Siang itu, terik matahari mencapai puncaknya. Panasnya terasa sangat menyengat. Seolah bisa meleburkan aspal dan merubahnya menjadi bentuk semula.
"Panas." keluh seorang perempuan dari balik kemudi mobil mewahnya. Ia berkali-kali menyeka keringat yang timbul di pelipisnya. Meskipun mobil mewah yang ia bawa memiliki pendingin, tapi alam menang telak dalam urusan ini. Musim panas sudah datang.
Selain keluhannya mengenai cuaca, perempuan itu tidak bisa melupakan rangkaian benang kusut yang memenuhi otaknya. Begitu banyak masalah di tempat kerja yang membuatnya pusing. Cuaca panas ini menambah rangkaian daftar keluh kesahnya hari ini. Seolah tidak ada hari baik untuknya.
Perempuan itu bernama Emma Rosaline, Ceo dari Rose group yang bergerak di bidang kosmetik. Tapi salah satu perusahaan dibawah naungannya ada yang terkena skandal. Mengakibatkan sahamnya terjun payung dan turun hingga ke dasar. Ingin rasanya Emma membanting kemudi mobilnya dan menenggelamkan dirinya ke laut.
Emma merasa tidak ada orang yang sesial dirinya di dunia ini. Bernafas saja terasa berat baginya sekarang. Mungkin ia sudah tidak bisa menjadi ceo lagi.
"Gorengan, gorengan. Kakak, mau gorengan?"
Emma tersentak mendapati anak laki-laki berusia belia mendatangi mobilnya. Perempuan itu menengok kanan kiri, dan baru tersadar kalau ia sedang berada di lampu merah. Semua masalah di otaknya ikut membuyarkan penglihatannya.
"Kakak? mau beli tidak? enak loh. Ada tahu isi, tahu bakso, bakwan." anak laki-laki itu kembali menawari Emma dengan senyuman semangat yang masih tergurat di wajahnya. Seolah tidak ada beban diantara ukiran wajah kecilnya.
Emma merasa tersentuh, sekaligus merasa bodoh. Ia baru saja menerima tamparan keras dari kejamnya kehidupan. Seorang anak yang masih kecil rela melawan teriknya sinar matahari demi pundi-pundi uang yang terbilang kecil jika dimata Emma. Dan perempuan itu malah merasa paling menyedihkan didunia, sementara adik kecil ini masih tersenyum dengan polosnya meskipun luka yang dia derita lebih banyak.
"Tidak ya kak? kalau begitu permisi."
"Tunggu." Emma menghentikan langkah kaki bocah itu yang ingin pergi.
"Oke, beli berapa?"
Hanya dalam satu kedipan mata, anak itu sudah bersiap mengambil gorengan dengan capit besi yang terkatup-katup ditangan kanannya.
"Hmmm... berapa ya." Emma melirik dagangan si anak yang berada diatas nampan besar berbentuk bulat. Semuanya terlihat enak di mata orang yang belum makan siang sepertinya.
"Kalau beli semua, dapat bonus ciuman dariku loh kak. Bagaimana?" anak itu mengangkat kedua alisnya dengan bangga.
Emma terkekeh dengan suara lembutnya. Tidak disangka anak ini memiliki bibit dalam bidang marketing.
"Baiklah, aku beli semua." ucap Emma sambil tersenyum.
"Eh?! se-serius?!" anak laki-laki itu terbengong mendengar ucapan Emma. Tentu saja ia terkejut, karena selama ini belum pernah ada orang yang mengatakannya.
"Serius, tolong bungkus semua ya." Emma menatap bocah itu dengan jahil. "Dan jangan lupa bonusnya."
Ekspresi si bocah mulai berubah. Sepertinya ia tidak berminat memberikan bonus itu. Sebenarnya tadi ia cuma asal bicara saja. Karena ia tahu kalau tidak akan ada orang yang langsung membeli semua dagangannya.
Melihat ekspresi masam yang tiba-tiba saja muncul di wajah anak itu, Emma buru-buru bicara, "haha kakak memang beli semua, tapi bonusnya tidak usah."
"Ta-tapi aku tidak enak. Kakak sudah berbaik hati membeli semua daganganku." Meskipun berkata tidak enak, ekspresi lega yang berada disana tidak bisa ditutupi.
"Begini saja, ganti dengan yang lain. Aku ingin mengetahui siapa namamu."
