NovelToon NovelToon

Dendam Si Kembar

Kamu Bukan Anakku!

Riza dan Sekar duduk bersimpuh di hadapan Darius, ayah dari Riza.

“Ayah, saya mencintai Sekar. Restuilah kami.”

“Dasar anak tak tau diuntung!” Darius menendang guci yang ada di dekatnya. Benda antik senilai milyaran itu hancur berkeping.

“Kau kubesarkan seorang diri setelah ibumu meninggal. Dengan semua fasilitas terbaik yang bisa seorang ayah berikan. Begini balasanmu? Menikahi anak pembantu?” Darius memekik di hadapan wajah anaknya.

“Saya mencintai Sekar. Dia memang anak Bik Yem, tapi dia adalah wanita luar biasa. Ayah hanya perlu mengenalnya.”

“Sekali pembantu tetap pembantu, Riza. Kamu nggak liat itu? Apa yang kamu liat dari perempuan rendahan macam dia, hah?”

Air mata Sekar menetes. Ya, dia memang anak Bik Yem. ART yang puluhan tahun pernah mengabdi di rumah keluarga besar Darius Anantara.

“Kamu Sekar, kalau bukan karena mendiang istriku sangat menyayangi Bik Yem, kamu sudah kulenyapkan.”

“Ayah!” Riza berkata keras. Ia bisa menahan diri saat dirinya dimaki. Namun melihat wanita yang dicintainya direndahkan, emosinya menggelegak.

“Sekar adalah satu-satunya wanita yang kucintai.”

“Paling ia hanya ingin hartamu. Berapa yang kamu inginkan Sekar? Sepuluh milyar? Dua puluh milyar? Saya akan transfer sekarang juga jika itu bisa membuat kamu menjauhi Riza.”

Sekar menghapus air matanya. Bukannya ia tidak perlu uang, tapi tertusuk cinta adalah hal yang membuatnya berani mengarungi lautan api.

“Pak Darius yang saya hormati, Mas Riza, hal terakhir yang saya inginkan adalah permusuhan. Mas, mungkin kita yang terlalu memaksakan kehendak. Pak Darius benar, Sekar nggak pantas bersanding dengan Mas. Pak Darius, saya memang anak pembantu, tapi in syaa Allah saya bisa hidup cukup tanpa uang dari Bapak,” ucap Sekar lirih.

“Sekar …” Riza bangkit untuk mendekati Sekar. Dua orang bodyguard bertubuh besar langsung menahannya.

“Terserah, yang penting kamu pergi dan jangan pernah bertemu anak saya lagi! Dasar anak pembantu tak tau diuntung. Kamu tau ibumu sudah mati dari dulu kalau tidak kutolong untuk operasi?”

Sekar membayangkan wajah ibunya yang baru sebulan lalu meninggal dunia. Operasi pengangkatan tumor memang berhasil membuat ibunya hidup beberapa tahun namun ternyata tumor mengganas dan menyebar.

Ibunya butuh dana pengobatan yang besar. Awalnya Sekar ingin memohon bantuan pada Darius, namun ibunya berkata agar Sekar bekerja di rumah keluarga Anantara. Sekar yang seorang lulusan terbaik S1 terpaksa membuang jauh-jauh gelar sarjananya dan menjadi pembantu. Sama seperti ibunya.

Ia ikhlas menjalani demi ibunya dan mengingat keluarga Darius juga banyak berjasa membiayai sekolah hingga kuliah. Sekar bekerja dengan tekun, hanya butuh beberapa minggu Sekar diangkat menjadi kepala pelayan di rumah bak istana itu. Di sana ia bertemu dengan Rizal, anak majikan yang bertahun-tahun sekolah di Amerika.

Riza lah yang pertama kali terpesona pada gadis desa berseragam hitam putih yang dengan sopan tidak berani menatapnya. Sekar tahu diri siapa dirinya dan siapa Riza. Bagaikan bumi dengan langit begitulah status sosial yang mereka sandang.

Tapi tidak dengan Riza. Sepanjang usia dewasanya, banyak wanita kalangan atas yang menempel. Namun tidak ada yang menarik hati. Riza bukan playboy karena begitulah Bunda mendidik dirinya. Walau wanita-wanita menyodorkan diri, Riza selalu menghindar dan meninggalkan mereka,

Sekar berbeda. Kesederhanaan dan sikap apa adanya membuat Riza selalu penasaran. Diam-diam ia memerhatikan kepala pelayan yang sigap bergerak ke sana kemari mengawasi pekerjaan pasukan pekerja. Mulai dari tim pembersih rumah, tim dapur, para tukang kebur dan supir. Semuanya sopan dan hormat bahkan sangat menyayangi Sekar.

Darius yang banyak mau juga memercayakan keuangan rumah pada Sekar. Penuh amanah ia menyelesaikan tanggung jawab besar tersebut.

Dan jangan dipikir Sekar langsung mau bersanding dengan Riza. Gadis itu menghindar ketika menyadari anak majikannya berminat kepadanya. Ia langsung mengundurkan diri dan mencari pekerjaan di dekat kampung halamannya.

Riza mencari Sekar ke rumahnya di kampung. Bik Yem menemui dan menasihati agar Riza menjauhi Sekar. Riza tidak mau mendengar dan malah sering mengunjungi Bik Yem yang dulu pernah menjadi pengasuhnya. Hatinya berbunga setiap bertemu Sekar yang libur di akhir pekan. Riza pun akrab dengan Fauzan, kakak dari Sekar.

