NovelToon NovelToon

Korban Cinta Oppa

Bab 1. Kehaluan Ini

“Mina! Bangun!”

Suara ibu selalu membuat kebisingan di pagi hari. Betul, wanita yang sedang berteriak itu adalah ibuku. Meski mendengar, tubuh rasanya enggan bangun karena tidur adalah kesukaan nomor satu. Mengapa? Jelas karena tidur aku bisa bermimpi sepuas hati dong tanpa harus berusaha keras di luar sana. Mimpi ingin bertemu idola yang tidak mungkin karena kuota jajan terbatas dari ibu. Huhu ...! Sungguh menyedihkan. Baiklah, kembali ke suara bising itu, Kata ibu Arin, tetangga samping rumah yang juga adalah sahabat kecilku, suara ibu bahkan menembus ventilasi dapurnya. Huffthhh! Merepotkan memang punya Ibu cerewet namun sejujurnya sekaligus adalah ibu terbaik di dunia. Hanya maafkan kebandelan ini, soalnya aku orang yang sangat mencintai kasur empuk.

“Mina! Kalau tidak mau bangun ibu akan buang semua lukisan-lukisan tak berfaedah di dinding ini! Satu ...! Dua ...! Ti ...”

Hap!

Tidak bisa dibiarkan! Aku langsung bangkit menghalangi poster-poster kesayangan sambil membentangkan tangan sepenuh dinding, persis cicak mabuk karena di suruh bangun terlalu pagi. Sedangkan ibu menjadi gemas, no! Tidak akan kubiarkan ibu menjamah lebih jauh lagi.

“Semuanya adalah foto suami fiksiku ibu! Mana boleh kau buat janda putrimu ini bahkan sebelum dipinang pemuda di dunia nyata, itupun kalau bisa melampauinya,” Kulirik poster suami dengan jas setelan merah menyala namun tampak menakjubkan di bodinya yang sempurna.

“Ini namanya perebutan hak!”

“Kenapa setiap ibu mau merobek lukisan ini kau langsung bangun? Heee ... Bangun dari kenyataan Mina! Lebih baik mandi saja dan cepat bantu ayahmu ke toko!”

“Huweee ... Ibu tidak tahu rasanya patah sebelum disakiti kan? Di sini!” tunjukku di atas dada, “Kalau ibu mau merobek foto My Hot Kay, Mina minggat dari rumah!”

Wajah ibu melotot sampai menjadi bentukan mata ikan mas koki si Abang di dalam akuarium sana. Lidahnya melet-melet merajuk meminta pelet, padahal aku saja belum berhasil memelet si suami yang tidak menyadari istrinya sedang menunggu di bawa pulang. Haishhhh!

“Kau mengancam ibu karena foto lelaki cabe-cabean itu hah? Dasar anak tak tahu terima kasih, sudah dibesarkan malah lebih membela orang lain!”

Oh tidak! Sebelum macan dalam diri ibu terbangun, lebih baik mencari jalan aman supaya tidak kena imbas. I see, sebentar lagi aku bakal dicoret dalam daftar penerima warisan keluarga.

“Mau ke mana kau Mina? Minaaaaaaaaa!!!!”

Sumpah! Setiap pagi kejadiannya bakal seperti ini. Tunggu 15 menit kemudian, baru aku akan masuk ke dalam rumah. Pasti saat itu ibu sudah mereda, kemudian dengan santai bisa mengendap-endap masuk kamar tanpa mendapat omelan lagi. Yap! Indah kan hidupku? Menjadi anak paling bungsu dari dua bersaudara tentunya menjadi gadis paling manja buat si ayah. Lain dengan ibu, malah lebih sayang Abang di banding diriku, putrinya.

“Ah kalian mulai lagi.” Arin membukakan pintu setelah berhasil kugedor pintu depan ke -9 kali. Gadis itu sudah terbiasa, tak peduli malah! Setiap pagi jika ibu sudah marah-marah maka aku akan kabur ke tetangga samping ini melulu. Paling tidak bisa dapat minum gratis, atau paling hokinya dapat sarapan pagi dong.

