NovelToon NovelToon

Haunted School

Prolog

Lolongan anjing dari kejauhan membelah suasana senyap jalan raya di malam yang dingin itu.
Seorang laki-laki jangkung berbadan proposional, menaikkan tudung parka hitamnya.
Dia berjalan sambil menuntun sepeda ontel tuanya dengan menahan dingin yang mulai menembus kain tebal yang dipakainya.
Sepasang sepatu kets putihnya bergesekan dengan jalan beraspal.
Sejak tadi dia belum berpapasan dengan seorang pun.
Sampai akhirnya beberapa langkah di depan sana, seorang penjaga sekolah baru saja selesai mengunci pintu gerbang.
Pak Doni
Pak Doni
Pak Toto, tunggu. (Menghampiri penjaga sekolah)
Pak Toto
Pak Toto
(Menoleh) Pak Doni? (Kaget)
Pak Toto
Pak Toto
Malam-malam begini, ada apa Bapak kesini?
Pak Doni
Pak Doni
Tas saya ketinggalan di ruang guru, Pak.
Pak Doni
Pak Doni
Ada berkas-berkas penting di dalamnya.
Pak Toto
Pak Toto
Tapi ini kan, sudah tengah malam Pak?
Pak Toto
Pak Toto
Apa lebih baik besok saja? (ragu)
Pak Doni
Pak Doni
Ini penting Pak.
Pak Doni
Pak Doni
Besok pagi laporan itu sudah harus sudah ada di meja pak Kepala Sekolah.
Pak Doni
Pak Doni
Jadi mesti selesai malam ini juga.
Pak Toto
Pak Toto
Apa perlu saya temani Pak?
Pak Doni
Pak Doni
(Menggeleng cepat) Tidak perlu Pak.
Pak Doni
Pak Doni
Saya cuma sebentar, kok.
Pak Toto
Pak Toto
Baik Pak, kalau begitu.
Pak Toto
Pak Toto
Saya tunggu di sini saja.
Selesainya berkata seperti itu, Pak Toto membuka kembali gembok pintu gerbang sekolah.
Sepeda ontel tua yang dibawa Pak Doni langsung disimpan di depan pos satpam, dan melangkah cepat ke dalam sekolah sendirian.
Sekolah yang tadinya menyenangkan, ketika malam hari ternyata jauh dari kata itu.
Gelap.
Sepi.
Dan Hawa dingin yang berada di tiap-tiap lorong koridor sekolah membuat tubuhnya merinding.
Entah karena kedinginan atau faktor yang lain, langkah kaki Pak Doni terhenti sejenak.
Sepasang telinganya menangkap sayup-sayup suara langkah ringan.
Namun, seiring dengan langkahnya yang terhenti, sayup-sayup langkah ringan di belakangnya juga ikut berhenti.
Laki-laki yang dipanggil pak guru itu melanjutkan perjalanannya dengan enggan.
.
.
.
Suara itu terdengar lagi.
Merasa kesal, Pak Doni menghentikan langkahnya cukup lama di depan pintu ruang guru.
Dia diam, menunggu tanpa berniat membalikkan kepala.
Beberapa menit terlewati, tetap tidak ada reaksi.
Suara langkah ringan yang mengikutinya tidak terdengar lagi.
Merasa dipermainkan, lelaki itu memutuskan untuk masuk ke ruang guru.
Dia berjalan menghampiri mejanya yang berada di barisan kedua.
Pak Doni bernafas lega, tas kerja yang ia cari masih tertata rapi di kursi kerjanya.
Tiba-tiba bulu kuduknya meremang.
Menurut cerita yang pernah ia dengar dari guru-guru lain, ruang guru itu sering terdengar suara tangisan dari anak perempuan yang mati secara menggenaskan akibat tidak lulus ujian.
Laki-laki berkulit cerah itu mengusap tengkuknya.
Setelah mengumpulkan segenap keberanian, dia memutuskan untuk keluar dari ruang guru.
Kalau toh, suara itu terdengar lagi, dia akan menghitung di dalam hati sampai hitungan ketiga---lalu melarikan diri secepat yang dia bisa.
Belum ada beberapa langkah dia menapak, ia menangkap sayup-sayup suara tangis pilu.
Sekarang, bukan hanya tengkuk Pak Doni saja yang meremang.
Ada sensasi aneh di sepasang lengannya yang tertutup parka lengan panjang.
"Hu...hu...hu"
suara tangis serak dan menyayat terdengar jelas.
Langkahnya semakin cepat. Namun tangisan itu serasa seolah mengikutinya dari belakang.
Pak Doni berhenti.
Dikumpulkan segenap keberaniannya, dia memutar kepalanya---memastikan sosok seperti apa yang sejak tadi mengikutinya.
"Hu...hu...hu..."
Semakin jelas terdengar.
Mata lelaki itu membulat.
Namun bukan rasa takut yang membuatnya membulatkan mata , melainkan rasa kesal.
Di belakangnya, seorang gadis berambut lurus sepunggung tengah berdiri dengan kepala tertunduk.
Sepasang lengan kurus gadis itu terletak lemas di sisi jahitan bahu.
Gadis itu mengenakan seragam sekolah SMA Mandala Bakti.
Bahunya naik turun.