Lama kelamaan hati Sekar luluh dengan perhatian Riza. Bik Yem berpesan agar berhati-hati. Darius pasti tidak menyetujui hubungan mereka.

Namun Riza kekeuh pada pendiriannya dan memantapkan Sekar untuk memperjuangkan cinta mereka. Beberapa hari sebelum Bik Yem meninggal, Riza melamar Sekar dan saat ini mereka duduk bersimpuh memohon restu dari Darius.

Sekar menatap kekasih yang beberapa bulan ini ikut merawat ibunya. Laki-laki yang dari kecil hidup dalam kemewahan namun rela tinggal di rumah penduduk yang sederhana hanya untuk menemani Sekar dan ibunya.

“Mas, terima kasih atas semua bantuan untuk Sekar dan Ibu. Sekar … Sekar doakan Mas selalu bahagia.” Lehernya tercekat dan tak mau lebih lama di sana Sekar berlari ke luar ruangan sembari berurai air mata. Menghiraukan Riza yang terus meronta sambil memekik namanya.

Empat orang bodyguard menahan tubuh Riza. Sampai laki-laki itu menangis dan mengendurkan perlawanannya. Sebetulnya mereka juga tidak tega. Para bodyguard itu mengenal Sekar sebagai gadis baik, namun bagaimana pun, ia tak pantas bersanding dengan Riza Anantara, satu-satunya pewaris tahta Anantara Corporation.

“Ayah, kenapa Ayah nggak mau merestui kami. Kenapa Ayah malah merendahkan Sekar? Sebelum kita memiliki semuanya, bukankah Ayah dan Bunda juga berasal dari kampung? Kenapa Ayah tidak bisa melihat Sekar sebagai wanita yang membuat Riza bisa tertawa semenjak Ibu meninggal?”

Darius menatap jauh keluar jendela ruang keluarga.

“Justru karena Ayah dan mendiang Bundamu berasal dari bawah maka kamu harus menikah dengan wanita yang setara. Sekar gadis baik dan pintar. Tapi dia bukan pasangan terbaik untukmu. Menurutlah, Riza. Hanya kamu satu-satunya yang Ayah miliki sekarang.” Suara Darius terdengat bergetar.

“Ayah, Riza mencintai Sekar. Riza tetap akan menikahi Sekar dengan atau tanpa restu ayah.”

Rahang Darius mengeras.

“Semua ini Ayah bangun untuk kamu, Riza dan keturunanmu. Perjuangan Ayah dan Ibu rela kamu kesampingan hanya untuk perempuan udik itu. Baik, silakan nikahi Sekar. Tapi tinggalkan ini semua. Karena kamu bukan lagi anakku!”

Riza menghela napas.

“Sampai kapan pun, Riza akan mencintai Ayah. Jaga diri baik-baik. Riza pamit.”

Riza menatap punggung ayahnya sebelum keluar dari rumahnya tanpa membawa satu barang pun.

Setelah putra tunggalnya pergi, Darius berjalan dengan gontai ke ruang kerjanya kemudian duduk di kursi kerjanya. Diraihnya foto bersama istrinya, Diandra, saat Riza masih remaja.

“Sayang, maafkan aku tidak bisa menjaga anak kita seperti yang kamu mau. Dia pergi, Sayang.”

“Itu karena kamu terlalu keras kepala, Darius. Apa salahnya menerima pilihan anakmu?” Anwar, pengacara sekaligus sahabat berkata seraya duduk di hadapan Darius.

“Anak itu memang tidak mau menurutiku. Dari dulu. Aku suruh dia sekolah bisnis, lalu apa dia malah mengambil sekolah memasak. Kuikuti karena ibunya masih membela. Usai sekolah kutawarkan bisnisku apa yang dia lakukan? Dia malah bekerja sebagai pegawai rendahan di dapur restoran! Dia memang bengal!”

“Yus, anakmu sudah dewasa. Dia tidak perlu mengikuti langkahmu dulu. Bisa jadi dia sukses di jalannya.”

“Omong kosong! Kamu tau sendiri betapa aku berdarah-darah mendirikan kerajaan bisnis Anantara untuknya. Setidaknya ia mendengarkanku sedikit saja. War, aku mau kamu keluarkan Riza dari ahli warisku. Biar dia merasakan hidup melarat bersama wanita kampung itu.”

Anwar melihat percuma bicara dengan Darius yang terkenal tempramental itu. Dulu hanya Diandra yang bisa menenangkan. Namun sejak kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa istrinya, Darius makin menjadi.

“Kutunggu seminggu baru kujalankan permintaanmu. Berpikirlah Yus, jangan biarkan emosi menguasaimu. Lagi pula kita nggak mau musuh bisnis tau kalau Anantara kehilangan calon pemimpin. Kamu sudah tua dan anakmu cuma satu. Jangan terbawa emosi!”

“Kamu tau, War, aku lebih merasa Adrian sebagai anakku. Dia bekerja seperti dulu aku berjuang. Jadi tenang saja, akan kusiapkan Adrian menjadi pengganti Rizal.”

Anwar menghela napas.

“Seminggu, semoga kamu berubah pikiran.”

Setelah Anwar keluar, Darius kembali menatap foto keluarga kecilnya yang telah hancur berantakan.