“Kukatakan padamu yah Mina-ya! Menjadi pembangkang itu sangat tidak baik, kau bilang ingin belajar menjadi calon istri terbaiknya Kay, tapi dengan ibumu saja tidak pernah lulus! Bagaimana sih?”

“Hehe ...” sambil nyengir kuda, aku juga menggaruk dahi yang gatal akibat menjadi cicak dadakan tadi, debu yang melekat banyak menempel di tambah semakin di perekat oleh keringat pagi ini. “Habisnya ibu selalu mengancam akan merobek semua poster Oppa!”

“Makanya jangan cari gara-gara tahu!”

Eh? Aku tidak setuju dengan apa yang dia katakan, emang tidur di waktu pagi adalah kesalahan? Lama-lama Arin juga akan mirip seperti ibu. “Coba saja kau yang rasakan sendiri! Nah, semisal Sehan-mu itu dicopot sama tante dan di bakar gimana? Masih bisa bilang tidak cari gara-gara begitu?”

Mata Arin melotot hebat, tuh kan! Mirip ibu. Jangan-jangan kami adalah putri yang tertukar di rumah sakit tepat saat ibu dan ibunya Arin melahirkan? Bisa jadi. Mereka 80 persen lebih mirip ketimbang diriku dengan tingkat ke bar-baran mencapai level maksimum.

“Kenapa malah Sehan-ku yang kau bahas? Selamatkan saja visual suamimu yang terancam punah karena perbuatanmu sendiri sana!”

“Nah loh? Marah kan?”

Arin hanya menggerutu. Ya, kami berdua adalah EXE-L garis keras. Kerasnya, gak keras-keras amat. Cukuplah adu mulut dan main tojos-tojosan kalau ada seseorang yang berani menghina idola kami. Terutama biasku, My Hot Kay. Ah rasanya tidak cukup sebait kata-kata untuk menggambarkan betapa sukanya aku padanya. Wajah tampan berkarisma, rahang tegas, bibir tebal sensual, mata indah, bodi yang sempurna dengan tinggi dan berat badan proporsional. Dan yang paling tidak bisa membuat mataku beralih adalah ... Roti sobek! Delapan kotak roti sobek melekat manis dan parahnya pikiran ini membayangkan lebih! Aku juga ingin menyentuhnya walau sebentar saja. Apalagi sifatnya terkesan cool menambah aura keseksian yang membuat tubuhku menggelepar bak ikan kekeringan.

“But, cukup! Hayalanmu terlalu jauh Mina-ya! Kay tidak akan membiarkan siapapun menyentuh dirinya yang berharga itu. Sudahlah! Menyerah menjadi bibit sasaeng fansnya, dan jadi fans yang bijak saja. Lihat itu encesmu terlalu banyak jatuh!”

Baru tersadar bahwa kerah baju tidur memble yang kupakai terasa sedikit lembab, mungkinkah aku membayangkan dengan sangat menghayati? Hummm ...

“Pulang sana! Emangnya tidak ke toko pagi ini?”

Oh ya! Aku kan sudah berjanji membantu ayah dengan rajin selama sebulan ke depan. Dengan syarat, bulan depan uang jajan naik 3 kali lipat demi membeli sebuah tiket konser! Kyaaaaaaaaa ....! Tahu tiket apa? Tentu saja tiket untuk konser EXE! It’s EXE! That’s so excited for Arin and me!

“Yes, i need to take a bath baby!”

“Cyahhh! Hentikan bicara omong kosong! Sok-sok berbahasa Inggris segala padahal aslinya tahu berkat google translate! And don’t forget baby ... Uri EXE bakal datang! Kyaaaaaa!” soraknya tak karuan, mirip kesurupan sih iya.

Eleh, padahal dia lebih heboh dari aku!

“Oke, jangan lupa siapkan semua perlengkapan yang kita butuh. Kamu tau kan? Pokoknya jangan sampai Kay ku merasa bahwa dia tidak diperhatikan.”

