NovelToon NovelToon

Bintang Di Hatiku

Bab 1

Bila tiba waktunya kamu pasti akan mengerti. Terkadang ketika seseorang sedang menghadapi sebuah masalah, mereka seakan-akan merasa hidup sendirian di dunia ini. Karena mereka akan berfikir hanya diri sendiri yang dapat mengerti dan mengetahui bagaimana keadaan hati yang sesungguhnya. Maka dari itu, banyak dari mereka mengambil jalan singkat untuk menyelesaikan masalah dengan mengakhiri hidupnya. Tapi, tidak sedikit juga dari mereka yang bersyukur atas kedatangan masalah itu di kehidupan mereka. Dengan perlahan tapi pasti, memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Dan tidak sedikit pula yang mendapatkan kebahagiaan lebih dari apa yang diharapkan setelahnya.

“Mal, nggak capek emangnya tiap pagi dayung sepeda?” tanya Ita yang tidak tega melihat Mala.

Bukan tanpa alasan Ita menanyakan hal tersebut. Karena memang Mala bukan seorang gadis miskin. Malah melainkan ia terlahir dari keluarga yang terlanjur kaya. Hanya saja ada beberapa alasan yang mesti ia patuhi di rumahnya.

“Terus, kalau nggak naik sepeda aku naik apa? Semuanya pada nggak mau nganterin aku”, jawab Mala sambil merangkul Ita setelah ia memarkirkan sepedanya.

Ita pun menarik napas mendengar jawaban Mala. Mala melihat Ita yang tidak bisa berkata-kata lagi. Ia pun mencubit pipi Ita karena gemes. Mala heran, selalu saja Ita mempersoalkan dirinya yang berangkat ke sekolah dengan mengendarai sebuah sepeda.

Lucu rasanya melihat orang lain khawatir kepada diri kita. Itulah yang dirasakan Mala. Ia tersenyum melihat wajah cemas itu. Kadang ia berpikir siapa sih Ita? Hanya seorang teman baginya. Tapi, kenapa seseorang yang bukan siapa-siapa itu bisa mempunyai rasa cemas seperti yang biasa ibunya rasakan kepadanya.   

“Eh, Tiwi? Tumben datang cepat?” tanya Mala yang baru masuk ke kelas bersama Ita.

“Pasti belum mengerjakan PR, yak an?” jawab Ita asal sambil menunjuk Tiwi.

Mala dan Ita sangat heran melihat Tiwi yang biasanya ia selalu hampir telat datang ke sekolah tapi, pagi ini ia orang pertama yang ada di dalam kelas.

“Ah, emangnya kalian aja yang bisa datang cepat? Lagian kalian berdua itu, hobi banget sih datang cepat?” tanya Tiwi penasaran.

Bukan hanya Mala dan Ita yang heran dengan Tiwi. Ternyata Tiwi dari dulu juga heran melihat Mala dan Ita yang sangat rajin datang ke sekolah lebih awal.

“Lah, kamu tau itu hobi kita, ya kan?” jawab Ita sambil duduk di bangkunya.

“Ha? Maksud kamu apa Ta?” tanya Tiwi yang tidak mengerti dengan ucapan Ita.

“Kamu nggak ngerti Wi? Sama aku juga. Hahaha…”,  canda Mala yang duduk di sebelah Ita.

Tiwi ikut tertawa mendengar candaan dari Mala. Pasalnya ia yang mau membuat Tiwi kesal, eh malah dirinya sendiri sekarang yang kesal. Apalagi tau Mala juga ikutan mengejeknya.

“Ih, pada nggak nyambung deh!” jawab Ita kesal.

“Oh ya, nomor tiga jawabannya yang mana sih?” tanya Tiwi sambil menopangkan dagu di tangan kirinya.

Ita langsung pindah tempat ke sebelah Tiwi. Ia membolak-balikan lembaran kertas di buku paket Bahasa Indonesia milik Tiwi.