“Semua gara-gara kamu yang selalu membela anak kita. Dia tidak mau mendengarkan aku, Di.” Air mata mengalir dan langsung dihapus dengan kasar.

“Aku rindu kamu, Diandra. Hanya kamu yang bisa menenangkan aku.”

Lama Darius memandangi foto mereka bertiga. Jarinya menelusuri wajah mendiang istri dan anak satu-satunya. Didekapnya sisa kenangan indah sebelum ia meletakkan kembali bingkai foto lalu melangkah keluar.

***

“Sekar!”

Sekar yang sudah duduk di kereta sambil memandang keluar jendela terkejut dengan sosok laki-laki di hadapannya.

“Mas …” Matanya berbinar sesaat sebelum kembali meredup.

“Nggak, kamu harus kembali ke ayah kamu. Jangan jadi anak durhaka. Pulang, Mas.” Sekar bangkit lalu mendorong Riza untuk menjauh. Riza bergeming tidak ingin menyentuh Sekar.

Melihat netra Riza yang terus menatapnya lembut, Sekar terdiam lalu kembali ke tempat duduknya. Pikirannya kalut.

Rizal duduk di kursi samping Sekar sambil berkata perlahan, “Mendiang Ibuku selalu mengajariku untuk mengikuti kata hati. Aku sudah sholat dan memohon petunjuk. Tetap saja hatiku mengarah ke kamu. Sekar, sekarang aku tidak punya apa-apa. Aku tinggalkan semua yang kuperoleh dari Ayah. Riza Anantara hanyalah pria miskin yang jatuh cinta padamu. Apakah kamu masih mau menikah denganku?”

“Permisi, Mas. Ini kursi saya.” Terdengar suara seorang ibu-ibu sambil menunjuk kursi di sebelah Sekar.

“Maaf. Sebentar saja, Bu. Saya sedang berusaha meminang lagi gadis pujaan saya.”

“Kalau gitu bantu saya naikkan tas ini ke kompartemen atas,” balas Si Ibu tak peduli.

Riza mendelik lalu gegas berdiri untuk meletakkan tas si ibu. Sekar tak bisa menahan senyum melihat ekspresi Riza.

“Silakan lanjutkan, saya berdiri di sini aja dulu,” cetus ibu muka tembok menunggu sambil berdiri di samping kursi Riza melihat-lihat hapenya.

“Sekar … apakah kamu bersedia?”

“Mas yakin mau menikahi gadis kampung kayak Sekar? Satu rumah Sekar plus taman masih lebih kecil dari garasi Mas.”

“Wuiii …” komentar si ibu lirih sambil terus sibuk menatap layar hape padahal telinganya tetap menguping pembicaraan Sekar dan Riza.

Tak menghiraukan, Riza terus menatap lembut wajah ayu di hadapannya. Wajah yang tidak pernah terkena pulasan make up. Tidak juga terpikir membelintas mahal dan baju branded. Sosok sederhana yang beberapa bulan terakhir memberikan ketenangan dalam kesederhanaan.

“Bismillaah.” Sekar menggangguk.

“Alhamdulillah. Pengin peluk!” Seru Riza bahagia.

“Eeh ehh nggak boleh. Belum halal. Udah sana balik ke kursi kamu. Ibu mau duduk.” Si Ibu langsung merangsek hingga Riza terpaksa berdiri.

“Aku di gerbong sebelah, Sekar.” Mata Riza berbinar-binar. Sementara Sekar malu-malu mengangguk.

Riza berjalan dengan langkah ringan ke gerbongnya. Sesekali menoleh ke belakang dan senyumnya terkembang melihat Sekar terus menatap dari jauh.

“Seneng ya, Neng? Jangan lama-lama cepet dihalalin,” celoteh Si Ibu.

“Eh iya, Bu. Mungkin nunggu beberapa minggu, mama saya baru meninggal bukan lalu.”

“Saya ikut berduka, Neng. Pestanya saja ditunda, menikahnya asal ada wali untuk Neng dan dua saksi sudah sah. Semoga lancar, ya Neng.”

“Terima kasih, Bu. Aamiin.”

Sebuah pesan masuk.

I love you so much, Cantik. Can’t wait to make you halal for me.

Pipi Sekar merona, lalu membalas.

Sekar juga cinta sama Mas Riza. Walau sedih karena belum mendapat restu dari Pak Darius.

Tak berapa lama pesan masuk lagi.

Mungkin sudah jalannya. Kita berdoa Ayah akan luluh dan menerima. I miss you already. Si Ibu tadi mau tukeran tempat duduk nggak, ya?

Sekar tersenyum lalu melirik Si Ibu yang sudah tertidur dengan mulut ternganga.

Mas, cuma enam jam. Nanti kita ketemu di kafetaria aja. Nanti, ya. Sekar nggak enak, Si Ibu udah tidur.

Riza membalas.

Ya Allah. Pasti dia lelah. Ya udah kabarin kalau mau ke kafetaria.

***

Riza duduk di hadapan Fauzan, kakak Sekar, dan istrinya Arum.

“Riza, kami ini keluarga miskin. Sepetak sawah dan rumah peninggalan Bapak dan Ibu adalah harta kami. Saya sendiri masih berjuang di bengkel motor. Kami tidak ingin kamu menyesal setelah menikahi Sekar.”

“In syaa Allah, saya akan berjuang untuk keluarga kami.” Riza menjawab mantap.