Arin membulatkan jarinya membentuk huruf O. Beres sudah. Tinggal menunggu sebulan lagi kedatangan idol kesayanganku itu dan menikmati bertemu Kay secara langsung! Bukan dalam poster dinding yang sering jadi tempat pup cicak sembarang, tidak bermoral. Lihat saja nanti, bakal kubasmi pakai alat paling ampuh di dunia hasil temuan si Abang, Yaitu karet gelang dan lidi. Tiba-tiba mulut menyeringai jahat, biar saja, biar mereka tahu rasa sakitnya hatiku melihat Kay dibuat tak berkutik. My Hot Kay, wait for me!

Bab 2. Gosip

“Na, na-na-na-na-na-na-na ...”

“Na, na-na-na-na-na-na-na ...”

“ Ayye! Ayyehhh!”

“Mina! Kau masih belum selesai juga hah? Sudah jam berapa ini?!”

“Eomma jamkkanman! Aku belum selesai memakai bedak.” Jeda 2 detik dan tunggu ..., 1,2,3!

Plak!

Meski sering di getok pake tiang sapu, kemoceng, centong nasi bahkan raket nyamuk si Abang, aku tetap setia! Setia membela setiap hal yang berhubungan dengan idol. Kalau sedang menyetel salah satu lagu, maka harus di selesaikan saat itu juga. Namanya juga harus menghargai sesuatu yang kita suka kan? Meski Kai tidak tahu apa yang sedang kuperjuangkan untuknya, but it’s okay! Anggap saja cinta dalam doa.

“Eomma!!?? Kau kira ibu ini sudah bau tanah? Sudah oma-oma, mau mendoakan supaya ibu cepat mati yah?”

Tuh kan! Selalu seperti itu. Padahal jika ibu sering nonton drakor sedikit banyaknya mesti hapal. Apalah daya, katanya ia lebih suka dengan sinetron lokal beribu episode pun tak masalah! Melilit, melingkar, tegak, lurusnya jalan cerita terus dihantam. Hadeuhh ...

“Eomma itu artinya ibu, bukan oma-oma tua seperti yang ibu bilang loh.” Kucoba menjelaskan meski percuma.

“Pakai bahasa sendiri kenapa? Apa bagusnya bibir monyong-monyong kalau tidak mahir? Sok-sok an bahasa Korea, bahasa sendiri saja tidak lulus!”

Aku tahu maksud ibu baik, menyindir seseorang secara terang-terangan terlebih lagi kepada putrinya sendiri. Maklum, korban pelampiasan lelah hanya pada kami, orang rumah. Karena sudah rapi, ibu juga kembali mengurusi alat perang di dapur, tinggal memasang sepatu kesayanganku dan berangkat ke tempat ayah. Biasanya aku menggunakan sepeda ontel peninggalan kakek untuk menempuh perjalanan yang jaraknya hanya sekitar 1 km dari rumah. Toko itu adalah toko kain warisan turun temurun dari kakeknya kakek ayah, terus turun ke ayahnya ayah alias kakekku, dan sesudahnya dipegang ayah. Emang agak belibet juga sih, tapi percayalah ini kejujuran.

“Eomma!! Aku berangkat!”

“Iyaaa! Bantu ayahmu dengan benar, jangan malah keluyuran!”

“Siap Bu!”

Hehe, soalnya kemarin ketika toko sedang ramai, muncul Arin dengan bujuk rayu akan mengajakku makan bakso favorit kami di kios depan dengan syarat dia harus ditemani bertemu gebetannya sebentar. Dasar tidak setia! Dia menghianati Oh Sehan sejak dahulu kala. Setiap ada seorang kenalan berwajah sipit, dagu lancip, and goodlooking, Arin menganggap akan mirip Oppa korea meski copy paste perbedaannya jauh di atas rata-rata. Kira-kira 11 : 50 lah, paling hoki 11 : 12 -an, tapi jarang.

