Semilir angin menyapa pria berwajah oval, tulang rahang nan tegas, hidung mancung bak prosotan tadika. Dan sorot mata yang tajam membuatnya terlihat tampan paripurna.
Dia menyibak anak rambut yang berantakan ditiup angin, sembari melangkah ke arah lobi kedatangan.
Mengabaikan bisik-bisik khalayak yang menatapnya penuh damba.
"Bolehkah saya berfoto dengan anda?" pinta dari satu diantara kaum hawa yang berlalu-lalang, dia memberanikan diri.
Pria itu menggeleng. "Sori. Tidak bisa. Saya bukan aktor." Tolaknya ketus.
Begitulah sikapnya, jika berhadapan dengan gadis selain si gadis pujaan hati. Terkesan angkuh nan menyebalkan.
Dia menggeser tubuhnya ke arah parkir, sembari menyisir sekeliling area. Berharap sosok yang dirindukan selama ini datang menjemput. Misal, memberi kejutan.
Dia tertawa kecil. Menertawakan harapan konyol yang terlintas dibenak. Mana mungkin gadis itu menjemputnya, dengan dalih kebetulan. Mustahil. Apalagi sudah lama tak pernah tukar kabar.
"Aku telah kembali. Ya Qalbii. Apa kamu tahu kedatanganku?" lirihnya menyugar rambut dan menghela napas.
Melvin Kyle. Pria tampan mempesona. Baik hati, alim nan sholeh itu memutuskan kembali ke Ibu pertiwi.
Pertama, karena Ibunda tercinta memintanya pulang. Kedua, alasan pendukung yang sangat mempengaruhi hati.
Ingin menagih jawaban atas pernyataan cintanya beberapa tahun silam pada si gadis pujaan hati, Allea Alister.
Yang entah bagaimana kehidupannya sekarang. Bahkan dia pun lupa-lupa ingat dengan wajah sang gadis pujaan hati.
Melvin mengulum senyum tatkala ingat percakapan dengan gadisnya.
"Ngapain elu ke sini, Vin?" ucapnya mengernyit.
"Kalau ada yang ucap salam itu harus di jawab, Allea." Pinta Melvin lembut.
"Sudah gue jawab kok. Tapi dalam hati."
Melvin tertawa kecil. "Aku merindukan obrolan recek kita, Ya humaira." Desisnya menghela napas berat.
"Assalamualaikum, bos. Selamat datang." Sapa Abbas El Amin . Si teman sepondok yang selalu setia.
Tidak. Lebih tepatnya kepaksa. Teman yang dulu selalu membantunya kala ingin kabur untuk bertemu si gadis pujaan hati. Dan atas rekomedasi-nya, dia diterima kerja di perusahaan sang Ayahanda.
Melvin menghela napas tatkala ingat gadisnya yang tiba-tiba berubah. Menolak bertemu. Tidak merespon suratnya. Memutuskan hubungan tanpa alasan.
Dan sang informan yang dulu rajin melapor kegiatan si pujaan hati, mendadak bukam. Menghilang bagai ditelan bumi.
Ponsel-nya tidak bisa di hubungi dan tempat tinggal pun mendadak pindah entah kemana.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Masya Allah, Abbas. Hampir aku tidak mengenalimu. Makin ganteng, gagah keren saja." Kekeh Melvin menepuk pundak Abbas.
Si empu pundak hanya mengulum senyum, canggung mendengar pujian dari anak majikannya.
"Ehm. Jangan menggodaku, Vin. Bilang saja, kau ingin nagih tugasku, bukan?" lugas Abbas.
Melvin tertawa kecil dan manggut-manggut. Benar yang dibilang Abbas. Teman kurang ajarnya itu menambahkan beban pekerjaan.
Mencari si gadis pujaan hati Melvin yang telah lama tidak ada kabar serta mengabaikan surat-surat yang telah dikirimkan.
Melvin terlotak, Abbas yang kelabakan mencari tahu si gadis menjengkelkan itu.
Yap. Gadis itu telah dikasih label menjengkelkan oleh Abbas. Pasalnya, susah sekali didekati. Bahkan Abbas rela pura-pura menyebarkan brosur donasi hanya demi mengobrol dengan gadis itu.
Tapi sayang, belum sempat tanya banyak hal, si gadis pujaan hati Melvin berlalu sembari berkata. "Maaf saya buru-buru, nanti saya tf saja. Ini saya ambil satu"
Tidak. Bukan uang yang diinginkan Abbas. Tapi nomor telepon dan sosial media-nya, dengan alasan sebagai data donatur. Ah, padahal itu jawaban yang telah Abbas siapkan saat ditanya.
Abbas menghela napas saat ingat kejadian beberapa minggu lalu sebelum si teman kurang ajar ini kembali ke tanah air.
"Jadi gimana, Bas? Kau sudah tahu dia di mana? Kerja apa? sudah punya kekasih kah? Atau malah sudah menikah?" Cecar Melvin sembari menghepaskan punggung ke kursi.
Abbas menoleh si Tuan muda dan menghela napas berat.
Segera Abbas menekan pedal gas. Berlalu ke arah jalanan Ibukota. Membaur dengan kendaraan lain. Siang ini jalanan ramai lancar.
Untuk sekarang, dia di pindah tugaskan menjadi asisten putra bungsu si bos besar-Markus Kyle. Meskipun ingin menolak, tapi nasib budak korporat bisa apa selain menerima.
