NovelToon NovelToon

Kembar Nakal Sang Pewaris

1. Orang Tua Adalah Tuhan

Apa ada sesuatu yang bisa menghancurkan wanita selain rasa cintanya pada pria tapi terkhianati?

Menurut Hestia ada.

Itu adalah kekerasan dari sosok cinta pertama nyaris seluruh wanita, yaitu ayahnya.

Ini adalah kali kesekian Hestia diam ketika tubuhnya dipenuhi memar. Lurus menatap ke arah meja kerja Darius yang baru saja mematahkan tongkat golf ke tubuhnya.

"Sekarang kamu paham?"

Bekas tongkat itu dibuang dan asistennya datang memungut tanpa sedikitpun mau ikut campur pada hal biasa yang terjadi itu.

"Papa sudah bilang setidaknya jaga mulut kamu di depan Ronal! Peduli setan kamu suka dengan dia atau tidak! Apa susahnya bicara baik-baik daripada melempar gelas minuman ke wajah dia!"

Padahal barusan memukul putrinya dengan tongkat.

Hestia hanya diam. Bukan tidak bisa melawan. Ia malas.

Di dunia ini, orang tua adalah Tuhan bagi anaknya. Itulah yang Hestia pahami.

Mereka bilang A, patuhi saja A. Mereka bilang B, patuhi saja B.

Mau suka mau tidak, itu bukan urusan anak. Karena orang tua sudah lebih dulu mencicipi garam jadi mereka paham pahit asam manis kehidupan.

Lagipula kalau di sini ia bilang si Ronal entah siapa anak rekan bisnis Papa itu ternyata sedang teler oleh narkoba di pertemuan mereka, memangnya Papa mau apa?

Mau gantian memukul Ronal? Atau mau sekalian memukuli Hestia bersama Ronal?

"Maaf, Pa." Hestia mau cepat-cepat keluar. "Aku tidak sengaja."

"Kamu kira saya tolol? Bagaimana tangan kamu tergelincir sampai gelas terlempar ke muka orang?!"

Ya tentu saja karena itu cuma alasan.

"Sudah." Darius mengibaskan tangan setelah puas melampiaskan marah. "Masuk ke kamarmu dan kerjakan tugasmu. Saya tidak mau dengar ada masalah lagi."

Hestia berkata baik, lalu keluar.

Bukan untuk ke kamar, melainkan untuk ke garasi.

Bodo amat setelah ini ia dipukuli lagi. Otaknya mungkin sudah rusak sejak kecil dipukuli hingga tidak tersisa rasa takut atau trauma.

Ia cuma mencengkram kuat setir mobilnya, melaju kencang tak tentu arah sampai sebuah panggilan masuk dari teman-tidak-dekatnya.

"Hai, Beb. Kamu sudah selesai dengan sesi 'Papa-Sangat-Marah'mu?"

Hestia tersenyum kecut. Saking biasanya, itu jadi candaan untuk mereka yang tahu.

Tidak ada gunanya memang bersedih. Hestia pernah menangis terisak-isak empat hari karena otaknya mulai tak tahan menerima kekerasan, namun tidak ada yang menolong, tidak ada yang berkata jangan pada Darius.

Harus terima. Karena Hestia adalah anak dari bisnisman besar dan anak seorang pebisnis tidak boleh lembek.

"Kurasa sudah. Punggungku lebam parah sekarang. Ada apa? Kamu mau mengobatinya?"

"Aku punya sesuatu yang jauh lebih menyenangkan daripada ke dokter melaporkan lebam yang ada lagi sebelum yang kemarin sembuh. Datang ke tempatku sekarang."

"On my way."

Paling clubbing. Mabuk-mabukan dalam kondisi memar parah begini enak, loh. Hestia sudah coba berkali-kali, jadi segera ia memutar arah mobilnya, ke arah klub malam yang dimiliki oleh teman-bukan-temannya itu.

*

Sebenarnya, selain mabuk-mabukan, Hestia tidak terlalu suka klub malam. Karena musik di tempat ini berdentum sampai ke jantung dan tidak ada sudut di mana dirinya bisa menenangkan diri dari masalah 'dipukuli papa lantaran terlalu nakal'.

Iris yang memanggilnya langsung menyapa Hestia sambil terbahak menanyai bagaimana kronologis pemukulan itu, dan Hestia cuma tersenyum masa bodo meski badannya ngilu.

Sudah ia bilang, Iris itu teman-bukan-teman.

Teman-tidak-dekat.

Dia bukan jenis teman yang akan merangkul Hestia lalu menanyainya bagaimana perasaan Hestia setelah dikerasi, jadi Hestia pun tidak repot-repot mau berbagi.

*

...selamat datang di karya Candradimuka. penulis selalu berharap pembaca betah dan suka sama cerita ini. dukungan kalian, dalam bentuk apa pun akan jadi faktor terbesar perkembangan karya dan penulisnya sendiri. ...