“Aku memang pecinta EXE Na, tapi itu cukup di dunia virtual saja. Kita kan tidak bisa tidak menikah hanya karena cinta sepihak ini. Mereka juga pasti sering kencan buta, punya pasangan sesama idol. Nah apalah kita? Bukan lagi remahan rengginang dalam kaleng roti, melainkan sisa seres kue bolu di atas piring, itupun sudah basi pula!” ucapnya saat kutentang hubungan mereka. Katanya gebetan itu bawa teman yang gak kalah jauh soal ketampanan, idih apaan? Sipit-sih sipit, tapi bukan karena hasil karya seni sengatan lebah juga kali.

“Kau kok bisa bilang begitu? Nanti jika muncul Oh Sehan di depanmu, trus kau punya pacar gimana? Menyesal gak tuh!?”

“Aishhh! Itu nanti saja di pikirkan! Jangan tambahi pikiranku dengan dunia halumu yang hyper luar biasa. Pokoknya kau juga harus mulai mencari teman hidup lah, cinta bodohmu itu mustahil! M-u-s-t-a-h-i-l!”

Memang aku sangat marah, yang dikatakan Arin benar sekali. Hanya mencari itu bukan segampang mencari tutut di empang. Untuk saat ini setia saja cukup, tidak bisa menjaga kesetiaan ya sudah! Tak perlu menjudge orang lain supaya melakukan hal sama jika aku saja tidak pernah keberatan. Malam Minggu sepi? No! Cukup nonton MV my hot Kay juga segala dokumenter media sosialnya sudah membuat malamku berwarna, plus bonus mimpi indah setelah terlelap.

“Woyy Mina-ya! Pulang jam berapa?”

Huwaaaa terkaget!

Baru saja mengingat Arin, si gadis tengil itu sudah nongol di depan jendela, tempat biasa aku mengambil jalan memotong supaya lebih cepat sampai ke pasar.

“Setelah toko tutup. Ada apa? Jangan ajak aku bertemu si Jun-gu itu lagi! Tidak level!”

“Ihhh sok jual mahal! Padahal dia juga lumayan dan belum tentu suka padamu kali. Tapi kemari ...”

Arin membungkuk hendak berbisik, “Bukan Jun-gu yang akan datang, tetapi copy-an Jiny!”

Seketika aku merinding hebat. Jin? Jin Qhorin? Jin penunggu pohon asem? Atau Jin pesugihan yang lagi santer dibicarakan para tetangga di warung sayur? Berkat penelitian eomma.

“Heh! Kalau mau nyomblangin itu yang warasan dikit! Kau saja yang jadi Jasmine sebagai pasangan si jiny. Aku mah ogah! Biarin cuma bisa cium-cium poster oppa asalkan tidak aneh-aneh sepertimu!”

“Duhh! Kau bodoh apa lamban sih?” Arin menggerutu kesal.

“Bukannya bodoh dan lamban itu sama aja?”

Mungkin wajah ini sudah pencerminan dari kata bodoh itu sendiri.

“Bukan jin yang makhluk halus loh! Idol sebelah yang gak kalah areumdaun sama idol kita.” Gadis itu berdiri tegak, berputar 180 derajat hingga punggungnya menjadi tontonanku di balik jendela. Perlahan bahu Arin bergerak teratur dari kanan ke kiri, lalu dengan sok cantik melirik ke arahku sambil bersenandung, “Uwooo, uwo-uwo-uwo-ooooooo ...”

Nah ini baru jelas!

“Uwooo, uwo-uwo-uwo-oooooo ...” tanpa sadar mulut ini juga ikut bersenandung. Oh maksudnya Jiny yang gantengnya minta ampun itu? Yang wajahnya kalem polos namun bisa membuat meleleh kaum hawa di seluruh dunia? Jinjja? Tidak dipungkiri semua grup idol memang kami suka, tapi EXE-lah yang paling melekat di hati tersebab my hot Kay ada di sana.

“Nah itu! Jiny BTW! Yakin gak mau?”

“Kalau begitu sih mauuu ... Tapi betul bukan di sengat lebah lagi kan?” perasaan ini sungguh was-was bin trauma di dekati makhluk jadi-jadian macam Jun-gu.

