NovelToon NovelToon

My Perfect Bestie, No! Husband!

Prolog

Tasya tidak menyangka kalau sahabat kecilnya kini telah naik pangkat menjadi suaminya. Hal yang awalnya tidak pernah terpikirkan sebenarnya. Dulu bagi Tasya, dia hanya ingin meng-keep seorang Aldo Prayoga selamanya menjadi sahabat. Tapi takdir mengatakan kalau dia harus meng-keep Al menjadi pasangannya.

Acara pernikahan yang cukup mewah itu berhasil dan berjalan lancar berkat dukungan keluarga dan orang-orang terdekat mereka.

Kini keduanya tengah berada di mobil pengantin, mereka tidak menginap di mana-mana karena besok sore akan langsung pergi bulan madu ke Lombok, tempat impian Tasya.

"Kamu cantik," puji Al pada istrinya.

"Aku sampai bosen tau dengernya. Coba kamu hitung, udah berapa kali kamu bilang aku cantik?" Tanya Tasya yang kini menatap pada Al.

"Habis kamu cantik banget, sini aku cium." Al mendekatkan wajahnya pada Tasya, namun dengan sigap Tasya menutup bibir Al agar tak menyentuhnya.

Al melepaskan tangan Tasya dari bibirnya. "Kenapa gak boleh?"

"Nanti diliatin supirnya," ucap Tasya setengah berbisik.

Aneh sekali bukan? Tadi saat pesta dansa Al menciumnya di depan banyak orang tapi dia malah senang, sekarang dia menolak dengan alasan takut dilihat oleh supir. Memang Tasya saja yang begini.

"Tadi di depan banyak orang gak malu?" Sindir Al.

"Beda, nanti aja kalau mau."

"Nanti kapan?" Tanya Al setengah menggoda.

"Nanti di rumah, Al!" Tegas Tasya yang nampak takut dengan tatapan suaminya.

Al terkekeh lalu membawa Tasya dalam pelukannya. Kalau dipikir-pikir perjuangan mendapatkan Tasya itu memang tidak mudah, tapi sekarang dia lega karena Tasya sudah menjadi miliknya.

Pukul setengah sebelas malam, akhirnya mereka sudah sampai di kediaman Al. Yang lain belum sampai karena mereka masih harus mengurus beberapa hal di sana.

Tasya dan Al keluar dari mobil pengantin mereka. Namun saat mereka memasuki rumah tiba-tiba Tasya meringis. "Awww shhh sakit."

Al yang panik langsung mengikuti arah tangan Tasya yang kini memegang kedua kakinya. "Kamu kenapa?"

"Kaki aku sakit banget, lecet doang kayanya. Ayok," ajak Tasya lagi, dia ingin cepat-cepat ke kamar, badannya sudah remuk semua sepertinya.

Al sih menurut saja, tapi dia cukup gerah melihat jalan Tasya yang sedikit aneh. Jadilah dia langsung menggendong Tasya e brydal dan menaiki tangga.

"Ihh padahal aku bisa jalan sendiri," ucap Tasya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Nanti tambah sakit, Sya. Tambah lecet nantinya, nurut aja sama suami!" Kata Al tegas.

"Yaudah iya suami." Tasya tersenyum lalu membantu Al membuka pintu kamar. Tasya sedikit heran dengan susunan kamar Al sekarang. Kenapa jadi banyak bunga-bunga di sana? Nuansanya juga jadi seperti di film horor menurut Tasya, lampunya yang mati hanya mengandalkan pencahayaan lilin.

"Ini kita disuruh ngepet kah?" Tanya Tasya polos saat Al mendudukkannya di tepi ranjang.

Al terbahak mendengar ucapan Tasya. Bisa-bisanya Tasya berpikir kejauhan ke sana. "Kenapa bisa mikir mau ngepet?"

"Ya kamarnya gelap, banyak lilin sama bunga. Kaya mau ngepet aja gitu loh," jawab Tasya seadanya.

"Kalau kata orang-orang ini namanya romantis," ucap Al sembari mengelus puncak kepala Tasya.