Dia menangis.
Pak Doni tertegun.
Kenapa masih ada siswi berkeliaran di sekolah jam segini?
Pak Doni
Pak Doni
Apa yang kamu lakukan di sini?
Pak Doni
Pak Doni
(Khawatir)
Gadis itu diam.
Beberapa detik setelah dia mendengar kata-kata dari lelaki itu, suara sesengukan keluar lagi dari bibirnya.
A Girl
A Girl
Aku hanya kesepian.
Pak Doni
Pak Doni
Apa? Orang tuamu tidak ada di rumah? Teman-temanmu?
A Girl
A Girl
Aku ingin melupakan seseorang, tapi tidak bisa...
A Girl
A Girl
(suaranya menggema serak)
Pak Doni
Pak Doni
(Semakin bingung)
Pak Doni
Pak Doni
Dengar, ini sudah malam. Bapak akan antar kamu pulang.
Pak Doni
Pak Doni
Orang tuamu pasti khawatir.
Pak Doni
Pak Doni
Tidak baik anak gadis keluyuran tengah malam begini.
Gadis itu mengangkat kepalanya pelan.
Wajahnya pucat, tetapi tidak bisa menyembunyikan kecantikannya yang terbalut di wajah bulatnya.
Gadis itu mendekat lalu mencengkeram lengan Pak Doni.
Laki-laki itu berjengit kaget.
Rasa dingin merasuk hingga ke tulangnya saat gadis bermata sipit itu menyentuhnya.
A Girl
A Girl
Aku ingin bunuh diri.
Pak Doni
Pak Doni
Jangan becanda kamu!
Pak Doni
Pak Doni
(Kaget)
Pak Doni
Pak Doni
Bapak antar pulang sekarang, ayo!
A Girl
A Girl
Pokoknya aku mau bunuh diri!
Gadis itu tiba-tiba berlari cepat meninggalkannya.
Khawatir nanti terjadi apa-apa dengan salah satu muridnya, Pak Doni segera mengejarnya.
A Girl
A Girl
Aku ingin bunuh diri!
Gadis itu meraung histeris ketika dirinya sudah berada di pinggiran balkon sekolah.
Di tangannya ada sepucuk pistol revolver , diarahkan ke kepalanya sendiri.
Pak Doni
Pak Doni
Hei, jangan bodoh!!
A Girl
A Girl
Untuk apa kamu peduli?!
Pak Doni
Pak Doni
Tidaaaaak!!!
Dor!!!
Otak gadis itu berhamburan, lalu tubuhnya jatuh lunglai ke bawah menghantam lapangan sekolah.
Laki-laki berparka hitam itu berdiri kaku ditempat.
Mata tajamnya membulat tidak percaya.
Setetes darah terpercik ke parka yang dikenakannya.
Perutnya tiba-tiba terasa mual, antara takut dan tidak percaya dengan kejadian yang barusan dilihatnya.
Anehnya saat Pak Doni mencoba memeriksa kembali tempat jatuhnya gadis itu, ia malah tidak menemukan apapun.
Begitupun dengan bercak darahnya.
Mendadak tempat yang Pak Doni pijak seketika terasa berguncang.
Kaki Pak Doni seakan tertanam di tanah, tak mampu bergerak.
Saat itu juga ia tersadar, bahwa dirinya harus segera pergi dari tempat itu.
.
.
.
Pak Doni berlari cepat menuruni tangga.
Yang tadinya ia masih bisa bersikap biasa-biasa saja dan tak merasa takut meski dalam kegelapan sekalipun, kali ini situasinya membuat Pak Doni menjadi sangat sulit untuk bernapas.
Di belakangnya terasa seperti ada ribuan langkah yang terus menggema di sepanjang anak tangga dan koridor sekolah—mencoba untuk mengejarnya.
Padahal di sekolah itu hanya ada dirinya seorang.
Bahkan ada suara tawa yang entah milik siapa—tapi sumpah, itu terdengar sangat menyeramkan.
Napas Pak Doni terengah.
Hati kecilnya terus merapal doa hingga akhirnya ia melihat pintu keluar sekolah.
Sedikit lagi.
Pak Doni menyeret langkah kakinya semakin cepat.
Saat kakinya hampir mencapai pintu keluar sekolah, tubuhnya seolah dihantam oleh sesuatu tapi tak ada wujudnya.
Membuat Pak Doni agak sedikit terhuyung, namun untungnya tangannya bisa sigap menumpukan badannya dan langsung bangkit kembali untuk segera berlari.
Gerbang sekolah.
Pak Doni berlari sekuat tenaga.
Tak peduli apapun itu.
Namun entah kenapa, rasanya jalannya terasa begitu sangat panjang.
Dan kalau mau diingat-ingat, jarak antara pintu keluar dengan gerbang sekolah hanya beberapa meter saja.
Harusnya dengan kondisi saat berlari dirinya sudah bisa mencapai gerbang sekolah dalam waktu sepuluh detik saja.
Pak Doni lelah.
Langkah-langkah yang masih menyertainya seperti hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Ia merasa terkepung.
Seperti ada ribuan makhluk tak kasat mata yang memenuhi halaman sekolah—mengelilinginya.
Lalu tanpa sadar, kaki kanannya terantuk sebuah batu besar.