“Coba deh kamu baca yang ini? Kalau aku sih, jawabannya yang ini,” kata Ita sambil menunjukkan tulisan yang ia maksud.

“Kayaknya, jawabanku juga itu deh”, sambung Mala yang ikut ke meja Tiwi sambil memperhatikan tulisan yang ditunjuk oleh Ita tadi.

“Perasaan dari tadi aku udah baca halaman yang ini deh. Tapi nggak ketemu juga jawabannya”, kata Tiwi bingung.

“Ah, mungkin cuma perasaanmu aja kali? Hahaha…”, ledek Mala.

Kali ini Ita yang ikut tertawa mendengar candaan Mala. Ia senang akhirnya bisa membalas menertawakan Tiwi.

“Beneran loh!” rengek Tiwi.

“Hai Alan”, sapa Mala ketika melihat Alan masuk ke kelas.

Alan hanya tersenyum kecil kepada Mala. Lalu ia berjalan terus ke tempat duduknya yang paling belakang itu. Lalu, Tiwi terus memperhatikan Alan sampai ia duduk di bangkunya.

“Wi, gitu banget sih ngelihatin si Alan? Naksir kamu ya?” tanya Mala yang heran melihat Tiwi dengan suara yang sangat pelan karena takut terdengar oleh Alan.

“Ih, siapa juga yang naksir sama dia. Aku tuh nggak suka aja ngelihatnya sok cool banget jadi orang. Kamu lihatkan, dia nggak balas sapaan kamu tadi”, kata Tiwi menjelaskan dengan ikut berbisik.

“Nggak suka ngelihatnya tapi, dilihati terus”, kata Ita sambil berjalan hendak keluar kelas sekaligus menggoda Tiwi.

Tiwi kesal dengan ejekan Ita makanya ia langsung menjulurkan lidahnya kearah Ita. Mana suaranya sangat kuat. Ada rasa malu di hati Tiwi pada Alan.

Alan adalah murid baru. Tapi, dari hari pertama masuk sekolah Alan sama sekali tidak mau berteman dengan yang lain. Ia hanya dekat dengan Edo teman sebangkunya. Makanya banyak yang tidak begitu menyukai Alan terlebih dengan sikap acuhnya.

“Sebenarnya aku juga penasaran sama dia. Aku dengar dia nggak naik kelas tiga kali”, bisik Mala pada Tiwi yang merapatkan duduknya pada Tiwi agar tidak terdengar oleh Alan. Sebenarnya Ada rasa takut juga jika Alan tahu dia menjadi bahan perbincangan dan dia akan marah pada mereka.

“Serius? Tau dari mana kamu?” tanya Tiwi tidak percaya. Lalu, Tiwi lagi-lagi menoleh kearah belakang tepatnya pada Alan. Dia lihat Alan sedang tertidur dengan menaruh kepalanya di atas meja. Selalu saja begitu, pikir Tiwi.

“Aku sempat dengar dia dan Edo ngobrol tentang itu waktu di kantin”, jelas Mala lagi.

“Oh, iya. Aku juga pernah dengar kalau dia udah tiga kali pindah sekolah. Gila, Aku benar-benar penasaran sama tuh anak!” kata Tiwi sambil memukul meja dengan pelan.

Mala dan Tiwi begitu penasaran dengan kehidupan yang di jalani Alan. Mereka ingin mengetahui segala sesuatunya. Tapi, tentu tidak ada yang tahu tentang Alan selain Edo. Tiwi mencoba bernegosiasi dengan Mala agar mau berbicara dengan Edo tentang masalah Alan. Karena Selain Alan, Mala juga sangat dekat dengan Edo. Dan kabarnya lagi Edo menyukai Mala. Jadi, Tiwi beranggapan bahwa tidaklah sulit untuk menggali informasi mengenai Alan pada Edo.