“Dek, kamu gimana? Dia nggak punya apa-apa bakal bikin kita repot.”

“Mas!” Sekar mencubit keras lengan kakak satu-satunya. Fauzan dan istrinya tergelak. Riza salting dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Fauzan merangkul adik satu-satunya dengan gestur yang sangat melindungi.

“Riza kapan kamu siap menikahi adikku?”

“Sekarang pun saya siap, Mas.”

“Mas Riza! Iiih, masak dasteran gini?”

Fauzan dan Arum bersitatap sambil tersenyum.

“Sekar, Mbak kemarin udah sewain baju pengantin di pasar. Sederhana aja, tapi cantik kok. Kamu pasti suka. Besok Mbak bisa antar ke tokonya. Sudah Mbak bayar, hitung-hitung hadiah pernikahan.”

Sekar terbelalak senang.

“Seriusan? Alhamdulillah. Wah nggak gerepotin, Mbak? Nanti aku ganti, ya. Minggu depan aku dah masuk kerja lagi, kok.”

“Sekar, aku masih ada uang kalau mau bikin baju atau yang lainnya.”

“Jangan. Kalau menurut Sekar, uang Mas disimpan aja buat emergency.”

“Betul Riza, biasanya tahun-tahun pernikahan berat secara finansial. Kamu juga mesti cari kerja dulu, kan?”

Riza mengangguk. Ada sedikit rasa takut karena kini dia tidak lagi bisa menikmati fasilitas dari ayahnya. Namun ia kibaskan dan bertekat untuk berusaha sekuat tenaga membahagiakan Sekar dan anak-anak mereka kelak.

“Sekar, bagaimana jika kita menikah hari Jumat ini?”

“In syaa Allah, Mas.”

“Nanti Mas Fauzan dan Mbak akan bantu info ke Pak RT. Sederhana aja karena kita masih dalam suasana duka.”

Riza dan Sekar bertukar pandang. Jumat yang tinggal dua hari terasa lama untuk dua hati yang tak sabar menyatu.

***

Merajut Mimpi

“Saya terima nikah dan kawinnya Sekar Ayu binti Mansyur Syah dengan mas kawin sepuluh juta rupiah, dibayar tunai!”

Suara Riza terdengar mantap mengucapkan kalimat yang mengikatnya secara sah dengan Sekar.

“Sah?” Tanya penghulu.

“Sah!” Jawab para undangan yang terdiri dari kerabat dekat.

Riza mengusap wajahnya penuh syukur.

“Andai Ayah dan Bunda ada di sini, kalian akan melihat betapa bahagiannya Riza,” batin pria yang baru memasuki babak baru dalam hidupnya. Ia menghela napas dalam untuk membuang kesedihannya.

Netra Riza mengarah ke pintu yang dihias rangkaian bunga sederhana. Tak sabar menunggu Sekar keluar dari kamar.

Jantungnya berdegup ketika pintu terbuka. Sekar nampak cantik sekali memakai kebaya putih. Parasnya berseri-seri. Matanya menatap Riza dengan penuh kebahagiaan.

Di luar skenario yang sudah diatur oleh kakak iparnya, Riza berjalan mendekati Sekar.

“Wah penganten lakinya wis ndak sabar,” celetuk seorang tamu.

Sekar tersipu malu. Riza berdiri di hadapannya, dekat sekali. Laki-laki yang baru beberapa menit menjadi suaminya mengecup keningnya. Sentuhan pertama yang mereka lakukan sejak saling mengenal.

Dengan takzim, Sekar mencium punggung tangan suaminya.

“Halo, Pak Bojo …” Sekar tertawa jahil.

“Hai you, Nyonya Riza Anantara …” Riza menjawab lembut, lalu menggandeng Sekar ke sofa yang dijadikan pelaminan.

Tak terbayang sebelumnya dirinya akan menikah dengan penuh kesederhanaan. Namun luapan kebahagian karena berhasil mempersunting sang pujaan hati melebih apapun yang bisa dibeli.

Riza beberapa kali melirik Sekar yang telihat sama bahagianya. Mereka menyalami tamu-tamu yang hadir. Hanya mengundang kerabat dan beberapa tetangga dekat karena Bik Yem belum empat pulih hari meninggalkan mereka.

“Aku udah nggak sabar sampai tamu-tamu pulang,” bisik Riza menggoda Sekar.

“Mas, iih.. genit.” Sekar tersipu. Ekspresi yang sangat disukai Riza.

“Sabar, Za … sabaaar …” Riza menggigit bibir menahan gemas. Syukuran yang hanya dua jam terasa seperti lima belas jam bagi Riza.

Malam hari Fauzan dan Arum sengaja menginap di bengkel untuk memberikan privacy pada pengantin baru.

Usai menutup pintu dan jendela, Riza menggendong Sekar ala bridal style. Istrinya memekik namun pasrah ketika tubuh langsingnya dibaringkan di tempat tidur.

Riza merebahkan diri di sampingnya. Mereka saling bertatapan. Mengagumi paras pasangannya. Entah siapa yang memulai karena selang beberapa detik, bibir mereka sudah saling me ma gut.

Hidup belasan tahun di Amerika tidak menggoda Riza merasakan nikmat surga di dunia sebelum waktunya. Sekar adalah wanita pertama yang dicumbui sedemikian untuk memuaskan napsu halalnya.