Dia paham Melvin, lima tahun bersama tentu sangat paham tabiat temannya itu. Tidak mudah menghadapi anak yang kelihatan ramah, baik hati, alim tapi pemaksa jika punya keinginan.
Tidak bisa dihutang, harus dibayar tunai. Diangsur pun tidak mau. Dasar anak bontot, menyebalkan.
"Satu-satu, Vin. Astaghfirullahalazim. Pengen ngumpat rasanya, tapi kok ya takut nambah dosa." Dengus Abbas, jengkel.
Melvin hanya terkekeh sambil memalingkan wajahnya menatap pemandangan di luar jendela mobil.
"Dia lagi koas. Akhir-."
"Oh bentar lagi jadi dokter." Serobot Melvin menyunggingkan sudut bibirnya.
"Bisa diam sebentar. Mau di jelasin tidak? Mumpung masih ingat."
Melvin tertawa kecil. "Silakan, Abbas. Ya ampun kok makin galak sih."
Abbas mendengus. "Langsung pulang atau mau jenguk Nyonya dulu?"
"Lah katanya mau jelasin? kok pindah haluan?" Melvin mengernyit menoleh Abbas.
"Nanti kau akan tahu jika beruntung." Balas Abbas mengulum senyum.
"Sialan." Umpat Melvin kesal.
"Astaghfirullah, Vin. Istighfar. Ingat nasehat Ustadz Ilham, marah itu perbuatan setan."
"Iya, kau setannya."
"Eh, bisa-bisanya setan teriak setan."
"Haish! bodo amat. Langsung ke Rumah Sakit, jenguk Mama."
"Tepat sekali. Aku spoiler-in sedikit. Dia sedang koas di RS PH-Pramudya Husada. Konsulenya Dokter Yohan Pahlevi."
"Apa? Kak Yohan? Ah, sialan. Dia 'kan ganteng, cool, cuek tapi perhatian. Ya Gusti, hatiku ketar-ketir, Abbas. Tipe Allea 'kan modelan gitu." Keluh Melvin menyugar rambutnya. Risau akan hal yang belum pasti.
Abbas hanya memutar bola matanya, malas menanggapi racauan si Tuan muda.
Sekilas dia melirik Tuan muda lewat kaca spion dekat kemudi. Mengulum senyum melihat kerisauan di wajah tampan Tuan mudanya.
"Padahal, dia tidak kalah ganteng. Fail value-nya juga oke. Ya memang sifatnya rada minus dikit. Untung kaya. Jadi kalau dia pengen geledek pun pasti bisa kebeli." Batin Abbas sambil menarik sudut bibirnya.
...***...
Abbas dengan lihai memarkirkan mobil mercy berwarna putih itu, lalu keluar mobil dan membukakan pintu untuk si Tuan muda.
Kemudian mereka masuk ke Rumah Sakit. Derap langkah Melvin berkurang saat melintas di antara bangsal angrek dan melati, matanya menyipit.
Dan atensinya terusik ke arah kerumunan yang mengenakan snelli atau jas putih.
Mata Melvin membola tatkala melihat wajah yang tak asing. "Kak Yohan." Desisnya.
Yohan Pahlevi. Dokter spesialis yang genap kepala tiga itu sedang melakukan visite bangsal bersama dokter muda atau koas.
Dia terlihat tampan nan keren, meski pelit ngomong, tidak ramah dikalangan rekan kerjanya. Senyum mahalnya hanya di sajikan khusus untuk para pasien.
Tapi para dokter, perawat perempuan dan sebagian dokter muda sangat mengagumi ketampan-nya. Kecuali satu dokter muda yang bernama Allea Alister. Dia lebih mengagumi kepintaran si konsulen itu.
"Oke. Visite kali ini selesai." Interupsi Yohan.
Mereka pun bubar, menuju ruangan dan kembali ke aktivitas masing-masing. Sebelum melangkah ke arah bangsal khusus.
Hanya Dokter spesialis dan pihak regulator rumah sakit yang boleh berkunjung. Yohan memanggil si koas cueknya, Allea.
Melvin mendengus."Abbas, itu kak Yohan. Tampan, bukan?. Coba kau amati di antara mereka ada humairaku tidak?"
Abbas melotot dan terbatuk kecil mendengar panggilan gadis itu.
Melvin menajamkan pendengaran. Samar-samar dia mendengar nama yang sangat dirindukan itu, disebut Yohan. Hatinya pun bereaksi tidak karuan. Melvin tersenyum samar. "Abbas, duluan saja ke ruangan Mama. Nanti aku nyusul. Bilang saja aku ada urusan sebentar."
Abbas hanya menghela napas panjang dan berlalu menuju kamar Nyonya-Indi Ramadanti.
Melvin melangkah pelan di belakang dua orang yang sedang bercerita. Instingnya mengatakan, bahwa satu diantara mereka adalah gadis pujaan hatinya.
Karena dia mencium aroma parfum yang sangat familiar dari arah mereka. Dan itu adalah aroma cherry kesukaan sang pujaan hati.
"Kenapa sih diem bae? kalau lu cuma diam itu pertanda dunia sedang tidak baik-baik saja, Allea."
Deg
Dada Melvin berdebar mendengar nama itu. Ada sensasi yang menggelitik hati. Sensasi yang telah lama tidak dirasakan.