Mala sedikit kesal pada Tiwi yang ingin memanfaatkannya demi kepuasan belaka. Awalnya Mala menolak karena menurut Mala itu tidaklah sopan. Tapi, Tiwi malah berkilah bahwa Mala lebih tidak sopan karena telah menguping pembicaraan Edo dan Alan. Makanya Tiwi menyuruh Mala agar terang-terangan meminta Edo menceritakannya.

Memang, sebenarnya Mala juga sangat ingin tahu apa yang sebenarnya dialami oleh Alan. Mungkin Tiwi benar. Tidak ada salahnyakan bertanya. Lagi pula dari pada mengobrol yang tidak kita ketahui lebih baik tanya langsung pada yang mengetahui beritanya. Dan akhirnya Mala menyetujui permintaan Tiwi.

***

Bab 2

Siang hari yang begitu panas, Mala mengayuh sepedanya. Sesekali Mala mengusap keringat yang mengalir di keningnya. Sebenarnya Mala sudah malas naik sepeda terus-menerus, pulang-pergi ke sekolah. Ia ingin sekali diantar jemput tapi, tidak ada yang mau dan setuju tentang hal itu.

“Lama banget sih umurku tujuh belas tahun! Huh!” keluh Mala.

Saat ini Ia telah berumur enam belas tahun dan lima bulan lagi ia umurnya akan genap tujuh belas tahun. Saat itu, ia akan memiliki surat izin mengemudi dan bisa mengendarai sepeda motor ke sekolah.

Dari kejauhan Mala melihat penjual es cendol yang sedang berjualan di pinggir jalan. Ia pun mempercepat kayuhannya.

“Es cendolnya segelas ya pak”, katanya sambil memarkirkan sepedanya.

Mala duduk di bangku yang telah disediakan dan meletakkan tasnya di samping. Tidak lama, es cendol pun siap disantap.

Mala meneguk es cendolnya perlahan, “Hah”, Mala menghela napas. Ia merasa segar kembali. Lalu ia meneguk esnya kembali. Tapi, baru saja sedikit yang masuk ke mulut, Mala dikejutkan oleh Edo.

“Edo! Ngagetin aja deh! Kalau aku tersedak gimana?” kata Mala Marah.

“Kalau tersedak ya… uhuk…uhuk…. Hehehe”, canda Edo sambil memperagakan orang yang sedang batuk.

Edo pun memarkirkan motornya dan membuka helmnya.

“Ngapai sih kamu ke sini?Ganggu aja!”

“Ya mau minum es cendol dong.”

Edo duduk di sebelah Mala dan memesan es cendol untuk dirinya. Edo terus memperhatikan Mala tanpa berkedip. Hal itu tentu membuat Mala gerogi.

“Kamu pasti lelah banget ya, naik sepeda tiap hari?” tanya Edo sambil mengacak rambut Mala. “Aku antar-jemput mau?”

“Nggak mau ah!” tolak Mala mentah-mentah.

“Yakin nih, nggak mau?” tanya Edo sekali lagi.

Dalam hati Edo berkata, “Ayo dong Mal, please… mau, ayo dong….”

Tapi Mala menggelengkan kepalanya.

“Ya udah kalau nggak mau”, jawab Edo pura-pura santai.

Tiba-tiba Mala teringat pada Alan dan ia ingin menanyakan sesuatu kepada Edo.

“Do”, panggil Mala.

“Hm, kenapa?” jawab Edo sambil menyendok es cendolnya.

“Si Alan itu, beneran udah pindah sekolah tiga kali ya?” tanya Mala penasaran.

“Iya”, jawab Edo sambil menyendok es cendolnya.

“Terus beneran, dia juga udah tiga kali tinggal kelas?” tanya Mala lagi.

“Iya”, jawab Edo yang masih asik dengan es cendolnya.

“Ih, Edo serius dong!” rengek Mala sambil mengambil gelas yang ada ditangan Edo.

“Iya Mala, aku serius!” jawab Edo dan mengambil kembali gelasnya.

“Oh, gitu ya. Hm, aku kira kamu nggak bakal mau ngasih tau tentang  Alan.”

