Drrt... drrt...drrt...
Ponsel jadul yang ku simpan didalam saku daster terasa bergetar. Kemudian, aku menghentikan sejenak aktifitas ku, mematikan kompor lalu meletakkan serokan di atas wajan yang berukuran besar. Wajan khusus kerupuk yang akan ku bungkus setelah digoreng nanti.
Dengan rasa tidak sabar, ku rogoh saku daster. Dan ku tatap lekat-lekat layar ponsel yang sudah terdapat banyak goresan. Ponsel yang aku beli dengan uangku sendiri dua tahun yang lalu. Pada saat aku belum menikah dan masih bekerja. Sebenarnya, ponselku terbilang ponsel yang bagus pada masanya, karena waktu itu aku membelinya dengan harga tiga juta.
Ternyata, getaran itu sebuah tanda notifikasi SMS dari m banking yang menginformasikan jika uang telah masuk ke rekeningku dengan nominal lima ratus ribu. Aku ingat kalau hari ini adalah tanggal gajian suamiku.
Ku tatap kembali ponsel yang masih ku pegang. Berharap angka nol yang berjejer rapih itu bertambah menjadi enam. Namun kenyataannya, angka nol nya tidak berubah masih saja sama yaitu lima.
Tak selang lama, sebuah pesan masuk dari suamiku yang sedang bekerja di Jakarta dan aku segera membacanya.
"Aku sudah transfer uang untuk kebutuhan bulan ini. Jangan boros boros karena nyari uang itu sulit."
Aku tersenyum kecut menatap pesan yang ada di layar ponselku. Jangan boros boros, kalimat itu selalu dia katakan ketika mengirim jatah bulanan yang berjumlah tidak pernah lebih dari lima ratus ribu sebagai nafkahnya padaku selama tiga tahun usia pernikahan kami.
"mama, Zen mau minyum cucu."
Pada saat yang sama, Anak ku Zain merengek minta dibuatkan susu sambil manarik-narik dasterku. Zain memang tidak minum ASI melainkan minum susu formula. Dulu ketika baru lahir, aku sempat memberinya ASI sampai berumur satu bulan. Namun ketika aku sakit dan dirawat di rumah sakit, suamiku, mas Surya melarang aku memberinya ASI dengan alasan takut tertular oleh penyakitku. Padahal penyakit ku tidak ada hubungannya dengan ASI dan dokter pun membolehkannya. Akan tetapi, suamiku kekeh ingin diberikan susu formula saja.
"Sebentar ya nak, mama buatkan dulu susu untuk Zain," ucap ku sambil mengelus pucuk kepalanya.
Kemudian, aku mengambil sebuah kotak tempat penyimpanan susu Zain dan membuka tutupnya. Tepat setelah terbuka, mataku berubah membesar dan dadaku berasa sesak. Ternyata, kotak itu sudah tidak ada isinya sesendok pun. Merasa bersalah pada Zain tentu saja. Terlalu sibuk membantu usaha ibu, jadi lupa pada kebutuhan pokok anak ku sendiri.
Aku berjongkok mensejajarkan tinggi ku dengan Zain. Melihat senyum senang Zain yang mengira akan menerima susu dariku, rasanya hati ini nyeri sekali.
"Maafin mama ya nak, ternyata susunya sudah habis.Tapi, papa sudah kirim uang buat beli susu lagi. Kita ke mini market dulu yuk, Zain mau ikut?"
Sehalus mungkin aku mengatakannya pada Zain. Dan diluar dugaanku, ternyata Zain tidak menangis melainkan dia tersenyum dan mengangguk setuju.
Setelah itu, aku meraih switer yang tergantung di atas paku sebagai penutup atasan daster lalu memakai jilbab rumahan. Setelah merasa rapih, kami beranjak pergi ke mini market dengan berjalan kaki, karena aku tidak memiliki kendaraan. Di sepanjang jalan dan sambil berjalan kaki, Zain terus berceloteh apa saja. Hal itu cukup membuatku terhibur. Tapi, aku tidak membiarkan Zain terus berjalan kaki. Sesekali ku gendong dia lalu ku turunkan kembali agar dia tidak kelelahan.
