Melbourne, Australia.
Seorang gadis berusia 21 tahun sedang mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya begitu cantik dan menawan. Namun, sayangnya Giani memiliki pribadi yang kaku dan keras kepala.
Giani Lorencia, nama gadis itu. Dia adalah putri dari seorang ilmuwan yang namanya sudah sangat dikenal di kalangan dunia science yakni Profesor Gilbert Lorenz.
Giani menuruni sifat ayahnya yang genius. Bahkan gadis itu telah mendapat gelar S1 nya di usia 19 tahun. Kini Giani bekerja membantu ayahnya di Sword of Science tempat yang menurut Giani adalah surga. Banyak penemuan-penemuan diciptakan di sana.
"Papa, hari ini aku akan lembur," ujar Giani pada Profesor Gilbert, ayahnya.
"Pergilah berkencan, jangan hanya mengencani tabung reaksi," jawab ayahnya.
Giani hanya berdecak kesal setiap kali mendengar jawaban ayahnya itu. Giani hanya hidup berdua bersama sang ayah karena ibunya telah meninggal saat Giani berusia 13 tahun.
"Ayah nanti akan bertemu dengan pemilik sekaligus pendiri Sword of Science." Mata cantik Giani seketika membulat sempurna.
"Apa aku boleh ikut ayah?"
"In your dream," sahut ayah Giani. Bibir Giani mengerucut. Profesor Gilbert hanya terkekeh melihat reaksi putrinya.
Profesor Gilbert berharap, jangan sampai putrinya berurusan dengan Benjamin, pria pemilik sekaligus pendiri Laboratorium besar tempatnya bekerja.
Bagi Profesor Gilbert, cukup dia saja yang tahu betapa pria itu sangat berbahaya dan gila.
Giani berangkat ke Sword of Science sendirian. Dia menaiki mobil hadiah dari papanya tahun lalu.
Setibanya di laboratorium, Giani langsung menuju ke ruang uji coba. Dimana di sana terdapat berbagai sampel cairan-cairan aneh yang diciptakan oleh pemilik Sword of Science itu dan beberapa telah di uji coba.
Giani menatap tabung yang berisi cairan berwarna merah darah. Namun, cairan itu sangat berbahaya kata rekan-rekannya. Giani berdecak sambil menatap tabung itu.
"Ck, segila apa pemilik tempat ini?"
Giani tak dapat menahan ucapannya hingga tepukan keras mengejutkan Giani. Hampir saja tabung yang dia bawa jatuh.
"Rick, kau mengagetkanku," ujar Giani kesal. Dia kembali menaruh tabung itu di tempatnya lagi. Erick memberi isyarat dengan meletakkan telunjuknya di depan bibir.
"Jangan bicara sembarangan tentang pemilik tempat, ini. Kau tidak tahu, tiga hari yang lalu ada ilmuwan di lantai atas yang membicarakan pemilik tempat ini. Malam harinya sesuatu yang buruk terjadi. Dia ditemukan tewas dengan leher yang hampir putus. Itu sangat mengerikan," kata Erick sembari berbisik.
Giani tiba-tiba bergidik ngeri. Dia mengusap lengannya berkali-kali karena merinding mendengarkan cerita Erick.
"Hati-hatilah saat berbicara. Di sini tembok pun punya telinga," sambung Erick. Giani hanya mengangguk tanpa suara.
Setelah Erick kembali ke tempatnya, entah mengapa, Giani merasa perasaannya mendadak tidak enak.
"Sial, Erick benar-benar membuatku takut."
Giani mencoba menghalau pikiran buruk. Dia kembali bekerja seperti biasanya. Giani adalah gadis yang tekun dan mau belajar. Dia berniat melanjutkan S2 nya. Ia sudah mengajukan beasiswa prestasi ke Universitasnya.
"Tak terasa waktu sudah beranjak petang. Satu per satu teman Giani sudah meninggalkan laboratorium itu. Hanya tersisa 3 rekan Giani termasuk Erick.
"Kau tidak pulang?" tanya Giani.
"Tidak, aku ingin menemanimu," ujar Erick sembari meneteskan sebuah cairan ke kaca di atas meja benda mikroskop dan mulai menelitinya.
Giani hanya mengangkat bahu dan kembali menekuni pekerjaannya. Ia menulis setiap hasil uji coba yang dia lakukan dengan penuh keseriusan.