Tubuhnya terjatuh dan menghantam permukaan yang keras.
Rasa sakit menjalar bersamaan dengan hawa panas dan dingin.
Pak Toto yang menjaga di luar gerbang, tersadar dan bergegas menghampiri Pak Doni yang sudah terlihat seperti orang ketakutan.
Butuh usaha ekstra untuk menyadarkan Pak Doni.
Namun tak berselang lama, Pak Doni justru ambruk tak sadarkan diri.
Pak Toto
Pak Toto
Pak Doni!!!

Perjanjian?

Abi
Abi
Kamu itu tidak jera-jera juga?
Abi
Abi
(Tak bisa lagi menahan kemarahannya pada anak semata wayangnya begitu tiba di rumah)
Abi
Abi
Apa perkataan Abi cuma angin lalu buat kamu?
Abi
Abi
Sampai kamu tidak mempedulikannya dan justru membuat Abi malu di depan kepala sekolah.
Wulan hanya menunduk menatap ujung kakinya, membiarkan Pak Indra menyelesaikan ceramahnya.
Karena akan semakin rumit urusannya jika dirinya berani menyela di saat Pak Indra masih berbicara serius.
Apalagi saat ini Pak Indra sangat marah yang disebabkan ulahnya di sekolah.
Abi
Abi
Sekarang kamu ingin beralasan apa lagi?
Abi
Abi
Waktu itu kamu bilang kalau temanmu yang bernama Marisa menerormu dengan bonekanya.
Abi
Abi
Jadi kamu mengambil bonekanya dan membakarnya di depan kelas.
Abi
Abi
Tapi apa akibatnya? kamu kena skor selama seminggu.
Abi
Abi
Abi masih mencoba sabar.
Abi
Abi
Tapi begitu masa skorsmu selesai, lagi-lagi kamu berbuat ulah dengan mengatakan bahwa kepala sekolahmu itu seorang jelmaan hantu jepang yang namanya Nuki…Nuke…
Wulan
Wulan
Nukekubi Abi...
Wulan
Wulan
(Mengkoreksi)
Abi
Abi
Terserahlah apa namanya.
Abi
Abi
Yang jelas kamu sudah menuduh hal yang tidak-tidak padanya.
Abi
Abi
Gara-gara kamu, Abi sampai dituduh karena tidak bisa mengajarimu dengan baik.
Abi
Abi
Kamu ingin jadi apa kalau seperti ini terus Wulan?
Abi
Abi
Memangnya kamu dukun? Atau paranormal?
Wulan tak berani menjawab.
Ia tidak mungkin menjelaskan pada Ayahnya bahwa sejak dirinya menginjak usia lima belas tahun—bertepatan dengan kepergian ibunya untuk selamanya karena suatu penyakit misterius—kemampuannya sixth sensenya kini tak sekedar hanya mampu melihat atau berkomunikasi dengan roh halus saja.
Ia sekarang memiliki kekuatan yang mampu mencium tanda bahaya dari jarak sepuluh kilometer, bisa membedakan mana jelmaan siluman dan manusia biasa, bahkan yang mengejutkannya adalah rapalan kalimat sakral yang keluar begitu saja dari mulutnya saat akan melakukan pengusiran roh. Padahal dirinya tak pernah mempelajarinya.
Wulan sempat berpikir bahwa kekuatan yang ia dapat itu mungkin dari Ibunya.
Apalagi sampai sekarang mereka belum tahu penyebab pasti penyakit yang merenggut nyawa Ibunya.
Setiap dokter yang ditemui bahkan tak bisa menemukannya.
Tapi mendengar cerita dari pamannya, Ibunya ternyata hanya manusia biasa yang sangat taat agama.
Dan pamannya percaya bahwa Ibunya meninggal bukan karena kekuatan jahat seperti yang dirumorkan orang-orang.
Melainkan memang sudah waktunya.
Karena tak ada satu pun dari keluarganya yang mampu menjawab semua pertanyaan Wulan, sejak saat itu ia memilih untuk diam saja dan mencoba beradaptasi dengan kemampuan barunya.
Termasuk merahasiakannya dari Ayahnya.
Sebab Ayahnya adalah tipe orang yang lebih menggunakan logikanya dibanding percaya pada hal yang berbau supernatural.
Abi
Abi
Ini adalah peringatan Abi untuk terakhir kalinya sama kamu Wulan.
Abi
Abi
(Duduk di hadapan Wulan)
Abi
Abi
Abi ingin kamu berhenti membuat masalah dengan alasan ada jin yang mengganggulah, ada makhluk jahatlah—Abi tidak mau dengar lagi.
Abi
Abi
Apalagi sampai berani menuduh kepala sekolahmu seperti itu.
Abi
Abi
Kalau sampai Abi tahu, atau mendapat laporan jelek lagi tentang kamu di sekolah, Abi bakal masukin kamu ke sekolah asrama.
Wulan
Wulan
(Berjengit kaget) Jangan Abi...(memelas, tak mau)
Abi
Abi
Semua tergantung dari sikapmu di sekolah.
Abi
Abi
Mengerti?
Wulan
Wulan
Iya Abi.
Pak Indra menghela napas panjang.
Marah-marah ternyata menyita energinya cukup banyak.