...terima kasih. 🙂✌...

2. Rahasia Wanita

Setelah Iris mengajaknya minum-minum lalu berdansa vulgar di dekat panggung, perempuan itu menghilang bersama partner clubbing-nya.

Hestia juga melengos tak peduli. Duduk di meja dekat bar, meminta tambahan alkohol pada barista.

Kadang-kadang kalau sedang baperan, Hestia suka mabuk sambil memandangi gelas alkohoknya. Bertanya dalam hati apa ada di dunia ini laki-laki yang bisa dipercaya?

Ada?

Entahlah, karena Hestia belum pernah bertemu.

Orang yang paling ia cintai, superhero-nya saja memukuli Hestia jika ia salah. Apalagi orang asing yang katakan lahir untuk ditemukan dan menemukannya.

"Hestia Alejandra." Seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. "Kurasa setiap kali melihatmu, kamu selalu minum dan tersenyum kecut."

Hestia memiringkan wajah, meski ia tersenyum kecil. Ia tahu orang ini tapi tidak ingat. Siapa yah dia?

Yah, dia laki-laki jadi pasti bukan orang penting.

Hukum wanita dalam Undang-Undang Hestia : Laki-laki sama dengan belatung.

"Aku bisa terluka dengan tatapanmu itu, Cantik." Dia terkekeh. Merebut minuman Hestia dan bersandar pada meja bar. "Yah, aku mendengarnya dari Iris. Dia bilang kamu sedang depresi dan butuh pelampiasan. Kebetulan, aku sedang bisa membantumu."

"Apa yang kamu punya? Milikmu?"

Pria itu tertawa. "Aku setia pada banyak gadis manisku, Cantik. Bukan aku." Lalu dia menunjuk ke sebuah arah. "Pria itu. Kurasa dia makhluk langka di sini, benar?"

Mata Hestia langsung tertuju pada pria yang pria Hestia-tak-kenal-siapa ini tunjukan.

Untuk sesaat, Hestia agak mengangkat alis. Jelas ia kenal siapa pria itu.

Namanya, kalau tidak salah ... Eros. Eros Prajapati.

Memang nama yang aneh, kalau kata Hestia. Tapi wajahnya tampan dengan mata abu-abu asli yang mengisyaratkan dia berdarah Kaukasia alias setengah bule.

Meski yang menarik bukan itu.

Eros Prajapati pernah merebut peluang bisnis besar yang sangat dicintai oleh Darius. Saat itu Hestia ingat ia dipukuli karena dianggap lamban dalam bertindak hingga Eros lebih dulu merebut emas yang seharusnya adalah emas milik mereka.

Singkatnya ... Darius benci dia.

"Terima kasih, Tuan Yang Aku Lupa Namamu." Hestia menepuk bahu pria yang terkekeh itu dan beranjak. "Akan kukenang jasamu sampai mati. Sampai jumpa."

"Have fun."

"Sure, it will be fun."

Ayo buat kenakalan karena memang cuma itu yang bisa dilakukan anak rusak ini.

*

"Eros Prajapati." Hestia menjatuhkan diri di samping pria itu, tersenyum menemukan dia mendelik tajam. "Sudah lama aku ingin bertemu kamu. Haruskah aku memperkenalkan diri juga?"

"Tidak tertarik. Pergilah."

"Jangan bicara hal menyedihkan begitu. Kamu datang ke surga bokong wanita begini tapi tidak ingin dirayu? Jarang-jarang aku merayu seseorang, kalau harus jujur."

Pria itu mendengkus tak peduli.

Hestia pun tak peduli kalau dia mau menolak. Karena pada akhirnya kurang dari dua puluh menit kemudian, pria itu sudah berada di bawahnya, tergesa-gesa melepaskan pakaian Hestia meski mereka berada dalam mobil di parkiran.

"Ini pengalaman pertamaku sejauh ini," bisik Hestia seraya terkekeh geli. "Perlakukan aku dengan lembut, Tuan Tampan."

Tangan pria itu menjalar ke punggungnya, membuat Hestia tersentak. "Punggungmu penuh luka."

"Wanita memiliki rahasia." Hestia mengedipkan sebelah mata. "Sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh seorang pria."

Karena dia hanya pria dan seperti katanya, pria tidak perlu mengetahui rahasia seorang wanita, maka Hestia mendesak tubuh mereka.

Tenggelam dalam kenakalannya sambil membayangkan kemarahan macam apa yang akan diberikan Darius jika tahu hal ini.

*

3. Kamu Hamil?

Hestia membuka matanya di kamar hotel setelah itu. Lebam-lebam di tubuhnya mulai terasa sakit luar biasa hingga ia meringis.

Karena sudah terbiasa, Hestia mengabaikan sakitnya dan memaksakan diri bangun. Ia berniat mengambil air di nakas ketika menemukan secarik kartu nama berikut note di atasnya.