Perlahan tapi pasti, tangan Riza meraih area-area sensitif istrinya. De sa han nikmat yang keluar dari bibir Sekar membuatnya semakin bersemangat untuk menjelajah tubuh yang kini sudah siap menerimanya.

Riza menatap dalam-dalam netra Sekar, memastikan kesiapan untuk menerima dirinya.

“Mas …”

“Bismillaah …” bisik Riza dengan suara serak.

Terdengar pekikan pelan ketika Riza memasuki Sekar. Ia bisa merasakan tubuh istrinya menegang.

“Mas … sakit.”

“Maaf, Sayang,” jawab Riza yang untuk pertama kali merasakan kenikmatan yang tidak terkira. Tubuhnya mulai bergerak-gerak. Perlahan agar tidak semakin menyakiti Sekar.

Setelah beberapa saat, Sekar mulai menikmati penyatuan. Tubuhnya merespon gerakan Riza. Mereka terus berusaha memuaskan satu sama lain hingga pada puncaknya, Riza dan Sekar sama-sama mencapai kepuasan untuk pertama kali.

Riza memeluk Sekar. Wanita yang kini utuh miliknya. Di kamar sempit yang jauh dari kemewahan, ia merasakan kebahagiaan yang utuh.

Peluh membasahi tubuh polos mereka. Engahan napas memecah sunyi. Riza tersenyum melihat bercak merah dan semakin mengeratkan pelukannya.

“Terima kasih karena menjadikan Mas sebagai yang pertama untukmu.”

“Aku juga yang pertama buat Mas, kan?”

“Iya, Sayang. Kamu yang pertama dan in syaa Allah terakhir,” bisik Riza sambil mengelus rambut tebal istrinya lalu beralih memainkan puncak bukit kembar.

“Mas …” Sekar menggeliat.

“Hmm …” Netra Riza mulai berkabut.

“Istirahat dulu …” Rengek Sekar.

“Ngga bisa, Sayang. Si Babang udah minta lagi,” jawab Riza sambil terkekeh. Agaknya benar kata orang, sekali mencicip surga dunia, maka akan ingin lagi dan lagi.

Sekar pasrah ketika Riza kembali mengungkungnya dan mulai menyerang. Kali ini lebih gencar, terlebih Riza sudah mulai paham lekuk tubuh dan sentuhan di area yang bisa membuat istrinya merem melek.

Tangan Sekar pun mulai berani mengeksplor tubuh sempurna milik suaminya. Dada bidang dan berotot, perut bak roti sobek, punggung yang kokoh benar-benar menggodanya lahir batin.

Sekar bermain dengan jari jemarinya yang lentik. Lembut, membuat tubuh Riza meremang. Mereka pun kembali menyatu, menikmati detik demi detik hingga hasrat mereka meletup.

Setelah puas keduanya berbaring saling memeluk dan langsung tidur kelelahan.

***

Ratusan kilometer di ibu kota, Darius menatap layar hapenya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Emosi di dadanya menggelegak melihat Riza dan Sekar bersanding sebagai suami dan istri di pelaminan.

“Yus, come on! Apa kamu nggak bisa liat anakmu tersenyum bahagia? Sejak ibunya meninggal Riza tidak pernah terlihat segembira ini.”

“Omong kosong! Anak durhaka. Dia nggak akan bahagia sama Sekar. Liat aja.”

“Darius Anantara! Istighfar, ucapan orang tua adalah doa buat anaknya.” Anwar berkata keras. Tak menyangka Darius akan mengucapkan kata-kata setajam itu.

Darius terdiam.

“Yus, cobalah untuk menerima keputusan Riza. Kamu mungkin lupa bahwa harta tidak selalu bisa membeli kebahagiaan.”

“War, kepalaku pusing. Bisakah kah tinggalkan aku?” Darius menyandarkan kepalanya.

“Well, you know how to reach me.” Anwar berdiri sambil menatap sejenak wajah sahabatnya yang terlihat semakin menderita sejak Riza meninggalkannya.

Darius menjawab dengan alisnya. Matanya terpejam. Kepalanya berdenyut. Setelah beberapa saat dalam keheningan ia bangkit menuju jendela ruang kerjanya.

Malam itu ibu kota mulai melengang. Dari lantai tiga puluh dua Gedung Anantara, ia menatap langit yang bertabur bintang.

“Semoga kamu bahagia, Nak. Maafkan Ayah yang belum bisa menerima keputusanmu.”

***

Delapan bulan berlalu. Riza dan Sekar melalui hari-hari dengan bahagia. Layaknya suami istri kadang perselisihan muncul namun keduanya selalu berhasil menemukan titik temu.

Riza membuka usaha makanan online, Karaku. Terinspirasi dari ayam goreng yang sering disantap di drakor-drakor. Bumbunya perpaduan asin legit yang memanjakan lidah, belum lagi bunyi kriuk di tiap gigitan.

Awalnya usaha Riza mengalami kesulitan, namun Sekar yang memiliki banyak teman di daerahnya menyebarkan melalui beberapa grup chat. Akhirnya Karaku berkembang dan menjadi salah satu makanan online yang diminati.

Sekar sangat mengagumi Riza yang bagai bidadara terjatuh dari surga, sanggup hidup dalam kesederhanaan cenderung minimalis.

Sedikit demi sedikit berkat keuletannya, dapur rumah mendiang Bik Yem yang awalnya ala kadar kini diperbaiki menjadi lebih layak untuk tempat usaha.