Tiba di mini market, aku menarik semua uang kiriman suamiku yang berjumlah lima ratus ribu. Kebetulan di mini market menyediakan mesin ATM, jadi aku tidak perlu repot mengambilnya ke bank. Setelah selesai menarik uang, ku lanjutkan berbelanja di tempat yang sama. Membeli dua box susu formula paling murah yang berukuran satu kilo dan sabun serta minyak telon. Semua di total habis dua ratus ribu dan sisa uang tinggal tiga ratus ribu lagi. Sisa uang belanja kebutuhan anak ku itulah aku harus pandai pandai mengaturnya selama satu bulan.
Setelah selesai transaksi, aku kembali pulang dengan cara yang sama, yaitu berjalan kaki. Sebenarnya banyak tukang ojek. Tapi bagi ku, dari pada naik ojek yang harus bayar sepuluh ribu, lebih baik uang nya digunakan untuk hal yang lebih penting lagi.
Di tengah jalan, tiba tiba hujan turun cukup lebat. Sambil menggendong Zain, aku berlari ke sana kemari mencari tempat untuk berteduh. Dan akhirnya, aku berteduh di bawah saung bambu yang terletak di pinggir jalan. Di tengah penantian hujan reda, tiba- tiba teringat pada jemuran kerupuk.
"Ya allah bagaimana ini! kerupuknya pasti basah dan rusak," gumam ku lirih.
Aku sangat gelisah memikirkan jemuran kerupuk yang sudah pasti hancur karena baru tadi malam membuatnya. Berharap hari ini cuaca panas lalu kerupuk terjemur dan kering. Selain gelisah memikirkan kerupuk, aku juga gelisah memikirkan ibu. Kemarahan ibu sudah terbayang di otak ku.
Setelah hujan reda, aku kembali melanjutkan langkahku. Kali ini, Zain tidak dibiarkan berjalan kaki melainkan di gendong hingga sampai rumah.
Dan tiba di rumah, aku mendapati ibu sedang meraung menangis dihadapan beberapa penampi jemuran kerupuk. Aku pasrah jika ibu mau memarahiku. Karena seperti biasa, ibu akan memarahiku habis habisan ketika aku melakukan kesalahan meskipun hanya melakukan kesalahan kecil. Apalagi sekarang, kesalahan yang menurut ku besar.
Aku segera menurunkan Zain dari gendongan dan meletakkan belanjaan terlebih dahulu. Lalu berjalan mendekati ibu yang belum mengetahui kedatanganku. Ku tatap punggungnya yang bergetar. Tangannya menggebrak-gebrak penampi kerupuk yang basah. Kerupuk yang mestinya nanti akan dijual di setiap warung dan dari keuntungan hasil penjualan kerupuk itu lah untuk makan kami sehari hari.
"ibuu," ucap ku memberanikan diri. Tangis ibu tiba tiba berhenti. Lalu menoleh ke arahku. Detik itu pula matanya melotot. Nampak sekali jika ibu benar-benar sedang marah. Di pelototi ibu, aku hanya menunduk dan pasrah. Melihatku, ibu bangkit disertai nafas naik turun menahan amarahnya.
"Kenapa kamu biarkan kerupuknya kehujanan nuriiii, dari mana saja kamu?" Tanya ibu dengan amat lantang. Suara cemprengnya cukup memekakkan gendang telingaku. Tapi karena hal itu sudah biasa, jadi aku biasa saja menghadapi ibu suara lantang dan cemprengnya.
"Lihat itu ! kerupuknya hancur. Kalau sudah begini bagaimana? boro boro untung modalnya saja tidak balik. Terus gimana mau membuat kerupuk lagi kalau modal nya saja tidak ada nuriiii,"
"Maaf Bu, tadi aku beli susu Zain di mini market, susunya sudah habis dan aku tidak tau kalau siang ini mau hujan."