Bocah itu nampak bingung sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya dengan senyuman imut yang sudah kembali.
"Tapi kak, sebentar lagi lampu akan berubah hijau."
Emma baru ingat kalau ia sedang berada di lampu merah sekarang. Tapi lampu merah ini tidak memiliki penunjuk hitung mundur, kenapa bocah ini tahu? jangan-jangan sedari tadi, dia menghitung waktunya?
"Masuklah dulu, sambil aku membayar gorengannya." Emma membukakan pintu mobil dari dalam, dan anak laki-laki itu masuk bersama dagangannya.
"Maaf kakak, mobilmu jadi kotor. Padahal bagus begini." Anak laki-laki itu berkata dengan raut wajah yang sedikit ketakutan.
"Tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan." ucap Emma yang disambut anggukan kepala dari anak lucu itu.
Ternyata benar, lampu berubah hijau. Emma mengendarai mobilnya dan menepikannya di trotoar dekat lampu merah.
"Ini kak, semua gorengannya." Anak laki-laki tadi menyodorkan tiga kantong plastik ukuran sedang penuh gorengan yang masing-masing sudah diisi cabai rawit.
"Terimakasih ya." Emma menyerahkan beberapa lembar uang pecahan 100 ribu dari dalam dompetnya.
"I-ini terlalu banyak kak."
"Tidak apa-apa, sisanya buat kamu jajan."
Mendengar perkataan itu, anak kecil tadi tidak bisa menyembunyikan senyum gembiranya. "Terimakasih kak." serunya kemudian.
"Jadi... siapa namamu?" tanya Emma.
"Namaku Aldrich, umur 10 tahun."
Hati Emma kembali bergetar. Anak umur 10 tahun sudah bekerja dengan begitu giatnya. Seharusnya di usia ini dia sedang bermain bersama teman-temannya. Rasanya cukup memalukan jika dibandingkan dengan dirinya. Hanya masalah rumor, membuatnya ingin bunuh diri. Emma merasa tidak memiliki muka didepan Aldrich ini.
"Sudah ya kak." Aldrich turun dari mobil Emma.
"Sampai jumpa lagi Al." Emma sebisa mungkin tersenyum ditengah rasa malu yang menimpanya.
"Iya kakak bye bye." Aldrich berlari pergi, dan menghilang dari pandangan Emma.
Ternyata dia bisa bahasa Inggris juga, Emma tersenyum.
Mobil kembali berjalan. Kini pikiran Emma sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia bisa menerima keadaannya. Dan entah bagaimana, ia tiba-tiba menemukan ide untuk memecahkan persoalan di otaknya. Memang benar kata pepatah, selalu ada solusi dibalik semua masalah.
Emma ingin suatu hari bertemu dengan Aldrich lagi, dan pergi bersama untuk saling berbagi cerita. Ia tahu kalau hidup anak itu pasti sulit, dan sulit juga baginya untuk meneriakkan keluh kesahnya. Senyuman manis itu, masih tergambar indah di benak Emma. Ia tidak ingin senyuman itu menghilang suatu saat Nanti.
"Seandainya aku memiliki anak yang seperti itu." gumam Emma di sela fokusnya mengemudi.
Emma Rosaline adalah perempuan berusia 27 tahun. Ia merupakan wanita karir yang tidak terlalu mementingkan sebuah hubungan percintaan. Baginya, bekerja lebih menyenangkan daripada bermain perasaan dengan laki-laki. Meskipun dulu ia mengatakan kerja lebih menyenangkan, nyatanya beberapa menit yang lalu ia depresi karena kerjaan. Sekarang ia juga sadar, kalau semuanya sama saja. Perasaannya juga sakit saat perkerjaannya mendapat masalah.
Emma akan berubah. Menjadi sosok yang tegar seperti Aldrich. Dan mencoba mencari pasangan. Meskipun agak terlambat, tapi ia akan berusaha.
Ting!
Ponsel Emma mendapat pesan.
Takut pesan itu berisi sesuatu yang penting, Emma langsung menepikan mobilnya dan membuka pesan.
[Nona besar, ceo Hamilton Group ingin bertemu dengan anda.]
Kedua alis Emma berkerut. Siapa?
Matt Hamilton adalah calon pewaris dari Hamilton group. Menurut kabar yang pernah Emma dengar, Hamilton group belum memilih calon pewaris yang sah, dengan alasan yang misterius. Entah apa yang terjadi dengan keluarga terkaya di negara ini. Hidup mereka sangat rumit.