Tasya menyerngit, boro-boro romantis. Yang ada dia tidak mau berada di kamar ini karena seperti di film horror menurut Tasya.

"Ini kita harus tidur di sini?" Tanya Tasya yang mengadahkan kepalanya pada Al.

Al mengangguk. "Iyalah, mau di kamar Zea?"

Tasya menggeleng cepat, tapi dia juga was-was sih. Al memperhatikan wajah bingung Tasya. "Kenapa, Tasya?"

"Serem, kamu tau sendiri aku kalau tidur gak bisa dimatiin lampunya," ucap Tasya.

Al terdiam, oh iya dia lupa. Ya tidak masalah sih sebenarnya, Al juga tidak tau kenapa kamarnya harus di hias seperti ini oleh orang-orang rumah, menciptakan suasana romantis tentulah Al jagonya tanpa perlu properti apapun.

Al menyalakan lampunya, mereka berdua akhirnya sibuk mematikan dan memindahkan lilin-lilin itu ke meja. Memang seperti anak kecil kalau dihitung dari usia mereka yang sudah menginjak 24 tahun.

"Hahahaha seru banget," kata Tasya sambil tertawa, tapi sambil meringis juga karena masih belum melepas Hells nya.

Al mengusak kepala istrinya yang sudah kembali duduk di tepi ranjang. Perlahan dia membantu Tasya membuka heels yang sudah membuatnya menderita beberapa jam kebelakang.

Benar saja, kakinya memang sudah lecet. Al sampai ikut meringis melihatnya. "Yaudah kamu mandi dulu sekarang. Nanti aku obatin kakinya."

Tasya mengangguk, dia menurut saja. Lagian tubuhnya ini sudah terasa lengket kalau dipikir-pikir. Tasya tentunya tidak akan nyaman dengan kondisi seperti ini.

Namun sejenak Tasya berpikir, dia harus pakai baju apa malam ini? Dia belum memindahkan bajunya ke sini, lagi pula Al bilang kalau mereka akan pindah ke rumah baru setelah pulang bulan madu.

"Al, aku pake baju apa? Aku gak bawa baju," ucap Tasya.

"Oh, kata bunda udah disiapin di kamar mandi. Kamu pakai aja, aku juga mau bersih-bersih di kamar mandi luar biar lebih cepet."

"Oh, oke." Tasya tersenyum sekilas dan berjalan ke arah kamar mandi. Sementara Al berjalan ke lemari untuk mengambil handuk dan juga pakaiannya.

Namun tiba-tiba. "ALLLLL." Teriak Tasya dari kamar mandi.

Al menyerngit dan langsung saja menyusul ke kamar mandi yang belum dikunci. "Kenapa?" Tanya Al panik.

"Aku gak bisa buka gaunnya," kata Tasya yang kini masih mencoba meraih sleting belakangnya.

Al terkekeh. Dasar gadis mungil, tangannya terlalu pendek memang untuk meraih sleting yang cukup menyulitkan pemakainya.

Al semula biasa saja, tapi sial. Kenapa saat dibuka tidak ada penghalang lagi? Kini hanya terlihat dalaman dan juga punggung mulus milik Tasya yang ada di hadapannya.

Al menarik napasnya, berusaha menahan pikiran-pikiran aneh yang bermunculan. Tidak bisa nih kalau dia berlama-lama di sini. "Dasar mungil, yaudah cepet mandinya. Pakai air hangat!"

"Iya-iya, Bapak Negara," ucap Tasya sambil tersenyum dan menahan bagian depan gaunnya saat menatap Al.

Al mengecup kening Tasya sekilas lalu keluar kamar mandi. Setidaknya dia bisa bernapas lega sekarang. Ya Al lelaki normal, siapa coba yang tidak panas dingin kalau disuguhkan yang seperti itu.