Baru satu anak saja sudah seperti punya sepuluh anak.
Bikin kepala mumet dan juga stress.
Pak Indra jadi membandingkan dirinya dengan istrinya yang begitu sabar dalam mendidik Wulan.
Andaikan istrinya masih hidup sekarang.
Wulan
Wulan
Abi?
Abi
Abi
Hmm.
Abi
Abi
(hanya menyahut dengan dehaman, dalam posisi bersender di sofa dan mata tertutup. Pak Indra merasa begitu lelah)
Wulan
Wulan
Abi sudah selesai kan, marahnya?
Wulan
Wulan
Wulan mau ke kamar.
Wulan
Wulan
Ada tugas sekolah.
Abi
Abi
Ah, iya. Selesaikan tugasmu.
Abi
Abi
Lalu setelah itu kita ke rumah kepala sekolahmu.
Wulan
Wulan
Untuk apa, Bi? (Keheranan)
Mata Pak Indra terbuka.
Posisinya berubah dari bersender jadi duduk tegak, menatap lurus ke arah Wulan.
Abi
Abi
Kamu ini sudah buat salah.
Abi
Abi
Jadi kamu harus minta maaf supaya kepala sekolahmu itu tidak jadi mengeluarkanmu dari sekolah.
Abi
Abi
Atau kamu memang ingin masuk ke sekolah asrama?
Wulan
Wulan
Tidak.
Wulan
Wulan
Wulan tidak mau.
Abi
Abi
Kalau begitu cepat selesaikan tugasnya.
Abi
Abi
Sejam lagi kita berangkat.
Dengan perasaan terpaksa, Wulan pun mengiyakan.
Wulan
Wulan
Baik, Abi.
.
.
.
Malamnya, sekitar jam tujuh, Pak Indra dan Wulan berangkat ke rumah kepala sekolah yang letaknya agak cukup jauh dari jalan poros utama Fatmawati.
Tanah merah yang masih basah usai di guyur hujan tadi sore, menyambut mobil Pak Indra saat masuk ke dalam sebuah perumahan baru yang bisa dibilang cukup sepi.
Mungkin karena masih dalam tahap pembangunan.
Jadi baru beberapa rumah saja yang selesai dibangun.
Selebihnya masih dalam tahap rangka dan tanah kosong.
.
.
Sesuai alamat yang Pak Indra dapat dari wali kelas Wulan, Pak Indra menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mungil warna putih yang tampaknya sedang dalam tahap renovasi.
Pak Indra meminta Wulan untuk segera turun.
Dan lagi-lagi Wulan hanya bisa menuruti tanpa berani membantah.
Meski dalam hati sebenarnya dia dongkol sendiri.
Kenapa juga ayahnya memaksa untuk datang ke rumah kepala sekolahnya saat malam-malam seperti ini?
Abi
Abi
Ingat ya, kamu harus minta maaf dengan tulus.
Abi
Abi
Jangan berkata atau bertindak sesuatu yang menyinggung perasaan kepala sekolahmu.
Wulan
Wulan
Iya Abi.
Pak Indra berjalan lebih dulu di depan, sementara Wulan mengikuti dari belakang dengan sikap ogah-ogahan.
Namun saat kaki kanan Wulan menginjak halaman depan rumah, sebuah penglihatan menyeramkan terpapar begitu jelas di hadapannya dan tampak sangat nyata.
Rumah kepala sekolah dikelilingi oleh aura merah mengerikan yang jahat.
Wulan berusaha untuk bersikap biasa saja dengan mengalihkan pandangannya pada Pak Indra yang tampaknya menunjukkan reaksi biasa-biasa saja.
Itu berarti hanya dirinya saja yang merasakannya.
Meski ingin sekali Wulan memberitahu pada Pak Indra mengenai keanehan yang ia rasakan pada rumah kepala sekolah, Wulan terpaksa memilih untuk tetap diam.
Sebab ia ingin memastikan terlebih dahulu aura menyeramkan apa yang mengelilingi rumah kepala sekolah.
Pak Indra kemudian mengetuk pintu secara perlahan.
Abi
Abi
Assalamualaikum…permisi...
Karena belum ada yang datang untuk membukakan pintu, Pak Indra kembali mengetuk pintunya, ditambah dengan suara yang agak besar dari sebelumnya.
Abi
Abi
Assalamualaikum.
Ibu Siska
Ibu Siska
Waalaikumsalam.
Kepala sekolah muncul dari balik pintu yang dibukanya.
Terlihat ia sepertinya belum sempat mengganti pakaian yang ia kenakan sejak pagi.
Blazer abu-abu terang dan celana hitam panjang.
Tapi bukan itu yang menjadi fokus Wulan sekarang.
Melainkan syal berwarna mustard yang melingkar di lehernya.
Seolah-olah ada sesuatu di lehernya, yang ia coba untuk disembunyikan.
Ibu Siska
Ibu Siska
Pak Indra?
Abi
Abi
Selamat malam, Bu Siska.
Abi
Abi
Maaf saya datang ke rumah Anda malam-malam begini.
Ibu Siska
Ibu Siska
Ah, tidak mengganggu sama sekali Pak.
Ibu Siska
Ibu Siska
Mari, silahkan masuk.