Matt Hamilton sudah berusia 31 tahun sekarang, tapi Matt belum menikah. Sifatnya yang dingin, membuat para wanita enggan untuk mendekatinya, dan beberapa dari mereka menyerah sebelum mencoba. Sungguh sangat disayangkan, mengingat Matt adalah laki-laki yang sangat tampan.
Emma yang baru saja tiba di kantornya, buru-buru diarahkan oleh salah satu pegawainya menuju ke ruang tempat Matt Hamilton menunggu. Emma tidak tahu kenapa Matt ingin mencarinya.
Saat sampai diruangan yang dimaksud, seorang laki-laki duduk dengan angkuhnya. Kakinya menyilang dan tangannya menyangga pipi tirus yang memiliki ekspresi tegas. Dialah Matt Hamilton.
"Selamat siang tuan Matt. Ada apa mencari-"
"Lama." Sela Matt sebelum Emma mengatakan sapaan basa-basinya.
Apa-apaan dengan sikap orang ini? Meskipun dia kaya raya, tapi posisi kita sama-sama Ceo. Kenapa bersikap begitu arogan?
"Tuan Matt mencari saya? Ada apa?" Emma duduk di sofa dekat Matt.
"Hanya ingin meminta bantuan." Ucap Matt dengan acuh tak acuh.
Meminta bantuan? Bukankah seharusnya dia berkata dengan lembut sambil memohon? Jangan mentang-mentang anak orang kaya jadi bisa bersikap sesukanya.
"Bantuan? Apa itu?" Emma pura-pura tersenyum sambil menahan emosinya.
"Aku ingin mencari seorang anak. Umurnya kisaran 10 sampai 11 tahun. Dia memiliki tanda lahir di bahu kanannya." Matt mengganti posisi kakinya, meletakkannya diatas meja kaca didepan Emma dengan sepatu kotornya. "Aku sudah mengatakan ini di banyak perusahaan lain, karena anak ini sangat penting. Kalau kau melihatnya, segera-"
"Turunkan kakimu." Emma berdiri dari tempatnya duduk.
"Hah? Kau bilang apa?" Matt memiringkan kepalanya dengan sombong.
"Aku bilang, turunkan kakimu dasar tidak sopan!"
"Kau menggunakan nada tinggi padaku?"
"Memangnya kenapa? Ini perusahaanku, aku Ceo nya. Bahkan aku bisa mengusirmu dari sini." Balas Emma.
"Aku ini dari keluarga Hamilton." Matt ikut bangun dari kursinya.
"Lalu?"
"Aku bisa membeli perusahaanmu ini."
"Coba saja! Pergi! " Emma melempar bantal sofa di dekatnya kearah Matt.
"Kau ingin melawanku?" Matt ikut melempar bantal sofa pada Emma.
"Rasakan ini!" Emma tidak mau kalah.
"Kau yang rasakan!" Matt terus membalas.
Tiba-tiba seorang pegawai datang. "Silahkan minumnya-"
Bugh!
Pegawai itu terkena serangan bantal yang salah alamat. Alhasil minuman yang ia bawa tumpah di nampan.
"Ah! Nina, maaf." Ucap Emma sambil mendekati pegawainya yang malang.
"Tidak apa-apa nona. Ini hanya baju yang baru saja kubeli kemarin dengan harga setengah gajiku. Sumpah, tidak apa-apa kok." Nina menahan air matanya.
Itu berarti ada apa-apanya!
"Baiklah akan kuganti ya." Emma mengelus kepala Nina.
"Itulah akibat dari sifat kekanakanmu." Matt membenahi posisi jasnya sambil menyembunyikan bantal sofa yang hendak ia lemparkan kearah Emma tadi.
"Kau juga kekanakan!"
Matt hanya membuang mukanya. Sebenarnya tadi ia merasa cukup seru melakukan perang bantal.
"Tuan Matt, kita harus pergi lagi. Masih ada tiga perusahaan yang harus kita datangi, lalu anda memiliki jadwal rapat dengan pemegang saham." Seorang laki-laki dengan kacamata persegi panjangnya, menatap kearah Matt.
"Jangan ingatkan aku lagi, Ryker." Matt berjalan mendekati Emma untuk keluar. "Ingat pesanku." Ucapnya pada Emma.
Dih, seorang Ceo tiba-tiba mencari anak? Apakah itu hasil hubungan gelap? Ck ck ck sangat tidak etis.