Biasanya Tasya akan berlama-lama di kamar mandi, dia juga ingin berendam sebenarnya, tapi mengingat ini hampir jam sebelas malam membuat Tasya bergidik ngeri kalau sampai Al memarahinya karena kelamaan di kamar mandi, jadi dia hanya mandi biasa dan juga membilas rambutnya karena tadi sedikit dipakaikan hairspray.

Selesai mandi, Tasya langsung mengeringkan rambut dan juga tubuhnya. Dia melihat pakaian yang sudah tersedia di sana. Ya Tasya senang jadi dia tidak harus pulang dulu ke rumah.

Dia memakai pakaian dalamnya, namun saat akan memakai baju yang tersedia di sana matanya terbelalak. Baju berenda tipis dan dari segi mana pun kalau Tasya pakai jelas akan terlihat bagian dalam tubuhnya.

"ALLLLLLLL!!" Teriak Tasya lagi.

Al yang baru saja membuka pintu kamarnya kembali kaget, apalagi yang membuat Tasya teriak jam segini? Untung saja yang lain belum sampai rumah, coba kalau mereka ada?

Apa yang mereka pikirkan tentang Al? Menyiksa istrinya di malam pertama? Ahhh ya beginilah nasib menjadi seorang suami Tasya.

Al mengetuk kamar mandi yang masih terkunci, lalu pelan-pelan Tasya membuka dan menatapnya dari celah pintu.

"Kenapa, Sya? Kenapa lagi?" Keluh Al.

"Itu Bunda kenapa kasih bajunya kaya kurang bahan sih, Al. Aku pinjem baju kamu aja deh atau apa kek, masa aku pake baju ini maluuuu," rengek Tasya sembari mengulurkan baju yang dia dapat di dalam pada Al tapi masih menahan pintunya.

Al menyerngit dan melihat baju yang Tasya berikan. Al terkekeh, dia tau nih kalau Bundanya sengaja memberikan pakaian itu untuk Tasya. Ya kalau Tasya tidak nyaman Al bisa apa? Malam pertama kan harus mengutamakan kenyamanan keduanya.

"Kok kamu ketawa sih, Al!" Kesal Tasya.

"Maaf-maaf, bentar baju kamu kalau gak salah ada di sini."

Al berjalan ke arah lemari, tak lupa menyimpan baju haram itu di sana, Tasya akan kembali berteriak kalau tidak disembunyikan. Cukup membuat penging telinga masalahnya.

"Nah ketemu." Tasya memang sering menginap, ya itulah kegunaannya sekarang. Baju yang tertinggal bisa dia pakai.

Al memberikan hotpant yang biasa Tasya pakai saat bersantai di rumah dan juga baju kaos oversize miliknya. "Nih, cepet pake. Nanti masuk angin."

Tasya mengangguk dan segera kembali masuk setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan. "Makasih."

Tasya bernapas lega, nah kalau begini kan aman. Tubuh yang sudah segar ditambah dengan pakaian yang nyaman. Dia bisa tidur pulas kalau seperti ini.

Al tersenyum, sungguh. Sepertinya ini malam pertama teraneh yang pernah dia dengar. 

Drama Malam Pertama

Diana, Haris, Zea dan Fadil sampai di rumah. Sebenarnya masih banyak yang harus mereka urus. Namun teman-teman Tasya dan Al menyuruh mereka pulang dan membantu menyelesaikan semuanya dengan alasan mereka masih muda.

Ya pertemanan mereka memang begitu kental, bahkan Diana dan Haris sudah menganggap mereka seperti anaknya sendiri. Diana bertanya-tanya mengenai keberadaan kedua pengantin baru itu. Tapi Zea menahannya.

"Mereka pasti di kamar, biarin aja, Bund. Mereka pasti butuh istirahat berdua," peringat Zea.

Diana tersenyum dan mengerti maksud ucapan anak sulungnya. Benar juga, apalagi Diana sudah mempersiapkan yang terbaik untuk kamar dan perlengkapan malam pertama putranya. Dia tidak sabar ingin mendapatkan cucu, ya karena Zea dan Fadil masih belum mau memberinya jadi harapannya tertuju pada putra bungsunya.