“Dia nggak bilang kalau itu rahasia kok. Kenapa sih, kok kayaknya mau tau banget?”

Edo menoleh ke Mala dan dilihatnya Mala sudah melototinya.

“Oke, jadi intinya dia itu udah malas sekolah”, jawab Edo singkat.

Edo melanjutkan minum esnya. Ia tidak mendengar suara Mala lagi. Dan benar saja Mala masih melototinya.

“Hm, jadi orang tuanya itu sering banget bertengkar kalau udah ketemu di rumah. Alan merasa terganggu. Terus dia juga merasa kalau dirinya nggak dianggap di rumah itu. Yah, kurang kasih sayanglah. Kurang lebih sih begitu. Puas?” jelas Edo.

Mala tersenyum pada Edo, “Oke deh, aku duluan ya Do.”

Mala berdiri dan melangkahkan kakinya menuju sepedanya. Tapi, masih selangkah Edo menarik tangan Mala. Ada rasa yang aneh di dalam dada. Mala menoleh kebelakang melihat Edo yang memegang tangannya. Angin berhembus mengenai wajah Mala. Ia semakin terlihat cantik di mata Edo.

“Mal…”, panggil Edo.

“Ya…”, jawab Mala gugup.

“Em, tas kamu ketinggalan”, kata Edo sambil menoleh ke arah tas Mala.

Mala tersenyum malu, hatinya masih gugup. Perasaan apa itu? Mala sama sekali tidak paham. Mala mengambil tasnya setelah itu ia berlalu pergi mengendarai sepedanya.

“Berapa pak?” tanya Edo sambil merogoh sakunya.

Sambil mengumpulkan gelas si Bapak pun menyebutkan harganya yang membuat Edo kaget.

“Kok mahal pak? Biasanya nggak segitu”, tanya Edo heran.

“Mbak yang tadi kan, belum bayar mas”, jelas si Bapak.

Edo tersenyum mengingat Mala. Ia pun membayar es cendolnya. Dan berlalu pergi mengendarai motornya.

***

Tidak heran kalau Mala langsung berbaring di kasurnya. Ia harus merenggangkan otot-otot kakinya yang terasa sangat lelah. Ia merasa suhu tubuhnya naik dengan memegang dahinya. Ia lalu bercermin untuk melihat wajahnya.

“Kayaknya beneran pucat deh”, ucapnya sambil bercermin.

Lalu ia melihat ke dalam kelopak matanya bagian bawah, “Merah kok. Apa perasaanku aja ya?”

Mala kembali berbaring di kasurnya. Lama-lama matanya mulai terasa berat. Dan ia pun tak kuasa menahan kantuknya. Tapi, tiba-tiba ia tersentak mendengar bel rumahnya berbunyi. Mala lalu keluar dari kamarnya untuk melihat siapakah yang datang.

“Ita? Cepat banget sih datangnya?” tanya Mala merengek.

“Lebih cepat lebih baikan?” jawab Ita.

“Hm, iya deh. Ayo masuk. Bentar ya, aku ambil buku dulu”, kata Mala sambil buru-buru ke kamarnya.

Ita hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu. Ia langsung membongkar tasnya dan mengeluarkan buku-buku yang ada di dalamnya. Tidak lama kemudian Mala pun datang membawa bukunya.

Tanpa berbincang-bincang lagi, mereka langsung mengerjakan soal-soal yang lumayan banyak. Sesekali Ita membantu Mala memberikan penjelasan mengenai soal-soal yang tidak Mala mengerti.

Mala sering mengajak Ita belajar bersama. Kata-kata Ita yang sederhana, membuat Mala menjadi  lebih mengerti. Dan, tidak terasa sudah dua jam mereka mengerjakan tugasnya.

“Buat jus mangga yuk!” ajak Mala.

“Ayo, udah dehidrasi banget nih”, ucap Ita sambil memegang lehernya.