"Iya iya aku tahu." Jawab Emma dengan ogah-ogahan.
Sungguh perempuan yang menyebalkan, Matt diam-diam tersenyum.
"Ayo Ryker, kita pergi."
Matt dan orang laki-laki cerewet tadi akhirnya pergi.
Emma langsung menendang udara dengan membayangkan sosok Matt.
"Dasar sombong! Kepala duri! Kemari lagi, akan kutendang wajah arogannya itu!" Umpat Emma.
"Serius?" Nina menatap Emma tidak percaya.
"Tentu saja tidak, hehe." Emma menggaruk tengkuknya sambil tersenyum.
Nina hanya menghela nafas. Bossnya ini memang suka besar mulut, tapi sebenarnya dia orang yang sopan dan lemah lembut.
"Kenapa nona begitu galak pada tuan Matt? Bukankah dulu kalian satu sekolah saat SMA? Kalian bertemu lagi setelah sekian lama, tapi tidak ada salam haru atau yang lainnya."
"Dia hanya kakak kelasku, dan kita tidak pernah bicara satu sama lain. Untuk apa salam haru?" Emma mengambil salah satu gelas di nampan Nina. "Lumayan masih ada sedikit, kuminum ya."
"Oh iya nona. Tadi tuan Nolan datang, dan berkata ingin mencabut sahamnya."
Uhuk! Uhuk!
Emma yang sedang minum langsung batuk karena terkejut.
"Ini pasti gara-gara masalah itu." Emma mengambil ponselnya dari dalam tas dengan tergesa-gesa, lalu menelpon salah satu asistennya.
[Wayne, kau dimana? Ada hal yang sangat penting, kenapa kau tidak berada disini?] Tanya Emma dengan panik.
[Nona, anda meninggalkan saya di pom bensin.] Suara seorang laki-laki yang terdengar sangat kesal keluar.
[Benar juga, tadi aku pergi bersamamu. Hahaha maaf ya, aku sedang banyak pikiran. Jadi lupa haha.] Emma kembali menggaruk tengkuknya.
[Saya sudah hampir sampai di kantor. Ini sedang naik taksi.]
[Baiklah.] Emma menutup panggilan dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Uang ganti rugi?" Nina menengadahkan tangannya kearah Emma.
"Ya ampun, tidak sabaran sama sekali. Ini!" Emma menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu pada Nina.
"Terimakasih." Nina mengipas-ngipasi dirinya dengan uang sambil berjalan menjauh.
Nina sangat suka bekerja disini, karena Emma. Bossnya itu sangat baik hati, bahkan dengan pegawai rendahan seperti dirinya. Tidak ada lagi Ceo seperti Emma.
Tidak berselang lama, sosok Wayne terlihat. Laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matangnya itu, berlari memasuki gedung setelah membayar taksi.
"Nona!" Wayne mengejar Emma yang sedang berjalan menuju lift.
"Oh Wayne. Maafkan aku soal tadi." Emma menyatukan telapak tangannya sambil tersenyum.
"Tidak masalah, itu hanya pom bensin. Masih lebih parah yang dulu, anda meninggalkan saya di luar negeri." Wayne ingat betul bagaimana sialnya ia saat itu. Apalagi uang yang ia bawa saat itu tidak cukup untuk naik pesawat, dan ter-sialnya lagi kartu kreditnya tertinggal di rumah. Alhasil ia menelpon temannya untuk meminjam uang, dan menggantinya saat sampai rumah.
"Hahaha jangan dibahas lagi. Aku hanya lupa."
Wayne mengangguk. Ia paham, meskipun Emma sangat pintar, tapi dia tidak peka pada sekitar. Jika ada lomba Ceo paling aneh, Emma akan menduduki peringkat teratas.
"Jadi ada apa? Kenapa anda panik saat di telepon?" Tanya Wayne sambil mengikuti Emma masuk ke dalam lift.
"Aku ingin mengadakan rapat untuk memecahkan masalah kita. Agar tidak ada pemegang saham yang ingin pergi."
"Tapi masalah kita cukup rumit." Wayne terlihat khawatir.
"Percaya atau tidak, aku sudah menemukan solusinya." Emma tersenyum dengan bangga.
"Ini, obat yang biasanya."
"Terimakasih paman."
Setelah keluar dari apotik, Aldrich menatap tajam kearah bangunan yang baru ia masuki itu.