Aku harus kembali lebih dulu.

Hubungi aku.

Pria baperan.

Hestia mengabaikan note itu, minum sambil bercermin untuk melihat lebih jelas.

Sudah pasti kemarin Eros melihat semua ini. Dia tidak banyak tanya, sesuai kabarnya, dia irit bicara dan tidak pedulian.

Meski cukup mudah dirayu sampai meninggalkan kartu nama.

Keheningan hotel itu menemani Hestia duduk termenung. Mengingat saat-saat pertama kali ia mendapat pukulan dari Darius karena kesalahannya semasa berada di sekolah.

"Papa, aku akan jadi juara satu di kelas dan membuat Papa bangga!"

Darius tersenyum mendengar hal itu. "Kamu berjanji?"

"Janji."

Dan ketika Hestia tak sengaja memberikan gelar juara satu pada rivalnya di kelas, senyum Darius berubah dingin.

"Kamu berjanji. Anak saya harus nomor satu. Kamu anak sulung. Adik-adikmu mencontoh kamu. Tidak boleh gagal. Kamu mengerti?"

Hestia dipaksa mengerti oleh kekerasannya.

"Tapi dia belum menelepon," gumam Hestia saat sadar belum ada panggilan sesi kedua 'Papa Sangat Marah'. "Mungkin dia mati?"

Hestia terkekeh dengan suaranya sendiri.

Lantas teralihkan oleh suara ponsel yang membuatnya seketika berpikir baru juga bersyukur.

Ternyata bukan Darius. Itu dari ajudannya yang mengurus pekerjaan Hestia jika ia tak turun tangan langsung.

"Ada apa?"

"Bukan hal penting, kalau kamu ingin istirahat. Seseorang dari Delhi datang mencarimu. Dia ingin membeli barang kita dan kurasa cukup banyak."

Barang yang dimaksud Wija adalah litium. Benda itu memang cukup banyak diminati oleh pembeli-pembeli asing dan kerap meminta hingga jumlah ton padahal stok milik mereka masih terbilang sedikit.

Bahkan Hestia hanya sering menjual kiloan untuk menghindari risiko kehabisan barang.

"Baiklah. Lakukan negosiasi awal dan jangan beri di atas jumlah dua puluh kilo. Aku akan bersiap sekarang."

Sepertinya sesi 'dimarahi Papa' kali ini harus batal.

Uang nomor satu, kekerasan nomor dua. Itu adakah prinsip Darius.

Hestia mandi dan bermaksud langsung pergi. Namun matanya sempat tersita oleh pemandangan kartu nama yang ditinggalkan Eros. Daripada bingung, ia mengambil benda itu dan berangkat untuk mencari uang demi Papa.

Itu adalah nasibnya.

*

Selama satu bulan belakangan, Hestia nyaris tak punya waktu pulang atau bersenang-senang. Ia bolak-balik ke luar negeri hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja.

Selama ia bekerja, Papa tidak akan marah padanya. Selama ia melakukan sesuatu yang menguntungkan keluarga, Papa tidak akan protes pada tindakannya.

Baru hari ini Hestia bisa duduk santai bersama Wija. Duduk di halaman rumah pria itu, bertemankan piano yang diletakkan di bawah teduhnya pohon sambil ia memainkan melodi lembut.

"Hei, aku memikirkan ini sekarang. Bukankah kamu jadi agak jelek, Nona Muda?"

Hestia langsung mendesis. "Apa maksudmu?"

"Hm? Entahlah. Kamu bercermin tadi? Kamu terlihat sangat jelek dan buruk rupa."

"Baj*ngan." Tapi Hestia buru-buru menyalakan fitur kamera ponselnya untuk memastikan apakah benar itu.

Yang sialan, itu benar.

"Aku hanya kelelahan."

"Hm? Benarkah? Baguslah kalau begitu." Lalu Wija bersandar pada piano dan Hestia kembali memainkannya. "Bicara soal itu, kamu tidak menemui Eros lagi?"

"Apa perlu?"

"Kudengar dia beberapa kali menanyakanmu pada Iris."

"Aku tidak tertarik. Aku melepas keperawananku padanya karena kupikir dia akan membuat ayahku marah, tapi aku keburu meredam marahnya dengan penjualan litium hari itu."

"Otakmu memang gila. Benci namun menikmati."

"Aku memang sudah gila sejak jadi anak Darius."

Hestia mengisi keheningan selanjutnya dengan nyanyian. Satu-satunya hal yang bisa ia jadikan hiburan diluar pekerjaan hanya musik.

Meski ayahnya menghalangi keinginan Hestia pada musik karena menganggap itu tidak semenguntungkan jadi pebisnis.

Di tengah kenyamanan akan melodinya sendiri, tiba-tiba Hestia menoleh. Rasa mual tiba-tiba datang dan memintanya untuk muntah.

"Hestia."

"Hah?"

"Kamu hamil?"

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!