"Oke deh, Al pasti bisa!" Ucap Diana yang langsung melenggang pergi menyusul suaminya.

Zea menyerngit, sepertinya pikirannya dan Ibunya berbeda. Tapi ya sudah, bukan urusan Zea juga. Zea kini malah menatap Fadil yang ikut melenggang pergi ke atas. Cuek seperti biasa. Meskipun sudah beberapa tahun menikah ya mereka tetap pada komitmen mereka untuk hidup masing-masing.

Entah kenapa sekuat itu Zea bertahan, dia juga tak jarang melihat Fadil yang bergonta-ganti pasangan. Secara dia dokter tampan, sudah pasti akan mudah memilih siapa yang akan dia kencani. Zea menghela napas, berusaha menetralkan pikirannya yang akhir-akhir ini mulai ngaco. Sepertinya dia butuh penyegaran.

Selesai dengan Zea. Jangan dikira Diana langsung tidur setelah mengganti pakaian. Dia kini sedang memanaskan susu sambil mengaduk kuning telur di sebuah gelas, tidak lupa juga dia campurkan sesendok madu. Resep ini tentu akan membantu Al mewujudkan impiannya menjadi seorang nenek. Memang dia ibu yang pengertian, pikirnya dalam hati.

Setelah beres Diana naik ke atas membawa susu yang sudah dia buat. Namun saat di depan kamar anaknya Diana sepertinya harus berpikir ulang, apa dia sudah ketinggalan jam tayang?

Awww sakit, sshh pelan-pelan.

Diana menghela napas sepertinya memang seperti itu, pelan-pelan dia menaruh susu yang dia bawa di nakas dekat pintu kamar Al. Dengan hati-hati juga dia menempelkan telinga di pintu kamar putranya. Bukan bagaimana, dia hanya ingin memastikan saja.

Zea keluar dari kamar, dia yang semula berniat ke bawah mengambil air jadi mengurungkan niatnya karena ikut penasaran saat melihat Bundanya menguping di depan kamar adiknya.

"Mereka ngapain?" Tanya Zea setengah berbisik pada Bundanya.

"Sstt diem, mereka lagi bikin cucu Bunda," balas Diana berbisik.

Zea kembali menyerngit, ini serius? Bahkan dia saja belum pernah melakukannya. Tapi, mendengar itu ya Zea jadi semakin penasaran tentunya.

Akhhh jangan diteken gitu!

Ini udah pelan, Sya.

Diana beberapa kali meringis, kalau begini dia jadi was-was juga, terdengar kalau menantunya sangat kesakitan.

"Aduh, Al. Kamu ini gak sabaran banget, kasian Tasya. Ck, Bunda lupa kasih tau Al bagaimana cara memperlakukan wanita saat malam pertama," bisik Diana.

Zea yang mendengar itu juga jadi ngeri sendiri. "Al se-brutal itu kah? Bagaimana nasib adik iparnya?" Zea jadi tegang sendiri, untung Fadil tidak pernah menyentuhnya.

Namun tiba-tiba ....

Brukk ... Diana dan Zea terjatuh tepat di hadapan Al.

Al kaget saat melihat Ibu dan Kakaknya dalam posisi tersungkur.

"Aduh, Dek! Kalau buka pintu bilang kek!" Sungut Zea.

"Loh gua gak tau lu sama Bunda ada di sini. Kalian ngapain?" Tanya Al keheranan.

Diana tidak menjawab, dia hanya memperhatikan Al dan Tasya yang sedang duduk di tepi ranjang dengan pakaian utuh.

"Bund?"

"H-hah? Bunda itu apasih emm mau ke kamar Zea. Iya gitu," ucap Diana alibi.

Al mengangguk saja, padahal sebenarnya dia paham kalau Ibu dan Kakaknya sedang menguping.

"I-itu Tasya kenapa?" Tanya Zea yang kini berdiri dan mencoba mengintip ke dalam kamar yang terang benderang.  Aneh sekali, padahal dia dan Ibunya sudah menyiapkan kamar romantis untuk keduanya.