"Huuft. Gue lagi puasa ngomong, Sekar."
Seperkian detik jantung Melvin mendadak berhenti saat mendengar suara gadisnya. Bahkan cara bernapas pun dia lupa. Senyum sumringah Melvin terbit. Rasanya ingin menarik tubuh gadis itu dalam pelukan, untuk melepas rindu.
"Astaghfirullah. Sadar, Vin. Tidak boleh menyentuhnya sebelum halal. Jangan jadi pria nakal." Lirihnya sambil menggeleng, mengusir pikiran kotornya.
Namun tiba-tiba senyum Melvin luntur tatkala mendengar seorang pria memanggil nama gadisnya sambil melambaikan tangan dan melempar minuman kemasan.
Segera si gadis pujaan hati menangkap minuman itu dengan sigap. Diiringi gerutuan pada temannya.
Mereka terlihat sangat akrab. Membuat hati Melvin mencelos. Ingin rasanya menguping percakapan mereka. Tapi benda lima inci di kantong celana meraung-raung minta dijamah.
Dan melangkah menuju ruangan sang Ibunda.
"Dia siapa? wajahnya tidak asing." Gumamnya sambil menggeser pintu ruangan.
"Nyasar kemana, boy?" sambut Milan saat Melvin masuk ke ruangan.
"Paling godain cewek dulu." Kekeh Martin menimpali.
"Jangan godain adikmu, Milan-Martin. Dia mana berani begitu. Berduaan sama cewek pasti langsung keringat-dingin, tremor, pingsan." Kelakar Markus menepuk pundak putra bungsunya.
Melvin cemberut. "Lihat, Ma. Mereka mengolokku. Omelin gih."
Indi terkekeh. "Kalian jangan godain dia. Kalau merajuk minta dibeliin rembulan, kalian yang kelimpungan."
Orang di ruangan itu pun tergelak kecuali Melvin. Dia hanya mendengus.
"Ehm. Apa kabar sholehnya Mama?" Indi segera mengubah suasana hati putra bungsunya.
Melvin tersenyum sambil memeluk Indi. "Alhamdulillah baik, Mama sayang."
Indi tersenyum lebar. Mengelus kepala si bungsu.
"Eh. Ada si cantik. Ikut jenguk Oma. Kangen Uncle tidak, Ellea?" ucapnya saat menoleh ke samping. Tersenyum lebar. Melangkah kearah anak kecil yang duduk di samping Ibunya.
Yeah. Ulah Melvin, nama-nama keponakannya mirip dengan Allea. Meski si orang tua bayi menolak.
Tapi bisa apa saat si bontot maksa harus menyematkan rangkaian nama yang sudah di buat olehnya. Dengan terpaksa, mereka menuruti keinginan Melvin.
"Tidak. Tapi kalau Uncle beliin sesuatu, Ellea akan kangen." Comelnya menggemaskan.
Serentak orang dewasa di ruangan itu pun tergelak.
Dan setelah dua bulan di rawat inap. Indi minta pulang. Katanya kangen suasana rumah.
...***...
Name : Melvin Kyle
Age : 25 tahun
Height: 183 cm
DOB : 08 April
FC : Hijau-Hitam-Putih
FF : Pokoknya yang halal, tapi paling suka sate ayam.
FD : Air putih, Air zam-zam.
Hobby: Baca buku, Olah raga, Traveling.
Motto: -Sehidup sesurga bersama pasangan. - Cukup satu wanita sebagai Ibu dari anak-anakku.
Itu visual Melvin versi author. Tapi kalian bebas mau berimajinasi visual siapa saja. Setiap individu punya selera tampan masing-masing, bukan? 😊
Pokoknya dia tampan paripurna, sekaligus laki green flag banget.🥰
Silakan berimajinasi visual karakter sesuai selera hati kalian, ya temans.
Jangan lupa saran, like and komen. 😇
...♡´・ᴗ・`♡...
"Hei. Kau!." Seru Yohan menunjuk salah satu Dokter muda. Semua mata menatap ke arah telunjuk Yohan.
Yap. Yang di tunjuk itu Allea Alister-Koas paling menonjol diantara yang lainnya. Dia cepat mengerti saat di jelaskan. Dan saat diuji jawabannya nyaris tepat.
Terkesan pendiam tapi kelewat cerewet jika sudah kenal. Apalagi jika penasaran. Tidak akan sungkan bertanya sampai semua rasa penasarannya terjawab.
"Saya, dok?" Allea menunjuk dirinya.
"Hmm." Jawab asal Yohan.
Hening. Mereka masih menunggu kelanjutan omongan sang konsulen.
"Buat power point untuk seminar saya."
"Seminarnya kapan dok?"
"Besok."
"Jam?"
"Abis dzuhur."
"Tepatnya jam berapa, Dokter Yohan? Setengah tiga juga abis dzuhur." Intonasi suara Allea sedikit meninggi.
Ketiga temannya (Nadia, Sekar dan Tiwi) menahan tawa. Ekspresi wajah Allea memang menggemaskan tatkala rasa kesal menyapa. Raut mukanya berubah merah, seperti wajah bayi yang sedang menangis.
"Jam satu." Balas Yohan menghela napas panjang.
Allea mengumpat dalam hati sambil mengangguk. "Siap."