Ibu tidak langsung membalas alasanku, melainkan mengelap mukanya yang penuh dengan air mata menggunakan bajunya. Selain mengelap airmata nya, dia juga membuang ingus dengan bajunya. Ibuku memang orang yang cukup jorok. Aku pikir setelah mendengar alasanku dia luluh. Tapi ternyata tidak. Ibu kembali menatap nyalang ke arahku.
"Oh, jadi kamu sudah dapat transferan dari suami mu? bagus kalau gitu, kamu bisa belikan lagi bahan-bahan kerupuk pake duit itu. Anggap saja sebagai pengganti karena kamu sudah membuat kerupuk ku hancur dan tidak layak makan."
Mendengar ucapan ibu yang dengan entengnya, rasanya, saliva ku tercekat di tenggorokan. Ibu sendiri tidak pernah tau berapa nafkah yang selalu di berikan oleh suamiku. Aku sendiri tidak pernah mengeluh atau pun cerita. Baik pada ibu, pada kakak, maupun pada orang lain tentang nafkah yang ku terima dari suamiku. Karena aku sebagai istri hanya ingin menjaga harkat dan martabat suamiku di depan keluargaku maupun orang lain.
Akhirnya mau tidak mau, aku harus merelakan sisa uang nafkah dari suamiku untuk membeli bahan-bahan kerupuk seperti yang ibu mau. Aku pikir, biarlah yang penting ibuku tidak marah lagi padaku.
Aku segera beranjak pergi ke warung yang letaknya cukup jauh sambil menggendong Zain. kemana pun aku pergi selalu membawa Zain karena ibuku sendiri tidak pernah mau di titipi anak ku meskipun hanya sebentar. Entah mengapa, ibu ku seperti tidak sayang pada cucunya sama hal nya padaku sebagai anak kandungnya.
Tiba di warung, aku segera memesan tujuh kilo tepung terigu dan tiga kilo tepung kanji serta beberapa bumbu. Total belanjaan ku habis seratus sepuluh ribu. Sekarang sisa uang nafkah dari suamiku tinggal tersisa seratus sembilan puluh ribu lagi. Dalam tempo satu hari aku sudah menghabiskan uang tiga ratus sepuluh ribu. Lagi lagi aku tersenyum kecut. masih harus menunggu tiga puluh hari lagi untuk mendapatkan nafkah dari suamiku.
Aku kembali pulang sambil membawa beban berat di tangan kiri dan kananku. Sebelah kiri tanganku menggendong Zain dan sebelah tangan kananku menenteng plastik yang berukuran besar dan cukup berat. Aku tidak menurunkan Zain karena jalanan menanjak. Aku tidak mau anakku merasa kelelahan karena jalan menanjak.
Tiba di teras rumah, aku langsung menurunkan kedua beban di tanganku itu. Lalu, aku duduk menghilangkan rasa lelah dan pegal di kedua tanganku.
"nurii....!" teriak ibu di dalam rumah. Dia sudah tau kalau aku sudah kembali karena mendengar Zain berceloteh.
"iya Bu....!" sahutku dengan suara sedikit di tinggikan karena aku takut dia tidak mendengar sahutan ku lalu marah karena merasa panggilannya di abaikan olehku.
Ibu membuka pintu lalu berdiri di ambang pintu dan melihat ke arahku. Aku masih duduk di lantai teras lalu menoleh padanya.
"ada apa Bu?"
"ada apa ada apa, apa kamu ngga tau sekarang udah jam berapa?"tanya ibu dengan suara cemprengnya.
"iya Bu, aku baru aja pulang dari warung."
"iya ibu tau, tapi kenapa kamu masih duduk di situ? bukannya cepat masuk dan masak."
"iya Bu, aku mau masak sekarang."
kemudian, aku menoleh pada Zain yang sedang bermain kelereng. Entah dapat dari mana dia benda tersebut tiba tiba sudah ada di tangan mungilnya.
"Zain, mainnya di dapur yuk, mama mau masak," ajak ku pada Zain dan balita itu mengangguk.
Aku bangun lalu meraih kantong kresek besar serta meraih tangan Zain lalu membawa masuk ke dalam rumah.