Riza pun mensyukuri keputusannya untuk menikahi Sekar. Setelah membuka Karaku istrinya berhenti kerja dan membantunya di Karaku. Terlebih lagi saat Sekar hamil. Mereka menghitung minggu hingga buah hati terlahir dan melengkapi kebahagiaan mereka.

Riza tetap merindukan ayahnya. Beberapa kali ia menanyakan kabar melalui pesan singkat, namun laki-laki paruh baya keras kepala itu mengindahkan.

Sekar menyemangati Riza untuk terus berusaha. Karena bagaimana pun Darius adalah ayah kandung Riza.

Anwar di lain pihak sering menghubungi Riza. Menanyakan kabarnya dan Sekar. Melalui Anwar, Riza mendapatkan berita tentang Darius.

Riza hanya tersenyum ketika mendengar ayahnya menyiapkan Adrian, sepupu jauhnya, untuk menjadi pemimpin di Anantara Grup. Dari dulu ia memang tidak berminat menjadi bos usaha properti besar yang pernuh intrik dan persaingan kotor.

Dapur adalah tempatnya. Mengolah bahan-bahan mentah menjadi hidangan yang membangkitkan selera.

Sementara Adrian sangat ambisius dan mengidolakan Darius. Sewaktu remaja, Riza merasa Darius lebih menyayangi Adrian. Bunda Diandra selalu mengatakan bahwa kasih sayang seorang ayah tak mungkin tergantikan. Kedekatan dengan Adrian hanya karena minat yang sama pada dunia bisnis.

Darius memang lebih nyambung ketika bicara dengan Adrian ketimbang Riza. Walaupun sedikit banyak tahu mengenai bisnis yang ia kelola namun tidak ada sirat ketertarikan di netra coklat putra semata wayangnya itu.

Riza menitip pesan melalui Anwar untuk ayahnya agar tetap rajin olah raga dan minum vitamin. Pesan yang tak luput disampaikan pada Darius yang menanggapi dingin dan malah menyuruh Anwar untuk berhenti menghubungi Riza.

Tanpa sepengetahuan Anwar, Darius telah menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk menjaga Riza dan Sekar. Orang-orang itu selalu melaporkan apapun yang terjadi pada putra tunggalnya.

“Diandra, aku akan tetap menjaga putra kita dari jauh. Kamu tau? Riza akan segera punya anak. Aku akan jadi kakek … Tapi …kenapa kemarahanku masih belum mereda padanya. Diandra, andai kamu ada di sini …”

***

Pemuda tampan masuk ke ruangan Darius Anantara dengan penuh percaya diri.

Dialah Adrian Wiryaguna, sosok yang digadang-gadang akan menjadi bos di Anantara Group menggantikan Sang Pemilik, Darius Anantara.

Wajahnya terbentuk sempurna membuat hati wanita langsung meleleh dan pria langsung merasa insecure. Tubuhnya tinggi tegap. Jangan tanya tentang kecerdasannya. Adrian punya kemampuan untuk menganalisa situasi dengan cepat dan menentukan langkah apa yang haris diambil.

Adrian adalah sepupu jauh dari Riza. Darius dan ayahnya kakak beradik. Sejak remaja, ia sering menghabiskan waktu di kantor pamannya dan belajar mengenai seluk beluk menjalankan bisnis.

Berbeda dengan Riza yang memilih untuk bereksperimen di dapur dengan aneka resep. Riza memang lebih santai sementara Adrian sangat ambisius.

Kepergian Riza semakin melebarkan peluangnya untuk menguasai bisnis Anantara. Darius telah memercayakan beberapa mega proyek untuk dikelola Adrian.

Ia mensyukuri kebucinan Riza pada Sekar dan menganggap itu adalah kebodohan mutlak dari sepupunya. Kebodohan yang membawa keberuntungan baginya.

Adrian melihat Darius sedang duduk membelakangi pintu menghadap ke jendela kantor.

“Gimana menurutmu? Adrian memang luar biasa tapi dia bukan darah dagingku. Aku masih berharap Anantara Grup dipegang oleh Riza dan nanti diwariskan ke anak-anaknya.”

Langkah Adrian terhenti. Tubuhnya mematung mendengar perkataan pamannya.

“Tidak! Si Bucin itu tidak boleh kembali!” Jeritnya dalam hati. Ia sudah bersusah payah sampai di posisi ini dan akan terus mempertahankannya.

Adrian berdehem.

Darius memutar kursi kebesarannya dan langsung menyudahi pembicaraannya via telepon.

Adrian tersenyum lalu mendekati pamannya membawa berkas pembangunan ibukota propinsi yang baru.

“Paman, aku berhasil membebaskan lagi 1000 hektar lahan dengan harga yang menguntungkan. Bahkan pesaing tak bisa menyaingi prestasi kita.”

“Wah kerja bagus! Kamu sudah siapkan berkas presentasi ke kantor gubernur? Oom yakin proyek itu akan jatuh ke tangan kita.”

“Siap, Oom. Jangan khawatir, Adrian tidak akan mengecewakan, Oom. Ini akan jadi proyek terbesar untuk Grup Anantara.”

Darius mengulurkan tangan untuk menjabat Adrian.

“Lanjutkan …”

Adrian menjabat erat tangan Darius dan menatapnya mantap. Setelah bercakap sejenak, Adrian keluar ruangan menuju ruang kerjanya.