"Materinya ambil di ruangan saya. Yang lain silakan pulang." Titah Yohan datar sambil berlalu.
"Baik. Terima kasih, dok." Balas Sekar, Tiwi dan Nadia.
Allea hanya menghembuskan napas berat.
"Semangat, Allea." Celetuk Sekar mengulum senyum dan mengepalkan tangan. Menyemangati teman seperjuangannya itu.
"Siap begadang, Al. Call me kalau butuh cemilan. Gue duluan mau review jurnal." Ucap Tiwi, si anak rantau yang rajin jualan makanan ringan sebagai tambahan uang jajan.
"Nebeng boleh kan, Wi?" retorik Nadia menggamit lengan Tiwi. Si empu lengan hanya mendengus.
"Hati-hati di jalan." Kompak Sekar dan Allea.
"Kalau turun kaki kiri dulu ya bestie." Kekeh Sekar.
Allea ikut tertawa kecil. Tiwi dan Nadia hanya nyengir seraya melambaikan tangan.
Setelah kepergian mereka. Sekar berceloteh ria. Berasumsi jika Yohan menyukai-nya.
Allea hanya mendengus. Mengangkat kedua bahunya. Mengabaikan celotehan Sekar. Tidak tertarik mendekati pria super kaya atau sejenisnya. Cukup sekali saja Ibu dari pria kaya yang mengolok atau melabrak.
"Hei, Allea." Sapa Fauzi dari arah lobi. Tersenyum ramah pada si empu nama dan tangannya melempar minuman kemasan kesukaan gadis itu.
Dengan sigap Allea menangkap minuman itu sambil menyungingkan sudut bibirnya.
"Satu doang, Kak?" protesnya nyengir.
Fauzi mengangguk dan mengulum senyum.
"Ya elu mah kagak mungkin tergoda sama Dokter Yohan. Orang lakinya saja kinclong, manly, begindang." Bisik Sekar menowel dagu Allea.
"Apaan sih? Orang dia kakak gue." Elaknya, sebal.
"Halah. Maksud elu kakak ketemu gede? sejagat raya tahu kali, siapa sulung Tuan Alister. Sudah ah, gue cabut dulu. Bye. Selamat berkencan."
"Mulut lu minta di ruqiah!." Seru Allea, jengkel.
Sekar hanya terkekeh mendengar-nya sambil melambaikan tangan dan berlalu.
Allea masih komat-kamit menatap punggung Sekar yang menghilang di balik pilar tembok rumah sakit.
"Kenapa?" tanya Fauzi.
"Ngeselin, kak. Pengen sentil jantungnya." Kesal Allea sambil menyesap minuman itu.
Fauzi terkekeh mendengar gerutuan Allea. Mereka berjalan ke arah taman rumah sakit.
"Kak Oji ngapain kelayapan kemari? Jangan bilang mau sambat?" imbuh Allea menyipitkan mata ke arah Fauzi.
"Hehehe, duh ketahuan." Aku Fauzi sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Cih. Sambat mulu, kak. Terus imbalannya cuma satu mujigae doang? Ck. Dasar orang pelit. kuburnya sempit." Cibir Allea sembari menjatuhkan pantatnya ke bangku taman.
Fauzi terkekeh sambil menyugar rambutnya. Lalu menghela napas pelan. "Bokap ngejodohin gue sama anak temannya, Al."
"Uhuk. Uhuk. What? Seriusan? Belum juga kepala tiga, sudah di suruh nikah saja. Terus tanggapan kak Oji gimana? nerima begitu saja?" tandas Allea menatap Fauzi, yang sedang gamang akan hatinya.
Lengang. Fauzi tidak segera menjawab. Dia menatap pepohonan yang melambai di depannya. Lalu menggeleng dan mengangkat kedua bahunya. "Entahlah."
Allea menyandarkan punggung di kursi taman. "Gue sih cuma kasih saran. Yang mau jalanin itu kak Oji, bukan Om Zed. Dan semua keputusan di tangan kakak. Coba saja diskusikan dulu sama Om dan Tante. Jangan asal pasrah, menerima begitu saja. Urusan rumah tangga itu tidak sesimpel yang kita bayangkan. Bahkan berumah tangga itu tidak ada expired date-nya, kak. Alias seumur hidup." Jelasnya menghela napas.
"Iya gue tahu." Lirih Fauzi menunduk sambil mendengus. Sesak sekali dadanya.
Sebagai anak semata wayang, tentu dia ingin membahagiakan orang tuanya. Dengan cara menuruti keinginan mereka. Tapi apakah harus mengorbankan kehendak hatinya?
"Dan perjelas tujuan pernikahan itu. Biar berkah tuh rumah tangga." Tutur Allea.
Fauzi mangut-mangut. Seakan mendapat pencerahan. Memang si pujaan hati ini luar biasa jika memberi tetuah.
Meskipun sulit menyakinkan orang tuanya. Tapi dia akan mencoba seperti yang di sarankan Allea.
Fauzi menatap si gadis pujaan hatinya lekat-lekat. Dia mengulum senyum. Memang rasa cintanya tidak memudar, justru semakin bersemi seiring waktu berganti.
Bahkan dia semakin kagum dengan gadis ini. Cara pemikirannya memang luar biasa sedari dulu. Kecantikannya semakin menyeruak meski tanpa make up. Tampil apa adanya ciri khasnya.