Pukul 10 malam, Giani baru menyelesaikan pekerjaannya. Erick ternyata hanya omong kosong mengatakan ingin menemani dirinya, nyatanya pria itu pulang pukul 7 tadi.
Giani benar-benar lelah. Dia ingin sejenak bersantai dengan mengendarai mobilnya pelan sambil menyetel musik.
***
Di tempat Lain, seorang wanita malam sedang berusaha kabur dari sekawanan pria berjas hitam yang menakutkan. Wanita itu terus memacu mobilnya membelah jalanan yang sedikit lengang.
Sesekali wanita itu menoleh ke belakang. Namun, rupanya pria-pria tadi tetap mengejar dirinya. Wanita itu terus merapalkan doa dalam hatinya agar dirinya bisa terbebas dari orang-orang mengerikan tadi.
Mobil wanita itu melewati mobil Giani. Giani yang terkejut karena mobil yang melewatinya berjalan ugal-ugalan, akhirnya ikut memacu mobilnya dengan cepat. Ia khawatir ada sekawanan perampok atau begal atau yang lainnya. Giani tak sadar. Mobil yang tadi melewatinya hilang dari pandangan dan kini justru mobilnya yang menjadi sasaran kejaran 3 mobil di belakangnya.
"Sial, sebenarnya ada apa ini?" ujar Giani mulai panik. Di tengah kepanikan Giani, tiba-tiba salah satu mobil berhasil menghadang di depan mobil Giani. Akhirnya mau tak mau Giani menginjak rem mobilnya hingga tubuh Giani terhuyung ke depan. Beruntungnya gadis itu memakai sabuk pengaman hingga tubuhnya tetap tertahan, tak terlempar.
Giani mengumpat kesal. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, Giani keluar dari dari mobilnya. Namun, tanpa di duga Giani, sesuatu yang menyakitkan tiba-tiba mengenai punggungnya. Entah apa itu? yang jelas tak lama berselang, Giani merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Di sisa kesadarannya Giani melihat beberapa pria berjas mendekat ke arahnya.
"Ku rasa kita salah orang?" ujar salah satu pria berjas itu.
"Iya, bukankah tadi wanita itu memakai baju seksi."
"Kau benar."
Kini keenam pria berjas itu sedang berdebat di depan tubuh Giani yang tergolek di jalanan aspal. Namun, tak lama panggilan di ponsel salah satu pria berjas itu membuat raut wajah mereka semua menegang.
"Sudah, kita bawa dia saja."
"Iya, aku tidak mau nyawaku melayang sia-sia."
Akhirnya mereka meninggalkan jalanan itu dengan membawa tubuh Giani yang tak berdaya. Bahkan salah satu pria berjas itu membawa mobil Giani. Agar tidak menimbulkan masalah kedepannya.
Giani di bawa ke sebuah rumah megah berlantai 3. Dia dimasukkan ke sebuah kamar yang begitu mewah, tapi terkesan menakutkan karena kamar itu didominasi warna hitam dan cahayanya pun remang-remang.
Salah satu pria berjas tadi akhirnya melapor pada bosnya jika wanita yang dia inginkan sudah ada di kamarnya.
"Bos, wanita itu sudah ada di kamar anda."
"Hmm," pria itu hanya menggeram. Dia merasakan tubuhnya seperti terbakar. Jantungnya berdebar tak karuan.
"Sial, ada yang salah dengan obat itu," desis pria yang dipanggil Bos tadi.
"Apa anda yakin ingin ke kamar anda?"
"Aku sudah tidak dapat menunggu lagi, Ramos. Bawa sisa obat itu ke laboratorium. Aku perlu menelitinya lagi setelah ini berakhir."
Pria dengan wajah tampan bak dewa yunani itu pergi ke kamarnya. Dia tak lagi dapat menahan terjangan hasrat yang mulai menguasai dirinya. Tubuhnya yang tegap atletis itu kini bergetar, dia tak sabar untuk segera menuntaskan hasratnya yang tiba-tiba naik karena efek obat yang baru saja dia suntikkan kedalam tubuhnya.
Benjamin Alexander, pria berusia 29 tahun. Dia sedang melakukan eksperimen, ia ingin menciptakan serum untuk menguji coba sel sp*rmanya. Katakanlah dia gila. Dia sangat-sangat terobsesi dengan mimpinya untuk bisa memiliki keturunan yang IQnya melebihi Einstein.