Darius menatap punggung pemuda yang berjalan menjauh.

“Andaikan Riza memiliki ambisi sepertimu,” batinnya menahan kecewa.

Sementara Adrian yang melihat pantulan wajah Darius melalui cermin memahami bahwa sekeras apapun dirinya bekerja, ia tidak mungkin bisa menggantikan Riza.

***

Penantian

Riza duduk di atas lututnya sambil mendekatkan wajahnya di perut Sekar. Tangan meraba-raba perut besar yang mengandung kedua buah hatinya.

“Anak-anak Papa, apakabar? Papa udah nggak sabar ketemu kalian.”

Sekar menatap suaminya dengan penuh cinta. Satu tangannya mengelus rambut hitam tebal Riza sementara satu tangan menopang tubuhnya yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.

“Kalau bayi-bayi kita udah lahir, Mas nggak akan nyuekin aku, kan?” Sekar bertanya dengan nada manja.

Riza mendongak membalas tatapan istrinya.

“Nggak akan, Cinta. Yang ada kamu yang cuekin aku karena sibuk ngurusin Si Kembar.”

Sekar menjebik sambil tersenyum. Riza menaikkan tubuhnya untuk menyatukan bibir mereka. Sedikit pun ia tidak pernah bosan me lu mat bibir mungil milik Sekar. Terlebih lagi dengan kehamilannya, si bukit kembar makin terlihat seksi. Membuat hasratnya sering meluap.

Riza menurunkan zipper daster yang dikenakan Sekar lalu perlahan melepaskannya. Sekar menunduk, malu akan tubuhnya yang tidak lagi sempurna dengan perut berisi bayi kembar.

“Hei, Sayang. Kenapa?”

“Aku jelek.”

Riza mengerti bahwa emosi ibu hamil sering naik turun. Terlebih lagi di usia kehamilan yang tinggal menunggu hari. Ia mengagumi betapa tubuh wanita yang tetap lincah bekerja membantu menyiapkan pesanan, bergerak ke sana ke mari tanpa mengeluh. Walau kelelahan, Riza tahu istrinya tidak mau mengeluh. Hanya sesekali mengaduh jika si kembar menendang.

“Sayangku, kamu adalah wanita tercantik, terseksi, tergemoy bagiku.”

“Tergendut juga.” Sekar memanyunkan bibirnya, tangannya meraih kembali daster.

“Eits … no way hosey… kalau udah mulai harus dituntaskan. Apalagi kata bidan, kita harus mulai sering berhubungan untuk merangsang kelahiran bayi-bayi kita.” Riza menaik turunkan alis dengan sorot mata mesum.

“Sekarku, Cintaku, kamu itu mengandung dua bayi. Tubuhmu menjadi rumah yag aman untuk bayi-bayi kita. Justru karena ini dan inimu membesar, malah terlihat makin seksi. Tuh lihat, Si Babang mulai bereaksi.” Riza tanpa tedeng aling-aling memegang bukit kembar istrinya.

Sekar tersenyum ragu.

“Aku takut Mas ninggalin karena gendut.”

“Naudzubillah. Nggaak!” Riza bergidig tak terbayang ia membagi cinta dengan wanita lain.

Sekar menangkup wajah suaminya.

“Janji setia sama aku dan anak-anak kita karena Allah, ya.”

“In syaa Allah. Aku akan jagain kamu dan anak-anak kita. Sayang … aku udah pengin banget.”

“Ya ampun aku lupa gosok gigi,” ujar Sekar sambil pura-pura bangkit dari duduknya.

“Ngadi-ngadi, tadi kita sikat gigi bareng.”

Perlahan, Riza merebahkan tubuh wanitanya dengan posisi miring ke kanan. Posisi yang paling nyaman untuk wanita hamil besar.

“Aku cinta kamu, Sekar. Jangan pernah meragukan perasaan aku, ya …”

“Iya Mas, in syaa Allah. Mas .. mmm Sekar mau yang kayak kemaren. Enak.”

Riza tersenyum, matanya berbinar.

“Siap, Permaisuriku.”

Dengan lembut Riza mulai menyentuh istrinya. Ia ikhlas memberikan semua yang diinginkan istrinya agar mendapatkan kenikmatan maksimal.

Dirinya paham, dengan kehamilan yang menginjak trimester terakhir, Sekar tidak selincah dulu. Riza lah yang kini selalu menjadi pemimpin dalam permain ranjang mereka.

Tubuh mereka menyatu hingga mencapai puncak kemudian saling berpelukan untuk merasakan kenikmatan surga dunia yang masih menggelenyar.

“Makasi, Mas. Kata bidan, Ibu happy, bayi happy, lahirannya lancar.” Sekar berkata sambil mengatur napasnya.

“Anytime, Sayang. Sini aku pakein lagi bajunya. Udara agak dingin malam ini. Besok aja kita mandi bersih sebelum shalat subuh.”

Sekar membiarkan suaminya dengan hati-hati memakaikan daster padanya. Tak berapa lama mereka sudah berbaring berhadapan menikmati momen intim setelah bercinta.

“Mas, apakah Pak Darius sudah tau kamu sebentar lagi akan punya anak?”

“Aku yakin sudah. Ayah menempatkan orang-orangnya di sekitaran kita.”

“Oh ya?”

“Aku hanya nggak minat untuk memegang perusahaan Ayah. Tapi bukannya aku bodoh dan tidak mengenal orang-orang yang bekerja padanya serta cara kerja mereka.”