Berpegang pada prinsip yang telah dia buat. Tidak tertarik pacaran. Katanya, pacaran itu tidak asyik. Lebih baik sendiri, mau bergaul dengan siapa saja bebas, 'bebas tapi tahu batasan'. Tidak ada yang cemburu atau melarang ini-itu. Memangnya apa manfaat pacaran?
Kalau pacaran hanya ingin di kirim pesan 'sudah makan belum?, 'Jangan lupa makan.' atau lainnya, chatting-an saja sama orang tua. Pasti mereka akan melakukan seperti itu. Pacar terkeren sepanjang masa itu orang tua.
Karena mereka tidak akan me-ghosting atau menyudahi sebuah hubungan. Ya mungkin hanya akan membandingkan dengan anak tetangga.
"Kenapa dengan muka gue? pasti kusut banget." Celetuk Allea saat menoleh Fauzi yang menatapnya lamat-lamat.
"Masih cantik meski suram kayak abis ditalak suami." Fauzi tertawa kecil.
Buuagggh
Allea menendang tulang kering Fauzi sambil mendengus, sebal.
"Aw. Sakit, bodoh."Seru Fauzi mengelus kakinya.
"Syukurin. Makanya kalau ngomong jangan asal. Karena setiap omongan itu doa. Gimana kalau di aamiin sama Malaikat? terus nanti pas gue nikah, eh ditalak beneran." Sungut Allea sembari beranjak menuju kantin.
"Sori. Adik gue yang manis." Kekeh Fauzi menyejajari langkah Allea.
"Ck. Jangan panggil gue gitu. Geli tahu!." Serunya manyun.
Fauzi hanya terkekeh dan mengacak rambut Allea.
...***...
Adzan Subuh menggema sahut-menyahut di seluruh kota. Komplek dan perkampungan, lantunan penuh makna nan indah.
Sebagai seruan para insan untuk menunaikan kewajibannya.
Pelan tapi pasti sang fajar mulai menampakkan diri. Segera para insan bergegas memulai aktivitas harinya.
Klakson mobil melenguh, Deru motor menggema di udara. Menandakan betapa sibuk jalanan ibukota.
Allea masih menatap monitor laptopnya. Tangannya mengguling mouse dari atas sampai akhir slide, memastikan per-slide tidak ada kesalahan ketik.
Membaca ulang materi yang akan di sampaikan si konsulen dalam seminar nanti. Takut bila ada yang kelewat atau malah kurang.
"Oke! tinggal tiga slide lagi." Desisnya sambil mengepalkan tangan.
"Astaghfirullahaladzim. Hantu, pocong, kunti." Latah Sekar tatkala terbangun dan menatap Allea yang masih berkutat di depan laptop sambil mengenakan mukena, warna putih pula.
"Allahhu akbar. Jantung gue nyaris loncat. Lu nggak tidur?" imbuh Sekar sambil meraih air minum.
"Tidur. Tapi cuma dua jam, Sekar. Ini saja masih belum kelar. Haish! rasanya pengen misuh-misuh." Keluh Allea sambil melepas mukena dan mengikat asal rambutnya.
"Tahu mau seminar dengan materi bajibun. Nyuruh buat ppt kayak roro jonggrang. Apa dikira gue bandung bondowoso, simsalabim besok pagi auto jadi. Hah. Menyebalkan. Pengen banget ninju ulu hatinya. " Imbuhnya sungut-sungut.
Sekar melongo. "Yang ada tuh Dokter meninggoy, Al." Batinnya mengamati Allea sambil menguap dan mengaruk rambutnya.
"Emang masih banyak? kalau sudah ditandai, sini gue ban-tu." Intonasi Sekar melemah tatkala Allea menyodorkan buku A5 ke arahnya.
Matanya terbelalak. "Anjir! Ini tulisan apa gambar benang? Dan elu masih bisa baca? Hebat." Sekar tepuk tangan pelan. "Ah, kalau modelannya kayak gini. I'm say, maaf sepertinya gue enggak bisa bantu." Cengirnya ngacir ke kamar mandi, ambil air wudhu.
"Hei, lu sholat shubuh apa dhuha?" kekeh Allea sembari melirik jam dinding, yang menunjukkan pukul 06.00.
"Ck. Jangan berisik. Elu sih nggak bangunin gue." Dengus Sekar. Segera menunaikan kewajiban dua rakaat.
Allea tertawa kecil. Tidak terima. "Sudah, Sekar. Nyaris saja gue guyur air panas biar lu melek."
Lengang lima menit. Sekar tidak menyahut.
"Astaga, Allea. Mau bunuh gue, lu?" sahut Sekar setelah salam kedua di ujung sholatnya.
"Eh. Lu sholatnya nggak khusyuk?" retorik Allea mengulum senyum.
Sekar tertawa kecil sambil menggaruk rambutnya. "Khusyuk kok, tapi dikit. Abis itu pikiran gue jalan-jalan. Ya gimana lagi, kalau pas sholat itu yang mulanya lupa tiba-tiba keinget semua."
"Untung masih pikiran. Coba kalau badan lu yang jalan-jalan?" Kekeh Allea.
"Eh. Maksudnya?" kernyit Sekar.
"PR." Allea tertawa kecil.
"Sialan." Kesal Sekar.
Allea tertawa lebar. "Kalau elu beli makan, gue nitip."
"Males." Manyun Sekar. Masih mikirin yang diucapkan Allea.
