia tak menyangka pertengkaran mereka akan menjadi petaka seperti ini. Andai dia tahu kemarahan Dara akan berakhir dengan kematian, ia tak akan ingin ada hari ini. Dia tak akan membahas tentang perempuan lain di hadapan kekasihnya. Dia menyesal... Teramat menyesal membuat Betran benci pada dirinya sendiri yang egois. Padahal dia tak tahu apapun tentang kehidupan kekasihnya, tapi dia datang bak seorang yang sangat tahu dan menasihati Dara.
“Tante... Sudah, tan. Biar orang-orang melakukan kewajiban mereka. Kita tidak bisa menyiksa Dara seperti ini, tan.” Betran berusaha berucap di sela tangis yang ingin pecah. Dia tahan sekuat mungkin, agar orang-orang tak lihat dirinya juga sangat hancur.
“Tidak, nak. Dara sedang tidur, dia tidak boleh dibawa. Kalian akan menyakitinya,” rahma Lagi-lagi menangis, mencoba berdiri, meskipun pada akhirnya ia tetap terjatuh di kursi roda.
Semua orang disana tak bisa menahan air mata melihat bertapa hancurnya hati seorang ibu melihat putrinya pergi untuk selamanya. Tapi disana tak akan Ada yang menyangka jika di satu ruang yang sama penyebab kematian gadis itu sedang tersenyum bahagia.
Abas mendekati Rahma, mencoba untuk menenangkan istrinya itu. Tapi pada saat melihat mata hitam itu menatap lurus padanya, Abas tak bisa lagi melanjutkan langkahnya. Ia ingin melihat sang putri untuk terakhir kali, tapi dari tadi Salsa istri keduanya mencoba untuk menahan. Dan sekarang saat ingin mendekati istri tuannya dia malah ditatap dengan penuh kebencian oleh Rahma.
‘Rahma tidak mungkin ingin di dekatnya. Dia bisa hilang kendali dan mempermalukan mu,’ Itulah yang istri mudanya sebutkan.
Sedangkan Rahma...
Kecewa? Itu sudah pasti dirasakannya. Kenapa baru sekarang suaminya mencari mereka? Disaat buah hati mereka telah meninggal, disaat putrinya sudah tidak membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Kenapa dia baru datang?
“Kenapa kau datang?” Rahma bertanya dengan lirih. Melupakan dara yang telah dibawa orang-orang untuk dimandikan, sekarang dia hanya bisa fokus pada pria yang telah membuat dirinya dan sang putri kecewa.
“Rahma...,”
“Sudah tidak ada gunanya kamu disini, Abas. Pergilah bersama keluarga barumu... Dara sudah tidak butuh ayahnya lagi....”
Abas merasa hancur berantakan mendengar penuturan Rahma. Dia mencoba memeluk tubuh wanita yang masih sah dimata hukum menjadi istrinya itu. Tapi Rahma langsung mendorongnya, Rahma langsung meminta pada Betran untuk pergi pada putrinya. Dia hanya ingin melihat putrinya saja, tapi karena takut wanita paruh baya itu pingsan, Betran terpaksa menahannya di dalam kamar bersama beberapa keluarga lainnya yang mencoba menguatkan.
****
Gundukan tanah yang masih basah itu menjadi saksi jika baru saja seseorang telah di semayamkan di bawah sana. Dan di atas sini tersisa orang-orang yang hatinya hancur ditinggal pergi oleh dia. Mereka masih menangis dengan diiringi gerimis setelah tubuh itu di kebumikan.
Rahma yang duduk di atas kursi rodanya sedari tadi tak bisa menghentikan tangisnya. Putrinya pergi... Pergi dengan cara yang menyedihkan. Sekarang hanya tinggal dia sendiri, dan dia merasa kehidupan ini sudah tak berarti lagi baginya tanpa sang anak.
“Rahma... Maaf,” tiba-tiba Abas datang mendekat padanya.
Saat orang-orang mulai pergi meninggalkan pemakaman, sekarang hanya tinggal mereka bertiga saja disana. Ya, Betran masih setia membatu ibu kekasihnya ini, dia tak mungkin meninggalkan ibu Rahma sendiri dalam kondisi seperti sekarang.
“Kami sudah tak butuh apa-apa dari kamu, termasuk kata maaf darimu. Sekian lama pergi dan baru sekarang datang... Kami bahkan tak menginginkan melihat wajahmu.”
“Buka aku yang pergi, tapi kalian!”
“Tapi kamu yang membuat kami pergi. Kamu yang menghancurkan segalanya, termasuk putri kita...”
Abas meremas erat jari-jarinya. Hancur? Benarkah dia telah menghancurkan kehidupan putrinya? Tapi bukankah mereka yang egois pergi dengan sombong dari dirinya. Bahkan gadis itu dengan angkuh berkata tak akan pernah menganggap dirinya sebagai ayah lagi. Sebagai seorang ayah dia merasa hancur harga dirinya, karena itu ia memilih mengabaikan mereka untuk memberikan pelajaran. Tapi siapa yang akan Menyangka akan berakhir seperti ini?