Karena obsesinya itu, Ben (panggilan akrab Benjamin) berhari-hari berusaha menciptakan sebuah serum yang pastinya akan dia uji coba langsung pada tubuhnya sendiri.
Ben bahkan secara khusus memesan wanita dari klub yang masih murni, untuk dijadikan kelinci percobaan.
Percakapan sebelum Benjamin menyuntikkan serum ke tubuhnya.
"Bos, apa kamu benar-benar yakin?" tanya Ramos memastikan, dia berharap atasannya itu tidak main-main dengan keputusannya. Bisa saja nantinya wanita yang akan jadi kelinci percobaan hamil. Lalu bagaimana?
"Tentu saja."
"Lalu bagaimana kalau dia hamil?"
"Aku tidak akan menyentuhnya. Aku hanya akan memakai tubuhnya untuk bereksperimen."
Ramos lalu terdiam setelah mendengar perkataan bosnya itu. Dia tidak akan lagi bertanya karna dia tahu, pria tampan yang merupakan Bosnya itu adalah pria yang penuh dengan perhitungan. Dia sudah pasti telah memperhitungkan semua resiko yang akan terjadi.
Entah apa yang bosnya pikir. Mungkin pria itu akan melakukan inseminasi pada wanita malang itu. Ramos tahu, Bosnya sangat anti bersentuhan dengan wanita. Sejak ia mengetahui ibunya mengkhianati papanya, Ben jadi anti dengan wanita. Setahu Ben, wanita yang telah melahirkannya itu berselingkuh dengan orang kepercayaan papanya. Hingga akhirnya membuat papanya meregang nyawa karna serangan jantung. Sejak saat itu, Ben benar-benar tak mau bersentuhan dengan wanita mana pun.
Ben mulai menyuntikkan serum yang dia buat beberapa hari ini. Matanya menatap ke arah jarum suntik yang menancap di pahanya.
Ben terdiam menanti reaksi yang timbul dari serumnya. Sesaat Ben terpejam. Namun, dia merasa debar jantungnya menjadi tak biasa.
"Ramos, serum ini mulai bereaksi, tapi kenapa jantungku berdebar kencang begini?"
Ramos menatap bosnya dengan khawatir. "Apa anda mau suntikan penawarnya?"
"Ti-tidak perlu," jawab Ben dengan napas tersengal.
"Apa anda yakin?" tanya Ramos.
Ben hanya diam, dia meraih ponselnya dan menghubungi orang suruhannya untuk segera membawa wanita yang sudah dia beli dari klub ternama di kota itu. Setelah Ben mendapat jawaban dari anak buahnya, dia mematikan sambungan teleponnya dan melempar ponselnya ke sembarang arah.
Ben mengerang saat tubuhnya mulai bereaksi semakin aneh. Ramon kini benar-benar mencemaskan kondisi Ben.
"Aku akan siapkan penawarnya, Bos." Ramon segera bergerak dengan cepat, dia benar-benar tak habis pikir dengan keputusan yang terkesan buru-buru itu. Tidak biasanya Atasannya itu bertindak gegabah. Meski segala sesuatunya pasti telah dia perhitungkan.
Tak butuh waktu lama. Ben merebut suntikan yang berisi penawar dari tangan Ramos. Dengan gerakan cepat dan taktis dia menyuntikkan penawar itu, kali ini Ben menyuntikkannya di paha yang sebelahnya lagi.
Ramos menanti reaksi yang timbul dari penawar tadi, tapi sepertinya semua rencana Ben kali ini tidak sesuai harapannya. Saat penawarnya masuk, tak lama berselang, Tubuh Ben rasanya semakin terbakar perasaan aneh. bagian inti tubuhnya menegang hebat. Ben butuh pelepasan. Dia masuk ke kamar mandi dan mencoba bersolo karir, tapi isinya tak juga keluar.
Ben tampak Frustasi. Dia seperti menelan obat perang*sang, padahal sebelum-sebelumnya dia adalah penderita HSDD, yaitu kondisi kehilangan gairah seksualnya atau dengan nama lain hypoactive sexual desire disorder.
Seseorang yang mengalami HSDD akan tidak bergairah melakukan atau memikirkan apapun yang berkaitan dengan hubungan seksual
Saat Ben keluar dari kamar mandi, Anak buahnya melaporkan jika wanita yang dia beli sudah ada di kamarnya.