"Kakinya lecet, ini mau ambil petroleum jelly biar kakinya cepet sembuh," jawab Al santai dan mengambil yang dia butuhkan di nakas dekat pintu kamarnya. Sejenak dia melihat susu di sana. Wah kalau begini sudah bisa dipastikan apa sebenarnya maksud dan tujuan keduanya berada di depan kamar.

Al ini seorang dokter, dia paham lah kalau urusan begini. Mereka tidak tau saja kalau Al memang tidak akan melakukan apa-apa malam ini, ya kasian juga Tasya. Sudah cape seharian, kakinya lecet, masa harus melayani Al juga pada malam harinya. Al tidak akan tega.

"O-ohh, lecet ya? Pantes kaya kesakitan gitu. Y-ya udah gue mau ke kamar," ucap Zea cepat dan langsung lari ke kamarnya.

"Emm, B-bunda juga udah di tunggu ayah. Good night prince," ucap Diana yang kini ikutan kabur seperti Zea.

Al terkekeh, pasti mereka sudah jauh bertraveling tadi. Ya tapi begitulah kenyataannya, dia hanya mengobati luka Tasya dengan antiseptik yang tentunya terasa perih.

Dia kembali masuk ke dalam dan menutup pintunya. Tentunya dia sudah mendapatkan tatapan kebingungan dari sang istri. "Bunda sama Kak Zea mau apa?"

"Ngedenger kamu kesakitan katanya, takut kenapa-kenapa," jawab Al sembari kembali mengurus kaki Tasya.

"Ohh, dikirain kenapa." Tasya hanya mengangguk-nganggukan kepala. Ini Al yang otaknya ngaco atau Tasya yang terlewat polos sih? Kenapa hanya dia yang tertawa melihat drama kecil tadi.

Tapi ya sudah lah, namanya juga Tasya. Gadis ajaib yang sekarang sudah menjadi istrinya. "Ayok tidur."

Al berjalan ke sisi kasur di seberangnya lalu berbaring menghadap ke arah Tasya yang masih terduduk sambil menatapnya.

"Ayok tidur, Tasya Aurell."

"Ini kita beneran se-kasur?" Tanya Tasya ragu.

"Yaiya, kamu kan udah jadi istri aku. Jadi udah boleh."

Ya dia memang sering kalau bermanja dengan Al. Tapi untuk seranjang begini ya tidak pernah. Aneh sekali rasanya, ditambah dia tau kalau malam pertama biasanya suami istri melakukan itu. Apa Al akan mengajaknya untuk iya-iya? Ah Tasya takut.

Dia jadi bergidik ngeri, ya secara dia juga dokter kan. Dia tidak buta soal itu, tapi kenapa rasanya belum siap?

Al sepertinya paham apa yang ada di pikiran Tasya. "Udah, ayok tidur. Aku gak ngapa-ngapain kamu kok malam ini. Masih aman."

Tasya menyipitkan matanya, kenapa Al bisa tau apa yang ada di pikirannya? Pria itu terkekeh, perlahan dia menarik Tasya untuk berbaring dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Setelah menarik selimut, Al mencium kening istrinya dan memejamkan mata.

Ini Al tertidur? Yang benar saja, Tasya tidak karuan ini. Bisa-bisanya Al tidur duluan setelah membuat anak orang salah tingkah. Tasya mengadahkan wajahnya pada Al yang tidur lebih tinggi darinya. Mukanya memerah sekarang. Mau kabur tapi Al memeluknya erat.

Bingung, apa yang dia lakukan selain menatap Al. Merasa diperhatikan Al pun membuka mata. "Kenapa lagi sayangku?"

Tasya kaget sih melihat mata Al yang kembali terbuka. "Ini kamu udah bikin anak orang salting langsung bisa tidur?"

"Loh salting kenapa?" Tanya Al merasa tidak ada dosanya.

"Ini kamu kaya gini emang gak bikin aku salting apa ya?" Kesal Tasya.

"Oh kamu salting, ya bilang. Emang kenapa, gak boleh peluk istri sendiri?" Tanya Al.