“Mas, sebegitu sulitnya kah memegang bisnis Pak Darius hingga kamu menolak singgasana yang sudah disiapkan?”

“Bisnis besar itu tidak selamanya bersih. Kadang ada langkah-langkah kotor yang harus diambil,” ujar Riza sambil menerawang.

“Aku merasa jalanku bukan di sana. Adrian lebih cocok untuk posisi itu, sambungnya sambil mengelus perut Sekar.

“Sekar belum pernah ketemu Pak Adrian. Katanya ganteng.”

“Terus kalau ketemu kamu bajal naksir sama dia, hm?” Riza mencubit pipi istrinya.

Sambil mengerling jahil, Sekar menjawab, “Kalau lebih ganteng dari kamu sih, why not?“

“Ini istri, mulutnya harus dihukum!” Gerutu

Riza yang langsung me lu mat bibir istrinya tanpa ampun. Lidahnya melesak bermain di rongga mulut hingga istrinya terengah.

Sekar memejamkan mata, menikmati hukuman yang diberikan Riza.

Setelah puas, Riza menatap netra istrinya.

“Sekar, kamu nggak akan naksir Adrian, kan? Bilang!”

“Kok kamu insecure gitu. Ya enggak lah, Mas. Sedikit pun enggak. Dia juga sepertinya nggak peduli sama kami-kami kaum bawah,” jawab Sekar sambil terkekeh menertawakan pertanyaan unfaedah yang dilontarkan suaminya.

“Ayah menyiapkan Adrian untuk jadi pemimpin. Aku rasa dia akan berhasil. Aku doakan dia berhasil.”

“Kamu orang baik, Mas. Makanya aku cinta.” Sekar mengelus wajah suaminya dengan punggung tangan.

“Walau aku tidak bisa menjelaskan, ada sesuatu dalam diri Adrian yang membuatku tak nyaman.”

“Kita doakan saja semoga Group Anantara makin maju ya, Mas. Dan juga berdoa agar Pak Darius mau menerima kita dan cucu-cucunya.”

“Sekar, kamu adalah berkah dalam hidup aku. I love you.”

“Love you, too.“ Sekar menjawab dengan mata setengan terpejam. Tak lama, Sekar pun lelap dalam pelukan kehangatan Riza.

***

Suara keras kentongan membangunkan para penghuni yang sedang lelap di peraduan.

“Kebakaran … kebakaran …!”

Riza terbangun. Ia menoleh ke arah Sekar yang masih pulas tak bergerak. Gegss ia keluar kamar, di sana Fauzan dan Arum yang memang tinggal bersama sudah berada di luar rumah.

“Riza, bangunkan Sekar. Kebakaran sudah merembet kemana-mana,” seru Fauzan sambil melesat ke kamarnya mencari barang yang bisa diselamatkan.

“Innalillaahi …” Riza kembali ke kamarnga dan membangunkan Sekar. Mereka mengambil beberapa baju seadanya dan tas melahirkan yang sudah disiapkan.

Tak berapa lama mereka berempat berada di luar rumah.

“Semua bergerak ke pinggir desa! Kita tidak bisa ke jalan raya karena beberapa bangunan sudah roboh menutup akses kita ke sana. Api mulai membesar!

Suasana kacau. Warga berlarian ke sana kemari. Desa mereka cukup padat dan perumahannya rapat. Terlebih lagi musim kemarau membuat para laki-laki sukit mengambil air dari sumur untuk memadamkan api.

Riza terus menggenggam kuat tangan Sekar. Istrinya terbatuk-batuk karena asap pekat.

“Riza, kita ke arah timur saja karena angin mengarah ke Barat.”

Riza mengangguk kini merangkul Sekar dan menuntunnya. Fauzan dan Arum mencari jalan sementara Riza dan Sekar mengikuti dari belakang.

Suasana makin mencekam. Bunyi kayu-kayu penyangga rumah yang roboh berkeletakan disertai dentuman mengiringi teriakan warga yang ketakutan.

Fauzan, Arum, Riza, dan Sekar terus menyusuri jalan desa membelah manusia yang panik berlarian ke tak tentu arah.

Hanya diterangi cahaya dari lampu hape mereka terus menuju hutan di sebelah timur desa yang menghubungkan ke desa sebelah.

“Mas, perutku sakit,” rintih Sekar sambil menggengam satu tangan Riza.

“Tahan, Sayang. Kita akan menyeberangi hutan untuk ke desa Tanjung Sari. Di sana kita cari bidan.”

Kini mereka berlari menunju hutan dengan penerangan seadanya. Fauzan dan Arum yang besar di desa itu sangat mengenal hutan yang sedang mereka lalui. Begitu juga Sekar, namun rasa sakit di perutnya membuat wanita hamil besar itu pasrah mengikuti suami dan kakaknya.

“Aaaah, Mas. Aku nggak kuat.” Sekar melorot dan terduduk. Tangannya memegangi perut yang terasa sakit luar biasa.

“Kita sudah aman untuk sementara. Semoga warga bisa mencegah api sampai ke ujung desa, kalau tidak hutan ini akan ikut terbakar,” seru Fauzan dengan napas terengah-engah.

Arum memberi minum pada adik iparnya yang kini duduk di bawah pohon besar.

“Mas, air ketuban Sekar pecah.”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!