Mereka pun langsung berjalan ke dapur. Nah, ini yang sering mereka lakukan setelah mengerjakan tugas. Yaitu, membuat cemilan dengan bahan ala kadarnya. Sebelum membuat jus, mereka membuat cemilan terlebih dahulu. Kadang  buat kentang goreng lah, omelet, sosis goreng dan lainnya. Pokoknya mereka bereksperimen sendiri.

Setelah itu imbasnya ke bibi Surti deh. Jadi, bi Surti lah membersihkan peralatan masaknya. Yang paling repot kalau udah buat percobaan baru tapi gagal dan gosong semua. Kebayangkan gimana membersihkannya?

Setelah beberapa lama membuat keributan di dapur, akhirnya mereka keluar membawa makanan yang mereka buat beserta jus mangga. Mereka pun langsung duduk di depan TV dan melahap cemilan sambil bersenda gurau.

“Wuih, ramai bener nih?” kata Ivan yang tiba-tiba datang.

“Eh, kak Ivan. Udah pulang kak?” tanya Ita.

“Iya Ta. Kalian buat percobaan apa lagi?”

“Biasa kak, hehehe”, jawab Mala malu. “Oh, iya kak. Gimana les pianonya? Kakak jadikan mendaftarkan Mala?”

“Maunya sih gitu, tapi Ayah nggak setuju”, jelas Ivan.

Mala pun langsung terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Terlihat jelas kekecewaan diwajahnya.

Kenapa? Kenapa ayah selalu saja tidak setuju dengan apa yang aku inginkan? Itulah pertanyaan yang selalu ada di benak Mala.

Mala kembali melihat TV. Namun hatinya masih perih. Ia yang sangat suka dengan hal-hal yang berbau seni dan keterampilan, namun ayahnya tidak mendukung hal tersebut.

“Kata ayah, lebih baik kamu ikut les bimbingan belajar aja”, kata Ivan.

“Aku udah punya Ita kok, yang selalu mau ngajari aku. Ita juga nggak kalah pintar dengan tentor Bimbel!” sahut Mala.

Ivan melihat ke arah Ita. Memang benar, Ita selalu menjadi juara satu umum di sekolahnya. Dan semenjak itu, Ita dan Mala semakin akrab. Ita selalu senang hati membantu Mala yang sering kesusahan mengerjakan tugas sekolahnya. Dan semakin lama Mala pun masuk ke lima besar murid berprestasi di kelasnya.

“Mal, kak Ivan, aku pulang ya. Soalnya ayah udah nunggu di depan”, kata Ita berpamitan.

“Iya Ta, makasih ya”, jawab mala sambil tersenyum dengan Ita.

Ita pun menganggukkan kepalanya dan membalas senyuman kepada Mala. Lalu ia berjalan keluar sendirian.

“Udah deh, lebih baik kamu turuti aja apa kata ayah”, Ivan meneruskan perdebatan mereka. “Lagi pula demi kebaikan kamu juga kan?”

“Tau apa ayah tentang aku? Kalau memang ini untuk kebaikanku, kenapa ayah nggak bisa percaya sama aku?” ucap Mala kesal.

“Mal, ayah juga pernah seumuran kamu. Pasti ayah lebih berpengalaman dan lebih tau tentang apa yang terbaik buat kamu. Udah ah, kakak mau mandi dulu.”

Ivan kemudian pergi meninggalkan Mala sendirian. Mala sangat kecewa dengan larangan-larangan yang dibuat oleh ayahnya. Ia tidak dapat memilih sendiri hal-hal yang ia sukai. Hal inilah yang membuat jarak antara dirinya dengan sang ayah.

***

Bab. 3

Pagi yang cerah dan juga hari yang akan membuat para siswa sibuk. Ya, memang di beberapa kelas terlihat sangat sibuk sekali. Karena minggu lalu, ada beberapa kelas yang di beri tugas dari guru seni rupa mereka. Salah satunya termasuk di kelas Mala. Para siswa sibuk memamerkan hasil karya mereka. Berbagai macam gambar yang para siswa buat. Dan itu sangatlah unik. Ada yang membuat gambar kucing, kelinci, Ayam jago, dan masih banyak yang lainnya.