"Y-ya boleh tapi bilang dulu gitu. Kaya serangan mendadak kalau kaya gitu," jelas Tasya.

Al kembali terkekeh. "Kalau aku bilang yang ada kamu udah teriak duluan. Mulai sekarang kamu harus terbiasa, karena aku perlu sesuatu untuk dipeluk kalau tiap malam."

"Kan ada guling," timpal Tasya.

"Ngapain guling kalau udah ada kamu?" Tanya Al.

"Udah ah, gak aman kalau aku terus bicara sama kamu. Nanti diabetes, kemanisan!" Tasya langsung membenamkan wajahnya di dada Al dan Al pun mengeratkan pelukannya pada Tasya.

Aroma maskulin dari Al mampu membuat Tasya rileks dan tidak butuh lama untuk tertidur. Al yang sebenarnya belum mengantuk jadi merubah aktifitasnya. Memandangi istri cantiknya yang kini pasrah ketika wajahnya diarahkan padanya.

Sepertinya dia benar-benar lelah, terbukti dengkuran halus mulai terdengar. Sangat lucu untuk Al yang pertama kali melihatnya sedekat ini.

Al mendekat lalu mencium bibir Tasya dengan lembut, belum bertindak lebih jauh pun bibirnya sudah membuat Al candu, apalagi kalau sudah dia kerjai?

Sial, dia malah jadi berpikir yang aneh-aneh. Dari pada pikirannya kemana-mana, Al memutuskan untuk tidur dan menyusul Tasya. "Good night, My Queen."

Pagi Pertama

Pukul 5 pagi, Tasya mengerjapkan matanya beberapa kali, dia membulatkan matanya saat melihat Al berada di sampingnya dengan tangan yang melingkar pada pinggangnya.

Dengan spontan Tasya mendorong tubuh Al sampai tersungkur ke lantai. "ALLL KAMU NGAPAIN?!!"

"Akkhhhh! Kenapa didorong?" Tanya Al kesal dengan suara khas bangun tidur dan meringis kesakitan karena terbentur lantai.

"Ya kamu ngapain tidur di sini, peluk-peluk juga." Tasya mengubah posisinya menjadi duduk, demi apapun jantungnya berdebar dua kali lipat.

"Ya kan kita udah nikah, lupa ingatan apa gimana?" Tanya Al yang kini beranjak dan kembali telungkup di kasur. Bisa-bisanya Tasya melemparnya dari kasur pagi-pagi begini.

"Oh iya lupa, maaf." Tasya sedikit meringis, iya juga. Mereka kan sudah menikah kemarin, hampir saja dia jantungan. Ya kalau sudah begini dia kembali tenang dan lanjut untuk tidur karena masih mengantuk. 

Tasya memejamkan matanya, namun Al kini sudah menatap dan menghadap ke arahnya. Memang Tasya tidak peka, bisa-bisanya dia kembali tidur setelah membuatnya tersungkur. Dia gemas sampai-sampai dengan spontan menarik hidung Tasya, membuat sang empu kini mengaduh karena merasa terganggu.

"Kok kamu narik hidung aku? Aku masih ngantuk, Al!" Tasya mengambil guling dan menutup wajahnya agar tidak diganggu oleh Al.

"Tanggung jawab, malah tidur lagi," ucap Al sembari mengambil guling dari pelukan Tasya dan membuangnya ke sembarang arah.

Entah ada angin apa Tasya kini memeluk Al dan menepuk-nepuk punggungnya seperti sedang menidurkan bayi. "Maaf ya, Sayang. Sini puk-puk." Dia tidak ingin ribet sebenarnya, dengan begini dia bisa tidur kembali.

"Sya," panggil Al sembari mengusap surai istrinya.

"Hmm?" Jawab Tasya sambil bertahan memejamkan matanya.

"Ayok bicara serius," jawab Al yang membuat Tasya malah tidak bisa tidur. Sepagi ini kah mereka harus bicara serius?