“Ani! Tentu saja natural dan tampan.”

“Boleh tuh. Tapi tidak bisa hari ini. Kau tahu kan demi tiket konser kita, aku harus bekerja sekeras apa? Ibu sudah tahu lagi, aku keluyuran pada saat toko ramai.”

“Tenang saja! Malam gimana?”

Mata ini membulat sempurna. Apakah bisa? Mengingat ayah dan ibu tidak akan mengizinkan keluar malam lebih lama selain di malam Minggu. Jika memanfaatkan waktu yang sebentar itu paling banter cuma sampai alun-alun makan karedok dengan boba.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan, tenang kita ketemuan di alun-alun jam 8 malam, sejam lumayanlah. Jam 9 bisa pulang tepat waktu supaya tidak dimarahi.”

“Oke juga! Tapi masalahnya kalau di dekat sini kan guys, ada si Abang rese! Tahulah gimana berurusan sama dia, apalagi kalau lihat kita sama Jin dan Jun, mau bonyok berapa muka mereka?!”

“Itu gamp ...”

“Minaaaaa!! Sampai jam berapa lagi kalian bergosip? Ayahmu sudah menunggu dan segera pulang untuk makan siang, Cepat pergi! Se-ka-rang!”

Teriak ibu tiba-tiba dari jendela kamarku karena letaknya pas sekali dengan jendela kamar Arin. Bersebelahan, tempat paling asyik menatap bintang dan tentunya sambil berkhayal.

“Lihat? Nyonya Lusi marah besar, sudah dulu yah! Nanti chat saja bagaimana jadinya.”

Buru-buru kukayuh sepeda, jangan sampai ibu malah keluar dan merepet mengiringi sepanjang jalan. Bisa kecelakaan nanti. Maksudnya sepeda ontel kakek bisa oleng trus nyebur ke selokan tepi jalan besar.

Pasti akan sangat memalukan!

“Daaahhh!” balas Arin, gadis itu ... Benar-benar, kami ini bagai pepatah : sahabatku, cerminanku.

Bukankah kami serupa? Ayeeee!

Bab 3. Mas Jiny

“Appa!”

Seketika dari balik gulungan kain muncul kepala ayah sambil membetulkan kacamatanya juga memperhatikan. Aku tebak, ia pasti mengira putrinya ini adalah pelanggan toko.

“Oohh Mina? Baru datang sekarang?”

“Hehe ... Tadi Arin minta ditemani ke warung belakang gang appa.”

“Jangan panggil appa! Ayah saja.”

“Hmmm baiklah ... Tumben tokonya sepi. Ayah sudah makan?”

“Bagaimana bisa makan kalau kamu datangnya baru sekarang?” ayah menggeleng-geleng, mungkin saking gemasnya terhadapku. Maaf appa, Mina harus mengulur waktu istirahatmu demi gosip tidak jelas si Arin. Pokoknya ini gara-gara Arin!

“Ya-ya sudah, ayah pulang sekarang soalnya ibu sudah menyiapkan makan siang.”

Cinta pertamaku itu mengelap keringat, kembali ke meja kasir untuk merapikan beberapa buah buku akutansi penjualan.

“Mang Teja dan Mang Sakti ke mana yah? Tidak biasanya kosong.”

“Sedang mengirim barang ke konsumen langganan. Sudah ya, ayah pulang dulu. Tolong jaga toko baik-baik.”

“Siap ayah!”

Setelah ayah pergi, aku bergegas ke belakang meja kasir memeriksa beberapa nota pembayaran hari ini. Seperti biasa, cukup memuaskan. Hal itu pulalah yang membuat tekadku terbooster berkali-kali lipat untuk meminta upah kerja walau hanya cukup untuk beli tiket sehari itu saja. Soalnya setelah sah jadi pengangguran, uang pemasukan dari mana lagi? Biasanya Abang yang akan jaga, tetapi karena sudah mendapatkan pekerjaan tetap makanya jadi teralih. Kepintarannya di atas rata-rata, kuliah di sekolah kedinasan yang setelah lulus akan ditempatkan bekerja langsung oleh negara. Bisa dibilang Abang menjadi kebanggaan ibu dan ayah. Lalu putri bodohnya ini hanya tau bersenang-senang demi sebuah mimpi tak berkesudahan.