Kepala sekolah Ibu Siska mempersilahkan Pak Indra masuk ke dalam rumah.
Tapi lagi-lagi Wulan bergeming.
Ia merasa ragu untuk masuk.
Batinnya merasa semacam ada hal berbahaya di dalam sana yang membuat dadanya terhimpit dan sesak.
Ibu Siska
Ibu Siska
Nak Wulan, kenapa berdiri saja di situ?
Perkataan Ibu Siska menyadarkan Wulan.
Pak Indra berbalik ke arah Wulan.
Abi
Abi
Sini masuk. (Setengah berbisik)
Ibu Siska
Ibu Siska
Ayo, Nak. Jangan takut.
Ibu Siska
Ibu Siska
Ibu tidak akan memakanmu.
Mata batin Wulan sontak menangkap sosok wanita pucat sedang menyeringai lebar dengan taring dan darah yang terus menetes, dari balik wajah polos Ibu Siska.
Sekali lagi.
Radarnya menangkap akan ada bahaya jika dirinya dan ayahnya berada terlalu lama di rumah Ibu Siska.
Wulan harus segera mengajak ayahnya pulang.
Abi
Abi
Wulan!
Abi
Abi
(Menarik paksa tangan Wulan untuk masuk) Sini!
Wusshhh!!!
Hembusan angin panas bercampur rasa dingin yang menyeramkan langsung menyergap Wulan hingga ke tulang.
Mengingat apa yang ia rasakan diluar rumah, ternyata tak sebanding dengan saat ia berada di dalam.
Jauh lebih kuat dan menyesakkan.
Wulan mengeraskan rahangnya.
Ternyata firasatnya tadi pagi adalah benar.
Bodohnya ia karena sedikit meragukannya.
Kalau saja ia percaya, mungkin ia bisa mencegah Pak Indra dengan alasan apa saja yang membuatnya tak datang ke rumah Ibu Siska.
Tapi apa boleh buat.
Apapun yang terjadi sekarang tak bisa diputar kembali.
Dirinya dan juga Pak Indra sudah terlanjur masuk ke dalam rumah iblis itu.
Yang bisa dilakukan hanya satu cara.
Melawan.
Ibu Siska
Ibu Siska
Silahkan duduk.
Ibu Siska
Ibu Siska
Saya buatkan minuman dulu.
Abi
Abi
Tidak usah repot-repot, Bu.
Abi
Abi
Kami datang ke sini bukan untuk merepotkan.
Abi
Abi
Melainkan untuk meminta maaf atas kelakuan anak saya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Bukankah kita sudah membahas ini di sekolah, Pak Indra?
Ibu Siska
Ibu Siska
Bahwa saya memaklumi kelakuan anak Anda.
Ibu Siska
Ibu Siska
Meski begitu, ia harus dihukum agar mendapat efek jera.
Abi
Abi
Saya tahu, Bu.
Abi
Abi
Tapi apakah dengan mengeluarkannya dari sekolah adalah jalan satu-satunya?
Abi
Abi
Apakah tidak ada acara lain Bu?
Abi
Abi
Saya mohon Anda mempertimbangkannya kembali.
Ibu Siska menghela napas panjang sejenak.
Pandangan matanya dialihkan pada Wulan, lalu kembali pada Pak Indra.
Ibu Siska
Ibu Siska
Apa anak Anda, Wulan, benar-benar menyesali perbuatannya?
Abi
Abi
Tentu saja, Bu.
Pak Indra kemudian menyikut lengan Wulan, mengingatkannya pada percakapan mereka saat di mobil.
Wulan menarik napas panjang, memenuhi rongga di dadanya, sembari mengucapkan kata ‘Bismillahirahmanirrahim’, lalu membalas tatapan Ibu Siska.
Disadari atau tidak, kekuatan yang dimiliki Ibu Siska sedikit goyah.
Tatapan ramahnya berubah sinis.
Wulan
Wulan
Saya minta maaf atas apa yang sudah saya ucapkan pada Ibu.
Wulan
Wulan
Saya menyadari kesalahan saya, dan berharap Ibu bisa memberi maaf.
Ibu Siska tersenyum.
Meraih tangan Wulan dan menepuknya pelan.
Tubuh Wulan menegang seketika.
Di belakang Ibu Siska muncul sesosok ular besar berwarna hitam dengan mata menyala.
Ekornya yang panjang, menjalar ke seluruh ruangan.
Wulan langsung paham akan situasinya.
Ibu Siska mengancamnya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Ibu sebenarnya tahu kalau kamu ini anak yang baik.
Ibu Siska
Ibu Siska
Mungkin kamu hanya salah pergaulan saja, atau terlalu menghayati film yang kamu tonton, jadinya kamu bisa bersikap seperti itu.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tapi tenang saja.
Ibu Siska
Ibu Siska
Karena kamu sudah minta maaf, Ibu akan memaafkanmu.
Wulan
Wulan
Terima kasih, Bu.
Wulan
Wulan
(Melepas perlahan tangannya dari Ibu Siska)
Abi
Abi
Kalau begitu, apa besok Wulan bisa masuk sekolah, Bu?
Abi
Abi
Saya tahu ini terdengar egois dan tidak tahu malu, tapi saya ingin anak saya tetap bersekolah Bu.