Tasya menjauhkan wajahnya dari dada Al dan kini menatap ke arah suaminya itu. "Bicara serius apa pagi-pagi kaya gini?"

Al merapikan helaian rambut Tasya sambil menatap matanya. "Satu bulan lagi kita intership, sedangkan Bunda maunya kita cepet punya anak."

"Bunda gak bilang gitu tau," balas Tasya.

"Iya gak bilang, tapi semalem aku tau bunda maunya kita cepet punya anak. Tapi ... "

"Tapi apa?" Tanya Tasya yang kini mengusap pipi Al.

"Tapi kita gak akan bisa ambil cuti lama kalau intership, aku gak mau kesehatan kamu terganggu juga kalau gak istirahat cukup. Kalau nunda intership kamu juga gak akan baik."

"Jadi?"

"Kalau bunda nanti nanya, bilang aja kita mau nunda punya anak sampai selesai intership ya?" Tawar Al.

Tasya berpikir, dia tidak ada berniat buru-buru punya anak sih. Al juga ada benarnya. "Jadi kita tunda punya anaknya?"

Al mengangguk. "Gimana?"

"Aku ikut kamu aja. Sebenernya aku gak masalah juga kalau nunda intership, tapi kalau itu keputusan kamu aku ikut," jawab Tasya sambil tersenyum.

"Ya udah, aku lega kalau udah bilang sama kamu. Jadi mana sekarang morning kissnya?" Tanya Al.

"Aku gak tau gimana caranya cium duluan," jawab Tasya asal dan malah membuat Al terkekeh.

"Ya udah, kita belajar," jawab Al yang kini malah mengukung tubuh Tasya di bawahnya. Al melirik bibir cherry milik Tasya, ya sekarang itu adalah miliknya.

Tasya tidak berontak sih, tapi dia kaget saja mendapatkan serangan dadakan seperti ini. "Udah aku bilang, kalau mau ngapain tuh bilang dulu."

"Gak mau, lebih enak secara tiba-tiba. Jadi boleh cium, kan?"

Tasya mengangguk, "Boleh, jadi aku harus gimana?"

Al menatapnya lembut sembari tersenyum. "Sekarang tutup mata kamu, tapi buka bibirnya sedikit." Entah kenapa suara itu membuat Tasya merinding di sekujur tubuhnya, ini sudah halal kan untuk melakukannya? Jadi Tasya menuruti perkataan Al.

Al tersenyum, perlahan dia mendekatkan bibirnya pada milik Tasya, membuat si pemilik rasanya bisa merasakan dan jantungnya kembali berdegup, namun saat sedikit saja bibir itu menempel. Seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Ck, ganggu aja," gumam Al dalam hatinya.

Tasya dan Al yang kaget pun langsung mengubah posisi mereka menjadi duduk dan benar saja Bundanya kini telah muncul dari balik pintu.

"Kalian udah bangun rupanya, gimana tidurnya nyenyak?" Tanya Diana pada keduanya.

"Nyenyak, Bund," jawab keduanya sambil tersenyum.

Diana ke sini bukan apa-apa, dia ingin memastikan rasa penasarannya sebenarnya. Tapi kamar ini masih rapi, biasanya kalau pengantin baru pasti berantakan. Apa belum terjadi apa-apa di kamar ini?

"Kenapa, Bund?" Tanya Al yang aneh dengan sikap Ibunya karena mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar.

"A- gapapa, ya udah segera turun ya. Bunda udah siapin sarapan. Nanti sore keberangkatan kalian ke Lombok kan?" Tanya Diana.

"Iya, Bund. Nanti Tasya sama Al ke bawah. Mau cuci muka sama gosok gigi dulu," jawab Tasya sambil tersenyum.

"Yasudah, Bunda tunggu di bawah ya," ucap Diana dan kembali menutup pintu kamar mereka.

"Gak jadi ciumnya, ya udah kecup aja." Al lalu mengecup bibir Tasya. "Morning kiss."

Al terkekeh melihat ekspresi Tasya yang masih mencerna semua ini, dia langsung turun ke kamar mandi dan membiarkan begitu saja. Lagi pula Tasya memang harus mulai beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai seorang istri.