Jadi, seminggu yang lalu mereka di beri tugas oleh pak Subroto. Beliau adalah guru mata pelajaran seni rupa. Beliau menugaskan para siswa membuat gambar yang nantinya di atas gambar tersebut akan ditempeli biji-bijian dan juga kacang di sebuah kertas tebal yang luasnya sekitar setengah meter. Kacang yang dipakai adalah kacang hijau, kacang merah, kacang kedelai, biji saga dan lain-lain. Cara menempelkannya menggunakan lem yang biasa dipakai untuk merekatkan kayu.

Mala melihat Edo yang baru datang ke kelas. Ia berniat menyapanya tapi, ia tidak seperti biasanya. Edo yang selalu memandangnya kini malah tidak melihatnya sama sekali. Wajahnya tampak cemberut. Padahal semalam mereka baik-baik saja. Lalu, Mala pun tiba-tiba teringat sesuatu.

“Edo, sombong banget sih!” bentak Mala. “Kamu marah ya? Gara-gara semalam kamu yang bayar?”

“Bukan itu aja. Mana? Katanya mau nganterin kacangnya ke rumahku!” jawab Edo jengkel.

Pasalnya, karena menunggu Mala alhasil Edo baru menyelesaikan sebagian karya seninya. Ia pun sudah pasrah dan berniat untuk mengemis pada temannya yang lain untuk memberikan sisa-sisa kacang dan biji-bijian kepada dirinya. Agar tugasnya selesai sebelum di kumpul oleh Pak Subroto.

“Oh, iya aku lupa”, jawab mala sambil memukul keningnya. “Maaf", lanjut Mala dengan wajah menyesalnya.

Edo semakin terlihat kesal. Tapi, sebenarnya itu cuma akal-akalan Edo saja untuk mengerjai Mala. Mana mungkin Edo bisa marah pada Mala. Sedangkan Mala adalah pujaan hatinya. Dalam hati Edo tertawa karena ia menyangka akan berhasil mengerjai Mala dan pasti Mala akan terlihat lucu dan menggemaskan.

Edo terlihat sangat acuh pada Mala. Walau Mala sudah minta maaf berkali-kali. Mala jadi tidak enak hati pada Edo. Bukannya Mala sengaja. Dirinya benar-benar lupa karena keasikan mengerjakan karya seni miliknya.

“Ya udah deh, ntar aku ganti traktir kamu”, bujuk Mala.

Edo masih tidak memperdulikannya. Edo pura-pura buang muka agar aktingnya terlihat seperti beneran. Wajah Edo pun terlihat semakin sedih. Lalu ia meletakkan karya seninya yang belum selesai itu di atas meja. Ia memandanginya dengan berpura-pura bersedih.

“Edo”, panggil Mala dengan lembut.

“Mala, ini bukan soal ganti-mengganti!” kata Edo sambil meletakkan tasnya dan menatap Mala kembali. “Tapi, ini soal…”

Mala tidak mendengarkan Edo. Karena, ia melihat salah satu temannya yang bernama Genta, tidak sengaja menumpahkan lem ke bangku yang akan di duduki Edo. Genta juga tidak sadar bahwa Edo hendak duduk. Ia malah berlari keluar kelas tanpa memberitahukan dahulu keadaan bangku yang akan di duduki Edo.

“Mal, kamu nggak dengerin aku ngomong ya? udah ah, capek ngomong sama kamu”, kata Edo berpura-pura kesal lagi.

Edo pun meletakkan tasnya di atas meja. Lalu, ia pun mulai duduk di bangku yang biasa ia duduki.

“Edo, tunggu!” teriak Mala sambil mengangkat tangannya ke depan seperti tanda berhenti.

“Apa lagi?” kata Edo sok tidak perduli sambil melipat tangan di dadanya.