Ibu Siska
Ibu Siska
Baiklah, Wulan sudah bisa masuk sekolah besok seperti biasa.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tapi tentunya agar menjamin anak Anda tidak mengulangi kenakalannya lagi, Anda harus membuat beberapa perjanjian.
Perjanjian?
Wulan kembali mencium hal yang tidak benar.
.
.
.
Tbc

Nukekubi

Perjanjian?
Saat Ibu Siska menyebut kata perjanjian, kepala ular raksasa yang tadinya masih ada di belakang Ibu Siska, mendadak berpindah tempat ke samping Pak Indra, seolah bersiap untuk menyantapnya.
Abi
Abi
Tentu saja, Bu.
Abi
Abi
Apapun itu akan saya lakukan.
Wulan
Wulan
Tidak Abi.
Wulan akhirnya memberanikan diri untuk bersikap tegas di hadapan Pak Indra.
Mereka tidak boleh jatuh dalam jebakan Ibu Siska.
Abi
Abi
Kamu ini apa-apaan?
Abi
Abi
Masih baik kepala sekolah mau maafin kamu. Kalau Abi yang jadi kepala sekolah dan punya murid kayak kamu, Abi tidak akan menerima alasan apapun dan tetap mengeluarkan kamu dari sekolah.
Wulan
Wulan
Wulan lebih memilih untuk keluar dari sekolah, daripada harus punya kepala sekolah yang jahat kayak dia.
Abi
Abi
Wulan! (membentak seraya bangkit dari duduknya)
Wulan
Wulan
Abi...(memegang tangan Pak Indra)
Wulan
Wulan
Lebih baik kita pulang sekarang. Tidak baik kita berlama-lama di sini.
Abi
Abi
Kamu ini…
Ibu Siska
Ibu Siska
Sepertinya anak Anda tidak benar-benar tulus meminta maaf pada saya, Pak Indra.
Ibu Siska
Ibu Siska
Saya sebenarnya hanya berpura-pura mengatakan kalau Anda harus membuat perjanjian sebagai jaminan, karena saya ingin melihat apa anak Anda memang menyesali perbuatannya atau tidak.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tapi Anda bisa melihat sekarang bagaimana anak Anda kembali bersikap di depan orang yang lebih tua.
Wulan
Wulan
Itu bohong! (Tak terima)
Wulan
Wulan
Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu…
Abi
Abi
Diam!
Abi
Abi
Sudah cukup!
Wulan
Wulan
Tapi Abi...
Abi
Abi
Ibu Siska, sekali lagi saya benar-benar minta maaf...
Abi
Abi
Jika saya tahu anak saya kembali bertingkah seperti ini, saya tidak akan datang ke rumah Anda.
Abi
Abi
Maafkan saya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Jangan terlalu menyalahkan diri Anda Pak Indra.
Ibu Siska
Ibu Siska
Anda sudah mengajari anak Anda dengan sekuat tenaga.
Ibu Siska
Ibu Siska
Hanya saja, anak Anda sendiri yang memang pada dasarnya bebal.
Wulan
Wulan
Berhenti mempengaruhi Abi saya dengan kata-kata manismu itu. (Muak)
Wulan
Wulan
Kamu pikir, saat kamu menyebutkan kata perjanjian, saya tidak tahu apa maksudnya?
Wulan
Wulan
Kamu ingin jadikan kami makanan untuk ular kamu itu kan?
Pak Indra terkejut.
Ibu Siska melotot tajam ke arah Wulan, tapi hanya sebentar.
Lalu kembali menutupi segalanya dengan melanjutkan sandiwaranya sebagai kepala sekolah.
Ibu Siska
Ibu Siska
Nak, kamu ini bicara apa? Ular apa?
Ibu Siska
Ibu Siska
Di sini tidak ada ular.
Bohong.
Mata batin Wulan tidak akan bisa dibohongi.
Ibu Siska
Ibu Siska
Dan untuk apa Ibu menjadikan kalian berdua makanan untuk ular?
Ibu Siska
Ibu Siska
Apa Ibu terlihat seperti penjahat atau psikopat?
Wulan
Wulan
Bukan keduanya.
Wulan
Wulan
Tapi kamu itu jelmaan Nukekubi.
Wulan
Wulan
Mengaku saja.
Ibu Siska
Ibu Siska
Apa? Nuke apa?
Pak Indra memijit pelipisnya.
Abi
Abi
Abi tidak tahu harus berbuat apa lagi padamu, supaya kamu berhenti mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal.
Abi
Abi
Kamu hanya ingin mempermalukan Ayah.
Wulan
Wulan
Abi, tolong percaya sama Wulan sekali saja...
Ibu Siska
Ibu Siska
Pak Indra..
Ibu Siska
Ibu Siska
Ini sudah kelewat batas.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tak ada toleransi lagi untuk segala penghinaan ini.
Ibu Siska
Ibu Siska
Dan kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya Anda membawanya ke psikiater.
Wulan
Wulan
Kamu menuduh saya gila?
Wulan
Wulan
(Tak bisa menahan amarah)
Wulan
Wulan
Abi, lihat Wulan. Apa wajah Wulan telihat berbohong?
Pak Indra yang sudah terlanjur malu dengan kelakuan Wulan, bersikap tidak peduli dan hanya memandangi Wulan dengan pandangan seolah dirinya memang gila.