"Ish-ish-ish. Ngambek, Bu?" Godanya terkekeh.
Alhasil, Sekar pun tergelak. Dia tak bisa marah lama-lama jika dengan Allea. "Masak saja. Gue yang masak."
Allea mengangguk. "Oke!," Sahutnya sembari menutup laptop.
Akhirnya Si Bandung Bondowoso selesai membangun candi dalam semalam. Saatnya mempresentasikan hasil. Kalau sampai si Roro Jonggrang komentar sesuka hati. Siap-siap saja kena kutukan.
"Kalau sampai komentar masih ada yang kurang atau salah. Siap-siap saja gue kutuk jadi cangkir kopi." Desis Allea berlalu ke kamar mandi.
Pukul 07.00, Sekar dan Allea beranjak menuju rumah sakit. Mereka hanya jalan kaki. Sebab jaraknya hanya lima langkah sampai lokasi.
Yeah, Mereka sengaja mencari yang jaraknya dekat, supaya efisien waktu dan tenaga.
...***...
Name : Allea Alister
Age : 23 Tahun
BOD : 08 Agustus
Height : 166 cm
FC : Biru langit-Hitam-Putih.
FF : Nasi+Ayam bakar, Nasi goreng, Martabak, Ramen, Sushi, Es Krim, Mie instan (sejak koas dan ngekost bareng Sekar), buah Cherry 🍒, strawberry 🍓.
FD : Air putih dingin, Mujigae Milk Chocolate (Bukan promosi)
Hobby : Baca buku, Tidur, Nonton drama korea & China (Diracunin Sekar dan Nadia)
Motto : Rebahan berpenghasilan.
Oh-iya itu visual Allea versi saya ya, silakan kalian berimajinasi aktris dalam or luar negeri. Bebas. Abaikan visual dari author, oke!. 😉
...♡♡♡...
Pukul 07.00, kediaman Kyle bersiap untuk sarapan. Di ruang makan sudah ada Markus-kepala keluarga nan gagah rupawan meski usia tak lagi muda.
Dia membaca koran sambil menunggu anggota keluarganya bergabung di meja makan. Selang lima menit, 07.05 Milan, istri dan anaknya bergabung.
"Pagi, Pa." Sapa Milan dan istrinya.
"Hmm. Pagi." Balas Markus melengkungkan bibirnya dan melipat koran. "Oh kenapa cucu cantik Opa manyun?" kekeh Markus saat melihat Aleeza-putri Milan cemberut.
"Huft. Papi nyebelin, Opa. Tidak izinin Ale ikut kamping sekolah akhir semester pekan depan." Adunya sambil menarik kursi lalu menghempaskan pantatnya.
Milan mengulum senyum. "Bukan tidak izinin, Aleeza. Tapi Papi.-"
Aleeza memotong, "sama saja, Papi. Padahal Mami oke-oke saja. Tahu deh, kesel."
"Kenapa, Al? berisik banget, pagi-pagi" Melvin ikut gabung sambil menggaruk rambutnya.
"Hufft. Abangmu pelit. Tidak izinin Ale buat kamping acara sekolah." Ketus Aleeza kesal.
Melvin tertawa kecil. "Abangku ya bapakmu, Al. Kasih izin saja, bang. Toh dia sudah gede. Itung-itung belajar mandiri."
Senyum Aleeza terbit, Seakan dia mempunyai sekutu. "Paman saja dukung. Open minded. Tidak seperti Papi, kolot. Ih nyebelin."
"Hmmm. Tidak boleh bilang 'ih' pada orang tua, Aleeza. Itu tidak baik. Bisa jadi itu akan melukai hatinya meskipun Papi dan Mamimu tidak marah. Dan agama kita melarang mengucapkan kata itu." Jelas Melvin lembut sambil mengusap kepala keponakannya.
"Iya maaf, Paman. Ale Tidak lagi ngomong kayak gitu. Ale minta maaf, Papi. Ya sudah kalau gitu nanti kita kamping sendiri, ya?" negonya.
"Good girl." Sahut Melvin sambil tersenyum dan mengacak pelan rambut Aleeza.
"Baiklah. Ayo kemping bersama." Sambung Markus mengulum senyum.
Lalu Indi, Martin, istri dan anaknya ikut gabung, sarapan. Atas titah Indi, anak yang sudah menikah harus mau tinggal di kediaman Kyle.
"Vin, hari ini kamu monitor departemen store. Anggap saja sebagai pemanasan sebelum gabung perusahaan." Titah Markus sambil meraih air minum.
Melvin menghela napas berat. Di lihat dari raut wajahnya, dia keberatan."Pa, besok saja bagaimana? Melvin mau rehat sebentar."
"Biarkan dia jalan-jalan dulu, sayang. Masa baru sampai sudah di suruh kerja." Sambung Indi membela putra bungsunya.
"Baiklah. Ya sudah, aku berangkat." Ucap Markus berajak sambil mencium kening istrinya.
Melvin menerbitkan senyum manisnya sembari tangannya mengambil benda lima inci dari saku celana. Satu notifikasi dari Abbas.
[Abbas: Breaking news!. Hari ini dokter Yohan ngisi seminar di kampus Bina Madani dan para koas-nya diajak.]
"Ck. Aku tidak suka berita terkinimu, Abbas." Decak Melvin, ada rasa ganjil di hatinya saat membahas si dokter spesialis itu.