“Jangan lupa Rahma, kamu yang mendidik anakmu yang menjadi keras kepala dan Pembakang seperti itu!” Abas merasa kesal, “Aku tidak mengusir kalian, pergi adalah pilihan kalian. Kau yang durhaka Rahma, membangkang dan meninggalkan suami tanpa izin!”
Rahma meremas dadanya yang terasa nyeri. Kehilangan putri, dan sekarang kenapa mantan suaminya harus datang lagi dengan kata-kata kasarnya seperti dulu. Setelah menikah lagi Abas benar-benar tak pernah lagi memikirkan perasaannya, karena itu ia menyetujui Dara saat memutuskan akan pergi dari rumah mewah itu tujuh tahun lalu.
Rahma menarik nafas lelah, “pergilah kembali bersama wanita itu. Jangan mengungkit luka lama lagi... Meskipun seribu kali pun kau berkata tidak bersalah, penghianat seperti kamu tidak akan pernah mengerti.”
“Rahma!” Abas berteriak marah, pria itu bahkan melupakan jika saat ini mereka masih berdiri di makam putrinya.
Betran yang merasa tak tahan dengan pertengkaran dua manusia dewasa itu, segera angkat bicara.
“Sudahlah, lebih baik tante pulang dan beristirahat. Lagi pula Dara pasti akan sangat sedih melihat kalian bertengkar seperti ini.” Ucapnya pelan.
Abas menatap tajam laki-laki remaja yang tak ia sadari keberadaannya sedari tadi.
“Kamu siapa?”
Rahma tersenyum tipis, “pria yang sama seperti kamu, Abas. Yang membuat putriku memilih jalan kematian dari pada bertahan!”
Kata-kata ini benar-benar menusuk. Betran bahkan tersentak mendengar ucapan Rahma yang begitu sinis. Dia berpikir dengan menceritakan kejadian yang sebenarnya waktu di rumah sakit akan membuat ibu kekasihnya ini memaafkannya. Tapi ternyata tak ubahnya Dara, Rahma juga berubah menjadi benci dan menyalahkan dirinya.
“Tante... Aku...,” menggigit bibirnya gugup. Dia bisa merasakan pria yang bernama Abas itu mendelik marah ke arahnya.
“Sialan! Jadi kamu yang membuat Dara meninggal!” Abas berteriak marah, dia langsung menarik kerah baju pria bergaya preman itu dengan kasar.
Rahma yang melihat akan ada pertengkaran segera berteriak murka. Dia benci ini, saling bertengkar padahal dia dua pria yang memiliki sifat yang sama. Tak bisa setia!
“Diam kalian!” teriak Rahma lantang, “Jangan menyalahkan pemuda itu, Abas! Jika yang patut disalahkan itu Anak jalangmu itu! Dia yang sudah menggoda kekasih anakku, ****** kecil mu itu bahkan yang menghasut Betran sampai mereka bertengkar! Dan sekarang kau masih ingin mencari kesalahan orang lain!”
****** kecil?
Abas mengerti siapa yang ditunjukkan Rahma dengan kata-kata kasar itu. Dia langsung termangu dengan tuduhan Rahma pada anak keduanya.
“Tidak mungkin! Ayunda tidak mungkin melakukan itu pada kakaknya...,” Abas menggeleng tak percaya. Dia melepaskan Betran yang sedari tadi diam saja.
“Terserah padamu! Kenyataannya anak haram mu itu berhasil di didik oleh istri ****** mu. Lihatlah...,” Rahma menunjuk gundukan tanah basah itu dengan sedih, “dia bahkan lebih hebat dari ibunya.”
Pada akhirnya tangisan Rahma kembali pecah. Tak kuat lagi rasanya dia berbicara bersama Abas, Rahma langsung meminta Betran untuk membawanya pergi dari sana. Dia sudah tak sudi lagi melihat wajah seorang pria yang tega meninggalkan keluarga demi wanita yang lebih muda.
****
Kegelapan yang menyelimuti berlahan mulai tampak memudar dan berubah menjadi kabut asap yang menghalangi pandangan seorang gadis. Dia mencoba menghalau gumpalan-gumpalan itu dari pandangannya, tapi berlahan ia juga merasa tubuhnya melemah tak berdaya.
Dia mencoba berteriak, tapi suaranya malah tak keluar. Lalu dia kembali mencoba berlari dan menjauh dari asap tebal itu, tapi berlahan dia juga menyadari kakinya sudah tak bisa di gerakan. Ia hanya bisa diam membisu, tak tahu apa yang bisa ia lakukan lagi, pada akhirnya ia menangis ketakutan.
Dia terjebak pada pusaran hitam ini, tak tahu sejak kapan, Dia sendiri juga merasa dirinya tak punya pemikiran apapun. Berlahan ia melihat setitik cahaya yang cukup jauh. Cahaya yang terlihat begitu cantik membuat dirinya tertarik dan ingin menggapainya.