Lalu, Edo malah duduk dengan santai. Mala ternganga lalu langsung menutup mulutnya. Ia kelihatan bingung dan panik. Ia tidak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. Ada rasa kasihan pada Edo yang sedang tertimpa musibah itu.

“Ha…ha…ha…”, Edo tertawa. “Lucu deh, liat kamu panik kayak gitu. Aku cuma bercanda kok", celoteh Edo yang telah mengira dirinya berhasil membuat Mala merasa sangat bersalah padanya.

“Oh, jadi kamu cuma mau ngerjain aku?” kata Mala kesal.

Mala langsung buang muka dan kembali ke tempat duduknya. Sambil pura-pura memperhatikan karya seninya. Mala senyum sendiri mengingat hal yang menimpa Edo saat ini.

“Do, kamu kok duduk disitu?” tanya Genta yang baru kembali dari kantin untuk meminjam kain lap.

“Kenapa emangnya?", kata Edo bingung melihat wajah panik Genta serta kain lap yang sedang di bawanya. "Kok, perasaanku jadi nggak enak gini ya?” kata Edo cemas.

“Tadi, si Genta nambahin lem di bangku kamu!” jawab Mala tapi tidak melihat Edo.

Mendengar perkataan Mala, semua mata tertuju pada Edo. Tidak lama kemudian semua orang yang di kelas menertawakan Edo.

Edo menatap Genta dengan tajam. Ia merapatkan giginya. Ia mencoba untuk berdiri tapi, tidak bisa. Ia mencoba sekuat tenaga namun, sia-sia. Genta tidak kuasa menahan tawanya lagi. Dan itu membuat Edo semakin kesal. Genta pun berinisiatif menolong Edo. Beberapa temannya yang lain juga menolong Edo.

“Susah nih Do, terhalang meja”, kata Genta yang berusaha menarik Edo.

Segala cara pun mereka lakukan  untuk mengeluarkan Edo dari jeratan itu. Sebagian teman-temannya hanya tertawa melihatnya. Tiba-tiba, kreeek! Edo pun terlepas. Ia pun terlihat sangat lega. Tapi, teman-temannya malah tertawa semakin kuat. Ia baru menyadari ternyata celananya sobek di bagian belakang. Ia pun langsung berlari ke sudut dinding untuk menutupi bagian belakangnya yang sobek.

“Nih, pakai jaketku aja”, kata Mala sambil memberikan jaket yang biasa ia kenakan.

Edo menatap Mala sambil tersenyum. Ia tidak menyangka Mala akan begitu perhatian kepadanya. Rasanya jantung berdegup kencang ketika melihat Mala memberikan jaket itu. Edo mengambil jaket tersebut dan menutupi bagian yang sobek.

“Cie, ada yang perhatian nih”, kata Ita dari belakang Mala.

Semua pun ikut menyoraki Mala dan Edo. Tapi, Mala mencoba bersikap biasa saja. Mereka sudah sering di ejek seperti itu. Karena memang Edo terang-terangan menyatakan kalau dirinya menyukai Mala. Edo yang juga teman Mala dari kecil sudah sangat dekat dengan Mala dan keluarganya. Edo adalah anak dari sahabat ayah Mala. Dan Edo mempunyai kepribadian yang sangat baik. Makanya semua anggota keluarga Mala menyukai Edo.

“Aku cuma kasihan aja kok. Lagian, itu untuk ganti yang semalam", jawab Mala lalu kembali ke tempat duduknya.

“Eh, emang semalam kalian ngapain?” tanya Ita lagi yang ingin tahu.

Tapi, Mala melototi Ita dan menarik tangannya untuk kembali ke bangku mereka.

“Makasih ya Mal”, kata Edo sambil tersenyum.

Mala melihat Edo kembali dan tersenyum kepadanya. Mala tidak tahu betapa senangnya Edo mendapat perhatian dari Mala. Edo hanya bisa menyimpan perasaan bahagia itu dalam hatinya saja.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!