.

.

.

Tasya dan Al turun, terlihat semua orang sudah siap di bawah. Mereka duduk berdampingan dan sudah mendapat banyak tatapan yang menuju ke arah mereka seolah menggoda pengantin baru. Tapi Tasya dan Al memang sama-sama cuek, jadi mereka tidak terganggu.

Diana menyiukkan makanan ke piring suaminya. Tasya memperhatikan semua tentunya. Setelah Zea dan Fadil selesai mengalasi makanan mereka, kini Tasya mengalasi nasi goreng di piring Al. Membuat Diana tersenyum, meskipun Tasya berkali-kali mengatakan kalau dia takut tidak bisa menjadi seorang istri yang baik padanya, tapi ternyata dia malah meniru hal baik yang dia lakukan.

"Makasih, Sayang," ucap Al sembari mengelus lengan Tasya.

Tasya mengangguk dan tersenyum. "Iya sama-sama."

Sebelum Tasya mengalasi piring miliknya, Al lebih dulu menahannya. "Makan berdua aja, aku suapin."

"Loh kenapa?"

"Kaki kamu lecet, kasian nanti sakit," jawab Al yang menarik Tasya agar kembali duduk.

"Loh kan yang sakit kaki, aku kan makannya pake tangan?" Tanya Tasya bingung.

"Gapapa, aaa." Al menyuapkan sesendok nasi goreng pada Tasya, kalau begitu Tasya menurut saja. Satu piring berdua ternyata romantis juga.

Tasya dan Al terus saling bertatapan, terasa sekali aura pengantin barunya. Sampai sebuah suara menginterupsi mereka untuk mengalihkan pandangan.

"Jadi kalian berdua udah punya program kasih Bunda cucu?" Tanya Diana pada Al dan Tasya.

Al dan Tasya saling menginjak kaki di bawah, lebih tepatnya mereka saling melempar siapa yang harus menjawab dan memberikan hasil diskusi mereka tadi.

"Al, Sya?" Tanya Diana yang merasa tidak mendapat jawaban.

"Loh ya kamu itu loh, nanyanya gitu. Mereka baru menikah sudah ditanya cucu," ucap Haris.

"Bunda nanya, Yah. Tau sendiri anak bungsumu itu bagaimana," balas Diana.

Merasa tidak akan beres dengan peperangannya Al akhirnya mengalah. Biar dia yang menjelaskan. "Kami mau nunda punya anak sampai selesai intership, Bund."

"Kenapa? Gak baik loh ditunda-tunda," ucap Diana.

"Al udah pertimbangkan matang-matang, tadi juga udah bicara sama Tasya. Selama intership kita tidak diizinkan untuk cuti lama, Bund. Kalau Tasya kurang istirahat dia juga yang nanti kewalahan. Kalau menunda intership juga kasian, Tasya dan Al kan kejar cita-cita bersama."

"Memang tidak ada jalan lain selain menunda? Bunda pingin gendong cucu."

"Bunda bisa dapet cucu kok, tanya sama tetangga sebelah kamar aja," ucap Al menyindir Zea dan Fadil.

Keduanya sama-sama tersedak. Bisa-bisanya Al menyeret mereka dalam permasalahannya ini.

"Betul, Al benar. Daripada menanyakan mereka yang baru menikah, lebih baik tanya Zea dan Fadil," kata Haris yang mendukung putranya.

"Jadi kapan kalian punya anak?" Tanya Diana to the point.

Nahkan, kalau begini Zea yang kewalahan. Zea menatap Al kesal, benar-benar adiknya ini menyebalkan sekali. Dia tau hubungan Zea dan Fadil bagaimana. Ah pokoknya setelah makan pagi ini Zea harus memberikan pelajaran pada adiknya itu.

Sementara di sisi lain Tasya dan Al beradu tos di bawah meja. Jadilah mereka berdua aman dari cecaran pertanyaan. Memang adik-adik durhaka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!