"Berita terkini apa, Vin?" Indi menyahut. Di ruang makan itu tinggal Melvin dan Indi. Yang lain sudah berangkat kerja dan sekolah.
"Bukan apa-apa, Ma. Hari ini Mama ada kegiatan apa?" Melvin mengalihkan pembicaraan dan mendekat ke Indi.
"Hmmm les masak sama teman-teman Mama."
"Ha? memangnya Mama sudah sehat? di jadwal ulang saja. Mama belum sembuh total."
Indi tertawa kecil."Mama sudah sehat, sayang. Percayalah sama Mama."
Melvin mengangguk, paham.
"Hari ini, kamu ada rencana apa?" tanya Indi sembari beranjak menuju ruang keluarga.
"Hmmm, aku pengen ke suatu tempat, Ma." Balas Melvin mengikuti Indi di belakang.
"Ke mana tuh?" Indi penasaran.
Melvin tertawa kecil. Dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Baiklah. Mama tidak akan tanya. Ajak Abbas." Putusnya sambil meraih remot, menyalakan televisi.
"Oke, Mama. Terima kasih." Jawab Melvin mencium pipi Indi dengan manja.
Indi hanya terkekeh melihat kelakuan putra bungsunya.
...***...
Di sinilah Melvin pergi. Kampus Bina Madani. Dia memaksa Abbas mengantarkan, tidak mau tahu bila sang teman itu sedang menggantikan tugasnya, meninjau departemen store di berbagai lokasi.
Abbas hanya bisa mengelus dada, sabar. Menghadapi putra bungsu dari majikannya ini. Ingin marah, menghajar bocah itu pun percuma. Sebab, bagaimana pun juga ayah bocah itu yang memberikan nafkah berupa gajian tiap bulan.
"Sabar, Abbas, Sabar. Orang sabar makin digoda setan, meningkatkan level keimanan." Gumamnya menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan. Dan berlari kecil mengikuti Melvin yang sudah masuk ke salah satu aula kampus.
"Yeah, dia memang keren. Pantas saja Mama pengen jodohin dia ke anaknya, kalau punya anak cewek." Komentar Melvin mengamati Yohan.
Dia mengulum senyum tatkala melirik sebelah kanan panggung . Sosok gadis di pojok panggung itu membuat hatinya berdegup kencang.
Pandangan Melvin tidak lepas dari gadis itu. Baginya, dia lebih menarik dari pada paparan Yohan.
Tiba saatnya sang moderator menginterupsi bagi peserta yang ingin bertanya. Sesi tanya-jawab pun dimulai. Dari pertanyaan wajar terkait materi hingga pertanyaan nyeleneh. Yang mana membuat Yohan jengkel.
Salah satu peserta maju ke arah Yohan dan memberikan secarcik kertas. Dia menerima sembari tersenyum tipis, teramat tipis malah sampai tidak terlihat. Dan membuka lipatan kertas itu.
Matanya membola saat membaca pertanyaan yang sering kali di terima tatkala mengisi acara seminar.
'Apa anda sudah punya kekasih? jika belum, bolehkah bagi nomor wchat? 08xx ini nomor saya. Terimakasih.'
Jauh sekali dari materi yang dipaparkan. Dia menghela napas pelan. Jengkel dengan pertanyaan salah satu peserta. Matanya menyisir ruangan. Si peserta yang mengajukan pertanyaan harap-harap cemas dengan jawaban dari si narasumber.
Yohan menyeringai. Ide gila terlintas diotak saat menoleh ke sebelah kanan. Mengerutkan kening, menatap satu persatu koasnya.
"Ehm. Saya sudah bertunangan. Dan tunangan saya berada di ruangan ini." Jawab Yohan sambil melihatkan jari manisnya dan sekilas melirik ke sebelah kanan.
"Bingo. Untung saja aku pakai cincin ini" Gumam Yohan dalam hati.
Para peserta pun berbisik penasaran. Siapa gadis yang akan mendampingi dokter tampan rupawan kaya-raya inceran kaum hawa itu.
"Tadi dokter Yohan melirik ke kanan. Pasti tunangannya diantara mereka." Bisik salah satu peserta yang duduknya dekat Melvin.
"Aku jadi penasaran." Lirih Melvin sambil mengangkat tangannya.
"Siapa namanya, dok?" tandas Melvin tanpa basa-basi. Lebih tepatnya. Dia cari penyakit.
Yohan melotot. Sebal dengan pertanyaan dari anak pasiennya sekaligus kerabat Ibundanya itu.
"Gadis cantik sebelah kanan yang memakai kacamata." Seringai Yohan.
Melvin melotot tidak percaya. Dia mengeraskan rahang dan mengepalkan tangannya.
Serempak peserta menoleh ke arah gadis yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tidak hanya peserta. Sang moderator pun ikut menoleh.
"Cantik. Cocok sih. Gue dukung meski hati hancur." Dengus peserta yang duduk di belakang Melvin. Dan ucapan nya itu, membuat Melvin semakin kesal.
"Apa dia akan marah padaku?" Gumam Yohan dalam hati. Melirik koas satu-satunya yang pakai kacamata.
Gadis yang di maksud Yohan itu, Allea. Yang mana, dia sama sekali tidak dengar huru-hara di ruangan itu.