Gadis itu tersenyum senang ia merasa ada harapan untuk mendapatkan sinar yang indah itu, ia ingin mengapai cahaya yang sangat cantik dan menjauh dari kegelapan yang menyeramkan ini. Tapi sayangnya tubuhnya seolah mati rasa, kakinya terasa di ikat oleh balok besi yang sangat besar membuat ia tak mampu melangkah. Pada akhirnya ia terpaksa merangkak dengan tertatih-tatih mengejar cahaya itu dengan penuh harap.
Harapan yang ia sendiri tak tahu, tapi baru beberapa meter ia lelah dan serasa ingin menyerah. Terlalu sakit tubuhnya hingga menolak untuk bergerak lagi. Tapi cahaya itu... Kenapa dimatanya semakin idah dan semakin membuat jiwanya mengila.
Tak tahu apa yang dia inginkan, tapi berlahan ia kembali bergerak dan semakin dekat dengan pusaran putih itu. Semakin dekat... Dia semakin sakit... Semakin dia bergerak... Tubuhnya terasa semakin hancur dan menyakitkan.
Pada akhirnya ia sampai. Dan saat ia ingin menyentuh pusaran itu, tiba-tiba tubuhnya telah di santak dengan keras dan melayang seperti debu tertiup angin.
Dia kembali dengan rasa sakit ya sama... Dan dengan dendam yang sama.
***
Berlahan seorang perempuan yang terlihat masih cukup muda berteriak histeris memanggil dokter di kala melihat seseorang yang terbaring di atas brankar rumah sakit itu mulai mengerakkan jemarinya.
Tak begitu lama dokter dan beberapa suster berlari masuk ke dalam kamar rawat. Sedangkan wanita paruh baya yang baru saja berteriak di dorong keluar oleh suster.
“Ibu tunggu diluar dulu, kami harus memeriksa pasien terlebih dahulu.” Ujar sang suster dengan ramah.
“Tapi Sus... Saya ingin melihat putri saya. Bagaimana kalau nanti dia tidur lagi?”
Sang suster menggeleng tegas, “ibu tidak bisa masuk. Percaya pada kami, semuanya akan baik-baik saja Bu.” Setelah itu sang suster masuk dan menutup pintu kamar pasien.
****
Membuka matanya berlahan. Gadis itu merasa kepalanya serasa mau pecah karena teramat sakit. Dia ingin menyentuh dahinya, tapi saat ia ingin mengerakkan tangannya ia malah tak mampu.
‘Keadaannya sama seperti yang dia mimpikan tadi.’
Saat beberapa saat dokter datang dan ditemani oleh beberapa suster. Dia menarik nafas lega, setidaknya dia masih dapat pertolongan, tidak seperti di mimpi tadi.
Setelah di periksa dan di beri beberapa suntikan yang dia sendiri tak tahu itu apa, berlahan tubuh gadis itu mulai terasa lebih baik, tidak sesakit tadi.
“Aku dimana?” Dara berusaha berucap, tapi dia sedikit mengernyit heran saat merasa suaranya terdengar berbeda.
“Kenapa menjadi kembut dan mendayu seperti ini suaraku?” pikir Dara bingung.
Dia menatap dokter yang memeriksanya, serasa ingin bertanya, tapi saat ingin mengerakkan mulutnya suaranya malah tak keluar. Dara merasa sedikit takut, tubuhnya menjadi gelisah membuat dokter yang memeriksanya menjadi kawatir.
“Tenang lah, nona. Tolong bawa tubuh Anda rileks, agar tak membuat tekanan dan menyebabkan stres.”
Dara mengerti, jadi dia tak melawan lagi. Memilih diam saja dan berlahan ia mulai merasa katuk lagi. Mungkin obat yang disuntikan sudah mulai bekerja.
Dalam tidurnya ia kembali bermimpi buruk. Ia melihat gadis kecil yang berusia tiga belas tahun sedang dipukuli oleh seorang pria dewasa. Gadis itu berteriak minta ampun, Berkali-kali mengucapkan jika dirinya tak bersalah, tapi pria dewasa itu tetap tak mendengar dan terus memukuli gadis kecil itu dengan membabi buta.
Berlahan darah mulai mengalir dari tubuhnya yang tersayat oleh ikat pinggang pria itu. Semakin berteriak penuh penderitaan tapi sang pria yang sebagai ayahnya ini semakin gila memukulinya.
Berlahan tubuh kecil itu melemah, dia pingsan... Berlahan juga hancur menjadi debu dan menghilang dari padangan sang ayah. Sedangkan pria dewasa itu terlihat bersedih, dia terlihat syok dengan putrinya yang hancur menjadi abu... Berlahan pria itu bersimpuh... Menangis menyesali perbuatannya yang terlampau kejam. Dia tak menyangka akan hancur begitu mudah tubuh gadis yang selalu membuatnya jengkel. Apa dia baru saja membunuhnya?
Dia menyesal....
Putrinya telah pergi....
Dia sendiri yang Menghancurkannya....
Mati..... Dia benar-benar mati....
Meninggalkan dirinya sebagai seorang pembunuh.
*****
Jangan lupa tinggalkan jejak
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!