Setelah meninggalkan pesan pada Ramos. Ben berjalan dengan cepat menuju ke kamarnya. Ben membuka pintu dengan kasar. Dia mendapati seorang gadis dalam keadaan tertidur atau pingsan, Ben tak peduli. Bahkan pria itu tidak merasa aneh dengan pakaian yang dikenakan oleh wanita itu. Yang jelas Ben ingin segera menuntaskan Hasratnya.
Ben mulai melepaskan satu per satu kain yang melekat di tubuhnya. Dia juga bergerak melucuti kemeja dan celana Jeans yang Giani kenakan.
Saat melihat tubuh putih mulus bak pualam itu, Ben semakin berhasrat. Hingga dia memaksakan melakukan penyatuan pada tubuh Giani yang tak berdaya. Bahkan mungkin gadis malang itu tak menyadari kegadisannya telah terenggut paksa.
Berulangkali Ben melakukan penyatuan dan mengeluarkan bibitnya yang tercampur serum ciptaannya sendiri. Entah apa jadinya jika Giani benar-benar hamil dari benih Ben. Pria itu tak bisa berpikir.
Setelah hasratnya tersalurkan, Ben segera memakai bajunya dan pergi ke Laboratorium meninggalkan Giani yang masih tak sadarkan diri. Giani ditinggalkan dalam keadaan polos. Ben hanya menutup tubuh Giani dengan selimut.
Ben masuk ke laboratorium dengan wajah semakin dingin dan datar. Wajah tampannya semakin terlihat mempesona ketika alisnya bertaut dalam.
"Ramos, bawa sisa serum itu kemari."
Ramos segera melakukan perintah Benjamin tanpa bantahan apapun. Dia tahu, Bosnya pasti telah menuntaskan hasratnya, tapi yang jadi pertanyaan bukankah Bosnya seorang HSDD??
***
Jika Ben sedang dibuat emosi jiwa dengan temuannya, lain halnya dengan Giani. Dia mulai tersadar dari efek obat biusnya. Giani mengernyit dan lalu membuka mata. Saat akan bergerak, Giani mendesis. Inti tubuhnya terasa perih dan sangat sakit. Giani tersentak dia membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya seketika terbelalak saat ia mendapati tubuhnya tak terbungkus sehelai benang pun.
Giani mengacak rambutnya frustasi. Siapa yang telah melakukan ini padanya dan apa salahnya? Dia termenung mengingat seharian ini apa yang dia lakukan. Tiba-tiba Giani ingat sempat menggunjing pemilik laboratoriumnya.
Tak ingin berlama-lama di tempat asing itu, Giani memunguti bajunya yang berserakan. Rasanya dia ingin menangis merasakan sakit di inti tubuhnya, tapi dia tak ada waktu. Giani merasa harus segera keluar dari tempat itu. Dia merasa tempat itu sangatlah mengerikan.
Giani perlahan membuka pintu yang tak terkunci itu. Matanya menatap sekeliling. Rambutnya masih tampak acak-acakan dan menutupi wajahnya. Giani tak peduli. Yang jelas dia harus keluar dari tempat itu, sekarang juga.
Merasa suasana aman, Giani pergi ke pintu samping dari rumah itu. Ia merasa sangat beruntung rumah itu tidak dijaga ketat, padahal rumah itu sangat besar.
"Ah, peduli setan kenapa aku harus memikirkan rumah ini." Saat Giani berhasil keluar dari gerbang besar rumah itu, dia hampir bersorak karena melihat mobilnya ada di depannya. Giani mencoba mengintip kacanya dan rupanya kunci mobilnya masih terpasang di mobilnya. Tak ingin membuang waktu, Giani segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari tempat itu.
Beberapa penjaga rumah yang sedang berpatroli di belakang, berlarian ke depan karena khawatir ada pencuri.
"Whoi!" Teriak penjaga pintu saat melihat mobil Giani melesat meninggalkan tempat itu.
"Ini gawat. Bos bisa membunuh kita."
"Cepat kejar." 3 orang penjaga berlari, tapi lalu dua temannya berteriak.
"Pakai mobil. Bukannya lari." Ketiganya langsung berhenti dan berputar arah. 5 dari 7 penjaga mengejar mobil Giani sementara dua diantaranya berlari masuk ke rumah besar itu untuk mengabarkan pada bosnya.