"Sekar, gue nerima telepon dulu. Tolong, nanti ambil USB drive gue ya." Ucapnya buru-buru meninggalkan ruangan.
Sekar hanya mengangguk. Dia masih shock dengan pernyataan dari konsulennya. "Waw. Bagaimana bisa reaksi bocah itu biasa saja?"
"Benar. Hebat sekali jantung dia." Balas Tiwi yang reaksinya sama seperti Sekar, tercengah.
"Tolong! cubit atau gampar pipi gue, ini mimpi atau nyata?" sambung Nadia tanpa kedip dan mematung.
Allea meninggalkan ruangan itu, menuju teras, menerima telepon.
...***...
Allea langsung pergi menuju sekolah Aidan dan Ariella. Kedua adiknya itu membuat ulah. Dan mereka mencantumkan Allea sebagai wali.
"Benar, anda wali si kembar?" guru BK itu menggeleng tatkala melihat Allea yang masih muda nan cantik.
Bahkan wali dari murid yang di gampar Ariella pun tercengah.
"Benar." Balas Allea mendekat ke adiknya.
"Huuuft. Anakmu itu coba di didik yang benar. Berani sekali memukul anak saya. Dasar tidak tahu adab." Maki wali dari murid-Namila. Terlihat dari badge name di seragamnya.
Allea hanya menyunggingkan sudut bibirnya. Dia mengabaikan makian si wali itu.
"Apa yang terjadi, hmm? adik-adik kakak tidak mungkin 'kan melakukan sesuatu tanpa penyebabnya?" tanya lembut Allea sambil jongkok di depan adiknya yang menunduk.
Lengang. Hanya terdengar suara jam dinding yang bekerja.
"Dia yang mulai, kak." Aidan menyuarakan isi hatinya, menepis rasa takut.
Namila melotot tidak terima "Hei. Aku.-"
Ariella memotong. "Benar. Dia merobek buku ku."
Allea menunduk sambil mengulum senyum. "Terus kamu cakar, Ariella?"
"Aku tidak melakukan itu, kak. Apa kakak percaya? dari tadi mereka tidak percaya. Padahal aku hanya menjambak rambut sama gampar sedikit pipi kirinya. Cakaran di pipi kanan itu sudah ada sebelum berantem sama aku." Ariella menjelaskan.
"Benar. Aku sendiri melihatnya. Dia tidak melakukan itu. Goresan dipipinya sudah ada sebelum berantem sama Ariella." Aidan ikut bersuara, meyakinkan kakaknya.
Namila tegang, dia ketakutan jika Allea akan membentak, memaki seperti yang dilakukan kedua orang tuanya bila melakukan kesalahan.
"Kakak percaya." Ucap Allea sambil tersenyum dan mengelus kepala kedua adiknya.
Guru BK dan Wali Namila melotot. Kaget dengan ucapan sang wali si kembar.
"Dan untuk Namila. Bisakah kamu minta maaf pada Ariella?" pinta Allea lembut.
"Tidak bisa. Bagaimana hanya minta maaf? Minimal harus ganti rugi. Memangnya perawatan rambut anak saya hanya sedikit?" cerocos wali Namila sembari melengos.
Guru BK itu hanya tercengah tidak bisa bersuara.
"Maaf, saya tidak bicara dengan anda. Saya bicara dengan Namila-putri cantik anda." Seringai Allea membuat kedua adiknya ingin menyemburkan tawa.
Namila tersenyum tipis mendengar pujian Allea. Hatinya berbunga-bunga, sebab dia tidak pernah mendengar pujian atau sanjungan kecil dari orang tuanya.
"Bagaimana, cantik? Kalian 'kan satu sekolah lebih baik berteman, bukan?" bujuk Allea.
"Kamu juga boleh kok bermain ke rumah Ariella jika mau berdamai." Imbuh Allea menyunggingkan senyuman.
"Hei-hei apaan sih, kak. Aku belum setuju loh." Sanggah Ariella sambil bersedekap.
Allea hanya tertawa kecil melihat tingkah adiknya, yang seakan tidak mau berteman. Padahal dilihat dari sorot matanya dia menyetujui saran sang kakak.
Namila mengangguk pelan sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya ke arah Ariella. Mengabaikan kekesalan sang Ibunda. Akhirnya, Ariella dan Namila berbaikan. Hukuman skorsing untuk keduanya pun diurungkan alias tidak jadi.
Dan Ibunda Namila pun meminta maaf pada Allea dan si kembar. Ternyata mereka salah paham. Namila di suruh kakak kelasnya untuk merobek buku Ariella. Jika tidak mau, maka mereka akan mengunci Namila di gudang sekolah.
Dengan berat hati, Namila melakukan perintah mereka. Dan mengapa kakak kelasnya tidak menyukai Ariella? karena Ariella, murid teladan yang sering dibicarakan para guru saat mengajar di kelas mereka.
...***...
Pesona dokter Yohan yang bikin hati Melvin ketar-ketir 🤭. Karakter Dingin-Datar. Pelit senyum. Cerdas. Rapi. Higienis Lover.
Di sini saya hanya menentukan visual Yohan dan Fauzi. Sisanya kalian imajinasi sendiri. 🤭
Tapi kalau mau ikut visual sesuai yang saya inginkan, juga tidak masalah. 😁
Happy reading. Jangan lupa like and komen sarannya.
...°°°...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!