Wulan melepas tangannya dan mundur selangkah.
Wulan
Wulan
Abi, juga berpikiran seperti itu?
Abi
Abi
Saya tidak tahu apa saya harus membawanya ke psikiater atau tidak Bu Siska.
Abi
Abi
Tapi kalau memang anak saya dikeluarkan dari sekolah, saya akan terima.
Mendengar perkataan Pak Indra, membuat hati Wulan hancur.
Bisa-bisanya Ayahnya berpikiran sama dengan iblis jelmaan itu.
Wulan
Wulan
Abi…Wulan tidak gila.
Wulan
Wulan
Dia mempengaruhi Abi.
Abi
Abi
Abi bilang diam!
Bentakan Pak Indra kali ini membuat Wulan terdiam seketika.
Abi
Abi
Abi tidak ingin mendengar apapun lagi.
Abi
Abi
Kita pulang sekarang.
Pak Indra berlalu dari hadapan Ibu Siska menuju pintu dengan kepala tertunduk.
Hati Wulan teriris melihatnya.
Jelmaan Nukekubi itu berhasil membuat hubungan Ayah dan anak hancur.
Tapi Wulan tidak akan tinggal diam.
Berani bermain api, maka bersiaplah untuk terbakar.
Begitu Pak Indra keluar, Wulan menutup pintu dan menguncinya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Apa yang akan kamu lakukan?
Ibu Siska
Ibu Siska
(Mendadak panik)
Wulan mengatur napasnya sejenak, lalu berbalik menghadap Ibu Siska.
Di luar pintu terdengar suara Pak Indra memanggil-manggil Wulan dan minta agar pintunya dibuka.
Tapi Wulan tetap pada keputusan awalnya.
Ia harus memberi pelajaran pada makhluk jelmaan itu.
Ibu Siska
Ibu Siska
Kamu tidak akan bisa melakukan apapun terhadapku.
Ibu Siska
Ibu Siska
Apalagi melukaiku.
Ibu Siska yang sepertinya merasakan sesuatu dari dalam diri Wulan, secara perlahan ia memperlihatkan wujud aslinya.
Kedua tangannya memegang kepalanya dan kemudian menariknya ke atas hingga terlepas dari tubuhnya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tamat sudah riwayatmu anak nakal.
NovelToon
Kepala Ibu Siska melayang di udara dan terbang menukik ke arah Wulan.
Sementara ular raksasa peliharaannya mengepung Wulan dari segala penjuru dengan menggunakan ekornya untuk menutup pintu keluar dan juga jendela.
Wulan bergeming di tempat.
Tangan kanannya terangkat di udara.
Dan saat tinggal seinci lagi jarak antara kepala Ibu Siska dan dirinya, sebuah kalimat sakti kembali keluar dari bibir Wulan.
Wulan
Wulan
A‘udzu bi wajhillahil karimi wa bi kalimatillahit tammatillati la yujawizuhunna barrun wa la fajirun min syarri ma yanzzilu minassama’i...
Gerakan Ibu Siska seketika terhenti.
Erangan kesakitan keluar dari mulutnya.
Wulan terus melanjutkan kalimatnya.
Wulan
Wulan
Wa min syarri ma ya‘ruju fiha, wa min syarri ma dzara’a fil ardhi, wa min syarri ma yakhruju minha...
Ibu Siska
Ibu Siska
Arrgghhhh…berhenti!
kepala Ibu Siska terbang menjauh dan berputar-putar tak tentu arah.
Ibu Siska
Ibu Siska
Apa yang telah kamu lakukan padaku?
Ibu Siska
Ibu Siska
Telingaku seperti terbakar.
Wulan tak peduli.
Ia terus meneruskan doanya tanpa ampun.
Wulan
Wulan
Wa min fitanillaili wannahari...
Ibu Siska menjerit—memohon ampun.
Ular raksasa yang tadi mengepungnya, ikut menggeliat sakit.
Kulitnya perlahan memerah dan melepuh.
Hingga akhirnya terbakar tak bersisa.
Ibu Siska
Ibu Siska
Ularku!
Mata merahnya melotot penuh amarah.
Tak terima peliharaan kesayangannya telah dimusnahkan.
Ibu Siska
Ibu Siska
Kamu! Mati saja sana!
Mendadak angin bertiup begitu kencang, membuat segala benda dan perabotan yang ada di rumah itu menjadi hancur berantakan.
Kepala Ibu Siska berubah menjadi lebih besar.
Matanya mengeluarkan darah dan membulat semakin besar seakan nyaris copot dari tempatnya.
Taring-taringnya memanjang hingga menyentuh lantai.
Dan rambutnya berkibar ke atas, memenuhi ruangan.
Karena saking kuatnya hembusan angin membuat Wulan memilih untuk duduk bersimpuh di lantai.
Tapi bibirnya terus berkomat-kamit, melanjutkan doa yang ia rapalkan barusan.
Wulan
Wulan
Wa min thawariqillaili wannahari...
Kepala Ibu Siska kembali mengerang.
Ibu Siska
Ibu Siska
Saya bilang berhenti!
Wulan
Wulan
Illa thariqan yathruqu bi khairin, ya rahman.