“Mbak udah lama datangnya?”

Mang Teja baru sampai, sepertinya habis memarkirkan mobil. “Mang Teja dan Mang Sakti makan siang saja dulu. Biar Mina yang jaga toko. Lagian tidak ada pembeli sekarang.”

“Baik mbak. Mohon bantuannya yah.”

“Don’t Worry!”

Mereka berdua itu karyawan ayah sejak dua tahun lalu. Mulanya hanya mang Teja, dua Minggu kemudian barulah diterima mang Sakti. Sebelum ayah memutuskan menerima karyawan, masih bisa di handle oleh ibu juga Abang. Sementara saat itu aku masih sibuk sekolah tanpa ikut membantu sama sekali. Makanya ibu sering kesal, katanya aku begitu di manja sampai tidak tahu apa-apa yang harus dikerjakan. Benar juga sih, aku gadis seperti itu. Namun jangan salah! Makanya sekarang gaya pikir ini berubah berkat ambisi menemui si suami masih menjadi booster utama, lama-lama juga bakal terbiasa kan? Jadi ini adalah langkah baik.

“Permisi!”

“Ya? Ada yang bisa saya ban ...?!”

Oh My God! Betulan tidak sih? Aku sampai meneguk saliva saking beningnya seorang mas berdiri tepat di hadapanku. Ia memakai topi hitam dengan model agak dibuat ke bawah. Aura-aura misterius dari si mas membuat aku migrain sampai bingung harus bagaimana.

‘Ini sih melebihi copy-annya Jiny!’ Teriak dalam hati. Omo! Aku harus apa? Tangan bergetar hebat tidak mampu mengimbangi aliran listrik dalam tubuh. Kalau Arin, dia pasti akan pingsan. Apa coba pingsan saja yah? Duh! Help me!

“Permisi mbak, saya sedang mencari bahan batik. Kira-kira bisa tunjukkan jenis dan corak paling bagus di toko ini?”

“H-hah? Mas ju-juga bagus!”

Alamak! Gagal total jaga image di depan mas Jin. Huweeeee! Jangan-jangan dia jadi ilfeel dan mencari toko lain yang penjaganya masih waras.

“Hmmm ... Mbak punya contohnya kan?” Eh tapi kok malah tersenyum? Simpul dan jelas. Jenis seperti dia adalah cowok cool yang bikin penasaran wanita setengah mati di planet manapun, bahkan planet Atata tiga!

‘Tenanglah jantung! Dia cuma cermin, bukan asli!’

“Mbak? Mbak?”

“Ini mas!” Sangat malu jika dia sadar telah kuperhatikan dari ujung kuku sampai ujung rambut. Akhirnya setelah memberikan katalog terbaru, aku berpura-pura memungut sesuatu di bawah kolong meja. Siapa tau ada tikus lewat untuk di ajak bicara.

“Mbak bisa tunjukkan pada saya kain yang ini?” tunjuk mas Jiny pada salah satu gambar kain batik berwarna hitam dengan corak modern baru saja masuk kemarin sore. Benar-benar pilihan terbaik.

“Mbak?”

Aduh! Pedagang macam apa diriku sebenarnya? Masa tidak sadar sedang bersembunyi, dia pelanggan loh. Apa ketampanan selalu membuat linglung? Jika benar mungkin aku dan Arin bisa jadi bodoh permanen berkat ketampanan para Oppa.

“Ah ma-maaf mas! Tadi ada tikus lewat.”

Dari sorot matanya nampak kalau ia terkejut, jelas lah! Mana ada wanita se-bar-bar ini bicara omong kosong bahkan pada tikus lewat sekalipun! Yang ada pasti jijik. Mina ... Mina, mau jaga image saja susah.