Tiba di dapur. Aku meletakan kantong kresek berisi tepung tersebut lalu membuka kulkas. Aku mulai mengeluarkan tempe serta kangkung yang ku beli tadi pagi di tukang penjual sayur keliling. Kangkung mulai ku rajang kecil serta tempe ku iris tebal. Aku masak tumis kangkung dan goreng tempe untuk makan malam ini. Setelah selesai masak aku sajikan di meja makan yang terbuat dari papan.
Aku menoleh pada Zain yang sedang asik memainkan benda bulat kecil itu. Mainan baru bagi Zain. Aku menatap sedih pada anakku yang sama sekali tidak memiliki mainan apa pun karena aku tidak pernah membelikannya termasuk suamiku. jangankan untuk membelikannya mainan, untuk memberi makanan bergizi saja aku sangat jarang karena keterbatasan uang yang ku miliki.
Aku memang membuat kerupuk dan menjualnya di setiap warung. Tapi, bukan berarti hasil dari penjualan kerupuk itu untukku melainkan semua keuntungan serta modalnya ibuku yang memegangnya karena asal muasal pembuatan kerupuk itu adalah dirinya dan aku hanya membantunya saja. Aku pun tak pernah meminta hasil dari penjualan kerupuk tersebut karena kata ibuku hasil penjualan kerupuk untuk kebutuhan kami sehari hari. Meskipun sebenarnya tidak semua kebutuhan sehari hari di beli olehnya.
"nak, mandi dulu yuk, udah sore," ajak ku pada Zain. Kemudian aku menggendongnya lalu membawanya ke kamar mandi untuk di mandikan.
Setelah Zain rapih, aku menyuapinya makan nasi dengan telur. Jarang sekali aku bisa membeli telur untuk Zain, lagi lagi karena keterbatasan uang yang aku miliki. Tapi, karena hari ini aku masih memegang uang nafkah dari suamiku jadi aku bisa beli telur.
Ketika aku sedang menyuapi Zain di lantai dapur, ibu ku datang dan langsung membuka tudung saji. Aku melirik pada ibu yang sedang berdiri membuka tudung saji dan terlihat dia mencebik kan bibirnya.
"yah, cuma tempe sama kangkung. kamu kan habis dapat transferan dari suamimu. Beli ikan kek sekali kali. masa ibu terus yang beli ikan," keluh ibu padaku lalu memajukan bibirnya lima senti.
Ibu memang selalu ingin makan enak. Hampir tiap hari dia beli ikan. Tapi, meskipun dia beli ikan aku hanya memasakkan nya saja untuknya dan tidak pernah ikut menikmatinya begitu pula dengan anak ku. Karena kalau aku ikut memakannya dan jumlahnya berkurang ibu akan protes.
"Cepat banget sih habisnya, perasaan ibu baru makan dua biji."
Sindiran seperti itu kerap kali aku dengar dari mulut ibuku ketika aku memakan ikan dapat dia beli. Oleh karena itu, aku tidak pernah lagi ikut memakannya, biar saja ibuku yang memakannya sendiri. sementara aku memilih makan dengan garam dan cabai dan anak ku makan dengan kecap jika aku sama sekali tidak memiliki uang.
" iya Bu, besok ya aku beli ikan, sekarang ibu makan apa yang ada dulu."
Aku selalu mengiyakan apapun yang ibu mau selagi aku punya uang. Tapi ketika aku tidak punya uang aku diam saja dan itu terkadang membuat dia jengkel dan marah padaku. Dia bilang aku pelit lah atau apa lah padahal sebenarnya aku tidak memiliki uang. Aku pun tidak mungkin bilang kalau nafkah dari suami ku tidak pernah mencukupi. Boro boro untuk berbagi pada orang tua untuk diriku sendiri saja tidak cukup. Tapi, seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa aku menjaga harkat dan martabat suamiku karena aku tidak ingin suamiku terlihat jelek dimata keluargaku atau orang lain.