Bersamaan dengan jeritan kesakitan Ibu Siska, kepalanya perlahan mulai menyusut seperti semula.
Ujung rambutnya mengeluarkan api.
Yang kemudian menjalar ke kepalanya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tidak. Ini tidak mungkin!
Ibu Siska
Ibu Siska
(Menjerit)
Ibu Siska
Ibu Siska
Saya harus kembali ke tubuh saya sekarang.
Kepala Ibu Siska terbang rendah ke tempat tubuhnya terbaring.
Tapi terlambat.
Wulan ternyata lebih cepat dari kepala Ibu Siska.
Ia meletakkan tangannya dan kembali membaca doa.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tidak.
Ibu Siska
Ibu Siska
Saya mohon...
Ibu Siska
Ibu Siska
Berhenti...
Wulan
Wulan
Tidak sebelum kamu berjanji akan meninggalkan kota ini untuk selamanya.
Wulan
Wulan
Dan kembali ke asalmu.
Ibu Siska
Ibu Siska
Baiklah, saya berjanji akan pergi dari sini.
Ibu Siska
Ibu Siska
Jadi lepaskan tubuh saya.
Wulan mengangkat tangannya.
Ia bangkit dan berjalan mundur secara perlahan.
Membiarkan kepala Ibu Siska mendekati tubuhnya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Anak manusia memang gampang diperdaya.
Kepala Ibu Siska berhasil menyatukan dirinya dengan tubuhnya.
Ia segera bangkit dari tempatnya, dan berniat untuk melarikan diri.
Namun baru saja Ibu Siska melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja ia merasakan panas yang luar biasa pada telapak kakinya.
Kedua bola matanya kembali melotot saat mendapati lantai rumahnya telah di penuhi dengan tulisan-tulisan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Ibu Siska
Ibu Siska
Apa ini? (Bingung bercampur kesal)
Wulan
Wulan
(Senyum smirk)
Wulan
Wulan
Sifat dasar iblis sepertimu adalah suka menipu manusia.
Wulan
Wulan
Walaupun kamu menunjukkan padaku rasa penyesalan dan berjanji untuk pergi dari kota ini, bagiku iblis tetaplah iblis.
Wulan
Wulan
Aku tidak akan semudah itu bisa terperdaya olehmu.
Wulan
Wulan
Tulisan yang kamu lihat di lantai itu adalah kalimat suci yang akan membuatmu tidak bisa pergi seinci pun dari sini.
Wulan
Wulan
Yang mana hanya dengan satu kalimatnya saja mampu membakarmu hingga tak bersisa.
Ibu Siska
Ibu Siska
(Menggeram marah)
Ibu Siska
Ibu Siska
Anak kurang ajar!
Ibu Siska
Ibu Siska
Kubunuh kamu!
Suara lengkingan Ibu Siska mampu membuat seluruh dinding rumah bergetar hebat.
Kaca-kaca jendela rumah pecah.
Dan lantai tempat dimana Wulan duduk bersimpuh ikut bergetar hingga menimbulkan retakan yang cukup besar dimana-mana.
Wulan segera memperkuat dirinya agar tak goyah.
Tangannya terkepal kuat.
Membuat lingkaran cahaya mendadak muncul ke permukaan dari tulisan-tulisan sakral tersebut dan mengurung Ibu Siska.
Ibu Siska
Ibu Siska
Cahaya ini tidak akan bisa menghentikan saya!
Ibu Siska
Ibu Siska
Kamu akan kalah!
Wulan
Wulan
Kalau begitu mari kita lihat bagaimana kesombonganmu bisa mengatasi hal ini.
Wulan
Wulan
A'uudzubillaahhiminas syaitoonnirrojiim...
Wulan
Wulan
Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum...
Ibu Siska
Ibu Siska
Aaarrrggghhhhh!!!
Ibu Siska
Ibu Siska
Panaaass!!!
Ibu Siska
Ibu Siska
(Memegang kedua telinganya sembari mengerang kesakitan)
Wulan
Wulan
la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh...
Wulan
Wulan
Mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih...
Wulan
Wulan
Ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’...
Ibu Siska
Ibu Siska
Hentikaaan!!!
Ibu Siska
Ibu Siska
Jangan bicara lagi!!!
Ibu Siska
Ibu Siska
Aaaaarrrgghhh!!!
Tubuh Ibu Siska mulai melepuh.
Kedua tangannya bergerak panik menyapu setiap inci dari tubuhnya yang terluka.
Berharap lukanya bisa sedikit membaik.
Namun semakin ia terus menyentuhnya, lukanya semakin membesar.
Wulan
Wulan
Wa si’a kursiyyuus samaawaati walardh, wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim.
Ibu Siska
Ibu Siska
Tidaaaaaakkk!!!
Erangan Ibu Siska kali ini cukup panjang.
Luka-luka yang nyaris memenuhi seluruh tubuhnya, mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata.
Cahaya putih kekuningan yang terus membesar.
Terus dan terus bersinar.
Menghasilkan rasa panas yang luar biasa.
Tubuh Ibu Siska terbakar secara perlahan dari dalam.
Lalu kemudian...
.
.
.
Blaaarrr!
Tubuh Ibu Siska meledak berkeping-keping.
.
.
.
Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!