“Ahh bukan! Ma-maksud saya, pulpennya jatuh. Hehe ... Kita ke arah sini mas!”

“Iya mbak.”

Untunglah ia percaya dan mengikut saja, selagi kujelaskan satu-satu, ia mengangguk paham dan minta diberikan 1 roll bahan batik yang dipilih. Siapa sangka? Ayah pasti akan bangga padaku jika tahu bisa berhasil menjual sebegitu banyak seorang diri. Yes!

“Ini nota pembeliannya mas! Terima kasih sudah berbelanja dan mampir lagi yah!” sengaja pasang senyum lebar, semoga bakal diingat terus lalu jadi langganan tetap. Why not?

“Terima kasih kembali mbak. Oh ya, mbak putri pak Hermansyah yah?”

“Iya mas. Kok mas bisa tahu? Mas ... Dukun yah?”

ucapku malu-malu sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

“Haha, bukan mbak. Saya sering kemari soalnya untuk belanja kain. Jadi lumayan akrab dengan beliau. Saya lihat tidak ada, hanya menebak ... Pak Herman pernah cerita punya dua orang anak, satu lelaki dan satu lagi perempuan. Tidak salah kan?”

“Hehe, tidak sih mas ...”

Katakan harus ke mana wajah penuh rasa malu ini? Padahal tadi berniat menggombal, berharap ia mengatakan, ‘Iya mbak, kok tahu?’ malah berucap terlalu jujur. Pura-pura saja kan bisa, tidak harus menjatuhkan harga diri ini sampai ke dasar-dasar.

“Baiklah mbak, salam buat pak Herman yah. Saya pergi dulu.”

“Iya mas, hati-hati di jalan!”

Plak!

Plak!

Plak!

Hari seperti apa ini? Isinya semua memalukan!

“Hoiiiiii!”

Tiba-tiba dikagetkan oleh suara. Saat Kulirik ternyata si Abang baru pulang kerja mampir ke toko. Alasan sok ingin tahu mengenai perkembangan toko bagaimana, bilang saja masih tidak rela kalau ini nanti bakal menjadi milik seorang Mina. Dia kan rese, suka cari gara-gara.

“Apaan sih? Perasaan semalam tidak minta hal aneh-aneh, tapi kenapa makhluk planet ini malah muncul?”

“Oooo kau bilang aku makhluk planet? Hah bocah ingusan?”

“Pulang sana! Mentang-mentang udah kerja mau pamer seragam? Sorry gak mempan!”

“Tapi bagus kan? Ganteng kan? Aura laki berkarisma keluar sepuluh kali lipat dari biasanya.” Matanya berkedip-kedip bagai sakit mata betulan. Betulan juga tidak apa-apa, biar tau rasa dia.

“Dek! Mau makan sesuatu yang pedas, nikmat, tahan lama habisnya dan bikin mood pengangguran hilang selamanya gak? Di jamin deh habis ini kamu bakal dapat kerja.”

“Jangan ngayal, udah pulang! Ini toko bakal jadi ladang usaha Mina kelak, jangan coba-coba rebut yah.”

“Ya sudah, kalau tidak mau. Apa sebaiknya ajak Arin aja yah? Mau tidak yah dia makan tteokbokki di seberang jalan sana? Dengar-dengar ada level pedas terbaru.”

Oh!? Kalau makanan Korea tidak bisa ditolak.

Satsetsatset!

“Yok bang! Pesan dua porsi untukku yah?” saatnya menggamit lengan si Abang untuk pamer di depan mantannya yang baru saja putus. Mentraktir makanan pedas dan nikmat! Cihh hanya akal-akalan saja. Dia malu mengatakan kalau sedang butuh gadis cantik supaya disangka kekasih baru, bucin akut. Kenyataannya, ini abangku woi!!

“Tokonya gimana?”

“Mang Teja dan Mang Sakti sudah selesai makan, tuh!”

“Elahhh ... Punya adek satu tapi sok jual mahal.”

“Biarin, wekk!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!