"ngga mau ah, ngga berselera. coba kamu belikan mie sama telor aja. ibu lagi pengen makan mie dog." Ibu menyuruhku untuk membelikannya mie serta telor tanpa memberi uang padaku. Itu artinya dia menyuruhku membelikannya menggunakan uangku. Aku pun menyanggupinya dan bergegas pergi ke warung terdekat sambil menggendong Al. Aku membeli satu butir telor dan mie instan total lima ribu. Jatah nafkah dari suamiku berkurang lagi lima ribu, jadi, uang yang ku miliki sisa seratus delapan puluh ribu lagi karena sebelumnya aku membeli dua telor untuk Zain.
Setelah itu, ku dudukan Zain di atas kursi." tunggu mama sebentar ya nak, mama mau masak mie buat nenek dulu," Zain mengangguk. Lalu, aku mulai memasak mie telor seperti yang ibuku pinta.
"jangan terlalu mateng ya Nur, ibu ngga suka mie yang lembek, terus telornya harus mateng," ucap ibu tiba tiba, dia berdiri di ambang pintu dapur. Aku mengangguk tanpa bicara.
"Nanti kalau udah mateng kamu bawain ke depan tivi ya Nur, ibu mau makan di situ," ucap ibu lagi. Aku pun mengangguk lagi tanpa bicara.
Hening, sepertinya ibu sudah beranjak pergi dari ambang pintu. Lalu, aku menoleh ke belakang, benar saja ibu sudah pergi.
Mie telor sudah siap ku masak. Lalu, aku membawanya ke ruang tv dimana ibuku sedang menunggu mie buatan ku sambil menonton tv.
"ini Bu mie nya." ucapku. kemudian ku letak kan mangkok mie tersebut di atas tikar tepat di hadapannya. Ibu tidak bicara apa pun, dia hanya menunduk sekilas melihat mangkok yang ku letakkan lalu fokus kembali pada layar tv yang menampilkan film Indosiar. Tv slim berukuran 21in yang aku beli lima tahun lalu menjadi hiburan tersendiri untuknya selama ini.
Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk mengambil anakku yang ku dudukan di atas kursi. Kemudian, Aku ikut menonton tv bersama zain. Tapi, aku duduk di pojokan karena aku takut Zain akan menggangu neneknya. Aku melihat ibuku yang sedang menikmati mie telor itu dengan nikmat membuat ku menelan saliva ku sendiri. Kapan terakhir aku makan mie telor aku pun sudah lupa. tapi sepertinya dua tahun yang lalu sebelum aku melahirkan Zain.
Aku menidurkan Zain terlebih dahulu sebelum bergelut dengan aktivitasku pada malam hari. Dengkuran halus terdengar lalu aku menoleh pada anak ku rupanya dia sudah tertidur lelap.
Aku beranjak dari kamarku lalu berjalan menuju arah kamar ibu. Kemudian mengetuk daun pintu kamarnya. Butuh beberapa kali aku mengetuknya pintu itu baru terbuka. Tampak ibu seperti baru bangun tidur, dia berusaha membuka matanya serta menguap di depanku.
"mau apa sih bangunin ibu?" tanya ibu yang terlihat kesal. Dia kesal karena tidurnya di ganggu olehku. Aku heran kenapa ibu sudah tidur padahal jam masih menunjukan pukul tujuh malam, masuk waktu isya saja belum. Apa dia tidak sholat isya terlebih dahulu? pikirku.
"bukannya malam ini kita mau bikin kerupuk lagi ya Bu?" tanyaku langsung. Aku tidak mau ber basa basi, karena ibuku bukan tipe orang yang enak di ajak ngobrol atau di ajak becanda.
Ibu menguap lagi di depanku, kemudian mengucek matanya.
"ibu ngantuk banget Nur, ngga kuat kalau di paksain. Kamu bikin kerupuk sendiri aja ya. Lagi pula kerupuk yang tadi malam di buat kamu sendiri yang merusaknya jadi kamu harus tanggung jawab sendiri.
Ibu kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintu setelah menyuruhku membuat kerupuk sendiri. Aku menghela nafas berat. Lalu, menyeret kedua kakiku menuju dapur.