Lagi-lagi menaikkan harga? Kalau saja ada apotik lain yang menjual obat ini lebih murah, meskipun jauh aku rela jalan kaki untuk membelinya. Sayangnya tidak ada.
Aldrich menghembuskan nafas malas.
Dengan langkah kecilnya, Aldrich berjalan melewati banyaknya bangunan liar yang berada dibantaran sungai dengan air yang cukup keruh.
Inilah dunia tempat Aldrich tinggal. Tidak ada kata bersih dan rapi. Yang berada disekelilingnya adalah orang-orang dengan nasib yang sama sepertinya. Pengamen jalanan, preman, dan pencopet adalah tetangganya.
Meskipun hidup di tempat yang tergolong tidak layak, sedari kecil Aldrich sudah merasa ada yang berbeda darinya. Saat teman-teman sebayanya belum bisa membaca dan fokus bermain air di sungai coklat, Aldrich lebih memilih membaca koran bekas yang membahas permasalahan ekonomi dan kerjasama antar negara. Ia hanya diajari satu kali oleh sang ibu tentang abjad, dan entah kenapa Aldrich langsung mengingatnya.
"Aku pulang." Rumah dengan kayu dan kardus yang asal ditempel itu, adalah rumah Aldrich.
Saat masuk di dalam, Aldrich melihat sang ibu yang sedang duduk termenung sembari menatap keluar jendela.
"Ibu sudah makan belum? Kalau sudah bisa langsung minum obat. Aku baru saja membelinya." Aldrich mengeluarkan obat dari kantung plastik yang dibawanya tadi.
"Berapa harganya?" Tanya ibu Aldrich dengan nada dingin.
"Harganya naik lagi dari terakhir kali aku membelinya. Mungkin karena efek kurs mata uang negara kita sempat turun. Menurut koran yang kubaca, negara tetangga mulai membagun deligasi-"
"DIAM!!!"
Klotak!
Sang ibu tiba-tiba melemparkan gelas plastik didekatnya kearah Aldrich. Ekspresinya sangat murka sekarang.
"Kau itu anak usia 10 tahun! Berbicaralah layaknya anak usia 10 tahun! Dengar ya bocah, jangan bicara sesuatu yang rumit seperti itu, apalagi didepan orang asing. Jika aku dengar lagi, akan kujahit mulutmu!"
"Maaf ibu." Aldrich menundukkan kepalanya dengan perasaan bersalah. Kenapa ia selalu begini? Padahal sang ibu sudah mewanti-wantinya untuk tidak menunjukkan sisi pintarnya, tapi ia selalu keceplosan.
"Dasar tidak berguna!" Setelah kembali membentak, tiba-tiba sang ibu memegang dadanya.
Uhuk! Uhuk!
Selesai batuk, terlihat darah segar keluar dari mulut sang ibu. Aldrich langsung terlihat panik.
"Ibu ayo cepat minum obatnya. Tunggu sebentar, akan kuambilkan minum."
Dengan buru-buru Aldrich membuka obat dan mengambil air, lalu membantu ibunya minum.
Sejak Aldrich kecil, ia sudah melihat ibunya sakit-sakitan. Sering batuk darah dan terkadang sampai pingsan. Meskipun Aldrich sudah menabung, sang ibu tetap tidak mau diajak pergi ke dokter. Dan entah kenapa, saat berurusan dengan orang-orang sejenis dokter dan polisi, ibunya selalu terlihat ketakutan.
Setelah minum obat, wanita dengan rambut hitam panjangnya itu kembali melihat kearah jendela, menatap langit yang membentang luas disana.
"Katanya, saat kita melihat langit yang sama, dia akan mencariku.
Aldrich menatap ibunya yang lagi-lagi bicara sendiri dengan aneh. Dari dulu ibunya memang sering seperti itu.
"Kau sudah makan?" Tiba-tiba sang ibu melirik Aldrich.
"Belum." Aldrich menggeleng.
"Hasil jualannya bagaimana? Kenapa baru jam segini sudah pulang?"
"Hehe tadi ada yang memborong daganganku bu. Seorang nona muda yang cantik. Mengendarai mobil BMW 8i, berwarna merah. Dari perawakannya mirip pekerja kantoran."
Ups! Aldrich segera menutup mulutnya. Lagi-lagi ia bicara sok pintar. Ibunya pasti akan marah lagi.