Ben menatap 2 orang anak buahnya dengan tatapan tajam. Pria itu meraih senjata yang ada di atas meja dan menodongkannya ke arah keduanya.
"Apa kalian bilang?"
"Wanita tadi kabur, Tuan."
"Apa kalian semua bodoh, hah?" suara Ben menggelegar membuat kedua anak buahnya langsung menunduk dengan tubuh bergetar.
"Saya akan perintahkan tim ITE untuk melacak keberadaan wanita itu, Tuan."
"Tidak Perlu, aku akan menghubungi Iriana untuk menanyakan keberadaan wanita itu," ujar Ben.
"Pergilah!" lanjut Ben sembari mengibaskan tangannya pada kedua anak buahnya.
Dia meraih ponsel di atas meja dan hendak menghubungi sang Mucikari yang bekerja di Klub malam milik sahabatnya itu. Namun, rupanya ponselnya telah lebih dulu bergetar. Ben segara mengangkat panggilan dari Iriana itu.
"Apa kau tahu kesalahanmu, Iriana?"
("I-iya, Tuan. Orangku lari sebelum melaksanakan tugasnya. Maafkan aku, aku akan ganti uangmu, Tuan.")
Alis Ben mengernyit dalam, alisnya yang tebal kini bertaut.
"Apa yang kau katakan?"
("Maafkan aku, orangku pergi sebelum melakukan tugasnya. Aku juga sudah memecatnya. Secepatnya aku akan kembalikan uangmu itu.")
Ben lantas mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Ramos merasakan perubahan aura atasannya yang berubah kelam.
"Apa ada yang salah, Tuan?"
"Apakah kau memilih orang-orang bodoh itu tanpa menyeleksi nya terlebih dahulu?" sarkas Ben. Ramos tak mengerti apa maksud bosnya itu. Dia mencoba menerka-nerka apa yang terjadi hingga membuat mood bosnya begitu buruk.
"Maaf, Tuan, tapi saya tidak mengerti."
"Tanyakan pada anak buahmu, siapa yang tadi mereka bawa ke kamarku. Bisa-bisanya mereka mengelabuhiku dengan membawa wanita lain. Aku tidak akan membiarkan benih-benihku tumbuh di sembarangan wanita. Panggil mereka semua kemari."
Benjamin mengusap wajahnya kasar. Baru kali ini dia merasa bodoh. Dia pergi meninggalkan ruang laboratoriumnya dan masuk ke dalam kamar. Ben melihat selimut yang tadi membungkus tubuh wanita itu terongok di lantai. Ben menyalakan lampu utama kamarnya. Bercak darah yang ada di bedcover menandakan bahwa wanita itu benar-benar masih murni. Bahkan aroma lembut parfum wanita itu kini menggelitik indra penciuman Ben.
"Siapa kamu sebenarnya?" desis Ben. Jujur terbesit rasa bersalah di hati pria itu. Bagaimana tidak? wanita itu menjadi pelampiasan naf*sunya disaat dia tergolek tak berdaya.
Tiba-tiba Emosi kembali menguasai hati dan pikiran Ben. Dia berjalan keluar dan kembali ke ruang laboratoriumnya.
"Di mana mereka, Ramos?"
"Mereka semua sedang menuju kemari, Tuan."
Ramos tidak berani bersuara lagi saat melihat wajah tak bersahabat atasannya itu. Bahkan untuk menguap pun rasanya Ramos tak berani. Hari sudah hampir kembali terang, tapi dia masih harus bersikap selalu siap sedia.
Ketujuh anak buah Ben berdiri di depan bosnya dengan tatapan terus menunduk ke bawah.
"Siapa wanita yang kalian bawa ke kamarku?"
Salah satu dari ketujuh orang itu langsung maju dan berlutut di depan Ben.
"A-ampuni kami, Tuan. Kami tidak tahu siapa dia, kami memang salah menangkap orang malam itu."
"Enteng sekali kamu bilang? Kau tidak berpikir efeknya?" Ben melempar hiasan meja ke tubuh pria yang sedang berlutut itu.
"Apa kau berpikir untuk membodohiku, hah?"
"Kami bersalah, Bos. Ampuni kami." Keenam orang lainnya ikut berlutut di depan Benjamin.
Benjamin mengusap wajahnya kasar. "Pergi kalian! dan jangan pernah tunjukkan wajah kalian lagi di hadapanku."