Tiba di dapur, aku membuka tudung saji. Aku harus makan terlebih dahulu agar bertenaga untuk membuat kerupuk setelahnya. Ku lihat sayur kangkung serta goreng tempe yang ku masak tadi sore masih utuh. aku memakannya dengan lahap karena memang merasa lapar. aku habiskan sayur kangkung itu karena aku tidak mau membuang buang makanan. Namun, goreng tempe ku sisakan empat potong untuk sarapanku besok pagi karena goreng tempe tidak akan basi tinggal menggorengnya kembali.
Setelah selesai makan, aku segera mempersiapkan bahan bahan untuk membuat adonan kerupuk terlebih dahulu. Setelah selesai membuat adonan, aku menyalakan tungku kayu karena aku harus mengirit gas elpiji. Aku mengukus setiap adonan satu persatu karena tempat mengukusnya kecil jadi tidak bisa menampung jumlah yang banyak. Setelah itu, aku mulai menggiling sedikit sedikit adonan yang sudah di kukus menjadi bentuk pipih dan tipis. Butuh waktu yang lama membuat kerupuk tersebut apalagi aku membuatnya sendiri. Rasa kantuk mulai menghinggapi kedua mataku. Namun, aku harus menahannya hingga selesai karena memang harus selesai malam ini agar besok pagi bisa langsung di jemur. Hingga sampai pukul dua dini hari aku baru selesai mengerjakannya.
Begitu lah rutinitas ku sebelum tidur. Hampir setiap malam aku membuat kerupuk untuk di jual di beberapa warung dan hasil keuntungannya untuk makan sehari hari kami serta bayar arisan ibuku.
Ayam berkokok mengusik tidur ku. Aku berusaha mengejapkan mataku yang terasa lengket sekali. ku lihat Zain masih tertidur pulas di sampingku lalu menoleh pada jam yang menempel di dinding kamar sudah menunjukan pukul setengah lima subuh. Suara adzan pun berkumandang. Lalu, aku menyeret kedua kakiku untuk mengambil air wudhu terlebih dahulu.
Setelah selesai sholat, aku ke dapur lalu mencuci piring, memasak air. setelah itu mencuci pakaian dengan mesin cuci. mesin cuci yang ku beli dengan uangku lima tahun yang lalu. Aku bersyukur mesin cuci itu masih berfungsi dengan baik sehingga membuat aku tidak terlalu capek mencuci pakaian.
Aku menggoreng telur untuk sarapan Zain serta menghangatkan tempe yang ku sisakan tadi malam untuk sarapanku.
"kamu masak apa nur? tanya ibuku di belakang sambil membuka tudung saji. Aku tau dia baru bangun tidur terlihat dari rambutnya yang masih acak acakan.
"kok belum ada apa apa nur?" tanyanya lagi dengan nada kecewa.
"Belum ada tukang ikan yang lewat Bu," jawabku.
"terus, itu kamu lagi goreng apa?"
"goreng telor buat Zain dan goreng tempe sisa semalam.
Terdengar ibu menghela nafas kasar."kalau bukan aku yang belanja, kayaknya di meja ngga pernah ada makanan. Terus kulkas kosong terus ngga ada isinya."
Aku tau ibu menyindirku. Tapi, apa dia tidak mikir bagai mana aku bisa berbelanja kalau hasil dari penjualan kerupuk saja dia yang memegang semuanya selama ini. Ibu selalu berpikir bahwa aku memiliki uang dari suamiku. Tapi, aku hanya bisa diam saja mendengar sindirannya.
"ya sudah sana kamu beliin ibu bubur ayam aja. Ibu udah laper banget ini," ucapnya. Ibu menyuruhku membelikannya bubur tapi tidak memberikan ku uang dalam arti dia menyuruhku membelinya menggunakan uangku.
Aku mengangguk tanpa bicara. Aku mengambil sebuah mangkok lalu bergegas menghampiri Zain yang sedang bermain kelereng di ruang tv. Tapi, saat aku mengajaknya dia tidak mau karena lagi asik memainkan benda kecil tersebut.