"BMW 8i?! Mobil semahal itu... Pasti bukan milik pekerja biasa, pasti Ceo!" Tiba-tiba sikap ketakutan itu kembali. Ibu Aldrich mencengkram kedua bahu anaknya dengan kuat. "Aldrich, jangan dekati mereka. Jangan dekati Ceo! Ingat perkataan ibu."
"Iya ibu. I-ini sakit." Aldrich melirik tangan sang ibu yang masih mencengkram bahunya.
"Jangan dekati Ceo, jangan dekati Ceo." Wanita yang masih terlihat cantik itu tiba-tiba mencengkram kepalanya dan menarik rambutnya dengan kuat. Seolah-olah itu bisa meredakan rasa ketakutannya.
"Ibu ada apa?"
"Anakku... Jangan ambil anakku." Tiba-tiba sang ibu menangis, membuat Aldrich kebingungan.
"Ibu, Aldrich disini."
"Aldrich anakku!" Sang ibu langsung memeluk Aldrich dan kembali menangis.
Uhuk! Uhuk!
Ibu Aldrich kembali batuk dengan hebat. Kali ini batuk yang terdengar berbeda. Suaranya lebih serak dan berat dari biasanya.
"Ibu?"
Uhuk! Uhuk!
"Astaga darahnya kenapa banyak sekali?!" Aldrich mulai panik saat melihat tangan ibunya yang dipakai menutupi mulut saat batuk, penuh dengan darah.
"Sial! Waktuku sudah habis." Ibu Aldrich tersenyum tipis kemudian menatap Aldrich. "Anakku. Dengarkan perkataan terakhir ibu."
"Terakhir? Tidak! Tidak ada kata terakhir!" Aldrich mulai meneteskan air mata. Selama ibunya sakit, belum pernah ia mendengar perkataan ini.
"Dengarkan saja!" Bentak sang ibu, dan Aldrich hanya bisa mengangguk sambil menangis. "Ayahmu..."
Uhuk! Uhuk!
Aldrich terkejut, selama ini sang ibu tidak pernah membahas sesuatu tentang ayahnya. Jika Aldrich bertanya, ia akan dimarahi habis-habisan. Ibunya hanya pernah sekali saat sedang marah, secara misterius menyebut seseorang. "Kau mirip seperti ayahmu! Sangat menyebalkan!" Aldrich yang sepanjang hidupnya belum pernah bertemu dengan sang ayah, sangat senang saat dibentak ibunya seperti itu. Karena ia jadi tahu seperti apa ayah yang dirindukannya.
Tapi sekarang, kenapa tiba-tiba membahas ayahnya? Benarkah ini yang terakhir?
"Ayahmu adalah seorang Ceo dari keluarga yang sangat berpengaruh di negara ini. Sangat sangat berpengaruh hingga membuatku, Yunna Alisya, lulusan terbaik dari Universitas ternama di Inggris menjadi seperti gelandangan."
Aldrich terkejut mendengarnya. Ternyata ayahnya adalah seorang Ceo, dan selama ini ibunya adalah orang yang sangat pintar.
"Aldrich, meskipun ibu melarangmu mendekati Ceo manapun, tapi mungkin takdir akan berkata lain. Dan saat takdir itu membawamu pada ayahmu, sampaikan permintaan maaf ibu. Sudah 10 tahun lamanya, mungkin sekarang ayahmu sedang mencarimu. Temuilah dia, lalu perlihatkan tanda lahir di bahu kananmu. Dia akan segera mengenalimu."
"Tidak! Aku mau bersama ibu saja." Aldrich sudah menangis sejadi-jadinya. Melihat ibunya yang seperti menunggu ajal, membuatnya tidak kuasa menahan tangis.
"Maaf waktu ibu sudah tidak lama lagi. Racun ini, sudah tidak bisa kutahan."
Racun?
"Nenek... Maafkan aku." Sang ibu kembali melihat langit dengan wajah sayu.
"Maaf... Aldrich."
Bruk!
Tubuh sang ibu jatuh.
"Ibu! Ibu!" Aldrich mulai menggoncangkan tubuh ibunya dengan perasaan campur aduk. Bingung, sedih, takut. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan ibunya sekarang.
"Ibu! Ibu jawab aku! Ibu!" Aldrich dengan panik mencoba membuat ibunya sadar.
Saat semua cara yang Aldrich gunakan gagal, dengan takut ia mencoba mendekatkan jari kecilnya ke hidung sang ibu.
Tidak ada lagi hembusan nafas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!