"Ma-af, Tuan. kami memang bersalah tapi Ricco tidak terlibat. Biarkan dia bekerja di sini. Dia butuh banyak biaya untuk pengobatan ayahnya," ujar Pria pertama yang berlutut di depan Ben tadi.
"Kau cukup berani untuk menginterupsiku rupanya."
"Kalian berlima pergi dari sini dan kau Ricco tetap tinggal di sini, begitu juga denganmu."
Kelima anak buah Ben itu langsung pergi. Beruntung nyawa mereka tidak melayang. Mereka sangat berterima kasih pada Paolo yang menyelamatkan nyawa mereka semua.
Setelah kelima anak buahnya pergi, Ben menatap kedua bawahannya. Sesaat ia menghela napas panjang.
"Siapa namamu?"
"Paolo, Tuan."
"Kau tahu apa kesalahanmu?"
"Tahu, Tuan. Saya siap menerima semua konsekuensinya."
"Cari wanita itu dan jadilah mata untukku," ujar Benjamin. Paolo mengangguk dengan mantap.
"Baik, Tuan."
"Pergilah!" Paolo langsung bergegas pergi. Dia harus bisa membuktikan pada atasannya jika dia masih bisa diandalkan.
"Ricco, apa kau juga menyadari apa kesalahanmu?"
"Ya, Tuan."
"Kali ini aku memaafkan dirimu karena kau anak yang berbakti. Aku tidak suka ada orang yang melakukan kesalahan. Aku paling benci ketidaksempurnaan. Kau tahu, seharusnya hari ini aku membunuh kalian semua yang sudah berani menipuku."
"Ma-maaf, Tuan," ujar Ricco sembari menundukkan kepalanya.
"Ramos, kau ajari dia bagaimana agar bisa menjadi orangku dan cepat cari pengganti orang-orang tadi. Aku mau mereka yang sudah terlatih bukan anak kemarin sore."
"Baik, Tuan." Ramos dan Rico langsung keluar dari ruangan Ben.
***
Sementara itu, Giani kini tiba di rumahnya setelah berhasil lolos dari kejaran orang-orang tadi. Giani tidak langsung turun dari mobilnya. Dia menelungkupkan wajahnya di stir mobil.
Air mata Giani seketika mengalir dengan deras. Dadanya terasa sesak. Entah kesalahan apa yang dia buat. Dia tidak merasa menyinggung siapapun, tapi dia ingat jika siang tadi dia sempat mengatai pemilik laboratorium. Apa hanya karena itu dirinya pantas diperlakukan begitu? tapi benarkah begitu? atau ini hanya kebetulan belaka?
Kepala Giani terasa berdenyut, dia pun akhirnya tertidur di dalam mobilnya hingga pagi menjelang. Wanita itu tersentak kaget saat kaca mobilnya di gedor dari luar. Dia tampak linglung. Namun, tak berselang lama, Giani tersadar. Dia menurunkan kaca mobilnya.
"Bagus, ya? semalaman tidak pulang. Apa kau diam-diam punya kekasih?" tanya Gilbert, ayah Giani.
"Semalam aku lembur dan kecapekan, Pah."
"Kalau begitu sekarang keluarlah dan mandi.".
"Hmm, ya. Baiklah."
Giani dengan malas keluar dari mobilnya. Dia mengikuti langkah cinta pertamanya itu masuk ke rumah.
"Papa belum berangkat?"
"Bagaimana bisa papa berangkat kerja sedang kamutidak ada kabar sama sekali," sahut Gilbert. Pria paruh baya itu menuang susu ke gelas kosong di depan putrinya.
"Apa papa tidak ingin cari pengganti mama?" tanya Giani. Gilbert menggelengkan kepalanya.
"Dalam hati papa sudah tidak ada tempat lain lagi untuk dimasuki orang baru. Papa sudah tua, di sisa umur papa, papa hanya ingin melihatmu bahagia dengan pria pilihanmu."
"Jangan bicara yang bukan-bukan. Papa pasti akan panjang umur dan bisa melihat cucu-cucu papa tumbuh dewasa."
Giani berdiri memeluk papanya. Air matanya kembali tumpah. Dia merasa sangat bersalah pada papanya karena tidak bisa menjaga kesuciannya.
"Maafkan aku, Papa," batin Giani.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!