"Nurii.......cepetan beli buburnya, lama amat sih," teriak ibu di dapur.
"ya Bu."
Ku tinggalkan Zain yang tidak mau ikut denganku, biarlah, dia sedang anteng dengan mainan barunya.
Aku berjalan menuju warung bubur yang terletak tidak jauh dari rumahku. Hanya selang beberapa rumah saja. Tiba di sana sudah banyak orang yang mengantri membeli bubur tersebut, karena di tempatku hanya itu satu satunya penjual bubur ayam. Aku pun ikut mengantri. Cukup lama aku menunggunya hingga tiba giliran ku.
"Bu Minah, saya pesan bubur satu. Ini mangkoknya." aku menyodorkan mangkok yang telah ku bawa dari rumah pada wanita bertubuh subur tersebut. Penjual bubur serta gorengan.
"tumben kamu beli bubur Nur? biasanya ngga pernah beli bubur saya."
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Bu Aminah." iya Bu, bubur untuk ibu."
"oh, bubur untuk ibumu. Oya ibumu punya utang lima belas ribu. Dua minggu yang lalu dia makan bubur serta gorengan di sini belum bayar. Orang nya aja ngga nongol nongol kesini lagi."
Aku tersentak, apa ibu sengaja menyuruhku membeli bubur untuknya agar sekalian membayarkan hutangnya? pikirku.
Bu Aminah sudah menaruh bubur di mangkok yang ku bawa dari rumah lalu menyodorkannya ke arahku.
"ini nur buburnya."
Kemudian, aku menyodorkan selembar uang berwarna biru padanya lalu dia meraihnya dari tanganku.
"total dua puluh lima ribu ya nur, bubur sepuluh ribu dan hutang ibumu lima belas ribu. Jadi kembaliannya dua puluh lima ribu," ucap Bu Aminah sambil menyodorkan uang kembalian ke arahku
Aku tersenyum kecut, uang nafkah suamiku berkurang lagi dan tersisa seratus lima puluh lima ribu.
"terima kasih Bu," ucap ku. Lalu, aku bergegas pulang ke rumahku.
Tiba di rumah, aku mendengar suara teriakan keras ibuku dan suara tangisan Zain. Aku tersentak dan dadaku berdebar kencang. Aku takut telah terjadi apa apa dengan anak ku, Zain. Aku bergegas masuk dan menemui Zain di ruang tv. Aku mendapati ibuku sedang memukuli pantat anak ku yang menangis histeris. Pupil mataku melebar, aku terkejut sekali. Bagai mana mungkin seorang nenek dengan tega memukuli cucu nya sendiri yang belum mengerti apa apa.
"ibuu....hentikan Buuu." Aku berteriak lalu segera menaruh bubur ayam itu di sembarang tempat. Entah tumpah atau tidak aku tidak tau karena aku panik melihat anak yang ku sayang di pukuli pantatnya.
Aku berlari dan meraih anak ku yang sedang nangis lalu menggendongnya dan menjauhi ibuku.
"Kenapa ibu tega memukuli Zain, cucu ibu sendiri?" ucapku sambil mengelus elus punggung Zain menenangkannya.
"tega kamu bilang, apa dia ngga tega melempar neneknya dengan kelereng. Lihat jidat ku lihat ini, untung ngga bocor," ucap ibu dengan berapi api.
Aku melihat pada kening ibuku, memang ada sedikit benjolan di keningnya.
"tapi Zain masih kecil Bu, dia belum mengerti apa apa, lagi pula mana mungkin Zain melempar ibu dengan kelereng?" aku membela anak ku. Rasa nya tidak percaya saja atas apa yang di katakan oleh ibuku. Zain masih terlalu kecil mana mungkin dengan sengaja melempar kelereng tersebut ke neneknya.
"oh, Jadi kamu pikir ibu bicara bohong, lalu ini apa buktinya? masa iya ibu sendiri yang melemparnya ke jidat. apa kamu pikir ibu udah ngga waras?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!